***

***

Ads

Selasa, 24 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 170

“Wuuutttt...! Wuuutttt...!”

Kedua tangannya yang lebar dengan jari-jari terbuka itu sampai mengeluarkan angin saking kuatnya dia menggerakkan kedua tangan dari kanan kiri yang mengadakan serangan cengkeraman itu. Namun dengan langkah ke belakang, Tio Sun dapat mengelak dengan mudah dan ketika raksasa hitam itu melanjutkan serangannya dengan menubruk ke depan, dia juga sudah dapat mengelak ke samping dengan lincahnya.

Biruang Hitam menggereng marah dan kini dia menerjang lagi dengan pukulan kepalan tangan sebesar kepala Tio Sun sedangkan tangan kiri mencengkeram ke bawah, hendak menangkap kaki pendekar itu.

Kembali Tio Sun cepat mengelak dan dari samping dia sengaja memasang diri untuk ditubruk. Melihat betapa pemuda itu mengelak dengan tubuh terhuyung, si raksasa menjadi girang dan cepat dia menubruk dengan kedua lengan terpentang untuk mencegah pemuda itu mengelak ke kanan atau ke kiri.

Memang ini yang dikehendaki oleh Tio Sun. Melihat betapa dada itu “terbuka”, secepat kilat dia menghantam dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga dengan maksud membuat raksasa itu roboh dengan satu kali pukulan.

Tentu saja gerakan Tio Sun ini amat cepatnya sehingga tidak tersangka-sangka oleh si Biruang Hitam yang lamban, maka sebelum dia tahu apa yang terjadi, dadanya sudah kena dipukul lawan.

“Bukkk!”

Pukulan yang keras bukan main mendarat di dada yang bidang itu. Akan tetapi akibatnya bukan tubuh tinggi besar itu yang roboh terjengkang, sebaliknya malah tubuh Tio Sun sendiri terdorong ke belakang dengan kerasnya! Pukulannya yang mengenai dada itu seolah-olah memukul bola karet yang amat kuat sehingga membalik dan akibatnya dia yang mencelat ke belakang dan tentu dia akan roboh terbanting kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik sampai bersalto tiga kali ke belakang, baru dia dapat turun ke atas papan panggung dengan baik.

Sorak-sorai menyambut peristiwa ini karena semua orang melihat betapa si raksasa kena pukulan keras namun yang terlempar malah yang memukul! Si Biruang Hitam tertawa bergelak dan sudah maju lagi dengan kedua lengan dikembangkan, persis seperti seekor biruang yang berjalan dengan dua kaki belakangnya, hidungnya mendengus-dengus dan bibirnya yang tebal itu menyeringai.

Souw Kwi Beng yang melihat ini menjadi gelisah bukan main dan diam-diam dia meraba ke pinggangnya dimana terselip sebuah pistol kecil. Perbuatannya ini tidak terlepas dari pandang mata Raja Sabutai yang hanya tersenyum-senyum menonton pertandingan di atas panggung itu.

Semua mata ditujukan ke atas panggung dan semua jantung berdebar tegang melihat raksasa hitam itu kini telah menghampiri Tio Sun yang mundur-mundur dan memandang dengan sikap waspada sampai akhirnya pendekar itu tersudut.

Biruang Hitam menggereng dan menubruk lagi, namun Tio Sun jauh lebih cepat, tubuhnya telah menyelinap melalui bawah lengan kiri lawan dan dia sudah melesat ke belakang raksasa itu. Biruang Hitam membalik dan menubruk lagi, kedua lengan yang panjang itu menyambar-nyambar ganas, namun selalu dapat dielakkan oleb Tio Sun yang mengasah otak bagaimana dia dapat merobohkan Biruang Hitam yang amat kuat dan tubuhnya kebal ini.






Mungkin dia tadi kurang mengerahkan tenaga, pikirnya. Setelah memperhitungkan dengan masak-masak, untuk kesekian kalinya kembali dia mengelak ketika Biruang Hitam itu menubruk, akan tetapi sekali ini dia menggunakan gin-kangnya, mengelak sambil meloncat ke atas, kemudian sebelum lawan membalik, dari atas dia telah menghantamkan kedua kakinya ke tengkuk lawan.

“Bresss!”

Kembali tubuh Tio Sun terlempar akan tetapi dia dapat melayang turun sedangkan Biruang Hitam kini terhuyung ke depan. Tio Sun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, cepat dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan menghantam dari belakang ke arah punggung dan lambung lawan.

“Bukk! Desss!”

Hantaman-hantaman itu hebat bukan main dan lawan biasa tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi Biruang Hitam memang kuat bukan main seolah-olah tubuhnya dilindungi oleh karet yang tebal. Dia tidak roboh, bahkan dia berhasil membalik dan meraih sehingga pundak Tio Sun kena dicengkeram oleh jari-jari tangan yang panjang dan kuat itu.

Tentu saja Tio Sun yang tidak mengira sama sekali bahwa lawan tidak roboh, bahkan terguncangpun tidak oleh dua pukulannya tadi, terkejut ketika tahu-tahu pundaknya dicengkeram. Bukan main nyerinya, seolah-olah tulang pundaknya akan hancur oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Maka dia cepat mengerahkah ilmu melemaskan badan, semacam Ilmu Jiu-kut-kang, membuat kulit pundaknya licin seperti belut dan dengan gerakan lincah dia merenggutkan tubuhnya dan meloncat mundur.

“Breetttt...!”

Pundaknya terlepas dari cengkeraman akan tetapi baju di pundak itu robek dan hancur di tangan Biruang Hitam yang tertawa-tawa.

Tio Sun terkejut. Kiranya lawan ini lebih hebat daripada yang disangkanya. Timbul kemarahannya. Tadinya, dia hanya ingin mengalahkan lawan ini tanpa melukainya, karena dia memang tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan siapa juga di tempat itu. Akan tetapi pendekar ini maklum bahwa kalau dia tidak sungguh-sungguh dan berhati-hati dia sendiri bisa celaka, bahkan mungkin saja bisa tewas oleh manusia raksasa yang bertenaga gajah dan cara berkelahinya buas seperti harimau ini.

Di antara para tamu sudah ramai orang mengadakan pertaruhan pula, taruhan yang berjumlah tinggi dan tentu saja raksasa hitam itu menjadi jagoan unggul sehingga yang bertaruh atas diri Biruang Hitam berani mempertaruhkan isterinya untuk selir seorang lawan bertaruh! Ini berarti bahwa dia sudah yakin akan kemenangan Biruang Hitam.

Akan tetapi hanya sebentar mereka yang bertaruh ini ramai menambah taruhan mereka karena seluruh perhatian mereka segera dicurahkan lagi ke atas panggung dimana Biruang Hitam sudah menghujani serangan kepada Tio Sun yang kembali hanya mengelak ke sana-sini mengandalkan kelincahan tubuhnya.

Makin lama, Birulang Hitam menjadi makin marah karena semua pukulan, tendangan dan cengkeramannya hanya mengenai tempat kosong belaka. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya akan tetapi tenaganya tidak menjadi kendur, bahkan dia makin bersemangat karena terdorong oleh kemarahannya.

Souw Kwi Beng yang menonton pertandingan itu kini bernapas lega. Tahulah dia bahwa kini Tio Sun berhati-hati sekali dan berganti siasat, mengandalkan kecepatan gerakannya untuk menghabiskan tenaga lawan. Dan melihat betapa lamban gerakan Biruang Hitam yang amat kuat itu, dia tidak khawatir bahwa Tio Sun akan dapat tertangkap lagi seperti tadi.

Dugaannya ini memang benar. Tio Sun yang maklum akan berbahayanya apabila sampai dirinya tertangkap lawan menggunakan gin-kangnya dan dengan mudah dia mengelak terus sambil menanti datangnya kesempatan.

Kesempatan itu tiba selagi si Biruang Hitam menghentikan serangan dan menghapus keringatnya yang menetes dari dahi memasuki matanya. Saat itu Tio Sun memekik keras dan tubuhnya berkelebat, dengan jari tangan terbuka dia menampar ke arah muka lawan.

“Plakkk!” Hantaman telapak tangannya sengaja dijatuhkan ke atas hidung Biruang Hitam itu.

“Currr...!”

Darah segar muncrat dari dalam hidung Biruang Hitam. Betapapun kebalnya, tidak mungkin bagi raksasa ini untuk membikin kebal hidungnya maka begitu kena dihantam dengan keras, darahnya mengucur.

“Oauurrgghh...!”

Dia menggereng seperti binatang terluka dan mengamuklah Biruang Hitam. Dengan membabi buta dia menyerang sambil menggereng dan mendengus-dengus penuh kemarahan. Kalau saja kedua tangannya yang besar itu berhasil menangkap tubuh Tio Sun, tentu tubuh itu akan dicabik-cabik, tulang-tulangnya akan dipatah-patahkan dan otot-ototnya akan dicabuti!

Namun Tio Sun tidak membiarkan dirinya disentuh, terus dia berkelebatan dan meloncat ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari semua terkaman dan selain mengelak, juga dia selalu menggunakan setiap kesempatan untuk menghantam bagian-bagian yang dianggapnya tidak kebal.

“Plakkk!”

Kini telinga kiri raksasa itu digaplok keras sekali. Tubuh raksasa itu terputar karena dia merasa kepalanya pening dan ada suara mengiang-ngiang memenuhi telinganya. Rasa nyeri membuat dia mengeluh dan menggereng, lalu menyerang lagi.

Tio Sun mengelak menjauhi, kemudian ketika raksasa itu menubruk, dia melompat ke samping dan dari samping kakinya melayang ke bawah pusar, ke bagian tubuh yang paling penting dan berbahaya bagi seorang pria.

“Dukkk!”

Tio Sun meringis dan menarik kembali kakinya yang merasa nyeri. Kakinya bertemu dengan benda yang keras seperti besi! Mungkinkah anggauta kelamin si Biruang Hitam ini sudah mengeras seperti besi? Tidak mungkin! Dan Tio Sun mengerti bahwa tentu di bawah cawat itu dipasangi alat pelindung dari besi.

Biruang Hitam menubruk dan kembali Tio Sun mengelak, kini memukul lagi ke arah telinga kanan.

“Plakkk!”

Kembali tubuh itu terputar-putar dan kini tiba saatnya bagi Tio Sun untuk menghajar lawannya dan dia mengerahkan tamparan-tamparan pada kedua telinga, hidung, dan mata.

Mulailah para tamu yang menjagoi pendekar ini bersorak-sorak dan tubuh Biruang Hitam kini sudah mulai lemah. Dengan kecepatan kilat, Tio Sun yang melihat kelemahan lawan, cepat menggunakan dua jari tangan menotok. Tadi, selagi lawan amat kuat, dia khawatir totokannya akan tidak mampu menembus kekebalan. Kini, setelah lawannya mulai lemah, dia mengerahkan tenaga dan dengan mudah dia menotok kedua pundak lawan yang telanjang tepat mengenai jalan darah dan dua lengan panjang itu kini tergantung lumpuh!

Tio Sun yang juga merasa lelah dan penasaran, lalu memperlihatkan tenaganya. Setelah kedua tangan yang berbahaya itu dibikin lumpuh, dia berani menerjang maju, menendang lutut lawan sehingga tubuh tinggi besar itu terguling, seperti kilat dia menangkap pinggang orang itu, mengerahkan tenaga dan mengangkat tubuh reksasa itu dengan kedua tangannya ke atas kepala dan melemparkannya ke bawah panggung. Tubuh raksasa itu jatuh berdebuk di atas tanah di luar panggung dan rebah pingsan di situ!

Sorak-sorai memenuhi tempat itu menyambut kemenangan Tio Sun dan wajah mereka yang menang bertaruh berseri-seri dan mereka membayangkan kesenangan-kesenangan yang didapatkan atas kemenangan itu.

Raja Sabutai bangkit dari tempat duduknya ketika Tio Sun kembali ke situ, dan sambil mengangguk-angguk, Sabutai memuji,

“Sungguh Tio-sicu amat lihai!”

Tio Sun menjura.
“Biruang Hitam itu kuat sekali dan hanya kebetulan saja saya dapat mengalahkan dia.” Lalu dia menatap wajah raja itu tajam-tajam sambil berkata, “Saya harap sekarang paduka suka memberi petunjuk dimana adanya...”

“Nanti dulu, sicu. Duduklah. Pasta belum berakhir. Kepandaian Tio-sicu sudah kami saksikan dan memang sicu seorang yang memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi kami belum melihat kepandaian Souw-sicu.”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: