***

***

Ads

Jumat, 20 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 146

Tio Sun membuka matanya dan meraba-raba cangkirnya, lalu diminumnya isi cangkir, akan tetapi jelas tangannya gemetar dan ketika dia mengembalikan cangkir ke atas cawan, terdengar bunyi berkeretakan karena tangan itu tidak dapat diam.

“Kau... kau pucat sekali dan gemetar... kau seperti orang sakit, twako,” Kwi Beng bertanya khawatir.

Tio Sun menggigit bibir.
“Tidak apa-apa, mungkin karena lelah, Beng-te, aku permisi...” Tio Sun bangkit dari bangkunya.

“Ehhh? Kemana?” Kwi Beng berseru kaget.

Tio Sun sadar kembali bahwa dia telah menerima undangan mereka untuk menginap di situ, maka dia menahan kakinya yang sudah hendak melangkah pergi.

“Eh... mau beristirahat...”

“Kamarmu di sebelah sana, twako. Marilah kuantar, kau kelihatan pucat dan gemetar, agaknya kau sakit.”

“Agaknya begitulah, Beng-te... terima kasih...”

Tanpa bicara apa-apa lagi Tio Sun lalu mengikuti Kwi Beng yang mengantarkan sampai ke kamarnya. Setelah pemuda itu meninggalkannya, Tio Sun menutup pintu kamarnya dan rebah terlentang, berkali-kali menarik napas panjang dan akhirnya dia bisa menenangkan batinnya yang terguncang hebat mendengar bahwa Kwi Eng telah bertunangan dan dijodohkan dengan Bun Houw itu.

“Ahh, engkau sungguh tak tahu diri!” Dia menghela napas dan menyesalkan diri sendiri. “Sejak dulupun sudah jelas bahwa dia tertarik kepada Cia Bun Houw, dan memang sudah sepantasnyalah demikian. Dia seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan kaya raya, sudah sepatutnya berjodoh dengan Cia Bun Houw yang lihai, putera ketua Cin-ling-pai. Sedangkan aku ini apa? Sungguh tak tahu diri!”

Penyesalan kepada dirinya sendiri dan kesadaran bahwa sudah sepatutnya kalau Kwi Eng berjodoh dengan Cia Bun Houw yang dikaguminya dan bahwa sudah semestinya kalau dia ikut girang melihat gadis yang dicintanya itu berbahagia memperoleh jodoh seorang pilihan seperti putera ketua Cin-ling-pai itu dan mengesampingkan keinginannya untuk mementingkan diri sendiri, meringankan beban guncangan batinnya dan ketika Kwi Eng dan Kwi Beng datang menengoknya, Tio Sun telah tenang pula.

“Kata Beng-ko engkau sakit, twako?”

Kwi Eng menegurnya ketika dia menyambut kedatangan dua orang kakak beradik itu ke kamarnya.

“Ah, mungkin hanya terlalu lelah dan masuk angin.” jawab Tio Sun sambil tersenyum. “Akan tetapi setelah mengaso sebentar di kamar yang nyaman ini sudah sembuh kembali. Terima kasih. Oh ya, aku... aku menghaturkan selamat atas pertunanganmu dengan Cia-taihiap, adik Kwi Eng!”






Tergopoh-gopoh Kwi Eng membalas pemberian selamat itu dengan kedua pipi berobah merah.

“Terima kasih, Tio-twako. Kau baik sekali.”

Tio Sun yang bijaksana itu ternyata telah dapat memulihkan sikapnya dan dia bergaul seperti biasa dengan Kwi Eng dan Kwi Beng. Souw Li Hwa dan suaminya diam-diam juga merasa suka kepada pemuda yang sederhana dan rendah hati ini. Maka dia membujuk Tio Sun untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada anak-anaknya. Permintaan ini dipenuhi dengan suka hati oleh Tio Sun dan setiap hari nampak tiga orang muda itu berlatih silat di taman bunga.

Dalam waktu beberapa hari saja mereka bergaul dengan akrab sekali. Dan karena maklum bahwa harapannya untuk dapat berjodoh dengan dara yang dicintanya itu lenyap sama sekali, sikap Tio Sun terhadap Kwi Eng dan Kwi Beng seperti sikap seorang kakak terhadap adik-adiknya sehingga dua orang saudara kembar itupun merasa seolah-olah Tio Sun adalah kakak mereka.

Keakraban inilah yang membuat Kwi Beng menaruh kepercayaan pada suatu hari, ketika memperoleh kesempatan berdua saja dengan Tio Sun, pemuda ini dengan muka sedih mengeluarkan isi hatinya.

“Tio-twako, setelah beberapa hari bergaul denganmu, aku memperoleh keyakinan bahwa engkau seoranglah yang akan dapat menolongku, twako. Sebenarnya aku menderita sekali, menderita batin yang hebat dan selama ini hanya kusimpan dan kutahan-tahan agar jangan sampai ketahuan oleh adikku dan oleh orang tuaku. Akan tetapi kalau terus kusimpan, akhirnya aku tentu tidak tahan juga.”

Melihat wajah yang biasanya gembira itu kini kelihatan amat berduka, Tio Sun terkejut dan merasa heran. Dia memegang pundak pemuda tampan itu dan berkata sambil tersenyum,

“Ah, Beng-te. Seorang pemuda dalam keadaan seperti engkau ini bagaimana bisa mengatakan menderita batin yang hebat? Engkau masih muda, mempunyai orang tua dan saudara yang amat baik, berkepandaian cukup tinggi, hartawan dan apapun yang kau kehendaki tentu terlaksana. Mengapa masih menderita, tekanan batin?”

“Justeru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako.”

Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah hidup! Manusia, termasuk dia sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka!

“Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?”

“Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya? Aku cinta kepada nona Yap In Hong.”

Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari sendau-gurau antara Kwi Beng dan Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia tersenyum.

“Mengapa orang jatuh cinta ditertawai? Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu, Beng-te? Kau mencinta siapapun, apa halangannya?”

Kwi Beng menarik napas panjang.
“Akan tetapi, twako. Cintaku ini tidak akan dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju.”

Tio Sun memandang heran.
“Tidak setuju? Apa maksudmu, Beng-te?”

“Ketika aku dan adikku pulang dahulu itu, kami berdua langsung menyatakan isi hati kami kepada ayah dan ibu. Dalam hal pilihan hati, ayah sama sekali memberi kebebasan. Ibu segera menyatakan persetujuannya ketika Eng-moi menyatakan cintanya kepada Cia Bun Houw, bahkan ibu lalu mengajak kami pergi ke Cin-ling-pai untuk membicarakan soal jodoh Eng-moi dan Cia Bun Houw itu sehingga berhasil diterima baik. Akan tetapi ketika aku menyatakan cintaku kepada nona Yap In Hong, ibu menolaknya!”

Tio Sun menahan senyumnya melihat pemuda itu kelihatan berduka sekali. Pemuda itu masih demikian kekanak-kanakan! Kedukaannya itu lebih merupakan sikap merajuk dan “ngambek” kepada ibunya!

“Menolak bagaimana maksudmu, Beng-te?”

“Aku minta agar ibu juga mengurus perjodohanku dengan nona Yap In Hong, akan tetapi ibu keberatan.”

“Mengapa?”

“Pertama, karena tadinya kami belum tahu siapa sebenarnya nona itu, hanya tahu sebagai penolongku yang bernama nona Hong. Dan kedua, karena ibu mendengar dari Eng-moi bahwa nona itu lebih tua kira-kira dua tahun dari aku. Akan tetapi, dalam hal cinta, apa artinya perbedaan usia? Ayah sendiri mengatakan bahwa hal itu sebenarnya bukan merupakan soal yang besar, hanya ayah setuju dengan ibu bahwa kami harus mengenal dulu siapa sebenarnya nona itu. Ketika kemarin, setelah mendengar darimu bahwa Yap In Hong adalah adik dari Yap Kun Liong, ibu lebih-lebih merasa tidak setuju lagi.”

“Hemm... mengapa pula?”

“Kata ibu, Yap Kun Liong adalah sababatnya yang sebaya. Setelah kini nona Hong tidak mempunyai orang tua, jelas bahwa kami harus melamar kepada Yap Kun Liong sebagai wali gadis itu. Dan ibu merasa malu dan sungkan kalau harus melamar adik sahabatnya itu untuk menjadi calon mantunya. Akan tetapi aku tahu bahwa keberatan itu yang terutama adalah soal perbedaan usia. Menurut ibu, seorang calon suami haruslah lebih tua daripada calon isteri.”

“Siapa yang mengharuskan, Beng-te?”

“Entahlah, akan tetapi begitulah kata ibu. Pendeknya, ibu menolak dan hatiku hancur, twako.”

Tio Sun tersenyum, senyum yang pahit. Betapa banyaknya manusia yang dipermainkan oleh cinta! Betapa banyaknya kisah duka ditimbulkan oleh cinta yang sepihak. Dia sendiri jatuh cinta kepada Kwi Eng, namun dara itu sebaliknya mencinta Bun Houw, bahkan telah terikat sebagai calon jodoh pemuda Cin-ling-pai itu. Dia menderita karena cinta sepihak.

Sedangkan Kwi Beng jatuh cinta kepada gadis yang lebih tua dari padanya dan biarpun belum diketahui apakah gadis yang dicintanya itu akan menerima atau membalas cintanya ataukah tidak, namun ibunya tidak menyetujuinya! Apakah Kwi Beng juga akan menderita cinta yang gagal?

“Aku merasa ikut berduka mendengar keadaanmu, Beng-te. Akan tetapi apa maksudmu ketika mengatakan tadi bahwa hanya aku yang dapat menolongmu?”

Pemuda yang usianya baru tujuh belas tahun itu memegang lengan Tio Sun dan memandang dengan matanya yang biru, penuh permohonan.

“Twako, sudikah twako menolongku?”

Tio Sun merasa terharu. Mata itu sama benar dengan mata Kwi Eng dan ketika pemuda ini memegang lengannya dan mengajukan permohonan itu, seolah-olah dia menghadapi Kwi Eng sendiri yang memohon pertolongan kepadanya!

“Tentu saja, Beng-te. Jangan khawatir, aku selalu siap untuk menolongmu. Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana mungkin aku dapat menolongmu?”

“Aku mohon engkau suka menjadi waliku twako! Ibu tidak mau melamarkan nona Yap In Hong, biarlah engkau yang menjadi waliku dan melamarkan untukku kepada kakak nona itu, yaitu kepada pendekar Yap Kun Liong.”

“Ahhh...?” Tio Sun terkejut sekali, tidak menyangka bahwa pemuda ini akan mengajukan permintaan seperti itu. “Mana mungkin, Beng-te? Ayah bundamu masih ada, bagaimana aku berani lancang...”

Dan tiba-tiba Kwi Beng menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun!
“Kalau twako tidak mau menolongku, habislah harapanku...” katanya dengan suara seperti orang hendak menangis.

Tio Sun cepat membangunkan pemuda itu.
“Duduklah, Beng-te dan mari kita bicara dengan baik dan dengan tenang.”

“Akan tetapi twako tidak mau menolongku...”

“Baiklah, aku mau menolongmu, akan tetapi hanya atas dasar desakan dan permintaanmu. Kalau kelak orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku lancang...”

“Aku yang bertanggung jawab dan akan kukatakan bahwa twako melakukan itu hanya karena desakanku dan permohonan tolong dariku.”

Tio Sun merasa terdesak.
“Akan tetapi, apakah itu bijaksana kalau langsung mengajukan lamaran, Beng-te? Apakah tidak lebih baik kalau lebih dulu diadakan pendekatan dari fihakmu kepada gadis itu? Sebaiknya mengukur isi hatinya lebih dulu, apakah kiranya dia akan mau menerimanya, sehingga dengan demikian tidak sampai kelak hatimu patah karena penolakan dari fihaknya.”

“Tidak, tidak! Kalau terlambat, tentu ibu akan mendahului kita, mencarikan jodoh untukku, karena Eng-moi juga sudah terikat jodoh dengan calon suaminya. Dan kalau aku sudah diikat jodoh dengan orang lain, sampai bagaimanapun tentu ibu akan menghalangi aku berjodoh dengan nona Yap In Hong. Mengingat bahwa kakak nona itu adalah sahabat baik ayah dan ibu, yaitu menurut penuturan ibu, agaknya lamaran itu tidak akan ditolaknya. Dan tentang nona Yap In Hong sendiri, kurasa diapun... eh, cinta padaku. Buktinya dia telah menyelamatkan nyawaku dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan sikapnya terhadapku baik sekali.”

“Hemm, Beng-te. Pertolongan adalah kewajiban setiap orang gagah dan sama sekali tidak boleh dimaksudkan sebagai tanda cinta, demikian pula sikap yang baik belum tentu membayangkan cinta.”

“Aku yakin bahwa kita tidak akan gagal, twako. Akan tetapi kalau kau pikir lebih dulu menemui nona itu, akupun setuju. Pendeknya, aku ingin pergi dari sini untuk mendahului ibu. Aku akan menemui nona Hong, akan tetapi untuk mengajukan lamaran kepada kakaknya, aku mengharapkan bantuanmu, twako. Dan aku minta agar twako suka menemaniku pergi besok pagi.”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: