***

***

Ads

Minggu, 22 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 158

Kini rombongan laki-laki itu mengangkat tubuh si wanita telanjang dan beramai-ramai mereka melemparkan tubuh wanita itu ke tengah padang rumput!

Wanita itu menjerit, tubuhnya terbanting dan amblas ke bawah sampai ke pinggang. Matanya terbelalak dan dia meronta-ronta, akan tetapi terbenam makin dalam. Tiba-tiba wanita itu tertawa, lalu menangis lagi dan karena dia terus meronta, sebentar saja suara tawa atau tangisnya itu lenyap karena kepalanya telah terbenam, hanya tinggal kedua tangannya saja yang nampak, membentuk sepasang cakar yang kaku!

Bun Houw menahan napas saking ngeri dan marahnya melihat peristiwa ini. Dia tidak menyangka bahwa wanita itu akan dilempar ke tempat berbahaya itu dan ketika dia melihat hal ini terjadi, dia sudah terlambat dan dia maklum bahwa tak mungkin lagi menolong wanita itu, maka setelah wanita itu tidak nampak lagi dan orang-orang kasar itu masih tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata cabul dan tidak senonoh, dia lalu keluar dan berdiri tegak, memandang mereka penuh kemarahan sambil membentak,

“Iblis-iblis bermuka manusia!”

Tentu saja anak buah Padang Bangkai itu terkejut sekali. Cepat mereka menengok dan melihat seorang pemuda asing berdiri disitu, mereka segera mengepungnya. Mereka merasa heran sekali mengapa mereka tadi tidak melihat pemuda ini datang dan tahu-tahu pemuda itu telah berada di situ. Akan tetapi sebelum mereka bertanya, terdengar suara bentakan nyaring.

“Hayo kepung dan bunuh orang ini!”

Itulah suara Ang-bin Ciu-kwi yang telah datang di situ bersama isterinya, Coa-tok Sian-li. Suami itu bercerita kepada isterinya bahwa dia telah gagal menggagahi Liong Si Kwi karena munculnya seorang pemuda yang amat lihai, pemuda yang amat tampan dan gagah.

Mendengar ini, Coa-tok Sian-li sudah tertarik sekali, maka dia cepat bersama suaminya keluar dari sarang untuk menangkap pemuda yang tampan dan gagah itu. Kiranya pemuda itu telah dikepung oleh anak buah mereka.

“Jangan!” Coa-tok Sian-li berseru, lebih nyaring dari suaminya. “Tangkap dia hidup-hidup!”

Nyonya yang cantik ini memang tertarik sekali melihat Bun Houw yang tampan dan ganteng dan merasa sayang kalau seorang pemuda seperti itu dibunuh begitu raja!

Mendengar perintah Coa-tok Sian-li, orang-orang kasar itu tersenyum dan saling pandang. Mereka ini tentu saja sudah mengenal baik akan kesenangan nyonya majikan itu, dan sambil tertawa-tawa mereka lalu mengeluarkan sehelai jala, masing-masing mengeluarkan sehelai dan mengurung pemuda itu dengan jala siap di tangan.

Bun Houw sejak tadi memperhatikan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, maklum bahwa suami isteri inilah majikan Padang Bangkai itu seperti yang diceritakan oleh Si Kwi tadi. Dia harus melalui Padang Bangkai untuk dapat pergi ke Lembah Naga dan untuk dapat melalui Padang Bangkai dia harus dapat mengalahkan suami isteri ini bersama belasan orang anak buah mereka.






Kebetulan, pikirnya, mereka kini telah berkumpul semua di sini, di tepi padang rumput hijau yang menyeramkan itu. Teringat akan nasib wanita telanjang tadi, Bun Houw merasa perutnya muak dan kini sepasang matanya memandang ke sekeliling, ke arah belasan orang yang mengurungnya itu, dengan sinar berkilat-kilat.

“Haaaiiittt...!”

“Tangkaaappp...!”

Empat orang menubruk dari empat penjuru dengan jala mereka. Jala itu bentuknya seperti jala ikan biasa, ada talinya dan ketika dilontarkan, jala-jala itu mengembang seperti layar dan keempatnya dengan tepat menyelimuti tubuh Bun Houw. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, membiarkan jala-jala itu menyelimutinya, akan tetapi segera dia menggerakkan kedua tangannya.

“Breeeetttt...!”

Empat helai jala itu pecah dan koyak-koyak hancur, dan si pemuda tampan itu masih berdiri di tengah-tengah pengepungan mereka dengan sikap tenang.

“Heiii...!”

“Ahhh...!”

Mereka terkejut bukan main. Jala mereka itu amat terkenal kuat dan dapat menahan bacokan golok. Musuh yang sudah terjala, baru sehelai jala saja, akan sukar meloloskan diri. Akan tetapi kini pemuda itu, dengan tangan kosong telah menghancurkan empat helai jala sekali gerak!

Suami isteri itupun terkejut bukan main dan jantung Coa-tok Sian-li makin berdebar penuh gairah berahi terhadap pemuda yang demikian jantan dan lihainya.

“Serbu! Tangkap!” teriaknya dan kini lima belas orang anak buah Padang Bangkai itu bergerak seperti harimau-harimau kelaparan memperebutkan seekor domba.

Sekaligus dua orang menubruk dari depan dan dua orang pula menyergap dari belakang. Karena mereka diperintah untuk menangkap, maka mereka tidak menghantam, hanya menubruk untuk meringkus pemuda ini yang mereka tahu amat diidamkan oleh nyonya majikan mereka.

Kembali Bun Houw membiarkan empat orang itu meringkus dan merangkulnya, kemudian dia mengeluarkan suara melengking dahsyat dan menggerakkan tubuhnya. Akibatnya hebat karena empat orang tinggi besar itu semua terlempar seperti dilontarkan ke arah... padang rumput hijau!

Mereka memekik ketakutan, akan tetapi karena tenaga yang melontarkan mereka itu amat kuat, akhirnya mereka terbanting ke atas padang rumput hijau dan celakanya mereka jatuh dengan kepala lebih dulu dan langsung tubuh mereka menancap di lumpur dari kepala sampai ke pinggang, tinggal dua kaki mereka saja bergoyang-goyang lucu dan aneh!

Teman-teman mereka terkejut dan hendak menolong kawan-kawan mereka itu dengan tali, akan tetapi kini Bun Houw mengamuk, tidak memberi kesempatan kepada mereka, kaki tangannya bergerak dan terdengar suara berkeretaknya tulang-tulang patah dan ada pula yang terlempar ke padang rumput hijau.

Dengan gerakan kilat Bun Houw berloncatan dan kemanapun tubuhnya berkelebat, tentu ada anggauta Padang Bangkai yang roboh atau terlempar ke padang rumput berbahaya itu.

Dalam waktu singkat, delapan orang terlempar ke padang rumput hijau dan “ditelan” lumpur, yang tujuh orang roboh tak dapat bangkit kembali, ada yang pingsan karena kena ditampar, ada yang patah tulang kaki atau tangannya dan mereka kini hanya merupakan sekumpulan orang cacad yang tidak mampu bangkit, hanya mengerang kesakitan!

Melihat ini, tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li terkejut bukan main. Semua gairah nafsu berahi lenyap dari benak wanita itu ketika melihat betapa lima belas orang anak buahnya telah roboh semua. Kini mukanya yang dihias tebal itu menjadi buruk karena ditarik sedemikian rupa oleh perasaan marah, tangannya bergerak berkali-kali dan puluhan batang jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) menyambar ke tubuh Bun Houw dari kepala sampai ke kaki!

Hebat bukan main serangan beruntun dan bertubi-tubi dari jarum-jarum yang dilontarkan oleh Coa-tok Sian-li yang sudah marah, akan tetapi anehnya, Bun Houw sama sekali tidak mengelak, hanya mengangkat tangan untuk melindungi mukanya dari serangan jarum-jarum itu. Dan semua jarum itu tepat mengenai tubuhnya, dari leher sampai kaki, akan tetapi pemuda itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan jarum-jarum itu banyak yang menancap di pakaiannya!

Kini Bun Houw menggunakan tangannya mengusap pakaiannya dan jarum-jarum itu telah berada di tangannya, lalu tangannya bergerak dan belasan batang jarum menyambar ke arah suami isteri itu dan orang-orang mereka yang masih mengerang kesakitan.

“Celaka...!” Coa-tok Sian-li berseru.

Dia dan suaminya dapat meloncat jauh ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum itu, akan tetapi empat orang anggauta atau anak buah mereka yang telah terluka tadi, kini menjerit dan terjengkang roboh berkelojotan termakan oleh jarum-jarum beracun! Hanya mereka yang tadi sudah pingsan dan rebah saja yang lolos dari maut.

Melihat ini, Coa-tok Sian-li dan Ang-bin Ciu-kwi menjadi pucat dan tanpa menanti komando lagi, keduanya telah membalikkan tubuh dan lari dari situ seperti dikejar hantu! Mereka melarikan diri ke utara untuk melapor ke Lembah Naga tentang kedatangan pemuda yang luar biasa lihainya ini.

Sementara itu, dari jauh Si Kwi melihat semua peristiwa itu dan jantungnya berdebar tegang dan penuh kekaguman. Makin kagumlah dia kepada Bun Houw, dan makin tetaplah tekadnya bahwa apapun yang akan terjadi, dia harus menjaga agar Bun Houw jangan sampai tertimpa malapetaka, atau dia akan berusaha untuk menolongnya sedapat mungkin.

Ketika dia melihat pemuda itu dengan gerakan cepat sekali telah meninggalkan tempat itu dan agaknya seperti mengejar suami isteri yang melarikan diri, Si Kwi juga cepat melanjutkan perjalanannya.

“Ohh, aku cinta padamu... betapa aku cinta padamu...”

Bibirnya berkemak-kemik ketika dia memandang bayangan Bun Houw yang segera lenyap itu.

Si Kwi bukan seorang gadis yang mudah jatuh cinta. Biasanya, karena sikap gurunya, dia malah ada kecondongan memandang rendah kaum pria, biarpun di dalam lubuk hatinya dia merindukan seorang suami yang seperti yang diidam-idamkan gurunya dan diidamkannya sendiri pula. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan lebih lihai daripada dia sendiri, dan tentu saja yang tampan dan ganteng.

Maka kini, bertemu dengan Cia Bun Houw dan melihat betapa semua idaman hatinya itu terkumpul di dalam diri pemuda itu, tidaklah mengherankan apabila dia tertarik, kagum, dan jatuh cinta!

Apalagi karena justeru pemuda hebat itulah yang telah menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut! Dan selain ini, juga pemuda itu telah melihat dia dalam keadaan setengah telanjang, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan pendek saja! Seluruh kerinduan yang timbul semenjak beberapa tahun ini, semenjak dia telah menjadi dewasa, kini ditumpahkan kepada diri Bun Houw seorang!

**** 158 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: