***

***

Ads

Sabtu, 22 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 254

Melihat sikap pendekar ini agaknya tidak suka membicarakan urusan Lembah Naga, maka jagoan Siauw-lim-pai itupun tidak mau menyebutnya lagi.

“Kalau begitu, kebetulan sekali, kita dapat melakukan perjalanan bersama!” katanya dengan girang, “Kita dapat pergi bertiga...”

“Berempat, Ciu-enghiong. Akupun akan pergi ke sana! Sekarang juga aku akan mengatur semua piauwsu untuk mengantarkan barang-barang ini sampai ke tempat tujuan yang sudah tidak jauh lagi dan aku akan ikut bersama kalian ke Su-couw. Ketahuilah, Ciu-enghiceng, aku baru saja berjumpa kembali dengan dua orang... eh, sute dan sumoiku ini setelah kami berpisah selama bertahun-tahun.”

“Ahh...!”

Ciu Khi Sun tentu saja terkejut sekali mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah suheng dari Cia Sin Liong yang sakti dan nona Bhe Bi Cu.

“Tentu saja...” katanya dengan pandang mata terheran-heran.

Sin Liong dan Bi Cu tidak berkata apa-apa dan setelah Tiong Pek membagi-bagi tugas kepada para piauwsu yang menjadi anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, dia lalu memberikan seekor kuda kepada Ciu Khai Sun dan mereka berempat lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Mereka berjalan seenaknya saja sambil menikmati keindahan pemandangan di pegunungan itu setelah keluar dari hutan, karena memang pemandangan alam di daerah perbatasan utara Propinsi Honan amatlah indahnya.

Pada tengah hari itu mereka berhenti di tepi sebuah danau kecil di lereng gunung untuk makan siang dari perbekalan masing-masing sambil mengobrol ke barat dan ke timur. Setelah memberi waktu kepada kuda mereka untuk beristirahat sejenak, mereka lalu melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi, menjelang senja, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dan nampak ada tiga penunggang kuda mengejar mereka. Tadinya mereka tidak menaruh perhatian, akan tetapi setelah mereka mendengar teriakan-teriakan dari belakang, Na Tiong Pek mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah si perampok brewok bersama dua orang yang membalapkan kuda mereka. Jelaslah bahwa tiga orang itu mengejar mereka berempat!

“Wah, si babi hutan mata satu itu lagi!” kata Na Tiong Pek gembira, menirukan julukan yang diberikan oleh Bi Cu kepada kepala perampok yang terluka sebelah matanya.

Hatinya sedikitpun tidak merasa khawatir karena di situ terdapat Ciu Khai Sun, yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, juga tokoh Siauw-lim-pai pula seperti yang didengarnya dari percakapan mereka. Selain ada Ciu Khai Sun, juga di situ ada Bi Cu yang sekarang ternyata lebih lihai daripada dia sendiri. Mengenai diri Sin Liong, dia meragukan apakah pemuda inipun memperoleh kemajuan seperti Bi Cu!

Empat orang muda itu menahan kuda lalu membalikkan kuda mereka menghadapi tiga orang yang datang dengan cepat itu. Ternyata mereka itu adalah si kepala perampok yang mata kirinya tertutup balutan kain bersama dua orang kakek, akan tetapi bukan tosu yang menjadi gurunya dan yang telah dikalahkan oleh Khai Sun tadi. Mereka ini juga dua kakek tua, dan seorang di antara mereka berpakaian seperti tosu, mukanya putih dan matanya memandang bengis, di punggungnya terdapat sebatang pedang panjang. Orang ke dua berpakaian seperti seorang pengemis, membawa sebatang tongkat dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya penuh senyum.






“Hemm, mereka itu adalah Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong.” Sin Liong berkata lirih akan tetapi cukup dapat didengar oleh tiga orang temannya.

“Ahh! Mereka yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat di selatan itu?”

Ciu Khai Sun berkata dengan nada suara kaget. Biarpun dia sendiri belum pernah jumpa dengan dua orang itu, namun nama besar mereka sudah pernah didengarnya. Kim Lok Cinjin, tosu muka putih itu adalah sute dari mendiang Kim Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw yang tewas di tangan Cia Bun Houw ketika terjadi pertempuran di Lembah Naga. Sedangkan Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) adalah seorang pengemis yang berilmu tinggi dan yang menguasai seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis) di seluruh daerah selatan.

“Bi Cu, harap engkau diam saja dan jangan ikut maju,” tiba-tiba Sin Liong berkata kepada kekasihnya.

“Tapi, Sin Liong...” Bi Cu hendak membantah.

“Mereka itu lihai bukan main, dan kejam,” kata pula Sin Liong memotong kata-kata kekasihnya.

“Cia-taihiap, biarlah jembel tua itu kuhadapi dan Kim Lok Cinjin yang kabarnya luar biasa lihainya itu taihiap yang menandinginya.”

“Ciu-twako, kuharap twako sekali ini menonton saja, biar aku yang menghadapi mereka berdua,” jawab Sin Liong yang maklum akan bahayanya dua orang lawan itu dan biarpun dia tahu akan kelihaian pemuda Siauw-lim-pai ini namun dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan celaka.

Na Tiong Pek mendengarkan percakapan itu dengan heran sampai dia melongo. Sin Liong hendak menghadapi lawan yang dikabarkan amat lihai itu seorang diri saja, menghadapi mereka berdua? Apa artinya ini? Dia merasa tidak enak melihat semua orang mengajukan diri untuk menghadapi musuh, maka diapun berkata,

“Sute, aku akan membantumu!”

Sin Liong tersenyum.
“Na-twako jangan main-main. Mereka itu datuk-datuk golongan sesat yang lihai, biarlah kau nonton saja dan siap membantuku kalau aku sampai terancam bahaya.”

Kalimat terakhir itu dimaksudkan untuk “mengangkat” orang ini, akan tetapi Tiong Pek yang belum tahu benar bahwa Sin Liong kini telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya, bahkan yang kini terkenal dengan sebutan Pendekar Lembah Naga, segera menjawab dengan sungguh-sungguh.

“Baik!”

Kini tiga orang itu sudah tiba di situ dan mereka sudah berloncatan turun dengan sikap mengancam. Melihat ini, Sin Liong menyerahkan kendali kudanya kepada Tiong Pek yang berada di sebelah kirinya sambil berkata,

“Twako, tolong kau pegangkan kendali kudaku sebentar.”

Setelah berkata demikian, diapun lalu turun dari kudanya dan melangkah ke depan menyambut dua orang kakek itu dengan sikap tenang.

“Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong, apakah ji-wi baik-baik saja? Dan ada keperluan apakah ji-wi mengejar kami?” tanya Sin Liong dengan suara tenang.

Dua orang kakek itu yang tadinya memandang ke arah Ciu Khai Sun yang ditunjuk oleh si kepala rampok sebagai orang yang mengalahkan gurunya dan kepada Bi Cu sebagai gadis yang telah melukainya, kini terkejut dan memandang kepada Sin Liong dengan heran. Tak disangkanya begitu jumpa, pemuda sederhana ini telah mengenal nama mereka. Mereka kini mengamati pemuda itu dengan penuh perhatian. Kemudian merekapun mengenal pemuda ini dan Kim Lok Cinjin berseru kaget,

“Kau... kau adalah... adalah bocah bernama Sin Liong itu...?”

Tentu saja Kim Lok Cinjin terkejut karena dia pernah bertemu, bahkan pernah bergebrak dengan pemuda ini ketika diadakan pemilihan bengcu di selatan, bahkan Lam-thian Kai-ong juga hadir dan menyaksikan kelihaian anak itu ketika menghadapi Lam-hai Sam-lo!

“Ah, kalau begitu dia inilah yang menggagalkan gerakan di Istana Lembah Naga!” teriak pula Lam-thian Kai-ong.

Kiranya dua orang inipun telah dihubungi oleh Kim Hwa Cinjin untuk membantu gerakan Pangeran Ceng Han Houw, akan tetapi mereka terlambat dan mereka mendengar bahwa gerakan itu gagal sama sekali, banyak orang kang-ouw golongan hitam tewas dan pasukan Pangeran Ceng Han Houw ditumpas oleh pasukan pemerintah. Dan kaum kang-ouw golongan hitam atau sesat yang telah dibebaskan itu mengabarkan bahwa gara-gara kegagalan itu adalah Cia Sin Liong!

“Kim Lok Cinjin, suhengmu telah tewas, demikian pula Lam-hai Sam-lo dan banyak lagi kaum sesat yang membantu pemberontakan. Pemberontakan telah ditumpas, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau pergi dan membujuk para anggauta Pek-lian-kauw agar jangan mencoba-coba untuk memberontak terhadap pemerintah. Dan engkau, Lam-thian Kai-ong, apakah engkaupun hendak membawa kaum pengemis untuk memberontak pula?”

“Mengapa tidak? Kaum pengemis di kota raja dikejar-kejar, dan Hwa-i Sin-kai juga dibunuh. Bukankah pemerintah menindas kaum pengemis yang sudah sukar hidupnya?” kata Lam-thian Kai-ong.

“Bohong!” tiba-tiba Bi Cu berteriak, “Hwa-i Sin-kai adalah guruku dan aku tahu bahwa dia tewas karena difitnah, karena semua itu diatur oleh Kim Hong Liu-nio yang sekarang sudah tewas pula! Pemerintah tidak pernah memusuhi rakyatnya, apalagi rakyat miskin.”

“Sudahlah, sebaiknya kalian mundur saja sebelum terlambat. Masih banyak kesempatan bagi kalian untuk kembali ke jalan benar!”

“Cia Sin Liong! Pinto mendengar bahwa engkau adalah keturunan Cin-ling-pai dan bahwa ilmu kepandaianmu hebat sekali. Dahulu di dalam pemilihan bengcu kita tidak sempat mengadu ilmu secara memuaskan, sekarang pinto ingin mencoba-coba ilmumu sebelum mendengarkan bujukanmu itu!” kata Kim Lok Cinjin.

“Akupun ingin mencoba kepandaian orang yang dijuluki Pendekar Lembah Naga!” kata pula si Raja Pengemis.

Sin Liong tersenyum.
“Kalian ini orang-orang tua masih saja memiliki nafsu besar untuk berkelahi. Biarlah aku mengaku kalah tanpa berkelahi, asal kalian suka mundur dan kembali ke jalan benar,” kata Sin Liong sambil menjura.

Melihat ini, Na Tiong Pek mengerutkan alisnya. Tadi dia merasa semakin heran sampai memandang dengan mata terbelalak mendengar percakapan itu. Tak disangkanya bahwa Sin Liong telah memperoleh kemajuan sedemikian hebatnya sehingga dikenal sebagai seorang pendekar yang sakti. Pantas saja Ciu Khai Sun menyebutnya Cia-taihiap! Akan tetapi mendengar dan melihat sikap Sin Liong yang mengalah itu, sungguh dia merasa penasaran. Kalau memang benar Sin Liong memiliki kepandaian tinggi, kenapa dia tidak menyambut tantangan dua orang kakek sesat itu?

Kim Lok Cinjin masih merasa sakit hatinya mendengar akan kematian suhengnya, yaitu Kim Hwa Cinjin, yang menurut berita tewas di tangan Cia Bun Houw, tokoh Cin-ling-pai atau ayah dari pemuda yang kini berdiri di depannya itu. Sebagai seorang tua yang banyak pengalaman, dia tentu tidak akan mau menimpakan dendamnya kepada pemuda ini, akan tetapi karena kegagalan gerakan pangeran itu dikabarkan karena pemuda ini, maka dia ingin melampiaskan rasa kecewanya dengan menghinanya.

“Cia Sin Liong, kalau engkau mau berlutut dan minta ampun sebanyak delapan kali kepadaku, barulah pinto akan menghabiskan segala urusan dan akan pergi meninggalkanmu.”

Sin Liong masih tetap tenang, akan tetapi kedua matanya mencorong tanda bahwa dia mulai marah.

“Kim Lok Cinjin, bagi seorang gagah, kalau memang bersalah, aku akan suka tanpa diminta lagi untuk berlutut minta ampun kepada seorang anak kecil sekalipun, akan tetapi kalau tidak bersalah, biar menghadapi siapapun, biar setan atau iblis, aku tidak akan sudi berlutut dan mengalah!”

“Bagus! Itu artinya menantang kami!” kata Si Raja Pengemis yang sudah menggerakkan tongkatnya melakukan penyerangan yang amat cepat dan ganas.

Kim Lok Cinjin yang pernah menyaksikan kelihaian Sin Liong, tidak malu-malu lagi untuk membantu temannya itu dan dia juga mencabut pedang dan menubruk, melakukan serangan kilat ke arah Sin Liong.

Sin Liong cepat mengelak sambil berloncatan kesana-sini.
“Hem, kalian memang sudah tidak dapat diperbaiki lagi,” katanya dan diapun balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya.

Tongkat butut di tangan Raja Pengemis itu menyambar ganas, namun hanya dengan miringkan kepalanya, tongkat itu lewat dan luput.

“Darrr!” Batu besar di belakang Sin Liong yang terkena pukulan tongkat itu pecah!

“Singgg...!”

Sinar kilat pedang di tangan Kim Lok Cinjin menyambar, namun kembali serangan dahsyat ini dapat dielakkan oleh Sin Liong dengan mudah. Dua orang kakek itu menjadi semakin marah dan penasaran, mereka lalu memutar senjata mereka dengan cepat sehingga lenyap bentuk pedang dan tongkat itu, berubah menjadi dua gulungan sinar hitam dan sinar keemasan yang amat cepat menyambar-nyambar.

Tubuh kedua orang kakek itu sampai lenyap tertutup gulungan sinar senjata mereka, hanya nampak kaki mereka saja kadang-kadang menginjak tanah dan berloncatan ke sana-sini.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: