***

***

Ads

Rabu, 04 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 087

“Sebentar lagi baru air laut akan bergelombang besar,” kata Kwi Eng yang tiba-tiba muncul di dekat Tio Sun.

“Indah sekali pemandangannya, nona. Mengagumkan sekali.”

Kwi Eng tertawa ditahan.
“Memang demikianlah bagi yang belum pernah melihatnya. Hidup merupakan pengulangan-pengulangan yang membosankan sehingga baru hal-hal yang baru saja yang akan menarik hati. Coba twako tanyakan kepada setiap orang nelayan atau mereka yang biasa hidup di atas lautan, malam bulan purnama seperti ini sama sekali tidak ada keindahannya. Para pelaut tentu lebih mengagumi keindahan di pegunungan, akan tetapi sebaliknya para penghuni gunung sama sekali tidak lagi dapat menikmati tamasya alam di pegunungan.”

Tio Sun menghela napas panjang.
“Agaknya engkau suka berfilsafat, nona.”

Kwi Eng tertawa lagi.
“Mungkin hanya terpengaruh oleh kitab-kitab yang diajarkan oleh ibu kepadaku. Lihat, air laut mulai bergelombang, twako. Sebentar lagi gelombang akan cukup besar sehingga berdiri di sini tidak menyenangkan lagi. Apalagi bagi twako yang tidak biasa, jangan-jangan malah memabokkan. Mari kita masuk saja ke dalam, twako.”

Tio Sun melihat bayangan bulan tadi sudah pecah-pecah dan merasakan goyangan kapal ke kanan kiri. Dia mengangguk dan keduanya lalu memasuki bilik yang cukup besar dimana tersedia meja kursi.

“Bagaimana kau bisa tahu bahwa gelombang akan datang, nona? Padahal tadi tenang-tenang saja, bahkan air laut hampir tidak bergerak sama sekali.”

“Karena belum tiba saatnya, twako. Akan tetapi setiap malam terang bulan, air laut pasti bergelombang besar. Karena itu, para nelayan lebih senang mencari ikan di waktu malam gelap.”

Kwi Eng sengaja memberangkatkan kapal itu di malam hari agar tidak menarik perhatian orang-orang di pantai, karena dia tahu bahwa sudah pasti diantara anak buah bajak Tengkorak Hitam, ada yang memata-matai gerakannya. Dia mengerahkan anak buahnya kurang lebih lima puluh orang, sebagian besar adalah pribumi dan ada belasan orang anak buah bangsa asing yang bekerja di perusahsan ayahnya. Dia sendiri memakai pakaian ringkas, dengan sepatu yang hitam mengkilap, sepatu boot yang sampai di lututnya. Sebatang pedang tergantung di punggungnya dan Tio Sun memandang kagum karena dara itu benar-benar kelihatan gagah perkasa.

Malam itu gelombang amat besar dan kapal Angin Timur yang besar itu tidak dapat laju, harus menentang gelombang dan perlahan-lahan mendekati sebuah pulau yang terpencil jauh dari pulau-pulau lain.

Menjelang pagi, ombak mereda dan kapal itu baru berani membuang sauh di dekat pulau, menanti sampai datangnya pagi. Setelah bola emas besar sekali itu muncul dari permukaan air di sebelah timur, membakar lautan menjadi merah menyala, barulah kapal itu bergerak lagi menuju ke pulau yang memanjang dan dari jauh kelihatan seperti seekor ikan hiu sedang meliuk.






Yang berada di atas dek hanya Kwi Eng, Tio Sun dan beberapa orang anak buah yang bertugas memegang kemudi dan mengatur layar. Kapal besar itu kelihatan sunyi sekali dan kosong karena tidak ada sepuluh orang yang berada di atas geladak. Selebihnya, atas perintah Kwi Eng, menyembunyikan diri di bawah dan di bilik bilik.

Pembantu yang mengemudikan kapal itu sudah hafal akan tempat ini, maka dengan hati-hati dia dapat memilih jalan yang aman dan menempelkan kapal di tepi pulau yang airnya dalam. Di situ nampak beberapa buah perahu besar yang bercat hitam, dan beberapa orang yang tadinya berada di situ, berlari-lari ke daratan ketika melihat Kapal Angin Timur itu.

Tak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki setengah tua, usianya kurang lebih lima puluh lima tahun, bertubuh pendek tegap, kelihatan kokoh kuat dengan sepasang lengannya yang pendek agak membengkok ke dalam. Dia memakai pakaian yang berlengan pendek sampai ke siku dan berkaki pendek sampai ke lutut sehingga nampaklah otot-otot di lengan dan kakinya yang melingkar-lingkar dan besar menggembung, tanda bahwa orang itu bertubuh kuat dan bertenaga besar.

Rambutnya diikat di bagian atas dan dibiarkan terurai di belakang lehernya, dan di pinggangnya tampak sebatang pedang melengkung panjang, yaitu sebatang pedang samurai bergagang panjang. Kedua kakinya memakai sandal sederhana, dan mukanya tertutup kumis dan brewok yang membuat orang ini kelihatan menyeramkan.

Inilah dia Tokugawa, kepala bajak laut Tengkorak Hitam yang amat ditakuti oleh para pemilik kapal karena kejamnya. Oleh karena itu, melalui perantara kepala bajak laut ini yang bukan lain adalah pembesar di kota Yen-tai sendiri, para pedagang dan pemilik kapal rela membayar uang sumbangan atau hadiah kepada kepala bajak ini agar kapal-kapal mereka dibebaskan dari gangguan Tengkorak Hitam.

Tentu saja hal ini membuat Tokugawa menjadi seorang yang kaya raya dan hanya karena permusuhannya dengan Yuan de Gama dengan isterinya saja yang akhirnya membuat Tokugawa sampai terpaksa melarikan diri ke Pulau Hiu, dimana dia membangun sebuah rumah besar dan menjadikan pulau itu sebagai tempat persembunyiannya atau sebagai pusat dari gerombolan bajak Tengkorak Hitam.

Tokugawa tadinya adalah seorang jagoan samurai di Jepang. Golongan samurai ini amat termasyhur di Jepang yang muncul di abad ke sebelas. Pertama-tama muncul para pimpinan golongan-golongan yang menamakan dirinya sebagai pendekar yang disebut daimyo (yang bernama besar) dan para daimyo ini yang karena sifatnya seperti seorang jenderal pemimpin pasukan, maka muncullah golongan samurai (mereka yang mengabdi).

Senjata para pendekar ini yang terutama adalah pedang panjang yang bergagang panjang pula, yang bentuknya agak melengkung. Banyak jagoan-jagoan samurai yang sudah tidak bertugas dalam pasukan seorang daimyo, lalu menjadi perantau dan sifat mereka yang amat menjunjung tinggi nama mereka sebagai jagoan samurai, mengutamakan kagagahan, seperti halnya para pendekar di Tiongkok.

Akan tetapi karena mabok akan wajah cantik wanita dan mabok akan kesenangan duniawi, berobahlah watak Tokugawa setelah tidak ada disiplin kelompok yang mengikatnya dan dia lalu dimusuhi oleh para jagoan samurai lainnya, karena dianggap sebagai seorang yang mencemarkan nama samurai. Tokugawa lalu melarikan diri dan akhirnya dia muncul sebagai kepala bajak yang disegani di sepanjang pantai Teluk Po-hai.

Benar seperti diceritakan oleh Kwi Eng kepada Tio Sun, bekas jagoan samurai ini ketika bentrok dengan Yuan de Gama dan bertanding satu lawan satu dengan Souw Li Hwa, samurainya tidak mampu menandingi Li Hwa dan tentu saja dia menjadi kagum bukan main.

Di samping suka akan wanita dan kedudukan serta kehormatan, juga bekas jagoan samurai ini suka sekali akan kegagahan, maka melihat kegagahan Li Hwa, dia menjadi tergila-gila kepada nyonya itu! Akan tetapi ternyata dia selalu gagal menghadapi pendekar wanita dan suaminya itu, dan akhirnya ketika melihat puteri pendekar wanita itu yang sudah besar, dia mengalihkan harapannya kepada Kwi Eng karena dia tahu bahwa dara cantik inipun mewarisi kepandaian ibunya.

Hal ini membuat Yuan de Gama dan Souw Li Hwa marah sekali dan dengan terang-terangan mereka ini memusuhi Tokugawa dan hendak membunuh serta membasmi gerombolannya. Tokugawa berkali-kali mengalami kekalahan dan akhirnya dia melarikan diri ke Pulau Hiu itu.

Ketika dia mendengar berita bahwa Souw Li Hwa yang ditakutinya itu bersama suaminya pergi ke barat timbul kembali niatnya dan akhirnya dia menggunakan pengeroyokan anak buahnya berhasil mengalahkan dan menculik Richardo de Gama, kakak kembar dari Kwi Eng dan membawanya sebagai tawanan ke Pulau Hiu.

Mulailah dia melakukan pembalasan terhadap keluarga itu dengan jalan menggunakan Richardo, sebagai sandera dan dia minta ditukar dengan kapal Angin Timur, kapal terbesar di pantai itu! Kalau dia dapat memiliki kapal itu, tentu dia akan leluasa melakukan pembajakan, mengejar kapal-kapal lain yang tidak memberi sumbangan kepadanya! Dan tentu saja dia akan menggunakan pemuda itu untuk mendapatkan gadis yang dirindukannya, yaitu Kwi Eng si cantik jelita!

Dapat dibayangkan betapa girang hati Tokugawa ketika mendengar dari penjaga di pantai pulaunya bahwa kapal Angin Timur yang dinanti-nantinya telah muncul! Dan lebih girang lagi hatinya ketika dia mendengar laporan bahwa di antara delapan orang yang membawa perahu dan tampak di atas geladak itu terdapat Souw Kwi Eng, dara yang membuatnya tergila-gila sebagai pengganti ibu dara itu! Dia menggosok-gosok kedua tangannya.

“Bagus, sekali tepuk dua lalat ini namanya, ha-ha-ha-ha!”

Maka cepat dia mengumpulkan orang-orangnya yang berjumlah empat puluh orang lebih menuju ke pantai menyambut datangnya kapal itu.

Melihat munculnya musuh besar yang amat dibencinya itu, Souw Kwi Eng lalu mengerahkan khi-kangnya dan berseru dengan suara lantang,

“Heiiiii...! Tokugawa, manusia curang! Hayo lekas bebaskan kakakku, baru aku akan menyerahkan kapal ini kepadamu. Kalau tidak, aku akan memutar kembali kapal ini!”

“Ha-ha-ha, nona manis. Engkau menjadi tamu kehormatan, silakan turun dulu dan kita bicara.”

“Siapa percaya omonganmu! Hayo lekas kau bebaskan kakakku!”

“Omongan seorang pendekar samurai boleh dipercaya seratus prosen seperti mempercaya pedangnya!”

Tokugawa berseru agak marah karena kehormatannya tersinggung. Dia lalu memberi aba-aba dalam Bahasa Jepang kepada anak buahnya dan tak lama kemudian kelihatan seorang pemuda yang tampan dan yang mukanya persis Kwi Eng, hanya lebih besar dan tegap karena dia adalah seorang laki-laki yang gagah, juga matanya berwarna biru dan rambutnya keemasan. Pemuda ini adalah Souw Kwi Beng dan dia digiring ke pantai dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang.

“Koko...!”

Kwi Eng berseru girang ketika melihat kakaknya dalam keadaan selamat walaupun menjadi tawanan musuh.

“Moi-moi... jangan terjebak oleh jahanam Tokugawa! Jangan kau dengarkan omongannya yang palsu! Bawa anak buah sebanyaknya dan serbu saja, atau tunggu sampai ayah ibu pulang. Aku matipun tidak akan penasaran kalau kelak dia dan gerombolannya terbasmi!”

Diam-diam Tio Sun kagum melihat pemuda itu yang demikian tabah dan bersemangat, persis seperti sikap dara jelita itu. Sudah berada di tangan musuh, berarti nyawanya berada di tangan musuh, masih berani bersikap menentang seperti itu.

“Ha-ha-ha-ha!” Tokugawa tertawa bergelak. “Nona manis, engkau tinggal pilih. Engkau serahkan kapal itu baik-baik dan menjadi tamu kehormatanku, atau kau boleh bawa pergi kapal itu akan tetapi lebih dulu kau akan melihat leher kakakmu kupenggal di sini, di depan matamu!”

Tokugawa menggerakkan tangan kanannya dan “sratt!” pedang samurai yang melengkung panjang itu telah dihunusnya dan berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Sebatang pedang yang terbuat dari baja pilihan, pikir Tio Sun.

“Tokugawa, aku tidak takut akan ancamanmu. Aku memang mau menyerahkan kapal ini kepadamu sebagai penukar kakakku, akan tetapi suruh kakakku mendekat dan kau harus menjauhinya agar kau tidak bermain curang. Baru aku mau turun bersama kakakku.”

“Moi-moi, jangan...!” Kwi Beng berteriak penuh kekhawatiran.

“Biarlah, koko, matipun tidak mengapa, asal kita bersama. Pula seorang jagoan samurai tentu tidak akan mencemarkan samurainya sendiri dengan jalan melanggar janji dan bertindak curang.”

“Ha-ha-ha-ha, kau benar, nona manis. Ha-ha-ha!” Tokugawa menyarungkan samurainya dan mendorong tubuh Kwi Beng ke arah pantai. “Kau sambutlah adikmu yang manis dan kalian akan kusambut sebagai tamu-tamu kehormatan, ha-ha-ha!”

Kwi Beng terhuyung dan menghampiri adiknya dengan kedua tangan masih terbelenggu ke belakang. Pada saat itu, Tio Sun mengeluarkan pekik melengking nyaring dan tubuhnya sudah melayang dari atas kapal ke darat, langsung dia menerkam dan menyerang Tokugawa!

Tokugawa terkejut bukan main, cepat dia menggerakkan lengannya yang amat kuat untuk menangkis.

“Dukkk!”

Benturan dua tenaga yang sama kuatnya itu membuat Tokugawa dan Tio Sun keduanya terlempar ke belakang. Tokugawa makin kaget dan cepat dia memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerbu dan menangkap kakak beradik itu.

Akan tetapi tiba-tiba berserabutan anak buah Kwi Eng keluar dari kapal dengan jumlah yang sama besarnya dengan jumlah anak buah bajak. Bahkan di antara mereka ada pula yang memegang pistol seperti juga anak buah Tokugawa. Kwi Eng sendiri cepat membebaskan kakaknya dari belenggu, menyerahkan sebatang pedang dan bersama kakaknya dia lalu barlari ke depan.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: