***

***

Ads

Selasa, 10 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 108

Kita tinggalkan dulu pasukan besar yang mewah di bawah pimpinan Panglima Besar Wang Cin yang dibantu oleh jenderal-jenderal tua di bawah pimpinan Jenderal Kho Gwat Leng dan Tan Jeng Koan yaitu sebanyak delapan orang yang terkenal sebagai Delapan Jenderal Besar bekas pembantu-pembantu Jenderal Yung Lo, dan mari kita menengok keadaan di perbatasan Mongol.

Memang keterangan Wang Cin benar bahwa di perbatasan itu, di sepanjang tembok besar, bahkan di sebelah dalam tembok besar, terdapat Suku Bangsa Mongol yang dipimpin oleh seorang ketua yang tidak pernah mau tunduk terhadap kedaulatan Pemerintah Beng. Akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan bahwa sesungguhnya ketua pasukan ini adalah seorang yang telah dihubunginya, bahkan yang diam-diam menjadi semacam sekutunya, sungguhpun ketua Suku Mongol ini tidak pernah bertemu dengannya dan hanya mengadakan hubungan melalui kurir belaka.

Siapakah ketua Suku Bangsa Mongol ini? Dia adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, seorang yang benar-benar amat gagah perkasa, bertubuh seperti seekor singa dan dia benar-benar pantas menjadi seorang pemimpin suku bangsa yang hidupnya berkelana dan selalu menghadapi banyak kesulitan itu.

Kepala suku ini namanya Sabutai, seorang gagah dan merupakan keturunan dari Jenderal Sabutai dari jaman Goan, yaitu ketika Bangsa Mongol sedang jaya-jayanya menguasai seluruh Tiongkok. Sabutai ini adalah seorang gagah perkasa yang memiliki kepandaian tinggi, karena gurunya, yaitu dua orang kakek dan nenek yang jarang terlihat orang, lebih menyerupai iblis daripada manusia!

Dahulu, di waktu Panglima Beser The Hoo masih sering mengadakan pembersihan keluar daerah, bahkan ketika Panglima Besar The Hoo memimpin armada berlayar sampai jauh ke selatan, di Sailan Panglima The Hoo pernah bentrok dengan dua orang jagoan, laki-laki dan perempuan yang berilmu tinggi.

Akan tetapi berkat kepandaian Panglima The Hoo yang amat sakti, dua orang jagoan Sailan yang suka mengganas itu dapat dikalahkan, dan biarpun dapat melarikan diri, namun diduga tentu akan tewas karena telah menerima pukulan-pukulan sakti dari Panglima The Hoo.

Akan tetapi, orang salah duga, karena mereka itu tidak mati, biarpun nyaris mati dan setelah mereka sembuh namun tubuh mereka keracunan oleh hawa beracun mereka yang membalik dan memukul diri sendiri, mereka lalu bertapa sampai puluhan tahun lamanya dan tahu-tahu mereka kini menjadi kakek dan nenek yang muncul di perbatasan utara, menjadi guru Sabutai dan mereka hendak membalas kepada Beng-tiauw! Kini, mereka hanya dikenal sebagai Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Darah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam).

Sudah lama Sabutai mengincar ke selatan. Akan tetapi biarpun dia seorang berilmu tinggi dan yang pandai pula mengatur siasat perang, namun dia maklum bahwa dengan kekuatan pasukannya seperti sekarang ini, melakukan serbuan ke selatan hanya merupakan bunuh diri belaka.

Oleh karena itu, dia selalu menanti kesempatan baik, dan setelah ada usaha dari Thaikam Wang Cin untuk mengadakan kontak dengan dia, tentu saja dia terima dengan baik. Penerimaan persekutuan rahasia ini hanya dia lakukan demi terlaksananya cita-citanya, karena sesungguhnya di dalam hatinya, orang gagah perkasa ini merasa muak terhadap Wang Cin, apalagi ketika dia mendengar akan segala sepak terjang Wang Cin di istana musuh-musuhnya itu.

Dia menganggap orang macam Wang Cin amat berbahaya dan rendah, dan kalau saja dia tidak melihat kegunaan persekutuan ini sebagai jalan tercapainya cita-citanya, dia akan merasa suka sekali membunuh orang seperti thaikam itu dengan jari-jari tangannya sendiri yang amat kuat dan dahsyat!






Pada suatu malam, Sabutai duduk termenung di dalam kamarnya. Dia mempunyai seorang isteri yang amat cantik, seorang puteri Suku Bangsa Khitan yang mempersembahkan dirinya atas perintah kepala Suku Khitan kepadanya.

Puteri ini masih muda, baru delapan belas tahun usianya dan sudah tiga tahun menjadi isterinya. Namun, yang membuat Sabutai kecewa adalah mengapa isterinya itu belum juga mengandung. Betapapun juga, dia amat mencinta isterinya dan dia tidak mau mengambil selir. Selain kekecewaan tidak mempunyai putera, juga dia tahu bahwa isterinya itu sesungguhnya tidak cinta kepadanya, dan hanya terpaksa saja menjadi isterinya. Semua sikap manis isterinya itu hanya demi kewajiban saja, dia memiliki tubuh isterinya, akan tetapi tidak memiliki hatinya.

Hal inipun kadang-kadang membuat pria yang jantan dan gagah ini merasa kecewa dan berduka karena dia sungguh-sungguh mencinta Khamila, isterinya yang cantik rupawan itu.

Sabutai termenung dan di tangannya dia memegang sehelai surat yang diterimanya dari Wang Cin, pembesar thaikam yang pada waktu itu sedang berkuasa dan mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Beng. Surat itu dibawa oleh utusan Wang Cin, yaitu tiga orang tokoh berilmu tinggi Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Go-bi Sin-kouw. Mereka diterima sebagai tamu-tamu agung dan diberi kamar-kamar yang mewah untuk tempat menginap.

Sudah berjam-jam lamanya Sabutai duduk termenung dengan surat itu di dalam tangannya. Dadanya terasa panas, kebenciannya terhadap Wang Cin memuncak ketika dia membaca betapa di dalam surat itu Wang Cin menerangkan siasatnya yang memancing rajanya sendiri ke utara untuk “diserahkan” kepada Sabutai!

Sabutai adalah seorang gagah perkasa dan tentu saja dia amat membenci seorang pengkhianat besar macam Wang Cin. Akan tetapi, diapun melihat kesempatan baik sekali untuk membangun kembali kekuasaan Bangsa Mongol, maka dia termenung dan menggunakan kepala dingin untuk mengatur siasat.

Menurut surat Wang Cin, orang kebiri itu akan sengaja menjerumuskan kaisar dan pasukan-pasukan pengawalnya agar dihancurkan oleh Sabutai, kaisarnya dan semua pengawal kaisar yang setia dibinasakan, kemudian dia akan kembali ke kota raja dan diam-diam akan mengatur dari dalam untuk membantu barisan Mongol yang dipimpin Sabutai menyerbu kota raja, kemudian setelah dapat merampas kota raja, Wang Cin akan mengangkat diri menjadi kaisar sebagai seorang yang berdarah keturunan Jenghis Khan dan Sabutai tentu saja akan menerima bagian yang layak!

“Si keparat...!” Sabutai memaki di dalam hatinya. “Seorang pengkhianat dan pengecut seperti dia, seorang yang sudah kehilangan kejantanannya, seorang kebiri yang berhati palsu, berani mengaku sebagai darah keturunan Jenghis Khan yang besar?”

Dia merasa muak akan tetapi demi tercapainya cita-citanya untuk menyerbu ke selatan, cita-cita yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

Tiba-tiba dia bertepuk tangan dan muncullah beberapa orang pengawalnya dari tempat-tempat tersembunyi. Sabutai lalu memerintahkan mereka untuk memanggil para pembantunya agar berkumpul di situ pada malam itu juga karena ada hal yang amat penting untuk dirundingkan.

Menjelang tengah malam, berkumpullah belasan orang pembantunya yang merupakan bekas kepala-kepala suku yang telah ditaklukannya dan yang kini menjadi para pembantunya.

Setelah memerintahkan para pengawalnya untuk menjaga kamar-kamar tamu sehingga dia yakin bahwa perundingan itu tidak akan diintai dan didengarkan oleh tiga orang utusan yang dia tahu bukan orang-orang sembarangan itu, Sabutai lalu mengajak para pembantunya untuk berunding dan mengatur siasat untuk menghadapi uluran tangan Wang Cin yang khianat itu.

Akhirnya, sampai hampir pagi, mereka telah bersepakat untuk mempergunakan pengkhianatan Wang Cin itu untuk memperoleh keuntungan, akan tetapi tentu saja Sabutai tidak sudi untuk selanjutnya mengadakan persekutuan dengan thaikam yang dianggapnya amat licik, curang dan berbahaya itu.

Pada keesokan harinya, setelah menjamu tiga orang utusan itu, Sabutai lalu menyerahkan surat balasannya dan kepada Wang Cin dia menjanjikan untuk menyambut dan menghancurkan kaisar dan pasukannya di dekat Huai-lai, lewat lembah Nan-kouw.

Surat balasan itu dibawa sendiri oleh Hwa Hwa Cinjin untuk disampaikan kepada Wang Cin pribadi, sedangkan dua orang nenek, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, tinggal di markas Mongol yang dipimpin oleh Sabutai itu.

Sabutai lalu membuat persiapan, mengumpulkan kekuatan barisan yang besar jumlahnya, kemudian dia memimpin sendiri seluruh barisan itu menuju ke selatan, melalui pegunungan yang sukar dan gurun-gurun pasir yang luas, melewati tembok besar dan bersembunyi di sekitar kota Huai-lai, di sepanjang lembah Nan-kouw untuk menanti datangnya rombongan kaisar seperti yang dimaksudkan dalam surat Wang Cin.

Di daerah padang rumput tak jauh dari tembok besar, di lereng pegunungan utara, pada pagi itu penuh dengan serombongan suku bangsa perantau yang terdiri dari campuran Bangsa Mancu dan Khitan. Mereka ini adalah Bangsa Nomad yang hidup dari peternakan dan mereka menggembala kuda yang baik untuk dijual ke daerah selatan.

Kelompok keluarga yang terdiri dari hampir dua ratus orang ini menggiring ribuan ekor kuda pilihan dan mereka berhenti di tempat itu karena tempat itu amat subur rumputnya sehingga merupakan tempat peristirahatan yang amat baik.

Telah tiga hari lamanya mereka memasang perkemahan di padang rumput ini. Akan tetapi pada pagi hari ketiga itu tampak kesibukan dan kegelisahan di antara mereka ketika terdapat laporan bahwa dua orang penggembala kedapatan menggeletak, yang seorang tewas dan seorang lagi terluka parah sedangkan lebih dari seratus ekor kuda lenyap di malam itu.

Agaknya orang kedua itupun telah ditinggalkan karena disangka telah mati oleh para penyerangnya, dan orang inilah yang bercerita kepada kawan-kawan dan pemimpin mereka.

Ternyata malam tadi, lewat tengah malam di waktu keadaan amat sunyi dan dingin, tiba-tiba muncul belasan orang bertopeng yang langsung menyerang mereka. Mereka berdua melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi akhirnya mereka roboh dan orang yang terluka parah dan disangka tewas pula itu hanya dapat melihat betapa belasan orang itu menggiring dan melarikan seratus ekor kuda yang mereka curi itu.

Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Siapa yang begitu berani mati mencuri kuda mereka di tempat terbuka seperti itu? Penjagaan dilakukan dengan ketat di malam-malam berikutnya karena biasanya, pencuri-pencuri kuda itu tidak akan puas sebelum dapat mencuri habis ribuan ekor kuda yang berharga mahal itu. Dengan bergilir mereka melakukan penjagaan di malam hari.

Malam berikutnya tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dua hari kemudian, pada malam kedua semenjak peristiwa pencurian dan pembunuhan itu, tiba-tiba mereka diserbu oleh sedikitnya tiga puluh orang bertopeng yang rata-rata memiliki ketangkasan dan gerakan yang terlatih.

Terjadilah pertempuran hebat dan keluarga rombongan itu tentu saja menjadi panik. Jerit dan tangis terdengar di antara teriakan-teriakan kemarahan dari mereka yang bertempur di bawah penerangan obor-obor dan api unggun.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Maling-maling kuda yang hina!”

Dan muncullah seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana akan tetapi bersih, berwajah gagah dan sekaligus membayangkan kelembutan, bahkan bentakannya tadi biarpun nyaring dan menggetarkan jantung, namun suaranya halus.

Akan tetapi, begitu dia muncul dan menggerakkan kedua tangannya, empat orang bertopeng jatuh tunggang langgang! Para perampok atau pencuri kuda itu menjadi terkejut dan marah. Mereka maklum bahwa kakek ini bukanlah anggauta rombongan peternak atau pedagang kuda itu, melainkan seorang yang dari kata-katanya sudah diketahui datang dari selatan.

Maka pemimpin perampok yang terdiri dari tiga orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata golok besar yang amat berat dan tajam, menggereng dan sekaligus tiga orang ini menerjang kakek itu dengan golok mereka, serentak menyerang dari tiga jurusan, yaitu depan, kiri dan kanan.

“Singg...singg...wuuuutttt...!”

Tiga batang golok itu berdesing dan menyambar dengan kuat dan cepat sekali. Akan tetapi, kakek itu tetap saja berdiri tegak dan tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada bahaya maut mengancam nyawanya dari tiga jurusan.

Akan tetapi, begitu tiga batang golok itu menyambar dekat, kakek itu kelihatan menggerakkan kedua tangan dan kaki kirinya dan...sungguh luar biasa sekali. Sukar diikuti pandang mata apa yang telah dilakukan oleh kaki kiri dan kedua tangan kakek itu, akan tetapi tahu-tahu penyerang dari depan mencelat goloknya dan orangnya roboh dan mengaduh-aduh, sedangkan dua orang penyerang dari kanan kiri terampas goloknya dan roboh pula!

Kiranya kakek yang luar biasa itu menggunakan kakinya menendang pergelangan tangan penyerang dari depan dan dilanjutkan dengan gerakan kaki menendang lutut, sedangkan kedua tangannya dengan cepat sekali tadi telah menangkap golok itu, lalu mengangkat golok itu ke atas, kemudian menggunakan kedua sikunya menghantam dada kedua orang penyerang kanan kiri. Semua gerakannya itu dilakukan dengan cepat dan kelihatan demikian mudahnya, padahal tiga orang pimpinan perampok itu adalah orang-orang kuat yang memiliki ilmu silat lumayan! Apalagi menangkap golok dengan tangan telanjang begitu saja, benar-benar membuktikan betapa kakek itu adalah seorang yang amat luar biasa!

Dewi Maut







Tidak ada komentar: