***

***

Ads

Jumat, 20 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 144

In Hong bersandar pada batang pohon di dalam hutan itu, memejamkan matanya dan mengatur kembali napasnya yang agak terengah-engah. Kepalanya terasa pening dan biarpun matanya dipejamkan, namun nampak bayangan beberapa orang berputaran, yaitu bayangan wajah Bun Houw dan Yalima.

Ingin dia menjerit dan menangis untuk memberi pelepasan kepada perasaan hatinya yang berdesakan dan penuh dengan segala macam perasaan yang saling bertentangan. Dia suka kepada Bun Houw, hal ini tak mungkin dapat dibantahnya lagi! Bahkan, sejak pertama kali dia melihat pemuda itu dengan gagahnya menolak bujuk rayu wanita-wanita itu, dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Bun Houw.

Anehnya, ketika dia memperoleh kenyataan pahit bahwa pemuda itu adalah tunangannya sendiri yang telah ditolaknya, ketika dia mendapat kenyataan bahwa Bun Houw adalah seorang pemuda yang luar biasa lihainya, yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya, rasa kagum dan suka makin meresap di dalam hatinya!

Dan kalau tadinya dia menganggap seorang yang bernama Cia Bun Houw itu dengan pandangan rendah karena dianggap tidak setia kepada Yalima, setelah dia tahu bahwa Cia Bun Houw adalah pemuda yang telah memberi pedang pusaka kepadanya, yang telah diberi Giok-hong-cu olehnya, pandangan tidak setia kepada Yalima berobah cemburu dan iri terhadap Yalima!

Bahkan ketika dia melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai, biarpun dia selalu bersikap diam dan dingin kaku, namun diam-diam dia merasakan sesuatu yang indah di dalam hatinya, sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan!

Dan ketika dia melihat Yalima ternyata telah menikah dengan orang lain, saking malunya terhadap Bun Houw dia ingin membunuh Yalima! Akan tetapi di balik itu semua, harus dia akui bahwa dia merasa girang bukan main melihat Yalima telah menjadi isteri orang lain.

“Aku telah gila... aku telah gila...!” Dia berbisik dan menjambak rambutnya sendiri

“Houw-koko...!”

Keluh hatinya dan dia merasa betapa hidupnya sunyi dan sendiri, betapa dia merindukan kehadiran Bun Houw di sampingnya, di dekatnya, biarpun tidak usah berdekatan dan bersikap baik, asal ada nampak Bun Houw di situ dia tidak akan merasa tersiksa seperti sekarang ini. Dia merasa rindu sekali dan otomatis tangannya meraba pinggang. Dia terkejut, memandang ke arah pinggangnya dan baru teringat dia bahwa Hong-cu-kiam telah ditinggalkannya di Cin-ling-san! Dia mengeluh panjang dan merasa makin sunyi dan sepi, merasa kehilangan!

“Houw-ko...!”

Kembali bibirnya mengeluh, jantungnya seperti diremas rasanya dan ingin dia menjerit-jerit memanggil nama pemuda yang dirindukannya itu.

In Hong mengepal tinju dan membuka matanya. Kekerasan hatinya yang dulu timbul lagi dan matanya menjadi beringas. Dia cepat membalik seolah-olah diserang orang dari belakangnya, dan tangannya yang dikepal itu menghantam batang pohon.

“Dessss... krakkkkk!”

Batang pohon itu patah dan kepalan tangannya berdarah karena saking marahnya dan saking gelisahnya dia tadi menghantam tanpa melindungi tangan dengan sin-kang. Terasa nyeri sekali tangannya yang berdarah dan dia mencucupi darahnya sendiri di tangan itu, wajahnya agak terang dan dia berterima kasih kepada rasa nyeri di tangannya, karena rasa nyeri itu mengurangi rasa nyeri yang lebih mendalam dan menyiksa tadi.






“Persetan dengan Cia Bun Houw...!”

Dia membentak lalu dara ini lari secepatnya keluar dari hutan itu dan mendaki lereng gunung di depan.

Ketika dia keluar dari hutan dan tiba di jalan raya kasar yang diapit-apit padang rumput, dia mendengar derap kaki kuda dan melihat serombongan orang berkuda, pakaian mereka seragam mendatangi dengan cepat. Karena hatinya lagi risau In Hong tidak perduli dan terus saja dia mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga dia berpapasan dengan rombongan belasan orang itu tanpa memperhatikan sama sekali.

“Heiii...!”

Tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan penunggang kuda itu dan In Hong masih tetap berlari terus. Akan tetapi kini dia mendengar derap kaki kuda dari belakangnya dan agaknya rombongan penunggang kuda tadi telah membalikkan arah kuda mereka dan kini mengejar In Hong.

“Lihiap...! Perlahan dulu...!”

Setelah tiga kali mendengar seruan ini, barulah In Hong sadar bahwa ada orang-orang mengejarnya dan bahwa panggilan itu ditujukan kepadanya, maka dia lalu berhenti berlari dan menanti di pinggir jalan sambil memandang tajam penuh perhatian, hatinya sudah mulai panas karena merasa bahwa perjalanannya diganggu orang! Kalau serombongan orang laki-laki itu hendak berlaku kurang ajar kepadanya, awas, pikirnya! Aku takkan mengampunkan kalian!

Kini rombongan yang terdiri dari lima belas orang berpakaian seragam gemerlapan karena disulam benang emas itu berhenti pula di situ dan seorang di antara mereka, yang bertubuh tegap dan bersikap gagah, usianya empat puluhan tahun, meloncat dengan gesitnya dari atas kuda lalu menghampiri In Hong yang berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang depan dada.

Laki-laki yang ternyata adalah komandan dari pasukan itu, menjura dan mengeluarkan sehelai kain bergambar, dipandangnya kain itu, kemudian dia menatap wajah In Hong penuh selidik dan bertanya,

“Maafkan saya, lihiap. Bukankah lihiap ini yang bernama Yap In Hong?”

Tangan dara itu bergerak cepat seperti kilat menyambar. Komandan pasukan itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang komandan atau perwira dari pasukan Kim-i-wi yaitu pasukan pengawal istana yang berpakaian seragam keemasan atau yang dinamakan Pasukan Baju Emas. Kepandaiannya sudah cukup tinggi, kalau tidak tentu saja dia tidak akan terpilih menjadi perwira. Melihat gerakan dara itu, dia terkejut sekali dan cepat mengelak sambil menarik kembali tangannya yang memegang lukisan.

“Prrrttt...!”

Betapapun cepatnya perwira itu mengelak, tetap saja gambar itu telah berpindah tangan dan kini dengan tenang, tanpa merobah kedudukan tubuhnya, In Hong yang masih cemberut itu memandang gambar di tangannya. Dia kaget dan heran sekali melihat lukisan yang indah di atas kain itu, lukisan seorang wanita muda yang bukan lain adalah dirinya sendiri!

In Hong mengerutkan alisnya dan pandang matanya ke arah wajah perwira itu seperti todongan ujung pedang yang amat runcing sehingga perwira itu kembali terkejut dan otomatis mundur selangkah ke belakang.

“Hayo katakan, siapa yang melukis ini dan apa maksudnya semua ini?”

Suaranya dingin sekali dan nadanya mengancam sehingga terasa pula oleh semua anggauta pasukan pengawal Kim-i-wi yang mendengarnya.

Akan tetapi, pasukan pengawal Kim-i-wi adalah terkenal sebagai pasukan yang gagah berani dan setia, semacam pasukan pengawal istana yang telah disumpah untuk setia sampai mati! Perwira itupun lalu menjawab dengan tabah,

“Maafkan saya, lihiap. Demi tugas kami, maka sebelum lihiap menjawab apakah benar lihiap yang bernama Yap In Hong, kami tidak dapat menerangkan apapun.”

In Hong memandang dengan marah, akan tetapi ketika dia bertemu pandang dengan perwira itu, dia merasa kagum. Perwira ini benar-benar berani, akan tetapi tidak kurang ajar, dan tidak sombong pula. Kekagumannya membuat dia agak lunak.

“Aku benar Yap In Hong. Nah, sekarang terangkan semua, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajar kalian semua karena gangguan ini!”

Wajah perwira itu menjadi berseri gembira dan juga anak buahnya menjadi girang sekali nampaknya.

“Wah, maaf... eh, betapa girang hati kami, lihiap. Susah payah kami mencari lihiap. Ketahuilah, kami adalah pasukan Kim-i-wi dari istana kaisar dan ratusan orang anggauta kami disebar di seluruh pelosok untuk mencari lihiap dan ini merupakan perintah dari sri baginda kaisar sendiri! Setiap pasukan diberi gambar seperti ini agar lebih mudah mengenal lihiap. Ketika tadi kita saling berpapasan, saya segera mengenal lihiap maka kami melakukan pengejaran.”

Akan tetapi pandang mata In Hong masih belum melenyapkan kecurigaannya.
“Apa sebabnya istana mengerahkan pasukan pengawal untuk mencari aku?”

“Lihiap, saya hanya seorang pemimpin pasukan kecil saja, mana saya bisa mengetahui akan kehendak sri baginda kaisar? Yang saya ketahui hanya bahwa pasukan-pasukan pengawal menerima perintah keras dari sri baginda kaisar untuk mencari lihiap sampai jumpa...”

“Dan kalau sudah jumpa?”

“Agar dipersilakan ke istana untuk memenuhi undangan kaisar.”

In Hong berpikir sejenak. Tidak mungkin ada sesuatu yang buruk di belakang undangan kaisar ini, pikirnya. Dia tahu bahwa kaisar yang muda itu adalah seorang yang baik dan gagah. Dia sudah menolong kaisar lolos dari benteng Sabutai, tidak mungkin kaisar yang kini sudah menduduki tahtanya lagi itu berniat buruk terhadap dirinya.

Menarik juga undangan kaisar ini, menjanjikan pengalaman-pengalaman baru untuknya, dan pada saat seperti itu, selagi hatinya diliputi gundah, pergi kepada kakaknya di Leng-kokpun tidak ada gunanya. Lebih baik ke kota raja memenuhi undangan kaisar dan hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan oleh kaisar terhadap dirinya.

“Baik, aku akan ikut dengan kalian ke istana,” katanya.

Wajah perwira itu berseri-seri dan girangnya bukan main. Juga anak buahnya semua tersenyum girang karena kalau pasukan mereka ini yang menemukan pendekar wanita itu, tentu berarti mereka akan menerima pujian dan ganjaran besar!

“Saya akan memberi isyarat kepada semua pasukan Kim-i-wi!” katanya dan tak lama kemudian dia melepaskan panah ke udara, anak panah berapi yang menyalakan kembang api berwarna biru di udara.

Setiap hari mereka mengirim isyarat panah berapi itu dan sebelum mereka tiba di istana pasukan itu telah bertambah terus, didatangi oleh pasukan-pasukan Kim-i-wi lain yang tersebar ke mana-mana dan akhirnya ketika rombongan itu tiba di istana, yang mengiringkan In Hong tidak kurang dari seratus orang!

Dara itu sendiri diberi seekor kuda yang pilihan dan di sepanjang perjalanan memperoleh pelayanan sebagai seorang puteri saja sehingga In Hong yang sudah biasa hidup bebas dan menghadapi kesukaran-kesukaran sampai merasa sungkan sendiri.

Akan tetapi karena dia tahu bahwa perlakuan dan sikap mereka itu adalah untuk memenuhi perintah kaisar, maka diapun tidak menolak. Kalau mereka kemalaman di jalan, setiap pembesar-pembesar setempat menyambutnya dengan penuh penghormatan, menjamunya dan memberinya kamar yang terbaik dari gedung mereka.

Akhirnya In Hong dibawa oleh panglima pengawal menghadap kaisar. Begitu melihat dara perkasa ini muncul di ruangan, kaisar sudah tersenyum lebar dan melambaikan tangannya dengan girang, sehingga para menteri dan pembesar yang hadir di situ menjadi terheran-heran.

“Yap In Hong lihiap...! Alangkah girang hati kami mendengar akan kedatanganmu!”

In Hong adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di dunia kang-ouw dan tentu saja dia tidak mengenal tata tertib istana, tidak pula mengenal kesusilaan yang sudah menjadi tradisi di dalam istana kaisar. Akan tetapi dia seorang yang cerdas, maka biarpun dia tidak tahu akan kebiasaan di situ, dia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata.

“Semoga paduka selamat, bahagia, dan berusia panjang!”

Tiba-tiba kaisar yang kini agak gemuk dan wajahnya segar berseri itu tertawa bergelak dan kembali semua menteri saling pandang dengan heran.

“Ha-ha-ha, Hong-lihiap, dari manakah engkau memperoleh kepandaian memberi hormat seperti itu! Bangkitlah dan duduklah di atas bangku yang sudah tersedia itu. Kita bicara seperti dahulu ketika kita bersama lolos dari benteng Sabutai dan keluar masuk hutan!”

Wajah In Hong menjadi merah dan dia bangkit, menjura lalu duduk di atas bangku sambil tersenyum.

“Hamba hanya ikut-ikut saja, sri baginda. Kalau keliru harap tidak ditertawakan dan diampunkan.”

“Tidak, engkau adalah tamuku, penolongku, bahkan kuanggap saudaraku sendiri, Hong-lihiap! Semenjak aku kembali ke sini, aku selalu teringat kepadamu dan kusuruh mencari ke mana-mana. Aku minta kepadamu, lihiap, agar engkau suka tinggal di istana ini, sebagai seorang saudaraku dan untuk jasa-jasamu kuangkat engkau menjadi Puteri Pelindung Kaisar yang juga kuanggap sebagai adikku sendiri. Engkau berhak keluar masuk di selurub istana ini dan berhak tinggal di sini selama yang engkau sukai.”

Kembali semua menteri melongo mendengar ini, akan tetapi karena merekapun sudah mendengar bahwa pendekar wanita bernama Yap In Hong inilah yang telah membebaskan kaisar dari tawanan Raja Sabutai, maka mereka hanya dapat mengangguk. Di waktu kaisar menjadi tawanan dan terancam bahaya, orang sekerajaan tidak ada yang mau atau berani menolong kecuali dara ini! Sudah sepatutnya kalau kini kaisar membalas jasanya yang amat besar itu.

In Hong merasa terharu juga oleh limpahan perasaan seperti itu, akan tetapi dia masih bertanya,

“Tentu hamba tidak terikat di sini, bukan?”

Kaisar tersenyum lebar.
“Tidak, lihiap. Akan tetapi kuharap dengan sungguh agar engkau dapat selamanya tinggal di sini, bahkan kelak kalau engkau sudah bersuami, suamimu akan kami beri pangkat dan kedudukan tinggi agar engkau selalu dekat dengan kami.”

In Hong lalu menghaturkan terima kasih dan kaisar lalu memanggil kepala pengawal dalam istana dan memerintahkan panglima ini untuk mengantar In Hong ke dalam istana dan memberinya sebuah gedung yang serba indah dan lengkap di bagian keputren.

Mulai hari itu, kehidupan In Hong berobah sama sekali! Biarpun dia tidak suka bersolek, dan tidak ingin memakai pakaian yang indah-indah, akan tetapi setelah semua pakaian tersedia dan dia tidak ingin membikin malu kaisar karena dia dianggap sebagai seorang puteri, atau adik angkat kaisar sendiri, terpaksa In Hong mengganti pakaiannya yang sederhana dengan pakaian yang serba indah gemerlapan!

Dan diapun menduga bahwa di balik semua ini, tentu ada suatu maksud dari kaisar dan dia menduga bahwa hal itu tentulah ada hubungannya dengan Khamila! Karena, bukankah hanya dia yang tahu bahwa kaisar ini dengan isteri Raja Sabutai itu terdapat jalinan hubungan yang amat mesra?

Dugaannya memang tepat karena beberapa hari kemudian, ketika terdapat kesempatan kaisar bertemu berdua saja dengan dia, kaisar berkata,

“Hong-lihiap, aku lebih suka menyebutmu lihiap daripada adik atau puteri, karena sebutan ini mengingatkan aku akan pengalaman-pengalaman kita dahulu. Engkau tentu tahu, lihiap, bahwa hadirnya engkau di dalam istana ini, di dekatku membuat aku merasa seolah-olah diapun tidak jauh dariku.”

In Hong mengangkat muka memandang wajah kaisar yang kelihatan terharu dan berduka itu. Dia mengangguk akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.

“Aku hanya mengharap, lihiap, engkau sebagai satu-satunya orang yang tahu akan rahasia kami itu, selain tidak akan membocorkan rahasia ini, juga kelak sekali waktu engkau dapat mewakili aku untuk menengok... anak itu di sana.”

In Hong mengangguk-angguk. Dia mengerti, dan mudahlah menduga siapa yang dimaksudkan dengan anak itu. Tentu anak yang dulu dikandung oleh Khamila.

“Harap paduka jangan khawatir. Sewaktu-waktu hamba akan memenuhi perintah paduka.”

Demikianlah In Hong kini menjadi seorang puteri yang bebas keluar masuk di seluruh bagian istana itu, dihormati oleh semua pengawal, pelayan dan ponggawa istana. Kalau tadinya ada yang menduga bahwa pendekar wanita yang cantik itu menjadi kekasih kaisar, kini mereka itu keliru dan ternyata bahwa benar-benar kaisar melakukan kebaikan itu untuk membalas jasa.

Akan tetapi, karena sikap In Hong yang tidak sombong, bahkan kini dara itu mempelajari segala macam kebiasaan di istana, dan mulai dapat merobah sifatnya yang tadinya dingin, kaku dan ganas, di samping berita akan kelihaian dara itu, semua orang merasa suka kepadanya.

**** 144 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: