***

***

Ads

Kamis, 26 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 171

Tio Sun merasa khawatir kalau-kalau Kwi Beng akan diadukan. Dia tahu bahwa Kwi Beng sebagai putera pendekar wanita Souw Li Hwa tentu saja memiliki kepandaian yang tinggi juga dan sudah boleh diandalkan, akan tetapi Kwi Beng masih muda dan dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membunuh lawannya sehingga menimbulkan suasana tidak enak terhadap Raja Sabutai. Maka cepat dia berkata,

“Sri baginda, tidakkah cukup dengan semua pertandingan itu? Para tamu juga tentu menjadi bosan karenanya. Bagaimana kalau adik Souw ini memperlihatkan kepandaiannya mainkan hui-to (pisau terbang) dan senjata rahasianya yang amat hebat, yang dapat memuntahkan peluru baja sedemikian cepatnya sehingga tidak dapat terlihat oleh mata? Tentu saja untuk permainan ini, tidak diperlukan adu kepandaian yang merupakan lawan karena dapat membunuh orang.”

Sabutai mengangguk-angguk sambil tertawa.
“Seorang ahli senjata rahasia, heh? Bagus, nah, aku sendiri yang akan mengujinya.”

Tio Sun terkejut. Dia sudah mendengar bahwa raja ini, sebagai murid kakek dan nenek lihai Mo-ko dan Mo-li, memiliki kepandaian tinggi dan agaknya Kwi Beng bagaimanapun juga bukanlah lawannya.

“Mana bisa adik Souw harus menghadapi paduka yang memiliki kepandaian amat tinggi?” dia mengajukan keberatan.

Raja Sabutai tertawa.
“Kami hanya menguji kepandaiannya mainkan senjata rahasia, bukan bertanding.”

Raja itu lalu bangkit berdiri dan melangkah ke atas panggung. Semua tamu kini memandang dengan mata terbelalak. Apakah Raja Sabutai yang sakti itu kini hendak bertanding? Semua mata memandang ke arah pemuda tampan berambut agak keemasan yang mengikuti di belakang sri baginda dengan sikap tenang.

“Saudara-saudara sekalian. Pemuda inipun seorang utusan dari selatan yang lihai. Anda sekalian tadi telah menyaksikan betapa lihainya Tio-sicu yang telah mengalahkan pegulat hebat kita Si Biruang Hitam. Dan sekarang, Bouw-sicu akan memperlihatkan kemahirannya menggunakan senjata rahasia.”

Semua orang bertepuk tangan, menyambut dengan gembira karena bagi mereka, senjata yang mereka kenal hanyalah anak panah dan tombak yang dilontarkan, atau batu yang disambitkan. Akan tetapi mereka semua maklum bahwa Raja Sabutai juga mahir menggunakan bermacam senjata rahasia, terutama menggunakan anak panah. Kabarnya, sekali menarik gendewa, raja ini mampu meluncurkan tujuh batang anak panah, semua menuju ke sasaran dengan tepatnya!

Atas isyarat raja, seorang pengawal datang berlari bersama dua orang pembantunya yang datang membawa sebuah alat yang biasa dipakai untuk berlatih ilmu memanah, yaitu sasaran terbuat dari kayu tebal yang sudah diberi lingkaran-lingkaran dan di tengah-tengahnya digambar kepala orang dengan mulut terbuka berwama hitam.

Atas perintah Sabutai, sasaran itu dipasang dalam jarak seratus langkah. Kemudian Sabutai menerima gendewa dan tempat anak panah dari seorang pengawal lain, dan dia menoleh ke arah Kwi Beng sambil tersenyum.






“Souw-sicu, kami di daerah ini hampir semua orang mahir bermain anak panah, oleh karena itu ingin sekali kami melihat apakah senjata rahasiamu dapat menandingi anak panah kami dan mengenai sasaran itu dengan sama tepatnya.”

Sebelum pemuda itu menjawab, Sabutai sudah memasang tiga batang anak panah sekaligus di gendewanya, lalu menarik tali gendewa dan ketika dia melepaskan tali sehingga terdengar suara menjepret, meluncurlah tiga batang anak panah dengan cepatnya menuju sasaran.

Menggunakan tiga batang anak papah sekaligus dapat dilakukan oleh pemanah-pemanah ahli, akan tetapi untuk ditujukan kepada tiga buah sasaran. Kalau tiga batang anak panah ditujukan kepada sasaran yang sama, sungguh merupakan hal yang amat sukar dan jarang dapat dilakukan orang. Akan tetapi, ketika tiga batang anak panah itu meluncur ke arah sasaran, tahulah semua orang dengan kagum bahwa sang raja itu menujukan ketiga batang anak panahnya kepada sasaran yang sama!

“Cep-cep-cepp!”

Bagaikan berebut saja, tiga batang anak panah itu menancap di sasaran, dan tiga-tiganya tepat pada mulut hitam gambar kepala di tengah lingkaran itu. Tepuk sorak gemuruh menyambut kemahiran yang luar biasa ini.

Raja Sabutai sambil tersenyum mengangkat kedua tangan ke atas untuk meredakan kebisingan itu, kemudian dia menghadapi Kwi Beng sambil berkata,

“Nah, Souw-sicu, dapatkah senjata rahasiamu mengenai sasaran dengan tepat seperti anak-anak panahku?”

“Akan saya coba, sri baginda,” kata pemuda ini sambil memandang tajam ke arah sasaran yang jaraknya seratus langkah itu.

Dia melihat betapa sasaran inti, yang merupakan mulut hitam kecil dari gambar kepala orang itu, telah penuh oleh tiga batang anak panah sehingga tidak ada tempat lagi bagi senjata rahasianya, maka tahulah dia bahwa Sabutai sengaja mempersulit dia.

Akan tetapi, Kwi Beng memiliki kelihaian melepas hui-to seperti juga saudara kembarnya dan memiliki kelihaian ibunya dan kecerdasan otak ayahnya, maka setelah mengincar dengan seksama, tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan pekik dahsyat dan tangan kirinya bergerak ke pinggang, diikuti oleh tangan kanannya, kemudian kedua tangan itu bergerak cepat ke depan dan meluncurlah tiga sinar berkilauan ke arah sasaran.

Pemuda ini berturut-turut, hampir sama saat pelemparannya saking cepatnya, telah menyambitkan tiga batang hui-to (pisau terbang) ke arah sasaran itu, diikuti oleh pandang mata semua tamu. Diam-diam Sabutai kagum juga menyaksikan cara pemuda itu melemparkan pisau, demikian cepatnya.

“Cap-cap-cappp!”

Tiga batang pisau itu menancap dan tiga batang anak panah bergoyang-goyang. Ketika semua mata memandang, sejenak suasana hening saking herannya, kemudian lepaslah tepuk sorak dan pujian ketika mereka melihat bahwa tiga batang pisau itu dengan tepatnya telah menancap di ujung gagang anak panah yang tiga tadi!

Raja Sabutai mengangguk-angguk akan tetapi dahinya berkerut. Dia kagum sekali akan tetapi juga ada rasa tidak senang, karena pemuda ini telah membikin rusak tiga batang anak panahnya. Maka timbul keinginannya untuk mengalahkan pemuda ini dan dia lalu mengambil lagi sebatang anak panah, dipasangnya di gendewa yang masih dipegang di tangan kirinya, lalu dia berkata lagi setelah semua tamu diam.

“Souw-sicu, kepandaianmu ternyata hebat. Akan tetapi yang menjadi sasaranmu adalah benda tidak bergerak. Sekarang ingin aku mengujimu satu kali lagi, yaitu ingin aku melihat apakah dengan senjata rahasiamu, engkau dapat mengenai anak panah yang kulepas di udara.”

Kalau saja pemuda tampan berambut keemasan itu menyatakan tidak sanggup, hati Sabutai sudah akan merasa puas dan tidak akan mendesak lagi karena hal itu sudah menyatakan bahwa pemuda itu masih kalah olehnya dalam hal menggunakan senjata rahasia. Akan tetapi, pemuda itu mengangguk dan berkata tenang,

“Akan saya coba, sri baginda.”

Sabutai menjadi penasaran. Benarkah pemuda ini akan dapat menjatuhkan anak panahnya? Betapapun mahirnya menggunakan pisau terbang, tentu saja luncuran pisau yang disambitkan tidak akan dapat lebih cepat daripada luncuran anak panahnya, dan pisau itu sampai bagaimanapun tidak akan mampu menyusul anak panahnya, apalagi mengenainya.

Dan memang pemuda inipun tahu bahwa pisau terbangnya tidak akan mungkin dapat mengenai anak panah yang diluncurkan, akan tetapi dia sudah bersiap untuk tantangan ini. Semua mata para tamu kini memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan, karena merekapun kesemuanya adalah ahli-ahli panah yang tahu belaka bahwa luncuran anak panah, apalagi yang dilepaskan oleh tangan Raja Sabutai yang kuat, tidak mungkin dapat dikejar oleh sambitan biasa.

Gendewa menjepret ketika Sabutai melepaskan tali gendewa dan meluncurlah sebatang anak panah ke angkasa! Pada saat itu, tangan kanan Kwi Beng sudah bergerak mencabut senjata apinya, yaitu sebuah pistol kecil yang tadi memang sudah dipersiapkan dan diisinya, lalu dengan ketepatan seorang jago tembak terlatih dia membidikkan pistolnya dan menarik pelatuknya.

“Darr...!”

Semua orang terkejut bukan main mendengar ledakan ini dan semua mata, termasuk mata Sabutai, memandang dengan penuh kagum, kaget, dan heran melihat anak panahnya yang masih meluncur itu tiba-tiba runtuh dan patah menjadi dua, jatuh di depan kaki raja itu!

Dalam keadaan biasa, tentu Raja Sabutai akan menjadi penasaran dan marah sekali melihat anak panahnya runtuh dan patah menjadi dua itu. Akan tetapi pada saat itu dia terlalu kaget dan heran menyaksikan kehebatan senjata kecil yang aneh itu sehingga dia melongo memandang kepada pistol di tangan Kwi Beng yang masih mengepulkan asap.

Barulah ketika para tamu yang tadi juga tercengang kini bertepuk tangan dan bersorak gemuruh memuji kehebatan senjata rahasia pemuda itu. Sabutai menjadi sadar dan dengan muka jelas membayangkan kekaguman dia memandang senjata api di tangan kanan Kwi Beng sambil bertanya,

“Apakah itu?”

Melihat sikap raja yang jelas sekali kelihatan amat tertarik dan kagum kepada senjata apinya, Kwi Beng lalu memperlihatkan pistolnya sambil berkata,

“Ini adalah senjata api, sri baginda.”

Sabutai menyentuh pistol yang masih hangat itu dan memuji,
“Hebat bukan main...”

Sambil tersenyum dan menyodorkan pistolnya, Kwi Beng berkata,
“Kalau paduka suka memberi petunjuk agar kami dapat tahu dimana adanya nona Yap In Hong, sebagai tanda terima kasih saya menghaturkan pistol ini kepada paduka.”

Sepasang mata Sabutai terbelalak dan wajahnya berseri.
“Benarkah? Akan tetapi tidak ada gunanya, aku tidak bisa mempergunakannya.”

“Saya akan mengajar paduka sampai dapat mempergunakannya.”

Sabutai tertawa girang, memegang tangan Kwi Beng dan dituntunnya pemuda itu kembali ke tempat duduk kehormatan dan Tio Sun menyambut temannya itu dengan senyum puas karena dia maklum bahwa temannya telah mendatangkan kesan baik kepada Sabutai yang juga tersenyum-senyum.

Seperti seorang anak kecil meminang-minang permainan baru, Sabutai memegang dan meneliti pistol itu, kemudian dia mempelajarinya dan Kwi Beng menjadi gurunya. Cara mengisi peluru dan obat, cara menembakkan dan lain-lain.

Sabutai yang memang cerdas itu sebentar saja sudah menguasainya dan ketika dia mencobakan pistol itu pada sasaran, ditonton oleh semua tamu, tiga kali tembakan saja Sabutai sudah dapat mengenai mulut kepala dalam gambar sasaran, disambut tepuk tangan para tamu.

Kwi Beng menyerahkan semua peluru yang dibawanya, sebanyak beberapa puluh butir mesiu dan pistol itu kepada Sabutai. Raja ini girang sekali, menyimpan pistol dan peluru-pelurunya, lalu dia berkata,

“Tio-sicu dan Souw-sicu, kalian ternyata adalah tamu-tamu yang amat menyenangkan dan kurasa cukup gagah dan berharga untuk berusaha menolong nona Yap In Hong, biarpun kami merasa sangsi sekali apakah kalian akan dapat berhasil. Kami kira kalian tidak akan mampu melawan kedua orang guru kami. Bahkan sekarang, setelah kedua orang guru kami itu berhasil melatih ilmu baru mereka, jangankan baru kalian berdua, biarpun ketua Cin-ling-pai sendiri dan puteranya yang lihai itu pasti tidak akan dapat menangkan suhu dan subo. Mereka telah memiliki kekebalan yang luar biasa sekali sehingga semua pukulan sakti, semua senjata pusaka tidak akan mampu melukai mereka luar dalam!”

“Kami bukan hendak melawan siapapun kalau tidak terpaksa, yang kami kehendaki hanya agar nona Yap In Hong dibebaskan,” kata Tio Sun.

Sabutai tersenyum dan menarik napas panjang.
“Kami rasa tidak begitu mudah. Ilmu baru dari suhu dan subo ini amat hebat, dan baru saja diciptakan sehingga kami sendiripun belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi sesuai dengan janji kami, biarlah ji-wi mengetahui dimana suhu dan subo menahan nona Yap In Hong, yaitu di kaki Pegunungan Khing-an-san, di Lembah Naga dekat tikungan Sungai Luan-ho. Nah, disana ji-wi akan dapat menemui suhu dan subo, juga di sanalah nona Yap ditawan.”

Tio Sun dan Souw Kwi Beng menjadi girang sekali. Mereka bangkit dan menjura sambil mengucapkan terima kasih lalu berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga sekarang juga! Raja Sabutai juga bangkit berdiri dan berkali-kali dia menarik napas panjang.

“Sayang... sungguh saya akan selalu menyayangkan bahwa dua orang pemuda sehebat ji-wi ini harus membuang nyawa secara sia-sia saja di Lembah Naga. Akan tetapi, kami tidak berhak untuk mencegah dan selamat jalan, Tio-sicu dan Souw-sicu...”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: