***

***

Ads

Kamis, 23 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 051

Sin Liong tidak mau menceritakan betapa sute dari wanita itu, yang masih kecil, hanya selisih satu dua tahun saja dengan dia, telah mengalahkan pembantu-pembantu utama dari ketua Jeng-hwa-pang!

Kalau diceritakannya, tentu orang ini akan makin terheran-heran lagi, pikirnya. Kini nampaklah olehnya betapa kepandaian suami dari ibu kandungnya itu, juga kepandaian dari mendiang ibunya, yang tadinya dianggap amat hebat dan lihai, kiranya tidak ada artinya sama sekali kalau dibandingkan dengan kepandaian ketua Jeng-hwa-pang, apalagi kalau dibandingkan dengan kepandaian Kim Hong Liu-nio dan sutenya.

Ternyata di luar Istana Lembah Naga ini terdapat banyak sekali orang pandai! Hal ini membuat dia makin ingin untuk keluar, untuk mencari ayahnya, untuk menyaksikan sendiri betapa lihai ayahnya yang oleh ibunya dianggap sebagai pendekar nomor satu di dunia ini! Ingin dia melihat ayahnya mengalahkan orang seperti iblis betina Kim Hong Liu-nio itu.

“Lalu apa yang terjadi denganmu ketika kau dilarikan ketua Jeng-hwa-pang, Liong-ko?” tanya Lin Lin yang seperti anak-anak lain, tertarik bukan main mendengar pengalaman Sin Liong yang amat menyeramkan itu.

”Aku dilempar ke dalam lubang penuh ular...”

“Ihh...!” Lan Lan dan Lin Lin menjerit ngeri.

“Kau dilempar ke dalam lubang ular dan kau tidak apa-apa?” tanya Beng Sin, matanya yang lebar itu makin membesar, mulutnya melongo.

“Aku digigit ular-ular itu, akan tetapi aku diselamatkan oleh...”

Sampai di sini, Sin Liong menunduk dan kembali dia harus menggunakan ujung lengan bajunya yang robek-robek dan kotor untuk menghapus dua titik air matanya.

Lin Lin dapat menduga.
“Monyet betina itu yang menolongmu, Liong-ko?”

Sin Liong mengangguk.
“Dia dan teman-teman lain..., aku penuh luka dan dirawat sampai sembuh. Lalu tadi aku melihat kalian dilarikan penculik itu...”

Sejak tadi Siong Bu hanya mendengarkan saja, kini dia berkata,
“Ah, engkau hebat sekali, Sin Liong!” katanya penuh kagum dan juga mengandung iri karena kini dalam pandang mata Lan Lan dan Lin Lin, tentu Sin Liong merupakan seorang yang amat gagah perkasa dan hebat.

Betapapun hatinya tetap saja mengandung rasa tidak suka kepada anak itu, akan tetapi karena anak itu telah menyelamatkan Lan Lan dan Lin Lin, karena andaikata tidak ada Sin Liong dan monyet-monyet itu yang menyerang si penculik, kiranya dia dan anak buahnya tidak akan mampu menyusul penculik itu, Hok Boan lalu cepat memberi pakaian dan sepatu baru kepada Sin Liong dan bersikap manis kepada anak ini.






Akan tetapi, Sin Liong sudah tidak mempunyai semangat dan minat sama sekali untuk tinggal lebih lama di istana itu. Setelah ibunya tidak ada, apalagi setelah kini induk monyet yang disayangnya itupun tewas pula, tidak ada apa-apa lagi yang menahannya di tempat itu.

Benar bahwa dia akan merasa kehilangan kalau berpisah dari Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi ikatan ini tidak cukup kuat untuk menahannya. Demikianlah, pada suatu hari, pagi-pagi sekali, tanpa diketahui siapapun juga, dan tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian yang menempel di tubuhnya, Sin Liong meninggalkan Istana Lembah Naga. Dia tidak tahu betapa Siong Bu menaruh perhatian kepadanya semenjak Sin Liong kembali, dan anak ini melihat akan kepergian Sin Liong maka dia cepat-cepat memberi tahu kepada pamannya!

Sin Liong berjalan seorang diri melalui padang rumput, menuju ke dalam hutan di sebelah selatan Lembah Naga. Belum pernah dia memasuki hutan sebelah selatan itu, karena selama tinggal di situ, dia selalu hanya bermain-main di dalam hutan-hutan yang dihuni oleh monyet-monyet yang menjadi teman-temannya, yaitu hutan di timur dan utara.

Dan biasanya, dia bermain-main ke selatan hanya sampai Padang Bangkai yang kini telah menjadi pedusunan. Akan tetapi karena kini dia mengambil keputusan untuk merantau jauh ke selatan, untuk menyeberangi Tembok Besar dan mencari ayahnya yang kabarnya berada di selatan sebagai seorang pendekar besar, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menuju ke selatan.

Akan tetapi baru saja dia tiba di tepi hutan, mendadak terdengar suara orang memanggil namanya. Dia menoleh dan dilihatnya Kui Hok Boan dan Siong Bu berlari cepat mengejarnya. Dia mengerutkan alisnya dan berdiri tegak dengan sikap tenang. Siapapun juga tidak boleh melarang dia pergi, pikirnya dan pikiran ini membuat anak itu memandang dengan sinar mata penuh membayangkan kekerasan hatinya.

Tentu Siong Bu, anak yang selalu jahat kepadanya itu yang memberi tahu pamannya, pikir Sin Liong, maka ketika mereka berdua sudah tiba di depannya, langsung saja dia menegur,

“Siong Bu, perlu apa engkau memberitahukan paman tentang kepergianku?”

Mendengar teguran ini, Siong Bu bertolak pinggang dan berkata,
“Sin Liong, engkau sungguh menyangka yang bukan-bukan. Aku memberi tahu paman demi kebaikanmu, karena aku khawatir engkau akan mengalami bencana lagi kalau engkau pergi!”

Wajah Siong Bu memperlihatkan penasaran karena “maksud baiknya” dianggap keliru oleh Sin Liong.

Sementara itu, Kui Hok Boan mengerutkan alisnya dan berkata kepada Sin Liong,
“Anak baik, mengapa engkau hendak pergi, lagi? Hendak kemanakah engkau? Ketahuilah bahwa setelah ibumu tidak ada, akulah yang bertanggung-jawab terhadap dirimu, dan aku akan merasa menyesal sekali kalau terjadi sesuatu terhadap dirimu.”

Sin Liong masih teringat akan semua perlakuan orang tua ini terhadap dirinya, maka kini dengan sinar mata tajam penuh penasaran dia berkata kepada orang tua itu,

“Paman, apakah paman melarangku pergi untuk diajak kembali dan dihajar seperti tempo hari?”

Mendengar itu, wajah sasterawan itu berubah dan dia kelihatan berduka dan menyesal sekali. Dia menarik napas panjang dan berkata,

“Agaknya benar kata-kata Siong Bu bahwa engkau terlalu keras hati dan terlalu penuh prasangka kepada orang lain, Sin Liong. Memang aku pernah bersikap keras kepadamu, akan tetapi hal itu ditujukan untuk kebaikanmu. Engkau terlalu liar, maka aku hanya ingin menjinakkanmu agar engkau tidak sampai menyeleweng. Akan tetapi, yahh... katakanlah bahwa kami semua telah banyak bersalah kepadamu, banyak menduga secara keliru. Biarlah di sini aku minta maaf akan segala kesalahan yang sudah-sudah kepadamu, Sin Liong.”

Orang tua itu berkata dengan sungguh-sungguh karena dia teringat kepada isterinya, teringat akan penderitaan isterinya dan betapa dia merasa kehilangan benar-benar setelah isterinya meninggal dunia. Setidaknya, Sin Liong adalah anak kandung isterinya yang tercinta itu, maka dia ingin berbaik dengan anak ini, demi kenangan terhadap isterinya.

“Liong-ji, anakku... marilah kita pulang, nak. Percayalah, aku sendiri yang akan menjagamu agar jangan ada lagi orang atau siapa saja yang akan menghinamu. Aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu seperti juga kepada semua saudaramu.”

Sin Liong adalah seorang anak yang mempunyai watak aneh sekali, berbeda dengan anak-anak lain. Semenjak kecil dia tidak merasakan kasih sayang orang tua, bahkan mendiang ibunya juga karena tidak ingin rahasianya diketahui orang, tidak memperlihatkan kasih sayangnya kepadanya.

Oleh karena haus akan kasih sayang orang tua dan orang lain itulah maka dia dapat bergaul dengan mesra bersama monyet-monyet itu. Dan keadaan sekelilingnya membentuk wataknya menjadi aneh. Semua kepahitan hidup yang dideritanya semenjak kecil, maka wataknya kadang-kadang dapat menjadi keras, dan kadang-kadang menjadi amat perasa dan mudah terharu. Kalau dia ditekan, dia akan melawan dan memberontak tanpa mengenal takut. Akan tetapi kalau orang bersikap manis dan halus kepadanya, dia menjadi terharu sekali dan kini menghadapi Kui Hok Boan yang bersikap manis kepadanya, lupalah dia akan segala perbuatan orang tua itu yang sudah-sudah kepada dirinya dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan sasterawan itu dan memejamkan mata untuk menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja Sin Liong menangis!

Kalau dia ditekan, betapapun hebatnya derita yang dirasakannya, biarpun dia diancam oleh siksa dan kematian, dia tidak sudi mengeluh atau bersambat. Akan tetapi begitu hatinya terharu, dia tidak dapat mencegah tangisnya dan kini air matanya yang sudah lama ditahan-tahannya itu bercucuran dan dia menangis terisak!

“Sudahlah, Sin Liong, jangan menangis,” kata Kui Hok Boan dengan sikap terharu, sedangkan Siong Bu juga berdiri dengan bengong.

Belum pernah dia melihat Sin Liong menangis, bahkan ketika dihajarpun anak ini tidak pernah menangis! Dia masih bertolak pinggang, akan tetapi lenyap semua penasaran dan dia kini terheran-heran.

“Paman... selama ini sayalah yang selalu menyusahkan hati paman saja. Harap paman sudi memaafkan semua kesalahan saya. Kalau saya tinggal di istana, tidak lain saya pasti akan mendatangkan lebih banyak onar dan penyesalan hati paman saja. Oleh karena itu, saya sudah mengambil keputusan pasti untuk pergi mencari ayah kandung saya, paman.”

“Akan tetapi, mana mungkin kau dapat mencarinya sampai jumpa, Sin Liong? Ke manakah engkau hendak mencarinya?”

“Menurut penuturan ibu dahulu, ayah berada di selatan, di sebelah sana Tembok Besar, saya akan menyusul ke sana, paman.”

Diam-diam Hok Boan kagum juga akan keberanian anak ini, dan akan kekerasan hatinya yang luar biasa sehingga biarpun sudah ditegurnya, tetap saja sampai kini menyebutnya dengan panggilan paman. Dia sendiri setelah diusir oleh Raja Sabutai, merasa ngeri untuk pergi ke selatan, akan tetapi anak ini hendak mencari ayahnya ke selatan biarpun dia belum tahu di mana adanya ayahnya itu. Seolah-olah “selatan” itu hanya dekat saja, asal sudah melampaui Tembok Besar sudah sampai dan akan bertemu dengan orang yang dicarinya.

“Sin Liong, kau kira daerah selatan itu kecil saja dan mudah kau jelajahi? Ketahuilah, bahwa daerah selatan, di sebelah dalam Tembok Besar itu amat luasnya, biar engkau menjelajahi sampai selama hidupmu belum akan dapat kau datangi semua! Dan kau tidak tahu dimana kau hendak mencari? Marilah kau ikut bersama kami pulang ke rumah, dan kelak aku akan membantumu mencari-cari keterangan perihal ayah kandungmu itu.”

“Tidak, paman. Saya akan pergi sekarang juga mencari ayah sampai jumpa. Biar sampai mati sekalipun, sebelum dapat jumpa saya tidak akan berhenti mencarinya!”

Kui Hok Boan sudah tahu bahwa anak ini memiliki watak yang luar biasa kerasnya, tidak mungkin ditentang karena andaikata dapat dibujuknya pulang juga, tentu pada suatu hari akan pergi juga tanpa pamit. Tidak mungkin baginya untuk terus-menerus menjaga anak ini dan mencegahnya pergi. Dia sendiri menghadapi kesibukan harus pindah dari Istana Lembah Naga sebelum enam bulan.

“Kalau kau tidak dapat kutahan, Sin Liong, akupun tidak dapat menahan dan mencegahmu. Siong Bu, cepat ambil pakaian yang baik-baik, buntal dan ambilkan uang di dalam kamarku. Di laci meja terdapat sekantung uang perak, bawa ke sini. Cepat!”

Siong Bu cepat berlari kembali ke istana, sedangkan Kui Hok Boan lalu memberi nasihat kepada Sin Liong agar berhati-hati melakukan perjalanan ke selatan.

“Disana banyak terdapat orang jahat yang amat pandai, Sin Liong. Lebih baik engkau tidak secara terang-terangan mengaku sebagai putera pendekar Cia Bun Houw, karena pengakuanmu itu hanya akan mendatangkan bencana dan bahaya. Dan juga sebaiknya kau tidak menyebut namaku. Ketahuilah, seperti juga pendekar Cia Bun Houw, akupun mempunyai banyak musuh di selatan, maka menyebut namanya atau namaku akan memancing bahaya kalau sampai terdengar oleh mereka yang memusuhi ayah kandungmu atau aku.”

Sin Liong mendengarkan penuh perhatian tanpa bantahan di dalam hatinya karena sekali ini dia merasa betapa orang tua itu memberi nasihat dengan setulusnya hati. Dan diapun dapat merasakan kebenaran ucapan itu, karena baru sekali saja dia mengaku sebagai putera Cia Bun Houw, nyawanya hampir melayang dalam tangan Kim Hong Liu-nio!

Tak lama kemudian datanglah Siong Bu berlari-lari dan anak ini membawa sebuntalan pakaian dan sekantung uang. Kui Hok Boan lalu menyerahkan buntalan pakaian dan kantung uang itu kepada Sin Liong, sedangkan Siong Bu sendiri tadi membawa pisaunya yang amat disayang, yaitu pisau belati berbentuk golok kecil yang amat tajam dan selama ini dibanggakan.

“Aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali pisauku ini, Sin Liong.”

Sin Liong menerima buntalan, kantung uang dan pisau itu dengan terharu sekali.

“Akan tetapi... engkau suka sekali kepada pisaumu ini, Siong Bu...”

Siong Bu tersenyum.
“Karena itulah maka kuberikan kepadamu, Sin Liong. Sebagai tanda... persahabatan, maukah kau menerimanya?”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: