***

***

Ads

Kamis, 09 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 013

“Cepat masak obat ini!” kata Bhe Coan kepada isterinya dan wanita itu cepat melakukan perintah suaminya. Lalu Bhe Coan mendekati tamunya. “Bagaimana siauwte? Berbahayakah keadaanmu?”

Hok Boan memaksa senyum dan menggeleng kepala.
“Jangan khawatir, twako... kalau berbahaya tentu aku juga tahu... aku, aku pernah mengalaminya, lebih hebat dari sekarang, tapi obat itu pasti akan menyembuhkan aku... tinggalkanlah aku, lanjutkan pembuatan pedang itu agar tidak terlambat... aku berterima kasih kepada twako dan twaso...”

Bhe Coan menarik napas lega dan menepuk-nepuk pundak sasterawan muda itu.
“Jangan berkata demikian, jangan sungkan-sungkan, kami hanya mengharapkan kesembuhanmu.”

Dia lalu pergi dan tak lama kemudian terdengar lagi bunyi dencing palunya yang memukul-mukul.

Leng Ci melangkah memasuki kamar itu membawa semangkok obat yang berwarna hitam dan seguci arak. Diletakkannya obat dan arak di atas meja, kemudian dia mendekati pembaringan dimana Hok Boan masih rebah terlentang dengan muka pucat.

“Kui-kongcu, obatnya sudah selesai kumasak, dan sudah kudinginkan. Mau diminum sekarang?”

“Baik... baik...” Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi mengeluh. “Auhhh...” Dan dia hampir terguling.

Leng Ci cepat merangkul pundaknya dan membantunya bangkit duduk. Hampir tidak kuat rasa hati Hok Boan ketika merasakan kehangatan tubuh itu dan mencium bau minyak harum bercampur bau khas wanita. Akan tetapi dia memejamkan matanya dan duduk.

“Pusingkah, kongcu.?”

Dia mengangguk dan membuka matanya
“Ya, agak pusing, twaso.”

“Mau minum obat sekarang? Sudah kusediakan bersama araknya.”

“Nanti dulu, twaso. Ketahuilah, penjual obat itu benar, obat ini sama sekali bukan obat untuk demam panas. Akan tetapi penyakitku ini aneh, twaso. Dan kalau sampai obat yang kau beli itu tidak cocok dan mendatangkan hawa dingin, bisa merupakan racun bagiku dan dapat membunuhku seketika.”

“Ihhh...!” Wanita itu mundur selangkah dan mukanya berobah pucat, matanya terbelalak memandang kepada obat di atas meja itu. “Kalau begitu, jangan diminum, kongcu!”

Kui Hok Boan tersenyum.
“Akan tetapi obat itu tidak berbahaya sama sekali bagi orang yang sehat, bahkan kalau ada yang mau, dapat menolongku untuk mengujinya, apakah cocok atau tidak untukku. Bagi yang sehat seperti twaso umpamanya, obat itu sama sekali tidak berbahaya, bahkan menyehatkan. Akan tetapi... ah, aku hanya akan merepotkan twaso saja.”






“Ah, tidak, kongcu. Sama sekali tidak. Bagaimana cara mengujinya?”

“Campurannya adalah, setengah mangkok obat itu dicampur setengah mangkok arak, lalu diminum. Kalau orang sehat yang meminumnya lalu terasa hangat, berarti obat itu cocok untukku dan pasti akan menyembuhkan aku. Akan tetapi kalau orang sehat meminumnya lalu terasa agak dingin, berarti aku tidak boleh minum obat itu. Harap twaso suka mencari seorang tetangga yang suka menguji obat itu dan menolongku.”

“Kalau cuma begitu saja, aku dapat menolongmu, kongcu. Akan tetapi benarkah tidak berbahaya obat itu?”

“Aku tanggung dengan nyawaku, twaso. Apakah twaso tidak percaya kepadaku?”

Leng Ci menahan senyum lalu melangkah mendekati meja, memberi kesempatan kepada Hok Boan untuk melihat gerak pinggulnya. Dia menuangkan obat yang semangkok itu ke dalam mangkok lain, setengah mangkok banyaknya, lalu dicampurinya dengan setengah mangkok arak. Baunya sedap sekali.

“Aku akan mencobanya, kongcu.”

“Minumlah, twaso, dan kalau terasa hangat, berarti aku akan sembuh dengan cepat.”

Nyonya muda itu tanpa curiga lalu minum obat semangkok itu, rasanya agak manis dan memang bukan tidak enak, apalagi karena dicampur arak yang keras. Hanya arak itu terlalu keras baginya namun ditahannya dan habislah obat semangkok itu.

“Kalau arak itu terlalu keras, duduklah, twaso.”

Leng Ci tidak menjawab melainkan duduk dan memang kepalanya agak pening, maka dia duduk di atas bangku dan memejamkan mata. Sunyi di kamar itu. Bunyi dencing besi dipukul dari bengkel terdengar satu-satu dengan jelas sekali.

“Bagaimana, twaso?”

Hok Boan bertanya lagi ketika melihat wanita ini membuka matanya. Wajah wanita itu menjadi kemerahan dan napasnya agak memburu, matanya bersinar aneh.

“Panas... rasanya panas dan hangat di seluruh tubuh.”

“Ah, kalau begitu cocok untukku!” Hok Boan bangkit duduk. “Tolong campurkan obat itu dengan arak seperti tadi.”

Leng Ci bangkit berdiri dan menuangkan arak ke dalam mangkok, obat yang tinggal separuh itu, lalu mendekati pembaringan. Hok Boan menerimanya dan meminumnya sampai habis, kemudian dia merebahkan diri. Seketika dahinya penuh dengan keringat, juga lehernya. Dia bergerak gelisah sedangkan Leng Ci duduk kembali dan memandangnya.

“Ahhh... panas sekali... panas...!” Hok Boan merintih dan berguling ke kanan kiri.

“Bagaimanap kongcu?”

Leng Ci bangkit dan menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan dengan khawatir. Dia tidak sadar bahwa dia sendiri mulai berkeringat halus membasahi dahi dan lehernya.

“Panas, tolong bukakan kancing bajuku.” Hok Boan merintih.

Jari-jari tangan yang kecil itu agak gemetar ketika membukakan kancing-kancing baju Hok Boan, apalagi karena pemuda itu menggerakkan tubuhnya, maka jari-jari tangannya kadang-kadang mengusap kulit dada yang putih halus itu.

“Panas sekali...” kembali Hok Boan merintih.

“Aku... akupun merasa panas dan gerah, kongcu. Mungkin obat itu...”

“Kalau begitu, kenapa tidak dibuka saja bajumu?”

“Kongcu... ehh...?”

“Sakitku adalah sakit rindu kepadamu, Leng Ci... dan hanya engkau seorang yang dapat menyembuhkan aku...”

Menjelang tengah hari, barulah dia mendorong tubuh Leng Ci yang kelelahan itu dan menyuruhnya cepat membereskan pakaiannya.

“Suamimu sudah berhenti bekerja...” bisiknya dan dia sendiri cepat membereskan pakaian dan sudah rebah terlentang lagi ketika terdengar langkah kaki Bhe Coan menuju ke kamar itu!

Dengan tergesa-gesa Leng Ci membereskan pakaiannya dan rambutnya, dan ketika suaminya muncul di pintu, dia sedang membawa mangkok-mangkok kosong itu keluar dari kamar.

Bhe Coan tidak memperhatikan isterinya, kalau dia memperhatikan tentu dia akan melihat wajah yang kemerahan, napas yang masih memburu dan rambut yang agak awut-awutan itu. Akan tetapi pandai besi ini segera menghampiri Hok Boan dan sejak memasuki kamar dia sudah memandang ke arah pemuda itu karena memang sama sekali dia tidak pernah menaruh kecurigaan apapun terhadap isterinya.

“Bagaimana, Kui-siauwte?” tanyanya. “Wajahmu tidak sepucat tadi, agak merah, akan tetapi engkau kelihatan basah semua penuh keringat...”

“Ah, terima kasih, twako. Keadaanku sudah banyak baik. Obat yang dimasak twaso itu sungguh hebat dan menyembuh¬kan. Aku hanya perlu beristirahat dan terus minum obat itu. Nyawaku tertolong berkat kebaikanmu dan terutama sekali berkat rawatan twaso, twako.”

Bhe Coan tersenyum.
“Ah, jangan sungkan, siauwte. Aku girang mendengar engkau sudah mendingan.”

Demikianlah, semenjak saat itu, hampir setiap saat selagi Bhe Coan sibuk di bengkelnya membuat pedang, Hok Boan dan Leng Ci tidak pernah membuang kesempatan, melakukan hubungan yang kotor itu.

Memang demikianlah nafsu. Seperti api. Makin diberi umpan dan bahan bakar, makin berkobar. Seperti babi yang rakus. Makin diberi makan, makin kurang! Segala macam bentuk nafsu keinginan selalu demikian, makin dituruti keinginan itu, makin banyak yang didapatnya makin serakah.

Seorang yang gila uang, makin banyak mendapat uang, makin serakahlah dia, tidak akan ada puasnya seolah-olah makin diberi minum makin haus. Seorang yang gila kekuasaan, gila kedudukan, gila nama dan sebagainya juga demikian. Makin dikejar nafsu keinginannya, makin banyak yang didapatkannya, makin kuranglah dia merasa!

Leng Ci dan Hok Boan yang sudah sekali terjun memasuki pengejaran, menjadi makin haus dan selalu ingin lebih banyak lagi memperoleh kesempatan untuk mengulanginya.

Kini mereka seperti orang-orang yang kelaparan, bahkan kadang-kadang mereka lupa akan kewaspadaan. Kini mereka mulai berani saling bertemu di waktu malam, di waktu Bhe Coan tidur mendengkur dan diam-diam Leng Ci menyelinap meninggalkan kamarnya, kemudian menyelinap kembali ke dalam kamar suaminya sambil mencebirkan bibirnya kepada tubuh suaminya yang tidur mendengkur!

Beberapa hari lewat dan bagi Bhe Coan, tamu yang dihormatinya itu masih beristirahat di kamar saja! Juga dia tidak menaruh curiga kalau di waktu malam, isterinya selalu menolak dia melakukan pendekatan dengan dalih lelah karena harus melayani makan dua orang ditambah merawat dan memasakkan obat untuk Hok Boan! Karena disitu terdapat tamu, maka Bhe Coan mengalah dan tidak mau ribut-ribut dengan isterinya.

Sementara itu, pedang yang dibuatnya sudah mulai mendekati kerampungannya. Sudah berbentuk pedang yang baik sekali. Pedang itu pedang pendek, sepanjang lengan Hok Boan, ringan dan indah bentuknya, seperti yang dipesan oleh sasterawan itu. Terbuat dari baja murni yang diperhitungkan dengan tepat waktu pembakarannya dan pembenamannya di dalam air.

Dengan hati puas Bhe Coan menyentil ujung pedang dengan kuku jari tangannya dan terdengar suara berdencing nyaring! Tanda bahwa pedang itu me¬mang hebat! Bentuknya sudah sempurna, hanya tinggal memperhalus dan memper¬indah gagangnya saja.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: