***

***

Ads

Senin, 13 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 036

“Capppp!”

Bagaikan sepasang gunting yang amat tajam, dua jari telunjuk dan jari tengah wanita itu bagian kiri telah menangkap leher ular dan sekali mengerahkan tenaga, leher ular itu putus!

“Hemm, kiranya hanya begini saja kepandaian orang Jeng-hwa-pang!”

Wanita itu mengejek dan dia menarik keluar sebuah doos yang lebih tebal kecil dari dalam doos besar itu. Doos inipun tertutup.

“Suci, hati-hati. Mereka itu terlalu curang!”

Anak itu berseru, tadi kaget menyaksikan ular yang demikian ganasnya. Dia tahu bahwa ular merah seperti itu amat berbahaya karena bisanya dapat membunuh orang dengan sekali gigit saja. Wanita itu menengok dan hanya tersenyum penuh kepercayaan kepada diri sendiri, lalu tanpa ragu-ragu lagi tutup doos yang lebih kecil itu dibukanya.

Nampak asap mengepul tiba-tiba dari dalam doos itu dibarengi suara mendesis. Wanita itu terkejut dan cepat sekali dia meloncat ke belakang, tepat pada saat terdengar ledakan keras. Banyak sekali paku dan jarum menyambar ke empat penjuru dan wanita yang sedang meloncat itupun terserang sambaran paku dan jarum.

Akan tetapi, dengan cekatan kedua tangannya menyampok dan menangkap dan ketika dia meloncat turun, kedua tangannya penuh dengan jarum dan paku yang dapat ditangkapnya tadi. Asap masih mengepul dan doos itu pecah, memperlihatkan sehelai kertas yang sebagian hangus.

Wanita cantik itu lalu menghampiri batu dan melemparkan jarum dan paku yang beracun itu ke dalam doos yang telah hangus dan pecah-pecah, lalu dia mengambil kertas merah itu dan membaca huruf-huruf hitam yang tertulis di situ.

JENG HWA PANG MENGUNDANG KIM HONG LIU NIO UNTUK MEMBUAT PERHITUNGAN.

Demikianlah bunyi huruf-huruf besar yang tertulis di kertas merah. Wanita itu meremasnya hancur dan biarpun mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena marahnya. Sutenya telah mendekatinya, terbelalak memandang ke arah jarum-jarum dan paku-paku yang mengeluarkan sinar kehijauan itu.

“Sungguh berbahaya...” katanya ngeri.

“Jeng-hwa-pang memang terkenal dengan caranya yang kotor, suka main racun. Akan tetapi aku akan membalas semua ini, sute. Memang aku sudah bersiap-siap sehingga aku menggunakan sarung tangan. Betapapun kebal tangan kita, kalau terkena racun yang berada di kertas pembungkus, atau tergigit oleh ular merah tadi, apalagi racun hijau di paku dan jarum itu, tentu kita celaka. Racun hijau pada paku dan jarum ini lebih lihai lagi, sute. Itulah racun jeng-hwa (bunga hijau) yang menjadi keistimewaan mereka sehingga nama perkumpulan merekapun memakai nama Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau).”






“Siapakah mereka itu, suci?”

Wanita itu menarik napas panjang.
“Menurut penuturan subo, pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang lihai dan selain tinggi ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi, kakek itu telah tewas dan kini perkumpulannya dipegang dan dipimpin oleh muridnya yang ahli dalam soal racun. Mereka bersarang di daerah perbatasan, di dekat tembok besar.”

“Mengapa perkumpulan itu memusuhi suci?”

Wanita itu melepaskan sarung tangannya yang melindunginya dari racun tadi. Sarung tangan itu memang istimewa sekali, bukan hanya dapat melindungi kulit tangan dari racun, akan tetapi juga segala macam racun yang tersentuh oleh sarung tangan itu menjadi hilang dayanya, dan di samping ini, juga sarung tangan itu dapat menahan bacokan senjata-senjata tajam. Setelah menyimpan sarung tangannya, wanita itu lalu menurunkan papan kayu salib dari punggungnya, mengangkatnya tinggi-tinggi dan berkata,

“Seperti juga halnya lima orang tolol ini, Jeng-hwa-pang memusuhi aku karena ini.”

Anak itu sudah tahu akan maksud kayu salib yang ditulisi tiga huruf itu. Dia tahu bahwa tiga huruf itu adalah tiga nama keturunan yang menjadi musuh besar subo mereka dan sucinya telah bersumpah kepada subo mereka untuk membasmi semua orang yang bershe Yap, Cia dan Tio. Untuk tugas inilah maka subo mereka menurunkan seluruh kepandaiannya kepada sucinya ini sehingga sucinya menjadi seorang wanita yang bukan main saktinya.

“Suci, apakah ketua Jeng-hwa-pang itu she Yap, Cia, ataukah Tio?”

“Bukan, akan tetapi isterinya she Tio dan sembilan orang keluarga isterinya yang she Tio telah kubunuh semua. Itulah sebabnya dia memusuhi aku,” jawab sucinya dengan sikap tak perduli.

Anak laki-laki itu memandang ke arah papan kayu salib dan melihat betapa sucinya menggunakan kuku jari telunjuknya yang panjang terpelihara rapi untuk membuat guratan lima kali di bagian bawah papan salib itu. Itulah tanda bahwa sucinya telah membunuh lima orang.

Setiap guratan menandakan satu nyawa dan hanya mereka yang dibunuh karena urusan permusuhan itu saja yang dicatat di papan kayu salib ini. Palang kiri untuk korban she Tio, papan atas untuk yang she Cia dan papan kanan untuk she Yap, sedangkan papan bagian bawah untuk orang-orang she lain yang membela tiga she itu dan terlihat dalam permusuhan ini. Anak itu melihat betapa yang banyak sekali coretannya justeru papan bawah di bagian she Tio lebih banyak dari papan bagian Cia dan she Yap. Akan tetapi di bagian papan atas, untuk yang she Cia, baru ada dua guratan saja.

Anak itu termenung. Dia selalu tertarik kalau membicarakan urusan permusuhan pribadi subonya yang aneh itu, dan yang pembalasannya diwakili oleh sucinya, karena subonya kini telah menjadi pikun dan lemah.

“Suci, sudah berapa lamakah suci mulai melaksanakan perintah subo untuk membasmi orang-orang dari tiga she itu?”

“Sudah belasan tahun, sute, sejak aku berusia dua puluh tahun kurang.”

“Dan sampai kapan berakhirnya? Apakah selama hidupmu suci akan terus mencari orang-orang dari tiga she itu untuk dibunuh?” Anak itu merasa betapa tugas ini benar-benar gila!

Wanita itu menggeleng kepala.
“Tugasku baru sempurna dan berakhir kalau musuh yang sesungguhnya dari subo telah dapat kubunuh. Mereka itu adalah Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun. Mereka bukan orang-orang lemah, melainkan pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi aku sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh mereka bertiga. Oleh karena itu, sekarang aku mengantarmu ke kota raja sambil bendak menyelidiki mereka, sute.”

“Aku akan membantumu, suci.”

Sucinya menggeleng kepala.
“Engkau baik sekali, sute, dan biarpun usiamu baru empat belas tahun, namun kepandaianmu sudah boleh diandalkan. Akan tetapi mereka itu lihai sekali, terutama Cia Bun Houw itu. Subo pernah terluka ketika menghadapinya. Akan tetapi... aku telah mempelajari ilmu-ilmu khusus yang diciptakan oleh subo, istimewa untuk menghadapi mereka bertiga. Aku tidak takut.”

Tiba-tiba wanita itu lalu bersuit nyaring. Suaranya melengking bergema di seluruh hutan, dan Siong Bu yang mengintai hampir saja terjengkang. Dia cepat menutupi kedua telinganya dan menahan napas. Terdengar suara derap kaki kuda dan roda kereta, dan tak lama kemudian nampaklah sebuah kereta yang amat indah, ditarik oleh empat ekor kuda dan di belakang kereta itu nampak belasan orang penunggang kuda, semuanya gagah perkasa, tinggi besar dan berpakaian sebagai perwira-perwira.

Mereka semua turun dari kuda dan memberi hormat secara militer kepada anak itu, dengan berlutut sebelah kaki. Anak itu mengangkat tangan ke atas sebagai tanda menerima salut mereka dan wanita itu lalu berkata,

“Kalian antar kami sampai perbatasan, di sana harus berganti kuda. Akan tetapi kita singgah dulu di Istana Lembah Naga karena aku ada urusan dengan penghuninya.”

Para perwira itu mengangguk dan wanita tadi lalu memasuki kereta bersama sutenya. Kereta berderak-derak meninggalkan tempat itu diikuti oleh tujuh belas orang pengawal yang membuang ludah ketika melihat mayat lima orang tadi.

Setelah mereka pergi, barulah Siong Bu berani bernapas. Akan tetapi jantungnya berdebar tegang. Wanita itu mengatakan hendak singgah di Istana Lembah Naga! Ke rumah pamannya! Dan dia, teringat ketika dia mengintai ke kamar Sin Liong di dekat kandang kuda, ketika anak monyet itu menangis di pangkuan bibinya dan teringat dia betapa bibinya mengatakan bahwa Sin Liong adalah seorang she Cia, bahkan menyebutkan nama ayahnya, yaitu Cia Bun Houw! Dan bukankah Cia Bun Houw ini merupakan musuh utama dari wanita tadi? Siong Bu lalu menyelinap di antara semak-semak, menuju pulang dengan jantung berdebar penuh ketegangan.

Siapakah wanita cantik dan anak laki-laki yang tampan dan lihai itu? Pernah diceritakan di bagian depan cerita ini bahwa sepuluh tahun yang lalu, ketika diadakan pesta pernikahan di Istana Lembah Naga, pernikahan antara Liong Si Kwi dan Kui Hok Boan, muncul wanita cantik ini di dalam pesta di mana secara mengerikan dia telah membunuh enam orang di antara para tamu yang mempunyai she Tio, Yap, dan Cia.

Wanita ini adalah yang menjadi utusan Sabutai itu, seorang wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio, yang memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan. Sekarang dia masih nampak cantik sekali, biarpun usianya sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun sekarang, masih cantik dan agung, seperti seorang puteri raja saja, sikapnya angkuh, dingin, akan tetapi tahi lalat kecil di dagunya itu membuat dia nampak manis sekali.

Siapakah sebenarnya Kim Hong Liu-nio ini? Melihat wajahnya dan suaranya ketika bicara tadi, jelas bahwa dia adalah seorang wanita bersuku Han. Akan tetapi mengapa dia menjadi utusan raja liar Sabutai?

Kim Hong Liu-nio adalah seorang dayang atau pelayan wanita yang amat disayang oleh Permaisuri Khamila, yaitu isteri Raja Sabutai. Dia adalah seorang wanita Han yang ketika kecilnya menjadi tawanan perang, yaitu ketika pasukan Raja Sabutai menyerbu ke selatan (baca cerita Dewi Maut). Karena Raja Sabutai tertarik melihat kecantikan anak yang ketika itu baru berusia belasan tahun, maka dia tidak dibunuh, tidak pula dijadikan korban perkosaan oleh para perajurit dan perwira seperti yang menjadi nasib para wanita tawanan perang. Bahkan dia ditarik ke dalam istana dan dijadikan dayang.

Karena ternyata dia cerdik, setia, dan cekatan, akhirnya sang permaisuri suka kepadanya dan diangkatlah dia menjadi dayang yang melayani sang permaisuri yang amat tercinta itu.

Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Raja Sabutai mempunyai dua orang guru yang memiliki kepandaian luar biasa, merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingannya pada waktu itu.

Mereka berdua itu adalah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang kakek dan nenek iblis yang tadinya berasal dari Negara Sailan. Dalam pertempuran mereka menghadapi para pendekar sakti, Pek-hiat Mo-ko tewas dan Hek-hiat Mo-li terluka parah. Raja Sabutai mengandalkan kekuasaannya, berhasil menyelamatkan subonya itu dari kematian dan membawa subonya itu untuk dirawat, meninggalkan Istana Lembah Naga dimana tadinya kakek dan nenek iblis itu tinggal.

Karena Hek-hiat Mo-li telah tua, pikun, berwatak aneh, suka marah dan mudah membunuh orang begitu saja, maka sukarlah untuk merawat dan melayaninya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sekali itu dapat merawatnya dengan baik sehingga amat menyenangkan hati nenek itu dan akhirnya dayang inilah yang ditugaskan untuk merawat Hek-hiat Mo-li.

Kim Hong Liu-nio memang cerdik bukan main. Semenjak dia menjadi tawanan kemudian menjadi dayang, dia selalu mencari jalan untuk dapat meningkatkan kedudukannya dan akhirnya dia berhasil menjadi dayang kesayangan permaisuri, dan hal ini tentu saja sudah merupakan kemajuan besar karena kedudukannya menjadi jauh lebih tinggi daripada dayang-dayang istana yang biasa. Namun dia belum juga puas. Dia tahu bahwa nenek seperti iblis itu adalah guru dari sri baginda sendiri, maka tentu saja merupakan seorang yang amat terhormat dan disegani semua orang.

Dan dia sendiri selama ini telah rajin berlatih silat dari para pelatih silat yang biasa melatih para pengawal di istana. Dia sendiri suka akan ilmu silat, maka melihat nenek itu terluka dan dirawat di istana, melihat betapa jarang ada yang berani dan mampu melayaninya, dia lalu “memperlihatkan” kesetiaannya, menawarkan diri untuk merawatnya! Dan dia berhasil!

Kim Hong Liu-nio melihat kesempatan baik sekali baginya. Bukan saja kesempatan untuk membikin senang hati nenek itu dan sri baginda, akan tetapi juga kesempatan untuk mempelajari ilmu kesaktian karena dia tahu bahwa Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek luar biasa yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa!

Memang harus diakui bahwa wanita muda itu memang cerdik bukan main. Bukan hanya ilmu silat yang menariknya mendekati Hek-hiat Mo-li, sungguhpun memang dia ingin sekali menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi lebih dari itu, apabila dia bisa menjadi murid nenek itu, berarti dia menjadi adik seperguruan Sri Baginda Sabutai sendiri dan hal ini tentu saja akan mengangkat derajatnya, dari seorang dayang menjadi adik seperguruan raja!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: