***

***

Ads

Sabtu, 22 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 252

“Dan kulihat engkau tidak pernah mencoba untuk membujukku, untuk mengajakku... eh, menyerahkan diri kepadamu... sungguhpun... hemm, mungkin sekali... ah, tiada bedanya bagiku, aku merasa bahwa aku telah menjadi milikmu lahir batin. Mengapa, Sin Liong?”

“Ah, kita belum menikah dengan resmi, Bi Cu.”

“Hemm, aku tahu, akan tetapi... andaikata engkau minta kepadaku dan aku menuruti permintaanmu, kita melakukan hubungan sebelum menikah, lalu mengapa?”

“Tidak, hal itu tidak mungkin Bi Cu.”

“Mengapa, Sin Liong? Apakah karena engkau tidak menginginkannya?”

Sin Liong mendekap kepala itu penuh kasih sayang.
“Tentu saja aku ingin sekali!”

“Kalau begitu, sama dengan aku. Lalu apa halangannya?”

Bukan main, kekasihnya ini sungguh seorang gadis yang jujur dan terbuka, tidak pura-pura!

“Tidak, Bi Cu, karena aku cinta padamu!”

“Mengapa kalau engkau cinta padaku malah engkau tidak menuntut penyerahan diri dariku?”

“Ah, kekasihku, dewiku, betapa polos dan jujurnya engkau. Engkau percaya sepenuhnya kepadaku, dan justeru karena kepercayaanmu itulah, justeru karena cinta kita itulah, maka aku tidak akan melakukan hal itu, betapapun besar dorongan gairah nafsuku! Aku cinta padamu, Bi Cu, dan karena aku cinta padamu, maka aku tentu menghormatimu, aku tentu menjaga namamu, aku tentu, akan menjaga dengan nyawaku untuk tidak merendahkanmu, meremehkanmu. Betapapun juga, kita hidup di dalam belenggu-belenggu peraturan, kesusilaan, dan kebudayaan. Belenggu-belengga itu telah menentukan bahwa tidak semestinya hubungan itu dilakukan sebelum menikah, dan siapa melanggarnya, apalagi wanita, tentu akan dikutuk dan dipandang rendah! Nah, karena cintaku kepadamu, betapapun besar keinginan hatiku, harus kujaga agar engkau jangan sampai dikutuk dan dipandang rendah. Aku sayang kepadamu, aku ingin engkau senang dan hidup bahagia. Kalau aku membujukmu untuk melakukan hubungan suami isteri, hal itu berarti bahwa aku hanya ingin mencari senang dan enak sendiri dan membiarkan engkau yang terancam aib. Mengertikah engkau, Bi Cu?”

Bi Cu bergerak perlahan dan membalik, mengangkat muka ke atas dan merangkul leher kekasihnya. Sin Liong menunduk dan mereka berciuman sampai napas mereka terengah-engah dan terpaksa mereka melepaskan ciuman karena sukar untuk bernapas!

“Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Kalau begini terus, bisa-bisa aku tidak kuat dan mata gelap!”






Sin Liong mendorong dara itu dengan halus dan mereka bangkit berdiri. Bi Cu tersenyum dan memandang kekasihnya dengan sinar mata menggoda.

“Kalau begitu kenapa? Kalau aku rela, siapa perduli?”

“Ihh, engkau nekat!” Sin Liong tertawa. “Ingat, kebahagiaan itu adalah kita punya, maka perlu apa kita rusak sendiri? Mengapa kita tidak menahan bersama, agar kelak setelah tiba saatnya kita berdua akan lebih dapat menikmatinya?”

DEMIKIANLAH, dengan dasar cinta kasih yang mendalam, dua orang muda itu mampu mempertahankan kemurnian mereka dan tidak sampai menjadi buta oleh nafsu berahi. Sesungguhnya kasih sayang itu membuat kita menjadi kuat menghadapi apapun juga, bahkan kuat pula menghadapi godaan setan berupa nafsu berahi yang biasanya tak terkalahkan oleh manusia itu!

Pada suatu hari, setelah mereka tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan. Mereka melewati sebuah hutan yang amat luas. Dari pagi sampai matahari hampir naik menjelang tengah hari, mereka masih berada di dalam hutan. Tiba-tiba mereka mendengar suara orang-orang bertempur di depan dan mereka lalu membedalkan kuda mereka menuju ke arah suara hiruk-pikuk itu.

“Bi Cu, jangan kau sembarang bergerak, ya?” Sin Liong memesan dan Bi Cu hanya mengangguk.

Dan tibalah mereka di tempat pertempuran itu. Kiranya ada banyak orang bertempur. Sedikitnya ada sebelas orang yang berpakaian sebagai piauwsu, yaitu para pengawal kiriman barang, melawan hampir dua puluh orang-orang yang berpakaian kasar dan mudah diduga bahwa mereka itu tentu perampok-perampok yang buas.

Yang menarik perhatian Bi Cu adalah seorang pemuda yang memainkan sebatang pedang dengan gagahnya, melawan kepala perampok yang berambut panjang dan bermuka brewok. Biarpun pemuda yang kelihatannya seperti melakukan perlawanan mati-matian itu berusaha mati-matian dan gagah perkasa, namun jelas bahwa dia mulai terdesak hebat oleh sepasang golok kepala perampok yang amat lihai itu.

Melihat wajah pemuda itu, Bi Cu tertarik dan cepat dia mengerling ke arah gerobak piauwkiok dan begitu dia melihat bendera piauwkiok yang berdasar merah dengan lukisan garuda berwarna kuning, terkejutlah dia dan dia yang sudah meloncat turun dari atas kudanya itu memegang lengan Sin Liong.

“Dia itu twako Na Tiong Pek...!”

Sekarang Sin Liong juga mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda tampan gagah itu.

“Benar, dialah itu!”

“Lihat, itu bendera Ui-eng-piauwkiok! Aku harus membantunya, dia sudah terdesak!” kata Bi Cu dan dia lalu mengambil sebatang ranting kayu pohon, kemudian dengan cepat dia sudah meloncat ke depan dan menyerbu ke medan laga sambil berseru keras.

“Na-twako, jangan khawatir, minggirlah, biarkan aku menghajar babi hutan ini!”

Tongkat di tangannya berkelebat dan membentuk segulung sinar hijau yang mengejutkan kepala perampok itu sehingga dia meloncat ke belakang karena gulungan sinar hijau itu dapat menembus sinar goloknya dan hampir saja ujung ranting itu menusuk hidungnya!

Sementara itu, Na Tiong Pek yang sudah terdesak itu meloncat mundur dengan napas terengah-engah dan dia terkejut dan heran melihat munculnya seorang dara cantik yang bergerak cepat bukan main seperti burung terbang saja dan tahu-tahu sudah mendesak kepala perampok itu dengan sebatang ranting di tangan! Ketika dia melihat wajah dara itu, hampir dia tidak percaya.

“Bi... Bi Cu...!”

Dia tergagap, karena biarpun dara itu wajahnya persis Bi Cu, akan tetapi mana mungkin Bi Cu memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga hanya dengan sebatang ranting saja mampu menahan sepasang golok di tangan kepala perampok yang lihai dan yang tadi membuat dia kewalahan?

“Benar, twako, lekas kau hajar anak-anak babi itu dan biarkan aku merobohkan babi hutan yang satu ini!” teriak Bi Cu dengan nada suara gembira sekali dapat bertemu dengan pemuda ini.

Na Tiong Pek kembali memandang dengan penuh kagum dan dia menoleh, memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri memegangi dua ekor kuda. Agaknya, pemuda itu datang bersama Bi Cu, akan tetapi dia tidak tahu siapa pemuda itu. Maka, melihat betapa anak buahnya masih dengan gigihnya melawan para perampok, dia lalu berteriak nyaring dan mengamuk, menyerang para anak buah perampok itu, mengeluarkan kegesitan dan kepandaiannya karena dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada Bi Cu, lupa bahwa dia tadi hampir kalah oleh kepala perampok yang kini ditandingi oleh Bi Cu itu.

Dan ternyata bahwa dibandingkan dengan teman-temannya, yaitu para piauwsu, kepandaian pemuda she Na ini memang lebih menonjol. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran itu, maka beberapa orang perampok roboh dan mereka menjadi kacau-balau dan terdesak oleh pemuda yang mengamuk seperti seekor harimau marah itu.

Sin Liong hanya menonton, akan tetapi tentu saja setiap saat dia siap untuk melindungi kekasihnya. Dia melihat bahwa gerakan kepala perampok itu hanya dahsyat dipandang saja, namun hanya merupakan orang kasar yang mengandalkan tenaga otot, tidak memiliki dasar kepandaian berarti sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Begitu bergebrak, dia tahu bahwa kekasihnya itu tidak akan kalah. Dan memang benar, baru belasan jurus saja Bi Cu yang mempergunakan ilmu Ngo-lian Pang-hoat yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai, telah dapat melecut muka kepala perampok itu berkali-kali dan paling akhir malah dia berhasil menusuk sebelah mata kiri kepala perampok itu sehingga terobek dan berdarah.

Kepala perampok itu merasa bahwa dia tidak akan menang, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras dan meloncat jauh ke belakang terus melarikan diri, diikuti oleh anak buahnya yang telah mendengar aba-aba lari tadi, sambil menyeret dan membawa teman-teman mereka yang terluka, memasuki hutan lebat, diikuti suara tertawa dan sorakan para piauwsu yang merasa gembira memperoleh kemenangan.

Na Tiong Pek cepat menghampiri Bi Cu dan sejenak mereka berdiri saling berhadapan dan saling pandang. Melihat betapa sinar mata pemuda tampan itu ditujukan kepadanya dengan penuh kagum, kekaguman seperti yang dulu sering dia lihat dari tatapan pandang mata Tiong Pek, tiba-tiba Bi Cu merasa jantungnya berdebar dan kedua pipinya merah. Apalagi ketika Tiong Pek berkata,

“Bi Cu... alangkah cantiknya engkau sekarang! Dan betapa hebat kepandaianmu, sungguh aku merasa kagum bukan main!”

Untuk mengalihkan rasa jengah dan malu, Bi Cu tersenyum.
“Ah, engkau masih sama saja seperti dulu, Na-twako. Mari kau temui dia...”

“Siapa?” Tiong Pek menoleh dan memandang kepada pemuda yang menuntun dua ekor kuda itu.

“Hei, lupakah engkau kepadanya? Lihat baik-baik, siapa dia?” Bi Cu berkata lagi sambil menghampiri Sin Liong, diikuti oleh Tiong Pek.

Kini mereka berhadapan Sin Liong tersenyum.
“Saudara Na Tiong Pek, lupakah engkau kepada Sin Liong?”

“Sin Liong...? Ah, engkaukah ini?”

Tiong Pek berseru kaget dan girang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu adalah Sin Liong, anak yang dahulu ditolong oleh mendiang ayahnya!

“Ah, bagaimana kalian dapat datang bersama? Di manakah saja engkau tinggal selama ini, Bi Cu? Dan bagaimana bisa bersama Sin Liong bertemu denganku di sini?” Bertubi-tubi pertanyaan itu diajukan kepada Bi Cu.

“Kami... hanya kebetulan saja bertemu dan kami berdua mengadakan perjalanan bersama menuju ke Ho-nan, ke kota Su-couw.”

“Aih, tidak pernah aku bermimpi akan dapat bertemu denganmu di sini, Bi Cu. Dan kepandaianmu demikian hebat! Dari mana engkau mempelajari ilmu tongkat yang demikian lihai? Sungguh lucu, begitu bertemu, engkau yang menyelamatkan aku malah! Haii, teman-teman, lihatlah baik-baik, nona penolong kita ini bukan lain adalah sumoiku sendiri! Kalau tidak ada dia yang lihai, mungkin barang-barang kita terampas dan kita belum tentu selamat!” Semua piauwsu memandang dengan kagum.

“Ah, sudahlah jangan banyak sungkan, twako.”

“Kita bukan suheng dan sumoi lagi!”

“Terserah, akan tetapi karena aku sudah menjadi murid orang lain, maka biarlah kusebut engkau Na-twako saja. Bagaimana keadaanmu selama ini, twako? Apakah engkau sudah berumah tangga?”

Tiong Pek menggeleng kepalanya, dan dia tertawa, ketawanya polos dan Sin Liong melihat bahwa biarpun pemuda ini masih mempunyai sifat sombong, akan tetapi kini sudah berubah dan lebih jujur.

“Setelah ditolak olehmu, aku jera untuk mencari jodoh, takut ditolak lagi. Pula, di mana mencari orang yang melebihimu?”

“Aih, jangan bergurau, twako!” Bi Cu berkata dan mukanya berubah merah lagi.

“Siapa bergurau? Coba tanya Sin Liong ini! Betul tidak ucapanku tadi, Sin Liong? Mana ada gadis melebihi dia ini? Eh, dan kau sendiri bagaimanat, Sin Liong? Apakah engkau sudah memperoleh jodoh?”

Sin Liong memandang wajah Bi Cu dan melihat dara itu kelihatan malu sekali, Sin Liong menjawab lirih,

“Belum.”

“Ha-ha, kita masih sama seperti dulu! Kalau kuingat betapa kita bertiga melawan para penyerbu itu. Ah... sungguh malang ayah dan ibuku... eh, kau dibawa pergi wanita sakti itu, lalu apa yang terjadi, Sin Liong?”

“Aku hanya merantau ke segala tempat sampai... kebetulan bertemu dengan Bi Cu dan kami lewat di sini, kebetulan bertemu denganmu.”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: