***

***

Ads

Sabtu, 22 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 255

Namun dengan tenangnya Sin Liong menghadapi pengeroyokan itu dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun dia dapat menghindarkan setiap serangan, dan kedua lengan yang dipenuhi tenaga sin-kang dari Thian-te Sin-ciang itu, seperti juga kedua lengan Kok Beng Lama dahulu, dapat dipergunakannya untuk menangkis tongkat dan bahkan menangkis pedang tanpa terluka!

Melihat betapa pemuda itu yang bergerak tenang dikeroyok oleh dua orang kakek yang demikian lihainya, Na Tiong Pek menjadi gelisah sekali.

“Ciu-enghiong, kenapa engkau tidak membantunya? Sumoi... lebih baik engkau membantu Sin Liong... dua orang lawannya demikian ganas...!”

“Na-twako, jangan khawatir, Sin Liong tidak akan kalah.”

“Saudara Na, apakah engkau tidak dapat melihat betapa Cia-taihiap sudah mulai mendesak mereka?”

Mendengar ucapan kedua orang itu, Tiong Pek membelalakkan mata dan memandang dengan penuh perhatian ke arah pertempuran, akan tetapi gerakan dua orang kakek itu terlalu cepat sehingga dia tidak dapat mengikuti dan sama sekali tidak dapat melihat bagaimana keadaan Sin Liong yang kini juga mulai bergerak dengan cepat bukan main. Maka, tentu saja ucapan dua orang tadi tidak dapat melenyapkan kekhawatirannya. Dia lalu mencabut pedangnya. Melihat ini, Bi Cu terkejut.

“Eh, twako, kau mau apa?”

“Mau... ini... mau meminjamkan pedangku kepada Sin Liong. Dua orang lawannya menggunakan senjata, dia harus menggunakan pedang ini... agar tidak kalah...”

Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan keras dan nampak olehnya betapa tubuh Lam-thian Kai-ong terlempar dan terbanting ke atas tanah, tongkatnya patah menjadi dua, dan selagi Na Tiong Pek memandang dengan mata terbelalak, terdengar teriakan lain dan tubuh Kim Lok Cinjin juga terlempar dan terbanting roboh! Dua orang kakek itu mengeluh, lalu merangkak bangun dan dengan saling bantu mereka berdua lalu bangkit berdiri memandang kepada Sin Liong.

“Cia-taihiap, pinto mengaku kalah...” kata tosu itu.

“Taihiap sungguh hebat, pantas menjadi Pendekar Lembah Naga... uhh... saya mengaku kalah...”

Si Raja Pengemis juga mengeluh dan keduanya lalu dibantu oleh kepala perampok brewok menaiki kuda masing-masing dan mereka bertiga lalu pergi dari situ tanpa menoleh lagi.

Tiong Pek menyimpan kembali pedangnya dan dia berlari menghampiri Sin Liong, memegang tangan pendekar itu dan berkata,

“Ah, sungguh tak pernah kusangka! Engkau telah menjadi seorang pendekar yang demikian lihai... ah, sute... hemm, tak pantas lagi aku menyebutmu sute... kau... Cia-taihiap...”






Sin Liong tertawa dan memegang pundak Tiong Pek.
“Twako, kenapa engkau begini sungkan? Aku masih tetap Sin Liong yang biasa. Kepandaian apapun tidak merubah seorang manusia.”

Na Tiong Pek makin gembira dan diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri yang biasanya suka mengagulkan diri sendiri.

“Ah, Sin Liong... sungguh tak pernah kubayangkan engkau menjadi sehebat ini!”

Ciu Khai Sun juga menghampiri dan menyerahkan kendali kuda Sin Liong dan Tiong Pek yang tadi dipegangnya ketika Tiong Pek menghampiri Sin Liong dengan girang sehingga melepaskan tali kendali dua ekor kuda itu.

“Mari kita lanjutkan perjalanan, sebentar lagi malam akan tiba dan kita sebaiknya kalau sudah tiba di dusun depan untuk bermalam,” kata Ciu Khai Sun.

Mereka melanjutkan perjalanan dan membalapkan kuda masing-masing. Malam itu mereka bermalam di sebuah dusun dimana mereka mengobrol dan makan malam di rumah seorang penghuni dusun yang mereka tumpangi dan mereka sewa kamarnya.

Dalam percakapan ini, tanpa disengaja Ciu Khai Sun bertanya kepada Sin Liong,
“Maaf, taihiap dan nona Bhe, kalau boleh aku mengetahui, setelah kita menjadi sahabat baik, ehh... kapan kiranya aku menerima surat undangan untuk pernikahan ji-wi?”

Wajah Bi Cu menjadi merah dan dia menundukkan mukanya. Sin Liong tersenyum dan menjawab singkat.

“Kalau sudah tiba saatnya kami takkan melupakanmu, Ciu-twako.”

Mendengar ini, Na Tiong Pek meloncat bangun dan wajahnya berseri gembira.
“Wah, kalian akan menikah? Ahaiii.... betapa bodohnya aku! Seperti buta saja! Kiranya kalian sudah saling berjodoh dan bertunangan?”

Melihat sikap ini, sejenak Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mula-mula mereka merasa khawatir, akan tetapi melihat betapa Tiong Pek benar-benar bergembira, keduanya lalu tersenyum lega.

“Na-twako, kami... berdua saling mencinta...” pengakuan Bi Cu ini untuk menyatakan bahwa pertunangannya dengan Sin Liong adalah berdasarkan cinta dan minta agar bekas suhengnya itu suka memakluminya.

“Tentu saja! Aku memang setuju sekali bahwa setiap perjodohan harus berdasarkan cinta kedua fihak, baru dapat diharapkan pernikahan itu akan berbahagia. Kionghi (selemat), Sin Liong dan Bi Cu. Kionghi dan jangan lupa kelak untuk mengirim undangan untuk aku ikut minum arak pengantin!”

Melihat betapa kegembiraan pemuda itu tulus, Sin Liong lalu memegang tangan bekas suheng itu.

“Aku senang sekali melihat sikapmu, twako. Tidak percuma engkau menjadi putera tunggal mendiang paman Na Ceng Han yang budiman.”

Tiong Pek teringat sikapnya ketika mereka bertiga masih bersama-sama dahulu dan dia menarik napas panjang.

“Aku bukan kanak-kanak lagi dan sudah menjadi dewasa sekarang, Liong-te dan sumoi! Aku sungguh girang bahwa kalian dapat berjodoh, dan memang kalian sudah cocok sekali untuk menjadi suami isteri.”

Demikianlah, perjalanan pada keesokan harinya dilakukan dengan lebih menyenangkan dan lebih leluasa bagi Sin Liong dan Bi Cu yang kini sudah tahu akan isi hati Tiong Pek. Sebelum percakapan malam tadi, baik Sin Liong maupun Bi Cu merasa agak tidak enak terhadap Tiong Pek dengan adanya kenyataan bahwa pemuda itu pernah jatuh cinta kepada Bi Cu dan mengingat pula akan segala peristiwa yang pernah terjadi di waktu dahulu. Oleh karena itulah pula maka di depan Tiong Pek, keduanya tidak pernah memperlihatkan kemesraan, bahkah mereka tidak pernah menyinggung soal pertunangan mereka. Akan tetapi sekarang mereka merasa lega dan karena itu mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan lebih gembira.

Setelah mereka tiba di Su-couw, sebelum pergi mengunjungi pamannya, Ciu Khai Sun pergi dan ikut bersama Sin Liong dan Bi Cu mengunjungi rumah Kui Hok Boan yang oleh Sin Liong diakui sebagai rumah pamannya. Dia tidak perlu memberitahukan orang lain bahwa Kui Hok Boan yang hendak dikunjungi itu adalah ayah tirinya, karena hal ini akan menimbulkan kenang-kenangan yang amat tidak enak.

Kedatangan mereka disambut oleh Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira bukan main.

“Liong-koko...!”

Dua orang dara kembar yang cantik jelita itu berteriak dan berlari-larian menyambut, kemudian mereka berdua memegangi kedua tangan Sin Liong dengan wajah gembira. Sin Liong juga merangkul pundak kedua orang adik tirinya yang disayangnya ini.

“Kalian baik-baik saja, bukan?” tegurnya.

Setelah pertemuan tiga orang yang gembira dan mengharukan ini, barulah Sin Liong menyalami Tee Beng Sin atau yang lebih tepat lagi bernama Kui Beng Sin, dan memperkenalkan adik-adik tirinya itu kepada Bi Cu yang sudah mereka ketahui, kemudian kepada Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek.

Dalam perkenalan ini, terjadi hal yang amat menarik, yaitu pertukaran pandang mata antara dua orang dara kembar itu dengan Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek! Seketika, dua orang pemuda itu tertarik sekali kepada dua dara kembar itu dan jantung mereka berdebar tidak karuan karena di dalam hati, mereka berdua harus mengakui bahwa selamanya belum pernah mereka bertemu dan berkenalan dengan dua orang dara yang demikian cantik manis dan lincah!

Mereka lalu dipersilakan masuk oleh Beng Sin dan dua orang adik kembarnya. Sambil menggandeng tangan Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong, Bi Cu dan dua orang pemuda itu memasuki ruangan dan diajak duduk di kamar tamu. Tujuh orang muda-mudi ini riang gembira sekali dan macam-macam yang mereka bicarakan.

Tiba-tiba Sin Liong berkata kepada Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin,
“Di manakah ayah kalian? Aku... aku dan Bi Cu ingin sekali jumpa. Bolehkah kami masuk untuk menemuinya?”

Lin Lin dan Lan Lan saling pandang dengan alis berkerut, sedang Beng Sin segera bangkit berdiri sambil berkata,

“Dia beristirahat di dalam. Marilah kalau kalian hendak bertemu, kuantarkan. Lan-moi dan Lin-moi, kau temani dulu dua orang tamu kita ini.”

Sin Liong dan Bi Cu bangkit berdiri dan mengikuti Beng Sin masuk. Setelah tiba di dalam Beng Sin lalu berkata, sambil memandang kepada dua orang muda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik,

“Sin Liong, dan nona... aku tahu bahwa... ayahku telah melakukan banyak sekali kesalahan di masa lalu terhadap kalian, terutama terhadapmu, Sin Liong. Akan tetapi, melihat keadaannya sekarang, yang menderita dan tidak sadar, dan melihat muka kami, yaitu aku, Lan-moi dan Lin-moi, tidak maukah kalian memaafkannya?”

Ketika tadi bertemu dengan tiga orang muda yang menjadi putera dan puteri musuh besar pembunuh ayah kandungnya, sudah banyak kebencian di dalam hati Bi Cu menurun, bahkan ada rasa tidak enak kalau sampai dia harus turun tangan membunuh Kui Hok Boan, tidak enak terhadap tiga orang muda yang baik-baik dan yang kelihatannya amat menyayang Sin Liong itu. Betapapun juga, dua orang dara kembar yang cantik manis itu adalah saudara seibu dari Sin Liong, maka kalau sampai dia menyusahkan hati mereka dengan membunuh ayahnya, sungguh merupakan hal yang amat tidak enak baginya.

Mulailah timbul keraguan apakah dia akan sampai hati membunuh ayah dua orang dara kembar itu yang tidak tahu apa-apa dan sama sekali tidak berdosa, bahkan yang dahulu berani menentang ayah sendiri demi menolong dia dan Sin Liong! Sekarang, mendengar ucapan Beng Sin, dia makin merasa canggung dan tidak enak, dan dia tidak berkata apa-apa dan membiarkan Sin Liong yang menjawab.

“Beng Sin, antar sajalah kami melihatnya. Kami ingin melihat bagaimana keadaannya sekarang.”

Beng Sin mengangguk lalu menarik napas panjang.
“Menyedihkan sekali... dan kalau keadaannya seperti itu terus, mana mungkin aku dapat melangsungkan pernikahanku?”

Mereka tiba di depan sebuah kamar. Sunyi sekali di situ dan Beng Sin menuding ke kamar itu.

“Dia selalu berdiam di kamarnya.”

Kemudian dia membuka daun pintu lebar-lebar agar ada cahaya memasuki kamar yang gelap itu.

Kui Hok Boan duduk di atas kursi, diam seperti patung.
“Ayah, Sin Liong dan nona Bhe datang untuk menengokmu, ayah,” kata Beng Sin kepada pria tinggi kurus pucat yang duduk di atas kursi itu.

Sin Liong dan Bi Cu terkejut melihat pria itu yang dulunya merupakan seorang pria setengah tua yang tampan dan gagah, kini telah menjadi tengkorak terbungkus kulit dan mukanya pucat, matanya cekung itu. Dan tiba-tiba pria itu bangkit berdiri, memandang kepada Sin Liong dan Bi Cu dengan sinar mata yang membuat Bi Cu merasa ngeri karena sinar mata itu liar dan penuh kedukaan. Dan tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara penuh penyesalan,

“Ampunkan aku... ampunkan aku...”

Sin Liong dan Bi Cu terkejut sekali dan melangkah mundur. Akan tetapi pada saat itu, Kui Hok Boan sudah meloncat berdiri dan ternyata gerakannya masih gesit, dan dia berkata, suaranya masih penuh kedukaan,

“Atau, kalau tidak mau mengampuniku, mari kita bertanding sampai aku menggeletak mati!” Dan dia sudah memasang kuda-kuda.

“Ayah, Sin Liong dan nona Bhe datang hanya untuk menjenguk,”

Beng Sin berkata dan kakek itu sudah duduk kembali di atas kursinya seperti tadi, seperti patung hidup!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: