***

***

Ads

Kamis, 09 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 011

Kui Hok Boan menarik napas panjang. Dia mengerutkan alisnya lalu menjawab,
“Sesungguhnya, pedang yang saya pesan bukanlah untuk saya sendiri. Hendaknya Bhe-twako dan twaso mengetahui bahwa tahun ini saya akan mengikuti ujian di kota raja. Saya mengenal pengujinya sebagai seorang pembesar yang suka sekali pedang yang bagus, maka saya hendak membawa oleh-oleh sebatang pedang yang baik sekali untuk hadiah kepadanya. Dan saya mendengar bahwa Bhe-twako disini adalah seorang ahli pedang yang hebat, maka jauh-jauh saya datang untuk memesan sebatang pedang yang baik dan indah yang akan saya hadiahkan kepada pembesar itu. Saya bersedia untuk membayar berapa saja harga pedang itu...”

“Ahhhh... begitukah? Ha-ha-ha, Kui-kongcu tidak keliru kalau datang kepada saya. Tentang harga pedang, ah, mari kita makan dulu. Urusan itu dapat kita bicarakan nanti.”

“Benar, kongcu. Silakan makan seada¬nya, dan maklumlah, karena di dusun maka kami tidak berkesempatan untuk menyajikan masakan yang baik.”

Kui Hok Boan bangkit berdiri dan menjura kepada Bhe Coan, lalu kepada Leng Ci,
“Twako dan twaso sungguh budiman dan ramah sekali terhadap saya, menerima kedatangan saya sebagai se¬orang anggauta keluarga saja. Oleh karena itu, tidak enak rasanya kalau saya makan sendiri masakan twaso yang sudah berjerih telah membuatkan masak¬an-masakan ini. Kalau boleh, saya per¬silakan twaso ikut pula makan bersama kami, karena bukankah kalian berdua memperlakukan saya sebagai anggauta keluarga sendiri?”

Bhe Coan adalah seorang dusun yang jujur dan penuh kepercayaan kepada orang lain. Apalagi dia adalah keturunan pandai besi dan sudah menjadi kenyataan bahwa orang-orang yang bekerja sebagai pandai besi sejak kecil biasanya berwatak polos, jujur dan mudah percaya, juga dapat dipercaya.

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap sasterawan muda yang begitu halus dan ramah, dia tertawa girang dan menarik tangan isterinya yang berdiri menunduk dengan muka merah.

“Ha-ha-ha, Leng Cip isteriku. Kenapa mesti malu-malu? Kui-kongcu berkata benar. Dia adalah seorang tamu agung, seorang sahabat, dan memang seperti anggauta keluarga sendiri. Maka tidak ada salahnya kalau kau menemani kami makan. Duduklah!”

Leng Ci tersenyum malu-malu dan duduk di samping kiri suaminya, berhadapan dengan tamunya yang agak di sebelah kirinya karena Hok Boan duduk tepat berhadapan dengan Bhe Coan. Dengan cekatan nyonya rumah ini lalu menuangkan arak ke dalam cawan tamunya dan suaminya, lalu berkata,

“Silakan minum, Kongcu.”

Bhe Coan mengangkat cawannya dan berkata,
“Kui-kongcu, mari kita minum untuk menyatakan selamat datang kepada kongcu!”

Hok Boan melirik ke arah Leng Ci dan melihat wanita ini agaknya tidak turut minum, dia lalu tertawa dan berkata,

“Twaso, mana arakmu?”

“Ha-ha, benar isteriku, hayo kau ikut minum untuk menghormati Kui-kongcu!”






Leng Ci hanya tersenyum ketika dengan cekatan Hok Boan menuangkan arak dari guci ke dalam cawan di depan nyonya itu. Mereka bertiga lalu minum arak mereka.

“Dan kini saya ingin mengajak twako dan twaso minum untuk menghaturkan terima kasih saya.”

Hok Boan berkata, lalu sambil menuangkan arak lagi ke dalam cawan mereka. Kembali mereka minum secawan arak. Mereka silih berganti menghaturkan selamat sambil makan minum dan setelah menghabiskan lima cawan arak, wajah yang manis dari nyonya rumah itu menjadi makin merah, senyumnya makin genit dan matanya yang tajam lebih sering menyambar dengan kerlingan dari sudut matanya ke arah tamunya.

Bhe Coan yang juga sudah mulai dipengaruhi arak, tidak melihat perubahan sikap isterinya ini dan kegembiraan isterinya dianggap wajar saja karena tamu mereka itu amat menyenangkan.

Kui Hok Boan tentu saja melihat perubahan sikap wanita di depannya, agak di sebelah kanannya itu. Dia telah banyak berpengalaman dengan wanita, maka bukanlah hal yang lancang atau tidak diperhitungkan ketika tiba-tiba kakinya menyentuh betis kaki nyonya muda itu di bawah meja. Leng Ci sedang membawa sepotong daging ke mulutnya.

“Ihhkk...!” serunya dengan kaget sekali ketika merasa betapa betis kakinya diusap oleh sebuah kaki, matanya terbelalak saking kagetnya melihat keberanian tamu itu.

“Eh, kenapa kau...?” Suaminya bertanya heran.

Wajah itu menjadi merah sekali dan tak dapat menjawab.

“Apakah twaso tersedak? Baiknya diberi minum teh, twaso.” kata Hok Boan dengan kaki masih mengusap betis itu.

Wanita itu menarik kakinya menjauh dan cepat menyambar cangkir teh dan diminumnya teh itu untuk menutup mukanya yang menjadi merah. Jantungnya berdebar keras sekali, akan tetapi kini dia menjadi tenang. Setelah minum dia memandang suaminya dan tersenyum.

“Aku tersedak memang, agaknya terlalu banyak minum membikin orang mabok dan tidak menyadari apa yang dilakukannya.”

Sambil berkata demikian, dia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh teguran.

Kui Hok Boan tertawa.
“Ha-ha, memang bagi yang tidak biasa minum, arak dapat memabokkan. Akan tetapi bagi yang biasa seperti saya, sukar untuk mabok oleh arak, biarpun tentu saja saya bisa mabok oleh yang lain.”

Ucapan ini mengandung arti mendalam dan kembali kedua pipi wanita itu menjadi merah.

Bhe Coan yang polos itu memandang kepada tamunya.
“Kongcu, kalau bukan arak yang dapat membikin engkau mabok, habis apa?”

Sasterawan muda itu tersenyum.
“Ha-ha twako. Banyak yang dapat membikin mabok orang, yang lebih hebat dari pengaruh arak. Keindahan misalnya, saya bisa mabok melihat sesuatu yang indah menarik...” kembali kongcu itu melirik ke arah nyonya rumah yang kini menunduk karena nyonya ini jelas sekali dapat menangkap arti kata-kata pemuda itu.

Apalagi kini tiba-tiba dia merasa ada tangan yang dengan halus mengusap pahanya! Nyonya itu tidak berani bergerak, takut kalau diketahui suaminya, akan tetapi tangan itu merayap-rayap membuat semua bulu di tubuhnya meremang dan jantungnya berdegup demikian kerasnya sehingga dia khawatir suaminya akan mendengar bunyi degup jantungnya itu. Maka dia lalu bangkit berdiri sehingga tentu saja tangan Bok Hoan itu terlepas dari pahanya.

“Sebaiknya aku menyingkirkan mang¬kok-mangkok kosong dan mencucinya.”

Memang masakan-masakan itu telah mereka makan habis. Mukanya merah sekali, akan tetapi tentu saja kalaupun suaminya melihat ini, tentu akan disangkanya bah¬wa muka isterinya itu merah karena terlalu banyak minum arak.

“Dan sayapun harus berpamit untuk mencari penginapan. Twako, berapa lamakah engkau dapat menyelesaikan sebatang pedang yang baik dan indah untukku?”

“Kurang lebih tujuh hari.”

“Sepekan? Kalau begitu aku harus mencari kamar penginapan yang baik untuk tinggal selama sepekan di dusun ini.”

Kongcu itu bangkit pula dan men¬dengar ini, Leng Ci tidak jadi meninggal¬kan meja dan hanya berdiri memandang wajah tampan yang kini agak kemerahan itu. Wajah suaminya juga merah dan kalau kemerahan wajah sasterawan muda itu menambah ketampanannya, adalah kemerahan wajah suaminya baginya me¬nambah keburukan dan kebodohan wajah suaminya itu. Betapa jauh perbedaan yang terdapat antara dua orang pria ini! Dan Leng Ci untuk ke sekian kalinya menghela napas panjang.

“Kui-kongcu adalah seperti keluargaku sendiri, suamiku, kalau dia sudi tinggal di rumah kita yang buruk, kamar di belakang itu dapat kubersihkan untuk dia pakai selama dia menunggu jadinya pedang itu,” katanya dengan suara datar sambil memandang suaminya. Sikapnya begitu wajar sebagai seorang nyonya rumah yang baik.

“Kau setuju? Ha-ha, tadinya aku hendak menawarkan kepadanya akan tetapi khawatir engkau tersinggung, maka aku ragu-ragu. Nah, Kui-kongcu, setelah isteriku berkata demikian, aku minta kepadamu untuk tinggal saja di rumah kami...”

“Ah, twaso dan twako sungguh budi¬man dan baik sekali kepadaku. Akan tetapi, mana aku berani mengganggu seperti itu?”

“Tidak ada yang mengganggu! Kami persilahkan kongcu tinggal di sini, kecuali tentu saja kalau kongcu merasa rumah ini terlalu buruk dan kotor, maka kami tidak dapat memaksa kalau kongcu mencari kamar lain...” kata Leng Ci.

“Ha-ha-ha, Kui-kongcu, isteriku amat pandai berdebat. Engkau takkan menang, maka harap engkau suka menerima saja, tinggal di sini bersama kami agar kita dapat bercakap-cakap kalau aku sedang berhenti bekerja. Dan selagi aku bekerja, kongcu dapat pergi ke manapun untuk melewatkan waktu menganggur.”

Kui Hok Boan menghela napas mem¬perlihatkan sikap kewalahan, lalu dia menjura dan berkata,

“Baiklah, kalau twako dan twaso menghendaki demikian. Mana mungkin saya berani menolak lagi? Biarlah segala kebaikan kalian itu dapat saya balas dengan imbalan apa saja yang mampu saya lakukan.”

“Ha-ha, bagus sekali! Saya girang sekali, Kui-kongcu...”

“Bhe-twako, sudah menerima segala kebaikan ini, harap twako jangan me¬nyebut kongcu kepadaku. Bukankah kita sudah seperti keluarga sendiri? Sebaiknya twako menyebut siauwte saja kepadaku.”

“Ah, mana saya berani?”

“Kalau twako dan twaso bersikap sungkan, mana aku berani tinggal di sini?”

“Ha-ha, engkau pandai berdebat seperti twasomu! Baiklah, Kui-siauwte, sungguh merupakan kehormatan besar bagiku.”

Demikianlah, Hok Boan tinggal di rumah Bhe Coan dan isterinya, tinggal di sebuah kamar di belakang yang telah dibersihkan oleh Leng Ci. Kamar itu berada di bagian paling belakang dan mempunyai pintu belakang yang menembus ke kebun belakang.

Dan ternyata sastera¬wan muda itu dapat bersikap amat me¬nyenangkan, sopan dan ramah. Hal ini membuat Bhe Coan menjadi makin suka sehingga ketika beberapa kali Hok Boan menanyakan harga pedang, dia bilang bahwa hal itu akan dibicarakan kalau pedang telah selesai saja! Dia bermaksud menghadiahkan sebatang pedang kepada tamunya yang amat menyenangkan itu.

Tidak demikian dengan keadaan Leng Ci. Wanita ini merasa tersiksa sekali. Dia makin tertarik, bahkan tergila-gila kepada sasterawan itu. Apalagi ketika dia mendengar suara nyanyian atau tiup¬an suling Hok Boan yang sering bermain suling dan bernyanyi seorang diri di dalam kamarnya, dia makin tergila-gila.

Bahkan di waktu dia tidur dengan suami¬nya, dia sering membayangkan betapa akan senangnya kalau yang tidur di sampingnya itu adalah Hok Boan, bukan suaminya yang kalau tidur mengorok seperti babi disembelih! Akan tetapi, dia adalah isteri Bhe Coan, dan tinggal serumah, tentu saja dia takut untuk men¬dekati Hok Boan dan dia selalu meng¬hindar, sungguhpun hatinya amat ingin, namun dia tidak berani melayani bujuk rayu yang terpancar dari sepasang mata sasterawan itu apabila bertemu dengan dia.

Kui Hok Boan sendiri merasa penasaran. Dia merasa yakin bahwa nyonya rumah yang manis itu sudah pasti terpikat olehnya dan seperti biasa, dia merasa yakin bahwa dia tidak akan gagal mendekati Leng Ci. Kalau nyonya rumah itu tidak muda dan manis seperti Leng Ci, sudah tentu dia tidak suka tinggal di rumah pandai besi itu, lebih senang tinggal di penginapan dimana dia dapat bersenang-senang dengan bebas!

Kini, melihat betapa nyonya muda yang sudah jelas terpikat olehnya itu seolah-olah takut dan tidak pernah mau mendekatinya, dia merasa penasaran dan nafsunya makin memuncak! Gemaslah rasa hatinya dan dia bertekad untuk mendapatkan wanita itu dengan akal apapun juga!

Demikianlah memang sifat nafsu apapun kalau sudah mencengkeram batin seseorang. Nafsu terdorong oleh pikiran yang membayangkan kesenangan yang akan dinikmatinya. Nafsu adalah keingin¬an memperoleh sesuatu yang dianggap amat menyenangkan, bayangan dari pengalaman-pengalaman lalu yang dinikmati, dikunyah kembali seperti seekor kerbau mengunyah daun-daun muda yang tadi telah dimakannya.

Kenangan akan kesenangan ini, bayangan akan kesenangan yang diharapkan akan dinikmati nanti, menimbulkan nafsu atau keinginan. Dan makin sukar sesuatu yang diinginkan itu diperoleh, makin berkobarlah nafsu keinginan itu. Nafsu berahi, seperti juga nafsu keinginan lain, akan makin mendorong kita sehingga membuat kita mata gelap, tidak lagi perduli akan cara-cara yang bagaimanapun untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu, baik dengan cara yang benar maupun cara yang kotor!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: