***

***

Ads

Kamis, 26 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 173

Tio Sun dan Kwi Beng telah tiba di sebelah selatan Padang Bangkai. Lembah Naga telah nampak dari jauh ketika mereka tadi meloncat ke atas pohon tinggi dan mengintai. Akan tetapi jalan menuju ke Lembah Naga itu terhalang oleh padang rumput dan alang-alang yang luas sekali. Mereka tidak tahu bahwa itulah Padan Bangkai yang amat berbahaya, pintu masuk ke Lembah Naga yang merupakan pintu neraka.

Hari masih pagi ketika mereka mulai memasuki daerah Padang Bangkai. Tio Sun yang berwatak hati-hati itu tidak sembrono, melakukan perjalanan perlaban-lahan dan dengan penuh kewaspadaan dia selalu melihat ke kanan kiri menjaga segala kemungkinan.

Tiba-tiba dia memberi isyarat kepada Kwi Beng yang berjalan di belakangnya. Mereka berhenti dan menahan napas. Siliran angin dari depan membawa pula suara tangis lirih. Kalau tidak ada angin bersilir, agaknya suara itu tidak akan terdengar oleh mereka.

Dengan isyarat tangan Tio Sun memberi tahu kepada temannya untuk maju perlahan dan tidak mengeluarkan suara berisik. Berindap-indap mereka lalu maju menghampiri ke arah suara tangis wanita itu. Sungguh menyeramkan mendengar suara tangis itu, di tempat yang demikian sunyi, penuh dengan rumput alang-alang tinggi dan tidak nampak orangnya yang menangis.

Ketika mereka tiba di rumpun alang-alang yang berada di tepi jalan setapak, mereka terkejut karena melihat bahwa yang menangis itu adalah seorang wanita muda yang cantik, yang menangis sambil menelungkup di atas tanah yang tertutup batang dan daun alang-alang yang malang melintang menjadi alas tubuhnya.

Wanita itu menangis sedih sekali, sesenggukan dan air matanya membasahi seluruh wajahnya yang cantik, tangan kanannya menutupi sebagian mukanya sedangkan tangan kirinya... buntung sebatas pergelangan tangan dan dibungkus dengan kain putih yang masih membekas darah merah, tanda bahwa luka atau buntungnya tangan itu terjadi belum lama.

Dua orang pemuda itu tercengang dan merasa kasihan sekali melihat ke arah lengan kiri yang tidak bertangan lagi itu.

“Apa yang terjadi, nona?”

Kwi Beng yang memang berperasaan halus dan mudah terharu itu bertanya sambil melangkah mendekati.

Gadis itu terkejut, menurunkan tangan kanannya dan dengan mata merah dia memandang. Ketika melihat bahwa di depannya berdiri dua orang laki-laki yang tak dikenalnya, seperti seekor harimau yang marah, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia menyerang Kwi Beng dengan pukulan tangan kanannya. Cepat sekali gerakan tubuhnya, seperti terbang saja dan tubuhnya berkelebat menjadi bayangan merah karena gadis itu memakai pakaian serba merah.

“Ehh...?”

Kwi Beng terkejut dan cepat dia menangkis karena kecepatan serangan gadis itu membuat dia tidak sempat lagi mengelak.

“Dukk...!”

Dua lengan bertemu dan akibatnya Kwi Beng hampir terjengkang kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik. Kiranya gadis itu memiliki tenaga yang amat kuat biarpun tangannya tinggal satu!






“Eh, nanti dulu, nona!” Tio Sun berseru mencegah, akan tetapi tiba-tiba dia berseru, “Beng-te, awas...!”

Kwi Beng cepat menggulingkan tububnya ke atas tanah. Sebagai seorang ahli melempar pisau terbang, tentu saja dia maklum apa artinya benda-benda hitam kecil yang menyambar ke arahnya.

Ternyata paku hitam itu meluncur lewat dan juga Tio Sun sudah berhasil mengelak dari sambaran paku hitam yang disambitkan oleh gadis berpakaian merah itu. Akan tetapi, gadis itu sudah menyerang lagi, kini menyerang Tio Sun dengan tangan tunggalnya. Tio Sun cepat mengelak dan sambil mengelak tiga kali, dia tiba-tiba menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu sambil berkata,

“Tahan dulu, nona. Mari kita bicara!”

“Bicara apalagi, kau kaki tangan kakek dan nenek iblis!”

Nona itu membentak, meronta dan merenggutkan tangannya sambil menendang. Kakinya mencuat ke arah bawah pusar Tio Sun. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali. Maklum akan bahayanya tendangan maut itu, terpaksa dia melepaskan tangan gadis itu.

“Plakk!”

Kembali gadis itu menghantam ke arah Kwi Beng dan ditangkis oleh Kwi Beng yang menjadi terhuyung.

“Twako, gadis ini gila...!” Kwi Beng berseru kaget.

Tio Sun cepat meloncat ke depan menghadang dan tiba-tiba nampak sinar berkelebat ketika gadis itu mencabut sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi dia telah menyerang Tio Sun dengan pedangnya!

“Hemmm...!”

Tio Sun cepat mengelak dan melihat betapa gadis itu menyerang kalang-kabut dan nekat, dia mulai percaya akan ucapan Kwi Beng tadi. Harus diakuinya bahwa gadis ini bukan sembarangan orang, melainkan seorang ahli ilmu silat yang selain memiliki sin-kang yang lebih kuat daripada Kwi Beng, juga memiliki kecepatan yang luar biasa sekali dan ilmu silatnyapun tinggi.

Akan tetapi melihat caranya menyerang begitu nekat dan kalang-kabut, dia tahu bahwa kalau tidak gila tentu gadis ini sedang bingung dan kacau pikirannya.

“Minggir, Beng-te!” serunya karena dia tahu betapa bahayanya menghadapi seorang lawan yang kacau pikirannya karena lawan seperti ini hanya tahu menyerang dengan nekat saja sehingga kelihaiannya menjadi bertambah.

Diapun cepat mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dan melolos pula sabuknya yang dapat dipergunakan sebagai pecut.

“Tringg-cringgg... tarrr...!”

Dua pedang bertemu berkali-kali dan pecut di tangan kiri Tio Sun menyambar-nyambar. Namun gadis itu sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menyerang makin nekat.

Tio Sun adalah seorang pemuda yang berpandangan luas dan tidak mau sembrono dalam segala tindakannya. Maka, menghadapi gadis yang nekat dan mengamuk ini, tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan besi, tidak mau melukai apalagi membunuh orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak diketahui mengapa mengamuk seperti itu.

Dengan hati-hati dia selalu menghalau pedang lawan dan mencari kesempatan baik. Memang dalam hal tenaga dan ilmu silat, Tio Sun masih menang banyak, maka kecepatan gerakan wanita itu tidak membuat pemuda ini menjadi bingung. Dengan tenang dia membiarkan gadis itu menyerang terus dan tiba-tiba dia menangkis sambil mengerahkan tenaga Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati).

“Trangggg... aihhhh...!”

Wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas dari tangannya. Akan tetapi, betapa kaget hati Tio Sun melihat lawan yang sudah dilucuti senjatanya itu tiba-tiba menubruknya dan menyerang terus dengan tangan tunggalnya secara nekat!

“Ahh, kau sungguh nekat...!” kata Tio Sun dan cepat sabuknya menyambar.

Dua kali ujung sabuknya menotok dan wanita itupun mengeluh dan roboh tertotok, lemas tubuhnya dan tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh!

Akan tetapi matanya masih melotot memandang dan ketika dua orang pemuda itu menghampirinya, tiba-tiba gadis itu berteriak,

“Kalian bunuhlah aku dan aku akan berterima kasih kepada kalian! Akan tetapi kalau kalian memperkosa aku, ingatlah, biar sampai matipun arwahku akan menjadi setan dan terus mengejar kalian untuk membalas dendam!”

Wajah kedua orang pemuda itu menjadi merah dan Tio Sun lalu berkata,
“Nona, kau ini menganggap kami berdua orang macam apakah? Kami tidak sudi melakukan perbuatan terkutuk itu dan kalau aku merobohkanmu, itu adalah karena terpaksa melihat engkau begitu nekat menyerang kami mati-matian.”

Kini pandang mata gadis itu berobah seperti orang baru sadar dan terheran.
“Siapakah kalian? Bukankah kalian diutus oleh Mo-ko dan Mo-li untuk membunuh aku?”

Tio Sun menggeleng kepala.
“Kami sama sekali bukan diutus oleh Mo-ko dan Mo-li, bahkan kami datang untuk mencari Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, untuk menolong nona Yap In Hong. Apakah kau tahu tentang itu?”

“Ohhh...!” Gadis itu kelihatan terkejut, memandang mereka berdua bergantian penuh perhatian. “Ahhh... kalau begitu lekas... lekas kalian selamatkan Cia Bun Houw...!” Setelah berkata demikian dia menangis lagi.

Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terkejut mendengar ini dan Tio Sun cepat membebaskan totokannya sehingga dara itu dapat bergerak kembali. Dia bangkit duduk dan berkata berulang kali.

“Maafkan aku... maafkan aku...” sambil menangis.

Tio Sun dan Kwi Beng juga duduk. Dengan duduk begitu, mereka kalah tinggi oleh rumpun ilalang dan tidak nampak dari jauh.

“Nona, agaknya ada kesalah-fahaman antara kita. Nona mengira bahwa kami adalah anak buah kakek dan nenek iblis di Lembah Naga itu, dan kami mengira bahwa nona adalah kaki tangan mereka yang hendak membunuh kami. Sekarang ceritakanlah dengan jelas, siapa nona dan mengapa mengira kami anak buah mereka? Bagaimana pula dengan saudara Bun Houw yang kau sebut-sebut tadi?”

“Ah, dia tentu celaka... kalau kalian ada kepandaian, harap lekas selamatkan dia. Dengar, aku adalah Liong Si Kwi, murid dari Hek I Siankouw. Guruku itu sekarang juga berada di Lembah Naga, membantu nenek dan kakek iblis itu. Yap In Hong memang ditawan disana untuk memancing datangnya musuh-musuh kakek dan nenek itu. Akan tetapi yang muncul adalah Cia Bun Houw dan karena hendak membela nona Yap In Hong, Cia Bun Houw kinipun tertangkap dan mereka kini ditawan. Aku... aku... mencoba untuk membebaskan Cia Bun Houw, akan tetapi gagal dan ketahuan... dan aku...” Dia bicara tergagap-gagap dan memandang lengan kirinya yang buntung.

“Engkau lalu dibuntungi tangan kirimu?” Tio Sun bertanya dan gadis itu mengangguk.

“Betapa kejamnya!” Kwi Beng berseru marah dan mengepal tinju.

Gadis itu memandang kepada mereka berdua bergantian, seperti hendak menaksir apakah benar dua orang pemuda itu boleh diandalkan.

“Kalian hanya berdua saja dan hendak menyerbu Lembah Naga?” tanyanya.

“Benar! Kami berdua akan menyerbu dan membebaskan nona In Hong, kalau perlu dengan taruhan nyawa kami!” Kwi Beng berkata dengan penuh semangat.

Si Kwi, gadis yang bernasib malang itu, memandang tajam kepada Kwi Beng, lalu menarik napas panjang dan berkata lirih,

“Aihh... engkau agaknya juga menjadi korban cinta...”

Kwi Beng menjadi merah mukanya dan mengerutkan dahinya.
“Apa? Apa maksudmu?”

“Tidak apa-apa, hanya kiranya amat berbahaya kalau kalian berdua menyerbu Lembah Naga. Kalian tidak tahu betapa berbahayanya itu.”

Kini sikap Si Kwi sudah tenang kembali dan dia lalu menceritakan keadaan Padang Bangkai yang penuh dengan tempat-tempat berbahaya itu. Dengan jelas dia memberi petunjuk tentang jalan menuju ke Lembah Naga yang harus melewati Padang Bangkai.

“Akan tetapi, anak buah Padang Bangkai telah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan ketua mereka suami isteri kini berada di Lembah Naga juga, maka akan mudahlah bagi kalian untuk menyeberangi padang ini. Biarpun begitu, di Lembah Naga kalian akan menghadapi bahaya besar. Kakek dan nenek itu sudah amat lihai dan berbahaya seperti iblis. Pula, selain mempunyai anak buah sebanyak seratus orang, juga mereka dibantu oleh orang-orang pandai seperti Bouw Thaisu, guruku Hek I Siankouw, kemudian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li suami isteri ketua Padang Bangkai! Maka kalau hanya kalian berdua yang menyerbu Lembah Naga, bukankah hal itu sama artinya dengan mengantar nyawa sia-sia belaka?”

Akan tetapi Kwi Beng masih tetap bersemangat dan Tio Sun tenang saja mendengar cerita itu, sungguhpun di dalam hati masing-masing mereka mengambil keputusan untuk bersikap hati-hati sekali setelah mendengar penuturan ini.

“Aku tidak takut. Bagaimanapun juga aku harus berusaha untuk menolong dan menyelamatkan nona In Hong!”

Tio Sun memandang kepada nona itu dan berkata,
“Nona Liong Si Kwi, kami berterima kasih sekali atas segala petunjukmu dan engkau ternyata adalah seorang sahabat ygng baik sekali. Bahkan engkau telah mengorbankan sebelah tanganmu untuk menolong Cia-taihiap.”

Mendengar ucapan itu, Si Kwi menunduk dan tidak menjawab, kelihatan berduka sekali. Melihat ini, Tio Sun lalu memberi isyarat kepada Kwi Beng dan mereka berdua lalu bangkit berdiri.

“Nona Liong, kami hendak melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga. Sekali lagi terima kasih,” kata Tio Sun, akan tetapi kini Si Kwi sudah mulai menangis lagi, menelungkup dan memeluki rumput-rumput di tempat itu.

Tio Sun menghela napas dan mengajak Kwi Beng meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan ke utara untuk menyeberangi Padang Bangkai yang ternyata amat berbahaya menurut petunjuk Si Kwi tadi. Kwi Beng juga diam saja mengikuti Tio Sun meninggalkan gadis yang masih menangis, dan setelah jauh baru dia bertanya,

“Tio-twako, dia kenapakah?”

Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tidak menjawab langsung melainkan berkata lirih seperti kepada dirinya sendiri,

“Betapa banyaknya di dunia ini manusia dipermainkan dan menjadi korban cinta...”

“Eh, kenapa ucapanmu seperti nona Liong Si Kwi tadi? Dia juga mengatakan bahwa aku menjadi korban cinta. Apa maksudnya dan apa maksudmu?”

“Aku tidak tahu bagaimana kenyataannya, akan tetapi menurut dugaanku, melihat keadaan gadis itu, agaknya tidak salah lagi bahwa dia jatuh cinta kepada Cia-taihiap. Karena cintanya maka dia berhianat dan berusaha menolong Cia-taihiap akan tetapi dia ketahuan sehingga dia dibuntungi tangan kirinya. Sungguh kasihan dia.”

Tio Sun menghentikan kata-katanya karena hatinya seperti ditusuk karena dia teringat akan keadaannya sendiri yang juga gagal dalam cintanya. Dia memandang kepada Kwi Beng dan diam-diam dia mengharapkan agar kegagalan yang menyedihkan itu jangan menimpa pemuda tampan ini yang dia tahu benar-benar cinta dan tergila-gila kepada Yap In Hong.

Biarpun mereka telah memperoleh petunjuk yang amat lengkap dari Si Kwi, namun kedua pemuda itu melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali melewati Padang Bangkai dan benar-benar seperti cerita gadis tadi, dusun Padang Bangkai itu telah kosong dan ditinggalkan penghuninva sehingga tanpa banyak kesukaran mereka dapat melewatinya dan menuju ke Lembah Naga.

**** 174 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: