***

***

Ads

Sabtu, 04 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 001

BETAPA INDAHNYA ALAM! Betapa indahnya susunan tubuh kita sendiri! Betapa indah dan juga ajaibnya keadaan diri kita sendiri dan di sekeliling kita. Akan tetapi sayang kita seperti buta terhadap itu semua. Kita tidak pernah membuka mata menikmati semua keindahan dan keajaiban itu, melainkan menerawang jauh, menginginkan hal-hal yang tidak terjangkau oleh kita.

Kalau kita tinggal di tepi laut, pemandangan laut tidak lagi menarik perhatian kita karena perhatian kita diterbangkan oleh pikiran yang menginginkan pemandangan di gunung-gunung. Sebaliknya kalau kita tinggal di gunung, kita menganggap bahwa pemandangan di laut yang jauh dari kita itu lebih indah.

Betapa bahagianya manusia yang selalu membuka mata memandang penuh perhatian akan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya sendiri. Dialah yang akan melihat segala keindahan dan keajaiban itu. Dialah yang akan menyaksikan kekuasaan Tuhan yang penuh berlimpah dengan berkah, dengan keindahan, dengan keajaiban, dengan CANTA KASIH!

Di kaki Pegunungan Khing-an-san, di tikungan Sungai Luan-ho, di luar tembok besar dan termasuk daerah Mongol, terdapat Lembah Naga. Lembah yang amat liar dan penuh dengan hutan lebat, binatang-binatang buas, dan jarang didatangi manusia.

Memang sekali waktu ada para pemburu yang menyusup-nyusup memasuki hutan, namun mereka tidak berani sampai Lembah Naga karena lembah itu terkenal sebagai tempat keramat yang amat berbahaya. Kabar angin mengatakan bahwa di lembah itu terdapat sebuah istana yang dihuni oleh iblis-ibils dan siluman-siluman. Dan karena sudah ada beberapa orang tewas ketika berani mendekati istana itu, maka akhirnya tidak ada seorangpun pemburu yang berani memasuki daerah Lembah Naga, betapapun gagah dan beraninya pemburu itu.

Pemandangan di lembah ini sungguh amat mentakjubkan. Jauh di bawah kaki lembah membentang luas sebuah padang rumput dan terutana karena keadaan padang ini pulalah yang membuat orang makin segan mendekati Lembah Naga. Padang itu dinamakan orang Padang Bangkai karena di sekitar padang itu terdapat banyak rangka-rangka manusia dan binatang, bahkan ada suatu bagian yang berlumpur dimana terdapat mayat-mayat manusia dan bangkai-bangkai binatang yang tidak dapat membusuk, sampai bertahun-tahun masih menjadi bangkai terbungkus lumpur.

Namun, dipandang dari atas, sungguh tidak kelihatan semua kengerian itu, yang nampak hanyalah keindahan yang amat mentakjubkan. Apalagi di waktu matahari terbit atau waktu matahari tenggelam, bukan main indahnya pemandangan di kaki langit, di waktu bumi terbakar oleh sinar keemasan dan segala sesuatu nampak jelas dan indah.

Memang tidak mengherankan kalau orang mendekati lembah itu, apalagi mendekati Istana Lembah Naga yang kelihatan angker itu. Sebuah istana yang besar dan kokoh kuat, penuh dengan ukiran dan arca-arca indah. Sayang istana itu tidak terawat sehingga tembok-temboknya yang tadinya putih itu kini penuh dengan lumut hijau, demikian pula arca-arca itu. Istana ini dibangun oleh Raja Sabutai, raja liar dari Suku Bangsa Mongol bercampur suku bangsa lain yang menguasai daerah tak bertuan di utara.

Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan siapa adanya Raja Sabutai ini. Dia adalah keturunan seorang jenderal besar di jaman Dinasti Goan, di waktu bangsa Mongol menguasai seluruh daerah Tiongkok. Sebagai keturunan seorang jenderal gagah perkasa, Sabutai inipun amat besar ambisinya, cita-citanya setinggi langit dan dia mengangkat diri sendiri menjadi raja di antara suku bangsa Mongol yang sudah terpecah-pecah dan lemah itu, dan dia pernah bercita-cita untuk menyerbu ke selatan dan untuk menegakkan kembali kebesaran bangsa Goan seperti pada ratusan tahun yang lalu. Akan tetapi cita-citanya itu gagal dan kandas di tengah jalan (baca cerita Dewi Maut) dan kini dia hanya puas dengan menjadi raja kecil di utara, jauh dari perbatasan.






Istana Lembah Naga itu dahulunya di bangun oleh Raja Sabutai, dijadikan sebagai istananya dan markasnya. Kemudian, dia memperbaiki istana itu setelah dia melakukan gerakan ke selatan dan gagal dan memberikan istananya itu kepada kedua orang gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, nenek dan kakek iblis dari Sailan yang amat sakti.

Dalam pertempuran melawan orang-orang gagah yang dipimpin oleh kakek Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, tewaslah Pek-hiat Mo-ko dan kalau tidak cepat muncul Raja Sabutai yang menyelamatkannya, tentu Hek-hiat Mo-li yang sudah terluka parah itu akan tewas pula.

Pek-hiat Mo-ko telah tewas dan Hek-hiat Mo-li yang terluka itu dibawa pergi oleh Raja Sabutai, semua orang gagah telah pergi meninggalkan Lembah Naga, dan istana itu menjadi sepi, sunyi dan menyeramkan. Semenjak itu, tidak ada lagi seorangpun manusia dari luar yang berani mendekati istana itu.

Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah istana itu kosong tidak ada penghuninya? Sesungguhnya tidak demikian. Setelah semua orang meninggalkan istana itu dalam keadaan sunyi dan menyeramkan, masib nampak bekas-bekas pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang perajurit dan anak buah kedua fihak, pada malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seorang diri di lembah ini, sambil menundukkan mukanya dan menangis.

Dia lalu menghampiri istana, memasuki istana seperti bayangan setan yang bangkit dari kuburan, langkahnya ringan namun terhuyung-huyung dan dia langsung memasuki sebuah kamar di dalam istana itu dan melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu!

Terbayanglah dalam benaknya ketika dia menyerahkan dirinya, menyerahkan kehormatannya kepada seorang pemuda yang amat dicintainya, seorang pemuda yang sama sekali tidak mau mengakuinya, tidak mau menerimanya, seorang pemuda yang dijunjung tinggi, dikaguminya dan dicintainya. Pemuda gagah perkasa yang kini telah pergi pula meninggalkannya seorang diri di tempat itu, padahal dia telah menyerahkan kehormatan tubuhnya, menyerahkan cinta hatinya, bahkan pula tangan kirinya!

Tangan kirinya, sebatas pergelangan tangan telah putus, dibabat putus sebagai hukuman karena dia berani menolong pemuda itu yang tadinya menjadi tawanan di situ, ketika tempat itu masih dikuasai oleh kakek dan nenek iblis Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dan kini, Cia Bun Houw, pemuda itu, telah meninggalkannya dan tidak mau menerimanya!

Wanita itu masih muda, usianya baru dua puluh lima tahun, wajahnya manis sekali, dan pakaiannya serba merah ber potongan ketat membungkus tubuhnya yang ramping padat. Dia bernama Liong Si Kwi dan dia bukanlah wanita sembarangan. Dia adalah murid tunggal dari seorang nenek yang sakti berjuluk Hek I Siankouw, seorang nenek yang selalu berpakaiain hitam dan amat terkenal di dunia kang-ouw.

Sebagai seorang wanita muda yang berilmu tinggi Liong Si Kwi juga terkenal di dunia kang-ouw dan karena dia memiliki keistimewaan dan gerakan ringan dalam limu gin-kang, seperti burung terbang saja kalau dia bergerak, maka dia terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Ang-yan¬-cu (Burung Walet Merah).

Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Si Kwi menolong pemuda Cia Bun Houw yang tertawan, dan karena pemuda itu diberi makanan yang bercampur racun pembangkit nafsu berahi, maka dalam keadaan seperti orang mabok itu Bun Houw lalu melakukan hubungan kelamin dengan Si Kwi.

Wanita muda ini memang menaruh rasa hati cinta kepada Bun Houw, maka dia tidak menolak, bahkan dia membantu pemuda itu makin tenggelam dalam amukan nafsu sehingga terjadilah hubungan itu. Setelah sadar, tentu saja Bun Houw merasa menyesal sekali dan tentu saja dia tidak mau menerima Si Kwi sebagai kekasih atau jodohnya, dan pemuda ini meninggalkan Si Kwi yang menjadi hancur hatinya.

Dia kehilangan sebelah tangan, kehilangan kehormatannya sebagai seorang gadis perawan, dan kehilangan pria yang dicintainya! Dia kehilangan segala-galanya. Gurunyapun telah tewas dalam pertempuran itu ketika gurunya membantu kakek dan nenek iblis. Keluarga dia sudah tidak punya. Dia hanya sebatangkara saja di dunia ini dan harapannya untuk hidup bahagia telah dibawa pergi oleh pemuda yang dicintainya itu.

Demikianlah, Liong Si Kwi menjadi penghuni tunggal istana Lembah Naga. Mula-mula dia memang hendak menghibur diri dengan bersembunyi di tempat sunyi itu, jauh dari dunia ramai, dengan harapan akan dapat melupakan Bun Houw, dapat melupakan kedukaannya.

Akan tetapi, kegairahannya untuk hidup itu yang mulai timbul sehingga dia mulai memperhatikan dirinya dan membuat pakaian-pakaian dari bahan-bahan kain yang terdapat di dalam istana itu, mulai menyulam dan akhirnya malah merupakan tekanan hebat bagi batinnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia telah mengandung! Dia seorang perawan dan kini dia mengandung tanpa suami. Kiranya, hubungan kelamin yang dilakukannya dengan Bun Houw, dalam keadaan mabok dilanda nafsu itu, telah menghasilkan kandungan di dalam perutnya!

Makin tua kandungannya, makin ter¬tekan rasa hati wanita yang bernasib malang itu. Bernasib malang? Benarkah NASIB yang membuat Liong Si Kwi seperti itu? Benarkah NASIB yang mem¬buat lengannya buntung, hidupnya terasa merana, perutnya terisi kandungan anak tanpa ayah?

Betapa mudahnya kita melontarkan segala peristiwa yang menimpa diri kita kepada nasib! Nasib baik, nasib baik dan sebagainya! Tidak ada sesuatu terjadi tanpa sebab, dan sebab itu sama sekali bukanlah nasib! Sebab itu pada hakekatnya SUDAH PASTI timbul dari hasil perbuatan kita sendiri, perbuatan termasuk sikap, kata-kata, pikiran dan sebagainya. Sumber dari segala sesuatu yang terjadi pada diri kita terletak di dalam diri kita sendiri!

Akan tetapi, kita tidak pernah mau memandang diri sendiri, dan kita lebih condong untuk mencari kambing hitam pada diri orang lain, pada keadaan di luar diri, atau kalau sudah kehabisan calon kambing hitam, kita lalu meraih NASIB dan menjadikannya sebagai kambing hitam! Kapankah kita mau membuka mata memandang diri sendiri dimana terdapat sumber segala rahasia hidup ini?

Setelah tahu bahwa dirinya mengandung, mulal terjadi perubahan dalam kehidupan Si Kwi. Mulailah dia merana dan tidak memperdulikan pakaiannya sehingga dia berkeliaran di sekitar Lembah Naga dengan pakaian yang kotor dan butut, dan sikapnya seperti orang yang sudah miring otaknya! Makin tua kandungannya, makin tersiksa rasa hati¬nya dan hampir setiap malam, di waktu tubuhnya mengaso dan tidak ada hiburan yang membuatnya terlupa, dia menangis mengguguk seorang diri di dalam kamarnya di istana yang besar itu.

Ada terpikir oleh Si Kwi untuk mengakhiri penderitaan batinnya dengan jalan membunuh diri saja. Akan tetapi, dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukan hal itu. Ataukah dia masih terlampau sayang kepada kehidupan ini dan masih mengharapkan untuk kelak menemui kebahagiaan? Apapun juga alasannya, Si Kwi tidak sampai hati untuk membunuh diri, maka dia rela hidup menderita, penuh kebingungan.

Dia tidak tahu bagaimana dia harus menghadapi kelahiran anak dalam kandungannya. Untuk pergi ke dusun-dusun di sekitar kaki pegunungan itu, dia merasa malu sekali. Kalau ada orang bertanya mana suaminya, mana ayah dari anak yang dikandungnya, apa yang akan dijawabnya? Tidak, dia lebih baik mati dari pada harus menderita aib seperti itu di mata orang-orang lain. Tentang melahirkan, dia menyerahkan diri kepada Tuhan saja. Dalam kesengsaraan ini, satu-satunya yang menjadi pegangan Si Kwi hanyalah Thian dan kesengsaraannya itu lebih mempertebal kepercayaannya kepada Thian yang diharapkan sebagai penolongnya yang tunggal.

Betapa banyaknya manusia yang tidak kuat menghadapi penderitaan hidup dan selalu mencari jalan pelarian untuk menjauhkan diri atau membebaskan diri dari penderitaan hidup itu. Banyak macam cara pelarian ini, di antaranya yang terburuk dan paling mengerikan adalah bunuh diri!

Ada yang bersembunyi di balik hiburan-hiburan, kesenangan-kesenangan yang dicari-cari, atau menggantungkan kepercayaan kepada sesuatu. Kita tidak sadar bahwa semua bentuk pelarian itu adalah sia-sia belaka. Mengapa sia-sia? Karena apa yang kita namakan penderitaan hidup itu sesungguhnya tak lain tak bukan adalah permainan pikiran kita sendiri! Pikiran kita selalu melekat kepada masa lalu, kepada hal-hal yang telah terjadi, kepada hal-hal yang akan terjadi! Pelekatan pikiran ini tentu saja menimbulkan sesal, duka, dan khawatir.

Kita tidak pernah mau menghadapi setiap peristiwa sebagai sesuatu yang wajar, menghadapi langsung, mempelajarinya setiap saat, dengan penuh perhatian tanpa menyalahkan sana-sini, tanpa rasa iba kepada diri sendiri. Kita hanya dapat bebas dari semua penderitaan kalau kita menghadapinya secara langsung apa yang kita anggap penderitaan itu!

Kalau kita menghadapinya lang¬sung, memandang dan mengamatinya secara langsung, melihat apa adanya, kewajarannya sebagai suatu fakta, maka sudah pasti bahwa penderitaannya akan lenyap. Kita akan bebas dari penderititan karena penderitaan itu adatah PENDAPAT PIKIRAN yang terdorong oleh kekecewa¬an, iba diri dan sebagainya.

Setelah Si Kwi menghitung bahwa bulan ke sembilan dari kandungannya telah tiba dia segera keluar dari istana itu. Istana itu dianggapnya sebagai tempat yang keramat, karena di tempat itulah dia menyerahkan kehormatannya, di tempat itulah adanya kenang-kenangan manis dan penuh babagia ketika dia menyerahkan diri, bermain cinta dengan Cia Bun How, ingatan yang tidak pernah dapat dilupakannya selama ini.

Dia tidak mau mengotori istana yang keramat itu dengan kelahiran anak dalam kandung¬annya! Anak inilah yang menjadi pe¬nyebab penderitaannya! Anak ini adalah anak yang tidak diharap-harapkan dan karena itu amat dibencinya sebelum ter¬lahir.

Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa mesra dan memaaf¬kan semua akibat kehadiran anak dalam kandungannya itu, yaitu kenyataan bahwa anak itu keturunan Bun Houw, pria yang dicintanya, dan masih dicintanya biarpun Bun Houw telah menolak dan menghina¬nya. Dia tidak ingin melahirkan di dalam Istana Lembah Naga. Seolah-olah istana yang pernah dihuni banyak orang itu mempunyai mata untuk memandangnya dan dia merasa malu! Tidak, dia tidak mau mengotori istana itu dan seperti orang gila, Si Kwi lalu pergi meninggalkan istana itu dan tinggal di dalam sebuah gua, tidak jauh dari istana itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: