***

***

Ads

Senin, 13 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 035

Wanita cantik itu sudah tidak memperhatikan mereka lagi sebelum mereka roboh, kini sudah memperhatikan lagi sutenya yang “berlatih” di bawah hujan sinar golok. Ilmu golok dari Kui Liok memang hebat. Biarpun ilmu atau jurus Ngo-houw-toan-bun-to yang dimainkannya itu tidak aseli, namun karena sudah sering dilatihnya, maka memiliki daya serang yang hebat dan lihai.

Setiap serangan yang luput dari sasaran selalu disambung dengan serangan lain, tusukan disambung tikaman, bacokan disambung bacokan membalik. Dan sampai lima jurus lamanya anak itu dapat selalu menghindarkan diri. Akan tetapi apa yang diperingatkan oleh wanita tadi tidak kunjung tiba, yaitu tangan kiri Kui Liok.

Wanita itu tadi memperingatkan sutenya agar berhati-hati terhadap tangan kiri si pemegang golok itu, akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, tetap saja Kui Liok belum pernah mempergunakan tangan kirinya. Hal ini sama sekali bukan karena peringatan itu keliru, melainkan karena Kui Liok sengaja tidak mau mempergunakan tangan kirinya yang belum apa-apa sudah diterka oleh wanita itu!

“Sute, sekarang latih serangan pedangmu!” tiba-tiba wanita yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertandingan itu berseru.

Anak itu tidak menjawab, melainkan mengubah gerakannya dan kini pedangnya mengeluarkan suara berdengung yang naik turun nadanya, seperti orang bersenandung! Kui Liok terkejut melihat pedang itu tahu-tahu telah berada di dekat lehernya.

“Tranggg...!”

Dia menangkis dengan keras. Pedang terpental akan tetapi tahu-tahu telah hinggap dekat pundaknya. Pundaknya tentu akan putus kalau pedang itu membabat turun, maka cepat dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik sambil bergulingan dan memainkan ilmu golok yang dinamakan Tee-tong-to (Ilmu Golok Bergulingan).

Tubuhnya berguling dan dari gulingan itu goloknya menyambar, membabat ke arah kaki lawan. Kalau tadi dia bergulingan untuk menghindarkan diri dari ancaman pedang, kini tubuhnya bergulingan mengejar lawan untuk balas menyerang!

Namun, dengan cekatan anak itu melompat dan tahu-tahu pedangnya telah menusuk dari belakang ke arah tengkuk Kui Liok. Orang gemuk pendek ini merasa tengkuknya dingin, cepat dia meloncat dan menyampok ke belakang. Akan tetapi, anak itu menarik kembali pedangnya dan kini tahu-tahu pedang telah menodong lambung lawan!

Kembali Kui Liok menahan jeritnya dan cepat dia meloncat ke belakang sambil menangkis. Bulu tengkuknya benar-benar meremang saking ngerinya menghadapi ilmu pedang yang amat aneh ini dan telinganya terus mendengar bunyi pedang bersenandung dan nampak sinar pedang putih bergulung-gulung dengan ujung pedang secara aneh dan tiba-tiba berada di sekitar tubuhnya, sudah menempel tinggal menusuk saja!

Twa-sin-to Kui Liok maklum bahkan biarpun yang dihadapinya itu masih kanak-kanak, namun ternyata telah memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Maka dia cepat menangkis pedang dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga sin-kang menyedot sehingga pedang dan golok melekat.

Saat itu dipergunakannya untuk menggerakkan tangan kirinya, secepat kilat tangan itu terbuka dan menghantam ke arah dada anak itu. Itulah pukulan Ang-see-jiu yang amat hebat. Pukulan beracun yang telah dilatih dengan pasir merah beracun dan yang sejak tadi tidak dipergunakan karena telah didahului oleh peringatan wanita itu.






“Awas, sute!”

Wanita itu memperingatkan, akan tetapi anak itu agaknya memang sejak tadi tidak pernah melupakan peringatan sucinya. Melihat sinar merah dari telapak tangan kiri lawan, dia lalu membuka mulut dan mengeluarkan bentakan nyaring.

“Huiiiihhh!” Dari mulut anak itu menyambar sinar putih ke arah tenggorokan Twa-sin-to Kui Liok.

“Aughhh...!”

Tubuh yang pendek gemuk itu terjengkang, matanya terbelalak, di tenggorokannya menancap sebatang jarum putih yang amblas sampai lenyap. Akan tetapi Kui Liok masih dapat melanjutkan pukulan tangan kirinya ke arah dada anak itu.

“Desss...!”

Wanita itu mendorong dari samping dan biarpun tangannya tidak sampai menyentuh tubuh Kui Liok, namun angin pukulannya yang kuat membuat tubuh itu terpelanting roboh, pukulan Ang-see-jiu tadi tidak sampai mengenai dada anak itu dan begitu roboh, Kui Liok sudah tegang kaku dan tewas seketika!

Anak itu menyimpan kembali pedangnya dan memandang mayat Kui Liok. Ada sedikit peluh di dahinya dan sucinya cepat menghampiri dan menyusut peluh itu dengan saputangannya yang halus dan berbau harum.

“Sute, latihanmu berhasil dan baik sekali. Akan tetapi sayang, ketika engkau menyerangnya dengan pek-ciam (jarum putih) tadi, sasaran kurang tepat. Kalau sasaranmu kau tujukan ke dahinya, tepat di antara kedua alisnya, tentu pukulan Ang-see-jiu dari tangan kirinya itu tidak dapat dilanjutkan. Karena kau memilih tenggorokan sebagai sasaran, maka hampir saja engkau terkena pukulan. Harap lain kali engkau lebih cermat lagi.”

Anak itu mengangguk.
“Suci memang benar, dan akupun tadi sudah berpikir demikian. Akan tetapi aku merasa sangsi untuk menyerang antara sepasang keningnya, karena kupikir bagian itu lebih keras. Dengan sin-kang yang belum kuat seperti yang kumiliki ini, aku khawatir jarumku tidak akan dapat menembus tulang kepalanya dan tentu hal itu malah berbahaya sekali.”

“Ah, engkau kurang percaya kepada diri sendiri, sute. Sekarang engkau boleh mencoba!”

Dia lalu menggunakan kakinya mencokel pundak mayat Kui Liok dan tiba-tiba mayat itu mencelat ke atas, berdiri dan seperti hendak menyerang anak itu. Anak itu tiba-tiba membuka mulut dan mengeluarkan seruan “Huuihhh...!” seperti tadi.

Sinar putih menyambar, kini ke arah dahi mayat itu yang segera roboh kembali. Anak itu membungkuk dan memeriksa dahi yang ditembusi jarumnya dan dia tersenyum.

“Engkau benar, suci. Jarum itu masuk hampir seluruhnya!”

“Nah, engkau harus mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, sute. Kepercayaan kepada diri sendiri akan menambah kesanggupanmu dan menenangkan hatimu apabila engkau bertemu dengan lawan yang pandai. Akan tetapi jangan sekali-kali kepercayaan kepada diri sendiri itu berbalik menjadi kesombongan tanpa perhitungan. Sekarang, cabutlah pedangmu. Aku melihat ada beberapa gerakan inti yang kurang tepat tadi, maka sebaiknya kau perhatikan seranganku dan lawanlah dengan pedangmu sebaik mungkin!”

Tanpa memberi kesempatan sutenya menjawab, wanita itu telah menggerakkan sabuknya.

“Wirrr... suitttt...!”

Sabuk itu melayang ke udara, bergulung-gulung dan menukik ke bawah dan ujungnya sudah menotok ke arah ubun-ubun kepala sutenya.

“Wessss...!”

Anak itu tahu-tahu sudah mencabut pedang dan cepat menangkis dengan niat untuk membabat sabuk itu. Namun sabuk lemas itu sudah bergerak lagi ke atas, seperti burung terbang dan berlatihlah dua orang kakak beradik seperguruan itu dengan cepat sekali.

Siong Bu yang masih mendekam di balik semak-semak merasa silau dan terpaksa memejamkan matanya yang menjadi berair karena kecepatan gerakan sinar-sinar bergulung itu benar-benar amat hebat. Dia tidak dapat melihat lagi dua orang itu, melainkan hanya dua sinar putih dan merah bergulung-gulung amat cepatnya.

Jantungnya seperti berhenti berdetik ketika dia mendengar suara bersuitan dan angin menyambar sampai ke atas semak-semak itu dan dia melihat ujung semak-semak itu, daun-daun muda jatuh berhamburan seperti dibabat pisau tajam!

Tiba-tiba terdengar bunyi melengking dari dalam hutan sebelah utara. Sinar putih dan merah yang bergulung-gulung itu berhenti dan wanita itu telah berdiri tegak bersama anak laki-laki, sambil menoleh ke utara. Terdengarlah suara nyaring seorang pria,

“Maaf, toanio. Saya hanyalah seorang utusan dari Jeng-hwa-pang, mohon menghadap toanio untuk menyampaikan undangan dari ketua kami!”

Wanita itu mencibirkan bibir dan mendengus,
“Merangkaklah ke sini!” katanya dengan nada merendahkan.

Nampak bayangan berkelebat cepat dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun tinggi kurus berpakaian sederhana, di dada kirinya terhias setangkai bunga hijau terbuat daripada kertas dan lilin, membawa sebuah bungkusan yang besar, bentuknya persegi, kurang lebih tiga puluh sentimeter setiap seginya.

Siong Bu melihat betapa sebelum laki-laki ini muncul, wanita cantik itu telah mengenakan sepasang kaus tangan yang warnanya sama dengan kulitnya sehingga setelah dipakai, sama sekali tidak kentara. Kini, wanita itu memandang pria yang membawa bungkusan, lalu bertanya,

“Selain menyerahkan undangan, engkau disuruh apalagi?”

Orang itu menjura dengan hormat,
“Hanya menyampaikan undangan ini lalu diharuskan pergi agar jangan mengganggu toanio lebih lama.”

“Hemm, kalau begitu lemparkan undangan itu ke sini dan segera menggelindinglah pergi!” bentaknya.

Orang itu lalu melontarkan bungkusan itu ke arah anak laki-laki tadi. Anak itu cepat menggerakkan tangan hendak menyambut, akan tetapi ia didahului oleh sucinya yang meloncat dan menyambar bungkusan itu dengan kedua tangannya.

“Eh? Kenapa, suci?” tanya anak itu, heran sekali melihat sucinya berbuat seperti itu.

“Bungkusan ini pasti mengandung racun, sute.”

“Ah, keparat!”

Anak itu menjadi marah dan begitu melihat di situ terdapat sebuah batu besar sekali, sebesar perut kerbau bunting, dia lalu menyambarnya dengan kedua tangan dan melontarkannya ke arah laki-laki yang sudah membalik dan pergi itu.

“Sute, jangan...!”

Wanita itu sempat menepuk lengan sutenya sehingga lontaran itu menyeleweng. Akan tetapi tetap saja masih dapat melampaui laki-laki tadi dan jatuh berdebuk tidak jauh di depannya, melesak dalam sekali ke dalam tanah. Laki-laki itu terbelalak dan mukanya berubah pucat. Kalau dia tertimpa batu sebesar itu, tentu akan remuk tubuhnya! Dia menoleh dengan ngeri, akan tetapi melihat anak yang luar biasa itu tidak mengejarnya, dia cepat-cepat lari dari tempat itu.

“Suci, mengapa pula engkau mencegah aku membunuh keparat curang itu?”

“Dia hanya utusan dan engkau tentu lebih tahu bahwa kita sama sekali tidak boleh membunuh seorang utusan, sute. Bukan dia yang menaruh racun di bungkusan ini, melainkan orang yang menyuruhnya. Hemm, Jeng-hwa-pangcu sudah mengirim undangan, agaknya dia tidak main-main lagi sekarang. Hendak kulihat sampai dimana kelihaiannya!” Wanita ini lalu meletakkan bungkusan di atas batu besar.

“Jangan menyentuhnya, sute, dan kau lihat saja, jangan mendekat. Harap mundur lima langkah dari sini.”

Biarpun alisnya berkerut, anak itu menurut juga, melangkah mundur dan melihat dengan penuh perhatian. Juga Siong Bu menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Sejak tadi dia sudah merasa ngeri melihat orang-orang yang dibunuh itu, kini dia melihat hal lain yang lebih aneh membuat dia makin ketakutan.

Wanita cantik itu memandang kepada kedua telapak tangannya yang telah terbungkus sarung tangan, lalu tersenyum mengejek,

“Kau lihat, sute.” Dia menggunakan kedua tangannya meraba rumput-rumput di dekatnya dan rumput-rumput itu seketika menjadi layu dan agak gosong seperti dibakar! “Racun yang dioleskan di bungkusan ini saja sudah cukup untuk membuat kulit tangan terbakar hebat.”

Kemudian, dengan hati-hati sekali dia membuka tali bungkusan itu. Ternyata isinya adalah sebuah doos merah. Dibukanya tutup doos merah dan hampir saja Siong Bu menjerit kalau dia tidak cepat mendekap mulutnya. Dari doos merah itu muncul seekor ular yang tiba-tiba saja menyerang ke arah leher wanita itu!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: