***

***

Ads

Rabu, 04 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 083

Semenjak matinya Panglima Besar The Hoo, biarpun bekas kebesaran panglima itu mendatangkan banyak kemakmuran dan kemajuan dalam perdagangan dan hubungan dengan luar negeri, namun tetap pengaruh Kerajaan Beng menurun. Kemajuan yang dipupuk oleh kebesaran The Hoo memang tampak menonjol, membuat Kerajaan Beng terkenal di seluruh negeri tetangga.

Pada masa itu, semenjak tewasnya Timur Leng yang amat terkenal di barat, yaitu pada tahun 1404, hubungan dagang dengan Negara Iran dan lain negara barat dapat dilakukan melalui darat. Oleh karena itu, maka perkembangan armada Kerajaan Beng dipandang tidak begitu perlu lagi dan perdagangan melalui lautan dilakukan oleh bangsa-bangsa lain, yaitu bangsa kulit putih dan Jepang.

Pemerintah Beng hanya menerima barang-barang ini di pantai-pantai sehingga banyak timbul kota-kota besar di pantai lautan yang makin lama menjadi makin ramai dengan perdagangan dengan bangsa-bangsa asing ini. Betapapun juga, bangsa-bangsa asing itu yang masih terkesan oleh kebesaran dan kekuatan bala tentara yang dahulu dipimpin oleh Panglima The Hoo dan para pembantunya, tidak ada yang berani bermain gila atau mengacau secara berterang, apalagi karena perdagangan mereka mendatangkan banyak untung, yaitu dengan mengangkut rempah-rempah dan hasil bumi lain dari pedalaman, serta menjual barang-barang luar negeri yang masih merupakan benda-benda aneh di masa itu.

Di pantai-pantai selatan dan timur, banyak kota-kota dan dusun-dusun pelabuhan yang menjadi ramai, setiap hari didatangi perahu-perahu asing yang membawa barang-barang dagangan dan pajak mereka cukup dengan pemberian-pemberian terhadap para pembesar setempat.

Kota Yen-tai merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai di pantai Lautan Po-hai yang banyak disinggahi kapal-kapal dari luar negeri. Banyak terdapat pedagang-pedagang di temput ini, di kotanya banyak pula berkeliaran orang-orang asing yang rambutnya beraneka warna, demikian pula matanya, ada yang berwarna biru, keemasan, dan kuning muda rambutnya, dan mata mereka berwarna biru atau coklat.

Tidak ada di antara mereka yang berambut dan bermata hitam. Pakaian mereka juga beraneka warna, dan mereka ini adalah pekerja-pekerja kapal atau pedagang-pedagang yang datang bersama kapal-kapal yang berlabuh, ada pula yang menetap di kota itu sebagai pedagang.

Akan tetapi jarang kelihatan wanita bangsa asing, semuanya pria, tua dan muda, dengan muka penuh brewok dan gaya mereka yang bagi penduduk setempat tampak kasar dan biadab! Ada pula orang-orang yang muka serta kulitnya sama dengan pribumi, akan tetapi tubuh mereka pendek-pendek dan pakaian mereka agak berbeda. Mereka ini adalah orang-orang Jepang yang terdiri dari banyak pulau-pulau

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali keadaan Yen-tai sudah ramai karena semalam banyak kapal asing berlabuh di pantai. Pagi-pagi sudah tampak kesibukan di kota itu, ada yang menurunkan barang dari kapal-kapal dan ada pula yang menaikkan rempah-rempah dan hasil-hasil bumi lainnya, juga barang-barang kerajinan dari pedalaman, terutama sutera dan barang-barang ukiran, yang serba indah dan mahal.

Di antara banyak sekali orang yang beraneka macam bahasanya, bermacam pula pakaiannya, terdapat seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah namun amat sederhana gerak-gerik dan pakaiannya yang berwarna kuning itu, dengan sebatang pedang di pinggangnya, pemuda itu adalah Tio Sun, putera tunggal dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas pengawal panglima Besar The Hoo yang paling dipercaya.

Seperti kita ketahui, secara kebetulan Tio Sun menolong Yap Mei Lan dan diapun tertawan oleh orang-orang liar yang dipimpin Jeng-hwa Sian-jin Si Ahli Sihir dan hampir saja dia celaka oleh kawanan Jeng-hwa-pang di dalam hutan itu kalau saja tidak tiba-tiba muncul seorang yang luar biasa saktinya, tokoh tua yang sudah tidak pernah muncul di dunia kang-ouw yaitu Bun Hwat Tosu.






Pemuda ini mewakili ayahnya untuk membantu Cin-ling-pai mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang telah menyerbu mengacau Cin-ling-pai, membunuh murid-murid Cin-ling-pai dan mencuri Siang-bhok-kiam.

Karena dia sudah tahu akan nama-nama Lima Bayangan Dewa, Tio Sun menyelidiki dan akhirnya dia mendengar berita bahwa Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, tinggal di sekitar pantai Po-hai. Berita inilah yang membawa Tio Sun pergi ke pantai Po-hai dan pada pagi hari itu tibalah dia di kota Yen-tai.

Dengan tenang Tio Sun melangkah dan berjalan di atas jalan raya, mengagumi keramaian kota itu dan terheran-heran melihat banyaknya orang-orang asing yang warna rambut, mata dan kulitnya amat mengerikan hatinya itu! Memang belum pernah dia bertemu dengan orang asing kulit putih, sungguhpun sudah banyak dia mendengar tentang mereka dari ayahnya.

Gembira hati Tio Sun menyaksikan kota pantai yang amat ramai itu. Seringkali dia berhenti untuk menonton keramaian, melihat orang-orang berdagang dan mendengarkan kata-kata yang terdengar agak kaku dan asing keluar dari mulut orang-orang berkulit putih itu. Juga ia melihat-lihat banyak barang yang aneh dan indah dipamerkan di toko sepanjang jalan.

Akan tetapi setelah setengah hari berjalan-jalan melihat kota yang ramai ini, akhirnya dia merasa bosan juga dan akhirnya menjelang senja itu dia berjalan-jalan di tepi pantai laut yang hawanya lebih sejuk karena angin bertiup dan agak sunyi tidak terdapat terlalu banyak orang.

Tio Sun memasuki sebuah warung di tepi laut, warung yang agak sunyi dan ketika dia masuk, hidungnya disambut oleh bau arak wangi yang memenuhi tempat itu. Suara tertawa bergelak disusul munculnya dua orang asing kulit putih keluar dari dalam warung makan itu, keduanya membawa seguci arak.

Sambil tertawa-tawa mereka bicara dalam bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Tio Sun. Ketika berpapasan, Tio Sun mendapat kenyataan betapa tingginya dua orang itu. Dia sendiri sudah terhitung seorang pemuda yang bertubuh jangkung, akan tetapi ternyata tubuhnya hanya mencapai pundak kedua orang raksasa berkulit putih dan bermata biru itu.

Tio Sun segera melupakan mereka dan dia duduk di atas sebuah bangku, memesan makanan dan minuman kepada pelayan. Tidak banyak tamu sore itu di warung ini, hanya beberapa orang yang pakaiannya seperti nelayan dan ketika mereka itu bicara tentang hasil penangkapan ikan maka jelaslah apa pekerjaan mereka itu.

Ketika Tio Sun sedang makan, tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita, yang kedengaran agak jauh dari situ. Seketika Tio Sun bangkit berdiri. Jerit itu terulang lagi.

“Toloooooonggg...!”

Tio Sun menggeser bangkunya, siap untuk lari keluar. Akan tetapi para nelayan yang juga menghentikan percakapan mereka dan memperhatikan jeritan itu, menoleh ke arah Tio Sun dan seorang di antara mereka yang usianya sudah lima puluh tahun lebih berkata,

“Harap kongcu jangan memperhatikan dan mencampuri urusan kotor itu.”

Tio Sun memandang heran,
“Mengapa kau berkata demikian, lopek?” Dan pada saat itu kembali jerit tadi terulang.

Kakek nelayan itu hanya menarik napas panjang dan tidak menjawab, lalu terdengar ucapan pelayan warung.

“Omongan paman nelayan ini benar, kongcu. Tentu keributan itu dilakukan oleh setan-setan kulit putih pemabok itu, dan yang menjerit itu hanyalah perempuan-perempuan lacur. Memalukan sekali dan kongcu akan mendapat malu saja kalau mencampuri urusan pelacur-pelacur dengan setan-setan pemabok itu. Kalau melihat itu, lebih baik kita tulikan telinga dan butakan mata.”

“Tolonggggg...!”

“Bagaimana kita dapat menulikan telinga dan membutakan mata kalau mendengar jerit wanita minta tolong?”

Tio Sun berkata dan tanpa menanti jawaban dia sudah berlari keluar, langsung ke kanan dari mana dia tadi mendengar suara jeritan itu. Cuaca senja sudah mulai remang-remang akan tetapi dia masih dapat melihat dua orang laki-laki yang sedang menarik dan menyeret seorang wanita di dekat pantai, agaknya hendak memaksa wanita itu naik ke sebuah perahu.

“Keparat...!”

Tio Sun berlari cepat di sepanjang pantai yang sunyi itu, otot-otot tubuhnya sudah menegang dan hatinya panas oleh kemarahan.

“Plak-plak!”

Dua kali Tio Sun menggerakkan tangannya menampar pundak dua orang raksasa bule itu. Dua orang itu terhuyung dan melepaskan lengan gadis yang tadi mereka tarik-tarik. Tamparan itu keras sekali namun hanya membuat mereka terhuyung, maka tahulah Tio Sun bahwa kedua orang raksasa bule itu bertubuh kuat sekali. Gadis itu sambil menangis menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun.

“Harap taihiap menolong saya... mereka hendak menculik saya...”

Tio Sun memandang. Gadis itu adalah seorang gadis berpakaian nelayan sederhana, namun kesederhanaan pakaiannya dan air mata yang membasahi mukanya itu tidak mengurangi kemanisan wajahnya dan kepadatan tubuhnya yang muda.

“Nona, kau minggirlah...” kata Tio Sun dengan tenang, lalu dia melangkah menghadapi dua orang raksasa bule yang kini sudah melangkah maju dengan muka mereka merah sekali, mata mereka melotot dan memandang Tio Sun penuh kemarahan.

Mula-mula mereka itu mengeluarkan kata-kata keras dalam bahasa asing itu, telunjuk mereka menuding-nuding, akan tetapi Tio Sun sama sekali tidak mengerti artinya. Kemudian seorang di antara mereka, yang rambutnya kemerahan, berkata dalam bahasa pribumi yang kaku namun sikapnya jelas menunjukkan kemarahannya,

“Kau berani merampas perempuan kami?”

Tio Sun teringat akan cerita pelayan warung dan para nelayan tadi, maka dia dapat menduga bahwa agaknya dua orang kelasi barat yang mabok ini menganggap gadis itu sebagai seorang pelacur, maka dengan sikap tenang karena mengira akan kesalah pahaman mereka, dia menjawab,

“Kalian salah sangka. Nona ini adalah seorang wanita baik-baik, maka kalian tidak boleh kurang ajar terhadapnya.”

“Kurang ajar? Apa kurang ajar?” Si rambut merah itu membentak dan mengepal tinjunya yang besar, matanya juga merah melotot marah. “Kami cinta padanya, kami... kami akan membayar!”

Tio Sun mengerutkan alisnya.
“Kalian orang-orang kasar yang mabok. Jangan mengganggu wanita dan pergilah!”

Si rambut merah melangkah maju dengan langkah lebar, sedangkan temannya yang berambut pirang hanya menonton sambil tersenyum-senyum memandang rendah, yakin bahwa temannya tentu akan memberi hajaran kepada pemuda kecil lemah yang mencampuri urusan mereka itu.

Si rambut merah menuding-nuding dengan isyarat agar Tio Sun pergi dari situ, suaranya parau dan kasar, kemarahannya membuat dia makin sukar mengeluarkan bahasa yang belum dikuasainya benar-benar itu.

“Pergi kamu... pergi... dia perempuan kami...!”

Melihat keributan itu, beberapa orang yang datang mendekati untuk menonton, dan seorang nelayan tua berkata kepada Tio Sun,

“Orang muda, sebaiknya kau pergi dan tidak mencampuri urusan mereka. Ketahuilah, mereka itu adalah dua orang terkuat di antara mereka yang mempunyai banyak anak buah. Jangan kau mencari penyakit...”

Sementara itu, seorang kakek nelayan lain yang kurus dan berpakaian butut lari mendatangi, dan melihat kakek ini, gadis nelayan tadi lalu menjerit dan lari menubruk kakek itu.

“Ayahhh...!”

“Kui-ji... kau kenapa...?” Nelayan tua itu bertanya sambil mengelus rambut kepala anaknya.

Akan tetapi gadis itu tidak dapat menjawab, hanya menangis.

Nelayan tua yang tadi memperingatkan Tio Sun berkata,
“Kalian cepat pergi...! Lekas...!”

Ayah dan anak itu terkejut dan keduanya hendak menyingkir dari tempat itu, akan tetapi raksasa berambut pirang dengan beberapa langkah lebar sudah mendekat, lalu lengannya yang panjang dengan jari-jari tangannya yang besar itu menangkap pergelangan tangan gadis manis itu.

“Ha-ha-ha, jangan pergi... jangan pergi... kau manis...” kata raksasa asing itu sambil tertawa.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: