***

***

Ads

Selasa, 10 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 109

Melihat betapa dalam segebrakan saja tiga orang pimpinan mereka roboh, bukan main kagetnya para perampok bertopeng itu dan tanpa dikomando lagi larilah mereka cerai-berai dan menghilang di dalam kegelapan malam. Dua orang yang roboh oleh kakek tadi, yang menyerang dari kanan kiri, juga sudah serentak meloncat bangun dan melarikan diri, akan tetapi penyerang dari depan yang kena tendang lututnya ketika bangkit berdiri, roboh terguling lagi dan mengeluh.

Para anggauta rombongan cepat mengepungnya dan beberapa batang senjata tajam sudah digerakkan, agaknya dalam kemarahan mereka, orang-orang itu hendak membunuh pemimpin para perampok bertopeng itu.

“Tahan, jangan bunuh dia!”

Kakek itu berkata, suaranya halus namun penuh wibawa sehingga orang-orang yang sudah mengangkat senjata itu mundur dan memandang kepada kakek itu dengan heran. Kakek ini datang dari mana tidak ada orang yang tahu, datang-datang telah memperlihatkan kepandaian membantu mereka mengalahkan perampok, akan tetapi sekarang melarang mereka untuk membunuhnya. Sungguh aneh!

Yalu, pemimpin Suku Nomad campuran, seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang gagah, cepat menghampiri kakek itu dan berkata dengan lantang,

“Locianpwe telah membantu kami mengusir perampok, akan tetapi mengapa mencegah kami membunuh kepala perampok ini?”

Mendengar orang tinggi besar muka hitam ini pandai berbahasa Han, kakek itu tersenyum dan berkata tenang,

“Mereka telah dapat diusir dan orang ini tidak dapat melarikan diri karena sambungan lututnya terlepas. Haruskah kita membunuh lawan yang sudah tidak berdaya?”

“Locianpwe, harap suka mengampuni saya,” tiba-tiba orang itu berkata dan membuka topengnya. Kiranya dia adalah seorang Han pula yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun.

Kakek itu mengerutkan alisnya, nampaknya tidak senang melihat orang Han sampai begitu merendahkan diri menjadi pencuri atau perampok kuda, sedangkan yang dirampoknya adalah rombongan suku bangsa yang miskin!

“Hemm, tidak malukah engkau dengan perbuatanmu yang hina ini?” bentaknya.

“Maaf... kami... kami bukanlah pencuri-pencuri kuda biasa... akan tetapi, kami adalah anggauta pasukan Raja Muda Sabutai yang memerintahkan kami mencari kuda untuk memperlengkapi pasukan-pasukan kami...”

“Ahhhh...!” Yalu, kepala rombongan itu terkejut bukan main. “Raja Muda Sabutai terkenal sebagai seorang gagah perkasa yang hanya memusuhi Pemerintah Beng di selatan dan selamanya tidak pernah mau mengganggu suku bangsa di utara, apalagi mencuri kuda kami.”

“Maafkan kami, kawan...” orang itu berkata dengan muka merah, “kami telah bersalah... akan tetapi karena pasukan Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan kekuatan menyeberang ke lembah Nan-kouw...” Tiba-tiba orang itu berhenti bicara.






”Lanjutkan ceritamu dan aku akan membebaskan engkau.” Kakek itu berkata dan matanya memandang tajam sehingga orang itu menjadi ketakutan.

“Saya... saya tidak boleh bicara tentang itu...”

“Engkau sudah terlanjur bicara dan para sahabat ini hanyalah rombongan pedagang kuda, kami hanya ingin tahu apa yang terjadi di daerah ini, Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan pasukannya ke lembah Nan-kouw? Apakah keperluannya? Hayo katakan, keteranganmu itu sebagai penebus nyawamu.”

Dengan muka pucat ketakutan orang itu berkata,
“Barisan kami... akan... menyergap rombongan Raja Beng-tiauw yang akan lewat di sana...”

“Hemmmm...!” Kakek itu mengangguk-angguk. “Dari mana Raja Muda Sabutai dapat mengetahui bahwa rombongan kaisar akan lewat ke sana?”

“Hamba... saya mana tahu...? Hanya beritanya, ada datang tiga orang utusan dari selatan... dan raja muda kami lalu mempersiapkan barisan, kami ditugaskan untuk mengumpulkan kuda sebanyaknya guna perlengkapan...”

“Tiga orang utusan itu, siapa namanya?” Kakek yang aneh itu mendesak terus.

“Saya tidak tahu semua, hanya tahu bahwa yang kakek-kakek berjuluk Hwa Hwa Cinjin, sedangkan dua orang nenek lagi entah siapa...”

“Sudahlah, kau boleh pergi,” kakek itu berkata dan dengan terpincang-pincang pemimpin para pencuri kuda itu pergi meninggalkan tempat itu.

“Locianpwe, orang jahat seperti dia bagaimana dibebaskan begitu saja? Dan dia adalah anak buah Raja Muda Sabutai yang sedang melakukan kejahatan terhadap kaisar!” Yalu, pemimpin rombongan itu berkata, alisnya berkerut tanda tidak setuju.

Kakek itu memandang tajam.
“Kalian tidak menyetujui tindakan Sabutai itu?”

“Tentu saja tidak! Kami bukan bangsa pemberontak, bahkan perbuatan Sabutai itu akan mencelakakan kami, karena pekerjaan kami berdagang kuda dengan orang-orang selatan di sebelah dalam tembok besar tentu tak mungkin dilanjutkan. Celakanya, kami tentu akan dianggap sekutu Sabutai dan akan dihukum pula oleh barisan Beng?”

“Bagus! Kalau begitu mari kita menentangnya dan kita menyelamatkan kaisar. Dengan demikian kaisar akan dapat membedakan siapa yang baik dan siapa yang jahat. Aku akan memimpin kalian melindungi kaisar sebelum terlambat.”

Yalu dan teman-temannya saling pandang dan mereka meragu, kemudian Yalu bertanya,

“Siapakah locianpwe yang berilmu tinggi dan hendak membela kaisar ini?”

Kakek itu berkata sederhana,
“Aku adalah ketua dari Cin-ling-pai, namaku Cia Keng Hong dan sejak dahalu aku sudah sering kali membantu kaisar dan bekerja sama dengan mendiang Panglima The Hoo.”

Yalu mengeluarkan teriakan girang, demikian pula para anak buahnya.
“Locianpwe sahabat mendiang Panglima Besar The Hoo? Ah, kalau begitu kami telah bersikap kurang hormat.” Dan serta-merta Yalu dan anak buahnya menjatuhkan diri berlutut. “Hendaknya locianpwe ketahui bahwa kami dan ayah-ayah kami dahulu pernah membantu beliau ketika melawat ke utara. Harap locianpwe jangan khawatir, kami akan mengumpulkan teman-teman dan membantu locianpwe menolong dan melindungi kaisar, menentang Raja Muda Sabutai yang berniat memberontak.”

Tentu saja ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong menjadi girang. Seperti kita ketahui, kakek Cia Keng Hong yang mendengar penuturan puterinya, Cia Giok Keng, bahwa Lima Bayangan Dewa yang telah dapat ditewaskan dua di antaranya itu dibantu oleh tokoh-tokoh lihai, lalu turun gunung untuk menghadapi musuh-musuh tangguh itu dan untuk mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang, yaitu pedang Siang-bhok-kiam.

Dalam perjalanannya menyelidik, dia mendengar bahwa musuh-musuhnya itu pergi ke kota raja dan kemudian dia menyusul, dia mendengar pula bahwa mereka itu bergabung dengan rombongan kaisar yang melakukan perlawatan ke utara. Tentu saja dia menjadi heran sekali mendengar bahwa musuh-musuhnya itu bergabung dengan rombongan kaisar. Timbullah kekhawatirannya, karena dianggapnya sebagai hal yang tidak wajar dan mencurigakan kalau musuh-musuhnya itu kini bekerja sebagai pengawal-pengawal kaisar.

Karena itu, diapun menyusul ke utara dan kebetulan dia bertemu dengan rombongan pedagang kuda yang dipimpin oleh Yalu dan mendengar keterangan yang amat berguna dari pemimpin para pencuri kuda. Kini dengan hati penuh kekhawatiran, pendekar itu dapat menduga bahwa masuknya para musuhnya dalam rombongan kaisar tentu ada hubungannya dengan gerakan Sabutai dan bahwa kaisar tentu terancam bahaya besar, sungguhpun dia mendengar pula bahwa kaisar dikawal oleh pasukan yang dipimpin oleh para jenderal tua yang setia, di antaranya adalah Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan yang dia tahu merupakan jenderal-jenderal yang amat setia dari Kerajaan Beng.

Mengingat akan mendiang Panglima The Hoo yang mereka hormati dan junjung tinggi, Yalu dan kawan-kawannya lalu mulai mengumpulkan Suku-suku Bangsa Nomad di utara untuk bergabung dengan mereka menentang Sabutai dan menolong Kaisar Beng-tiauw yang terancam bahaya.

Sementara itu, rombongan Kaisar Ceng Tung sudah meninggalkan kota raja menuju ke utara. Perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan-pegunungan yang terjal, hutan-hutan yang liar dan daerah-daerah yang tandus. Dari permulaannya saja pasukan-pasukan yang mengawal rombongan kaisar ini sudah terlantar, perlengkapannya kurang dan juga ransumnya kurang karena Thaikam Wang Cin yang diangkat menjadi panglima komandan pasukan pengawal ini melarang membawa perlengkapan terlalu banyak.

“Di utara banyak dusun yang harus menunjukkan darma bhakti dan kesetiaannya kepada pemerintah. Perlu apa kita membawa banyak perbekalan?” demikian bantahnya ketika para jenderal mengajukan usul. “Hal itu hanya akan menimbulkan ketidak senangan mereka karena seolah-olah kita tidak percaya kepada mereka.”

Biarpun alasan Wang Cin ini agaknya masuk di akal, namun sudah diperhitungkan oleh Wang Cin bahwa kaki tangannya di utara tentu sudah bergerak dan berusaha agar rombongan kaisar tidak mendapat ransum di utara, apalagi pada waktu itu musim panen belum tiba.

Kaisar sendiri, yang masih muda dan belum berpengalaman, apalagi yang sejak dewasa terus dibuai dalam rayuan Azisha yang cantik jelita, terseret oleh arus kenikmatan permainan cinta dengan selirnya itu yang sesungguhnya hanya merupakan pemuasan nafsunya sendiri belaka sehingga kaisar itu tidak tahu apa-apa.

Di dalam perjalanan inipun Kaisar Ceng Tung selalu berada dalam pelukan selirnya, berdua di dalam kereta, dan kadang-kadang ditemani oleh Wang Cin yang pandai menghibur hati kaisar seolah-olah perjalanan itu merupakan tamasya yang amat menyenangkan.

Kaisar sama sekali tidak tahu betapa pasukan pengawalnya menghadapi perjalanan yang amat sukar, dan betapa para jenderal tua yang setia itu selalu merasa gelisah kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diharapkan menimpa rombongan ini sehingga membahayakan keselamatan kaisar.

Setelah melalui perjalanan yang amat lama dan amat melelahkan bagi para anggauta pasukan pengawal, akan tetapi amat menyenangkan bagi kaisar dan selirnya, dan amat menegangkan bagi Wang Cin yang mengharapkan terjadinya peristiwa hebat yang selain akan merubah jalannya sejarah juga akan mengangkatnya ke tingkat teratas sesuai dengan yang selama ini dicita-citakannya, rombongan itu tiba di kaki Pegunungan Nan-kouw dan di padang rumput mereka berkemah untuk melewatkan malam itu di situ dan memberi waktu kepada pasukan untuk beristirahat.

Malam itu, delapan jenderal tua yang dipimpin oleh Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan menghadap Wang Cin yang sedang mengadakan perundingan dengan para pengawal pribadinya termasuk tiga orang dari Lima Bayangan Dewa dan Bouw Thaisu yang lihai.

Kedatangan delapan jenderal itu mengejutkan Wang Cin dan para pengawalnya otomatis bangkit dari kursi masing-masing dan oleh isyarat Wang Cin mereka itu berdiri di pinggir, selalu siap membela majikan mereka. Dengan muka manis Wang Cin mempersilakan para jenderal mengambil tempat duduk di dalam perkemahannya itu dan menanyakan maksud kedatangan mereka.

“Wang-taijin, kami datang untuk mengajukan usul kepada taijin,” Jenderal Gwat Leng yang bertubuh kecil kurus itu berkata.

“Hemm, tentu baik saja, Kho-goanswe. Segala macam usul demi kebaikan kita semua tentu saja kami sambut dengan gembira,” jawab orang kebiri yang memperoleh kedudukan tinggi itu.

“Wang-taijin, kami semua telah melihat bahwa amat perlu perjalanan ini ditunda di sini sampai sedikitnya tiga hari,” kata Jenderal Kho Gwat Leng.

“Ah, tidak mungkin!” Wang Cin berseru penasaran. “Kota Huai-lai sudah dekat, mengapa setelah hampir tiba di tempat tujuan lalu ditunda?”

“Wang-taijin,” kata Jenderal Tan Jeng Koan yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan suaranya mengguntur itu. “Di depan adalah Lembah Nan-kouw yang terkenal sulit dilalui, juga tempat itu amat berbahaya apabila terdapat fihak musuh yang menghadang kita.”

“Hemm, Tan-goanswe, siapakah yang berani menghadang rombongan kaisar? Pula, andaikata ada penjahat yang bosan hidup berani mengganggu, apa artinya ada pasukan besar pengawal yang dipimpin oleh delapan pahlawan Beng yang tersohor?”

“Maaf, Wang-taijin,” Jenderal Kho Gwat Leng yang lebih halus sikapnya itu berkata. “Ucapan Tan-goanswe benar, dan juga pendapat Wang-taijin benar pula bahwa andaikata ada musuh menghadang, kami sudah siap menghadapinya. Akan tetapi, pasukan kita sudah amat lelah dan perbekalan sudah hampir habis, bahkan kami hampir kehabisan air, padahal perjalanan di depan melalui daerah pegunungan tandus yang sukar mencari air. Sebaiknya, kita menunda perjalanan selama dua tiga hari untuk menambah perbekalan, terutama ransum dan air.”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: