***

***

Ads

Sabtu, 22 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 253

“Kita harus rayakan pertemuan kita! Akan tetapi di hutan begini bagaimana kita bisa merayakannya? Hayo kalian mampir dulu di rumahku, aku masih tinggal di Kun-ting, di rumah yang dulu. Sumoi... eh, Bi Cu, tidak maukah engkau singgah di rumahku lagi?”

“Tentu saja twako, akan tetapi, aku ada urusan penting sekali, harus pergi ke Su-couw, nanti kalau aku kembali dari selatan, tentu aku mau mampir...”

“Ke Su-couw? Kau sendiri, atau bersama Sin Liong?”

“Kami berdua ke Su-couw...”

“Kalau begitu, aku akan mengantarmu. Ada urusan apa, Bi Cu? Biar kubantu engkau!”

Tiong Pek menawarkan jasanya. Akan tetapi sebelum mereka melanjutkan percakapan itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah seorang tosu yang menunggang kuda. Pakaiannya seperti tosu, rambutnya seperti tosu, akan tetapi sikapnya seperti perampok ganas! Pria itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, biarpun jenggot dan kumisnya terpelihara rapi, namun sepasang matanya melotot liar dan sikapnya kasar. Di belakang tosu ini nampak kepala perampok yang sebelah matanya masih terluka dan kini dibalut, sehingga nampak lucu sekali.

Sekali lihat saja, mengertilah Bi Cu bahwa agaknya tosu ini merupakan teman si kepala perampok, maka dia sudah bangkit dan memandang kepada kepala perampok tadi sambil mengejek.

“Eh, babi hutan mata satu berani datang lagi? Apakah masih kurang merasakan gebukan dan minta lagi?”

Kini tosu itu sudah meloncat turun dari atas kudanya dan melihat caranya meloncat, Sin Liong maklum bahwa tosu ini memiliki kepandaian yang lumayan. Tosu itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan berdiri tegak dia membentak,

“Siapa berani melukai muridku?”

Na Tiong Pek mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, maka dengan pedang di tangan dia sudah meloncat ke depan sambil memaki,

“Tosu busuk, kau membela perampok?” Dan pedangnya sudah menyerang dengan gencar ke arah tubuh tosu itu.

Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika tongkat itu menangkis pedang, kemudian tiba-tiba tosu itu membentak nyaring dan tongkatnya kini balas menyerang dan Na Tiong Pek menjadi sibuk sekali, harus berloncatan ke sana-sini sambil menangkis, dan akhirnya kaki kanannya kena diserampang.

“Tukk!”

Dia terguling roboh karena tulang keringnya kena dipukul dan pada saat itu tongkat panjang sudah menyambar lagi ke arah kepala Tiong Pek.






“Takkk!”

Tongkat panjang itu tertangkis oleh ranting di tangan Bi Cu. Kakek itu memandang dengan penuh perhatian.

“Minggirlah, twako,” kata Bi Cu dan Tiong Pek menyeret pedang sambil terpincang-pincang mendekati Sin Liong.

“Tosu kerbau itu lihai juga...” dia mengomel, akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya karena dia mengkhawatirkan kekasihnya yang harus menghadapi tosu yang dia tahu memiliki kepandaian lumayan itu.

Akan tetapi dia maklum akan kekerasan hati Bi Cu maka dia tidak mau membantu atau menggantikannya karena hal itu akan menyinggung hati Bi Cu. Dia hanya siap untuk melindungi kekasihnya itu kalau perlu dan diam-diam mempergunakan jari-jari tangannya meraba dan memainkan beberapa buah batu kerikil.

Setelah memandang wanita muda yang memegang ranting pohon itu, si tosu menjadi terkejut dan terheran-heran.

“Inikah dia dara yang mengalahkan kamu?” tanyanya kepada kepala perampok brewok itu.

“Betul, suhu, akan tetapi dia curang, dia menusuk mata!”

“Heh-heh-heh, memang cantiknya bisa menusuk mata. Eh, nona, engkau telah kesalahan tangan melukai mata muridku, maka kalau engkau mau ikut dengan pinto, menjadi murid pinto selama satu bulan, pinto mau mengampunimu. Mari pergi bersama pinto, sayang kalau sampai kulitmu yang halus itu luka oleh tongkatku.”

“Heh, tosu busuk, tosu cabul, mulutmu kotor! Belum tentu engkau dapat mengalahkan dia!”

Na Tiong Pek sudah memaki-maki dengan marah mendengar ucapan tosu itu. Dan Bi Cu tidak mau melayani tosu itu, terus saja dia sudah menerjang dan menggunakan ranting di tangannya untuk menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darah yang berbahaya.

“Eh, kau hebat juga!”

Tosu itu berseru kaget dan cepat mengelak sambil menggerakkan tongkatnya menangkis. Akan tetapi Bi Cu tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus saja dara ini mainkan ilmu tongkatnya yang amat lincah. Semenjak dia menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong memang dia memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali kekuatan sin-kang dan kecepatan gerakan tubuhnya.

Akan tetapi, tepat seperti dugaan Sin Liong, tosu itu memang tangguh sekali. Setelah bertanding selama tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba tosu itu menangkis dengan keras dan membuat Bi Cu terdorong ke belakang lalu tosu itu membentak.

“Hei, bukankah kau mainkan Ngo-lian Pang-hoat? Masih apamukah mendiang Hwa-i Sin-kai?”

“Beliau adalah guruku! Kau mau apa?”

“Ha-ha-ha!” Tosu itu tertawa bergelak. “Kalau begitu, semestinya kalau aku bersikap lunak kepadamu. Bahkan andaikata dia masih hidup, tentu pinto akan mengalah. Akan tetapi dia sudah mati, dan engkau begini cantik, kau jadilah muridku selama sebulan...”

“Tosu busuk!”

Bi Cu sudah menerjang lagi, akan tetapi sekali ini tosu itu memutar tongkatnya yang panjang, membentuk gulungan sinar yang lebar dan begitu Bi Cu bertemu dengan gulungan sinar ini, dia terhuyung ke belakang dan nyaris dia roboh kalau saja tidak cepat meloncat dan berjungkir balik.

Akan tetapi pada saat itu tangan yang berlengan panjang dari tosu itu menyambar lengannya dalam cengkeraman yang amat kuat. Selagi Bi Cu terkejut, tiba-tiba tosu itu berteriak kesakitan dan melepaskan lengan Bi Cu. Tiba-tiba saja, ketika dia tadi memegang lengan dara itu, sikunya dihantam oleh benda kecil, entah apa dan tiba-tiba saja lengannya menjadi kesemutan dan lumpuh!

Melihat bahwa tidak ada apa-apa, dia mengira bahwa hal itu kebetulan saja, maka dia sudah memutar lagi tongkat panjangnya dan hendak menyerang Bi Cu. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan yang amat nyaring,

“Tahan senjata! Dimana ada seorang pendeta suci menyerang seorang gadis remaja?”

Dan muncullah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan demikian gagahnya sehingga mengagumkan Na Tiong Pek yang memandangnya. Bi Cu mengenal pemuda itu, sungguhpun hanya sekelebatan saja ketika pemuda ini ikut pula mengamuk di Istana Lembah Naga.

Juga Sin Liong mengenalnya, karena pemuda itu bukan lain adalah Ciu Khai Sun, pemuda tinggi tegap, gagah dan tampan dari Siauw-lim-pai itu! Akan tetapi Ciu Khai Sun tidak memperhatikan dara itu, juga tidak melihat Sin Liong karena semua perhatiannya ditujukan ke arah tosu itu.

Tosu itu mengira bahwa tentu pemuda ini yang tadi berlaku usil dan membuat pegangannya terlepas, maka dia lalu membentak marah,

“Manusia lancang! Berani kau mencampuri urusan pinto?”

Dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menggerakkan tongkat panjangnya menyerang pemuda itu!

Akan tetapi sekali ini tosu itu kecelik dan dia bertemu dengan batu karang! Melihat gerakan tongkat panjang itu jagoan Siauw-lim-pai ini menghadapinya dengan dua tangan kosong saja!

Perlu diketahui bahwa ahli-ahli silat Siauw-lim-pai sebagian besar pandai memainkan toya, maka melihat gerakan tongkat itu Ciu Khai Sun maklum bahwa biarpun tosu ini memiliki kepandaian lumayan, namun ilmu tongkat itu belum cukup hebat untuk membuat dia terpaksa mencabut senjata! Dan memang pemuda tinggi tegap ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat, maka dengan mengerahkan tenaga sin-kang, dia berani menggunakan kedua lengannya untuk menangkis tongkat lawan dan setiap tangkisannya bahkan membuat lawan itu merasa telapak tangannya panas dan nyeri!

Terkejutlah tosu itu. Tak disangkanya bahwa di tempat ini dia bertemu dengan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang begini tangguh! Bertempur belasan jurus saja sudah membuka matanya bahwa yang dilawannya adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, maka gentarlah tosu itu. Dia menyerang secara membabi-buta, akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, tiba-tiba Ciu Khai Sun mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kirinya menangkis tongkat itu dengan keras dan tangan kanannya menghantam ke depan.

“Krakkk! Bukk...!”

Tubuh tosu itu terlempar sampai dua meter dan roboh terbanting ke atas tanah dengan napas megap-megap karena dadanya terasa sesak. Melihat itu, kepala perampok brewok itu cepat menyambar tubuh gurunya dan melarikan diri dengan membalapkan kudanya. Cui Khai Sun tidak mengejar dan Na Tiong Pek sudah berlari menghampiri dan menjura dengan penuh hormat.

“Bukan main hebat kepandaian enghiong yang perkasa!” Dia memuji. “Saya akan merasa terhormat sekali berkenalan dengan enghiong. Saya Na Tiong Pek, kepala piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok di Kun-ting.”

Ciu Khai Sun membalas penghormatan itu dengan sederhana.
“Aku Cui Khai Sun. Eh, Na-piauwsu, apa yang terjadi di sini? Siapakah tosu tadi dan siapa pula orang brewok tadi?”

“Mereka itu perampok-perampok jahat! Mula-mula si brewok itu memimpin anak buahnya merampok kami, dan kemudian setelah para perampok itu dipukul mundur, muncullah guru si brewok, yaitu tosu tadi. Untung engkau muncul, Ciu-enghlong dan ternyata engkau adalah seorang pendekar yang jempol!”

Pada saat itu, Sin Liong dan Bi Cu datang mendekat. Ciu Khai Sun menoleh dan begitu melihat dua orang muda itu, dia terkejut sekali dan cepat-cepat dia menghadapi Sin Liong dan Bi Cu sambil menjura penuh hormat.

“Aih, kiranya Cia-taihiap berada disini? Dan yang bertanding dengan tosu tadi adalah Bhe-lihiap? Ah, kalau begitu aku telah lancang sekali...”

“Engkau telah menyelamatkan aku, Ciu-enghiong...”

“Eh, jangan membuat aku merasa malu, nona. Jangan menyebut enghiong, sungguh membikin aku merasa malu di depan Cia-taihiap.”

“Baikiah, diantara orang sendiri, biarlah kusebut engkau Ciu-twako saja!” kata Bi Cu yang merasa suka melihat sikap yang begitu jujur dan sederhana dari jagoan Siauw-lim-pai yang lihai ini.

Mereka semua tertawa dan Na Tiong Pek merasa heran sampai bengong. Apalagi mendengar betapa pandekar yang gagah itu menyebut Sin Liong dengan

“Cia-taihiap”! Tentu saja dia menjadi bingung dan tidak mengerti sama sekali.

“Ciu-twako hendak pergi ke manakah?” Sin Liong bertanya ramah.

“Aku sedang menuju ke rumah pamanku di Su-couw.”

“Su-couw? Ah, sungguh kebetulan, kami berduapun hendak pergi ke Su-couw,” kata Sin Liong girang.

“Begitulah? Aku sudah merasa heran bertemu dengan ji-wi di sini, tidakkah semestinya ji-wi pergi ke utara, ke Lembah Naga? Bukankah aku mendengar bahwa kaisar...”

“Tidak, kami masih banyak urusan dan hendak pergi ke Su-couw.” kata Sin Liong memotong ucapan itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: