***

***

Ads

Kamis, 23 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 052

“Terima kasih... terima kasih...!”

Dan sejak saat dia menerima buntalan dan pisau itu, maka lenyaplah seluruh rasa tak senang di dalam hatinya terhadap Kui Hok Boan dan Siong Bu, lenyaplah seluruh anggapan bahwa mereka itu jahat kepadanya, bahkan kini berganti dengan anggapan bahwa mereka itu baik sekali kepadanya!

Tidak anehlah apa yang dirasakan oleh hati Sin Liong itu. Demikianlah adanya kita semua ini! Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk terombang-ambing di antara pendapat yang menjadi hasil dari PENILAIAN. Kita memandang segala sesuatu dengan penilaian, maka muncullah pendapat baik dan buruk, baik dan jahat, dan sebagainya.

Segala macam kebalikan-kebalikan di dunia ini mempermainkan kita, membentuk pendapat-pendapat yang tidak lain hanya akan mendatangkan konflik saja dalam batin. Penilailan ini selalu tentu didasari oleh pengukuran atau pertimbangan yang merupakan kesibukan yang bersumber kepada kepentingan diri pribadi.

Kita mengukur sesuatu, atau seseorang, dengan dasar menguntungkan atau merugikan diri kita sendiri. Kalau menguntungkan lahir atau batin, kalau menyenangkan hati, maka keluarlah pendapat kita bahwa orang itu adalah baik! Sebaliknya kalau merugikan lahir atau batin, kalau tidak menyenangkan hati, maka pendapat kita terhadap orang itu tentu buruk!

Jadi jelaslah bahwa baik ataupun buruk itu hanya merupakan pendapat yang didasari oleh kepentingan si aku yang ingin memperoleh kesenangan selalu! Dan sudah jelas pula bahwa pendapat demikian ini adalah palsu dan tidak benar! Pendapat ini hanya merupakan penilaian yang bertiraikan kepentingan pribadi kita, dan tentu hanya akan mendatangkan pertentangan batin belaka.

Betapapun jahat seseorang menurut pendapat umum, kalau dia itu baik kepada kita, menyenangkan kita, maka kita akan menganggap dia itu baik! Sebaliknya, dunia boleh menganggap seseorang itu amat baik, akan tetapi kalau dia tidak baik kepada kita, kalau dia tidak menyenangkan kita, maka tak mungkin kita menganggapnya baik, dan kita pasti akan menganggap dia jahat! Begitulah kenyataannya! Maka dapatkah kita memandang segala sesuatu tanpa penilaian? Memandang segala sesuatu, memandang orang lain, seperti apa adanya, seperti keadaannya yang sesungguhnya tanpa menilai yang didasarkan menyenangkan kita atau tidak?

Karena hanya dengan memandang sesuatu seperti itu sajalah yang membebaskan kita dari penilaian, dan setelah kita terbebas dari penilaian, maka kita bebas pula dari rasa suka atau tidak suka. Seni memandang seperti ini merupakan seni tersendiri yang hanya nampaknya saja sukar akan tetapi tidaklah sukar apabila kita memiliki perhatian sepenuhnya dan kalau kita sadar benar-benar bahwa sudah semestinya terjadi perubahan dalam kehidupan kita yang banyak sengsaranya daripada bahagianya ini.

Sin Liong lalu berpamit meninggalkan Kui Hok Boan dan Kwan Siong Bu yang masih memandang kepada anak yang berjalan pergi itu dengan penuh kagum dan khawatir. Anak itu masih terlalu kecil untuk menempuh hidup yang penuh bahaya di sebelah dalam Tembok Besar.

Ketika Sin Liong memasuki hutan di luar Tembok Besar, tiba-tiba dari jauh dia mendengar suara pertempuran. Suara teriakan-teriakan orang berkelahi itu diseling dengan suara berdencingnya senjata yang beradu. Sin Liong merasa tertarik, akan tetapi dia cukup berhati-hati mengingat akan nasihat pamannya agar dia tidak suka mencampuri urusan orang-orang lain, apalagi urusan orang-orang kang-ouw. Betapapun juga, karena hatinya tertarik sekali, dia tidak mungkin pergi begitu saja tanpa menonton!






Memang pada dasarnya, anak ini suka sekali menyaksikan kegagahan, dan paling suka melihat orang mengadu kepandaian dengan ilmu silat. Maka dia lalu mengikatkan buntalannya di pundak dan cepat dia meloncat ke atas, menyambar cabang pohon paling rendah kemudian bagaikan seekor monyet saja dia memanjat dan berloncatan naik dari cabang ke cabang, berayun-ayun dari pohon ke pohon menuju ke tempat terjadinya perkelahian itu.

Biarpun dia bersepatu, namun dia tidak kehilangan kegesitannya, sungguhpun tentu saja kakinya yang terbungkus sepatu itu dirasakannya amat mengganggu gerakannya di atas pohon-pohon di antara cabang-cabang dan daun-daun.

Akhirnya, tibalah dia di tempat pertempuran itu dan dia duduk di atas cabang pohon. Karena tepat seperti dugaannya, pertempuran itu dilakukan oleh orang-orang yang menggunakan golok dan pedang, dan dilakukan dengan gerakan silat yang amat cepat dan indah, maka hatinya tertarik sekali dan duduklah dia di cabang pohon yang dekat agar dia dapat menonton dengan enak.

Saking tertariknya, Sin Liong tidak tahu bahwa ada bayangan-bayangan lain di atas pohon-pohon yang berayun-ayun dan mendekati tempat itu. Dia tidak tahu bahwa ada beberapa ekor monyet besar yang mengenalnya dan monyet-monyet ini lalu bersama kawan-kawan mereka datang mendekati anak itu.

Sin Liong amat tertarik menonton pertempuran itu. Seorang laki-laki berusia kira-kira lima puluh tahun, bertubuh tinggi agak kurus namun kelihatan gagah sekali, wajah tampan membayangkan kegagahan dan keramahan, sedang mainkan pedangnya dengan cepat untuk menahan pengeroyokan tiga orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan yang mengeroyoknya dengan menggunakan golok besar.

Tiga orang tinggi besar itu memiliki gerakan yang liar dan ganas, golok mereka menyerang dengan dahsyat dari tiga jurusan dan kedudukan mereka selalu segi tiga ketika mengepung kakek berpedang itu.

Tadinya Sin Liong masih mengingat akan nasihat pamannya dan tidak hendak mencampuri, hanya ingin menonton saja. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa tiga orang itu adalah anggauta-anggauta Jeng-hwa-pang! Hal ini dapat dikenalinya bukan hanya karena pakaian mereka yang tak berlengan itu, akan tetapi juga dia mengenal seorang diantara mereka yang berkumis pendek kaku tanpa jenggot.

Maka begitu dia mengenal tiga orang itu sebagai orang-orang Jeng-hwa-pang, teringatlah dia akan ketua Jeng-hwa-pang yang jahat bukan main, yang pernah menyiksannya dan melemparkannya ke dalam lubang yang penuh ular. Maka seketika hatinya sudah berfihak kepada kakek berpedang itu yang tidak dikenalnya akan tetapi yang memiliki wajah yang gagah dan menyenangkan hatinya.

Apalagi ketika dia melihat betapa kakek itu makin lama makin terdesak hebat, dia makin berfihak kepada kakek itu. Dan penglihatannya memang tidak keliru. Seorang yang berkumis pendek kaku itu memang seorang anggauta Jeng-hwa-pang tingkat atas yang pernah dilihatnya.

Ternyata bahwa ada pula anggauta Jeng-hwa-pang yang dapat lolos dari tangan maut Kim Hong Liu-nio dan dua orang yang lain itu adalah tokoh-tokoh Jeng-hwa-pang yang baru datang. Mereka tidak ikut dalam rombongan Gak Song Kam, yaitu pangcu (ketua) dari Jeng-hwa-pang, dan mereka itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi karena mereka bertiga ini menerima latihan langsung dari pangcu mereka sehingga tingkat mereka tidaklah lebih rendah daripada tingkat Heng-san Ngo-houw yang menjadi pembantu-pembantu pangcu dari Jeng-hwa-pang itu.

Ketika Sin Liong melihat dengan lebih teliti, maka tahulah dia bahwa kakek berpedang itu telah terluka di betis kirinya. Pantas saja gerakannya menjadi kaku dan tidak leluasa. Biarpun demikian, tetap saja pedangnya dapat menangkis tiga batang pedang yang menyerangnya seperti hujan itu.

Sin Liong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Kalau tidak dibantu, kakek gagah itu akhirnya pasti akan roboh, pikirnya. Dia lupa akan keadaan dirinya sebagai seorang anak-anak yang belum memiliki kepandaian berarti. Terdorong oleh rasa penasaran dan kasihan kepada kakek itu, tiba-tiba Sin Liong meloncat turun dan membentak nyaring.

“Tiga orang mengeroyok satu orang, sungguh pengecut!”

Dan diapun sudah menerjang maju dan menyerang ke arah dada dan perut seorang di antara para pengeroyok itu seperti seekor kera marah! Orang itu terkejut, akan tetapi melihat bahwa yang menerjangnya hanyalah seorang anak kecil, dia tertawa mengejek, melompat ke kiri dan pedangnya menyambar ke arah leher Sin Liong.

“Singgg...!”

Dan orang itu terkejut karena sambaran pedangnya luput! Boleh jadi Sin Liong belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi jelas bahwa dia telah memiliki ketangkasan yang luar biasa, kegesitan seekor monyet, kecepatan yang wajar dan yang hanya dapat dikuasai karena kebiasaan, bukan karena latihan. Juga dia memiliki naluri perasaan yang tajam sekali, maka hal inilah yang menjadikan kelebihan dari Sin Liong daripada orang-orang lain, dan membuat dia dengan mudah mengelak dari sambaran golok itu.

Dan pada saat itu, tidak kurang dari sepuluh ekor monyet-monyet besar sudah berloncatan turun dan dengan mengeluarkan gerengan dan suara riuh rendah, mereka ikut menyerbu dan mengeroyok secara membabi buta dan ngawur. Mereka itu menyerang empat orang itu, termasuk kakek berpedang. Hanya Sin Liong saja yang tidak mereka keroyok! Tentu saja monyet-monyet itu tidak tahu siapa musuh Sin Liong yang sebenarnya!

Melihat munculnya bocah aneh itu dan sekawanan monyet, tiga orang yang sejak tadi belum juga mampu mengalahkan kakek yang gagah perkasa itu menjadi jerih, mereka lalu bersuit nyaring dan meloncat pergi, terus melarikan diri secepatnya dari tempat itu.

Melihat betapa kini monyet-monyet itu hendak mengeroyok si kakek gagah, Sin Liong cepat mengeluarkan bunyi pekik monyet yang nyaring dan monyet-monyet itu segera mundur, hanya masih memandang ke arah kakek berpedang dengah mata marah dan memperlihatkan taring. Kakek itu yang juga terkejut, kini dengan pedang di tangan memandang kepada Sin Liong penuh keheranan.

Sin Liong segera berkata,
“Paman, setelah mereka pergi, harap paman cepat meninggalkan tempat ini sebelum mereka itu datang kembali.”

Kakek itu memandang dengan bengong.
“Jadi kau... dan monyet-monyet itu... kalian telah menolongku tadi...?” tanyanya, masih bingung karena heran bagaimana di dalam hutan dapat muncul seorang bocah tampan yang berani mati membantunya bersama sekawanan monyet liar itu.

“Maafkan, mereka itu tadi tidak tahu aturan, tidak mengenal mana kawan mana lawan. Melihat paman dikeroyok, aku melupakan kebodohan sendiri dan membantu.”

Laki-laki itu makin heran. Anak hutan yang berkawan dengan monyet-monyet ini pandai membawa diri, sikapnya halus dan sopan pula! Sungguh ajaib!

“Anak baik, aku berterima kasih sekali kepadamu. Engkau siapakah? Apakah tinggal di sini?”

Sin Liong menggeleng kepalanya.
“Saya tidak mempunyai tempat tinggat, paman, tempat tinggal saya di dalam hutan, di atas pohon-pohon bersama monyet-monyet itu.”

“Ah...? Dan engkau membawa buntalan pakaian, agaknya hendak pergi?”

“Benar, paman. Saya hendak pergi menyeberang Tembok Besar...”

“Kau? Seorang diri pula? Anak baik, siapa namamu?”

“Nama saya Sin Liong...” dia tidak mau menyebutkan shenya.

“Nama keluargamu?” Kakek itu mendesak.

Sin Liong menggeleng kepala.
“Saya tidak tahu.”

“Ayah ibumu?”

“Tidak ada...”

“Luar biasa sekali! Sin Liong, ketahuilah bahwa aku adalah seorang piauwsu, bernama Na Ceng Han, tinggal di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Aku datang ke tempat ini dalam perjalananku menuju ke kaki Pegunungan Khing-an-san mencari seorang sahabatku bernama Bhe Coan, seorang pandai besi. Akan tetapi ternyata sahabatku itu telah tewas dibunuh orang! Maka aku hendak kembali dan setibanya di hutan ini bertemu dengan tiga orang jahat yang tanpa sebab lalu menyerangku tadi. Untung ada engkau yang menolongku. Sin Liong, anak baik yang aneh sekali. Jangan kau takut kepadaku, ceritakanlah saja terus terang, siapakah orang tuamu dan kemana engkau hendak pergi?”

Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek itu. Na-piauwsu atau Na Ceng Han terkejut bukan main. Anak itu memiliki sinar mata yang tajam luar biasa, menyambar seperti kilat ketika memandang kepadanya! Memang Sin Liong merasa tidak senang ketika didesak seperti itu.

“Paman Na, diantara kita tidak ada urusan apa-apa. Setelah tiga orang itu pergi, harap paman suka pergi saja.”

“Jangan marah, Sin Liong. Aku bertanya karena merasa heran sekali di tempat seperti ini bertemu dengan seorang anak seperti engkau. Engkau mengaku tidak ada ayah bunda, sebatangkara dan tidak ada tempat tinggal, akan tetapi pakaianmu baik dan engkau membawa buntalan pakaian...”

“Saya dapatkan dari orang-orang dusun yang memberi kepada saya,” jawab Sin Liong secara singkat.

“Benarkah kau sebatangkara dan hendak ke selatan?”

“Paman, saya tidak biasa membohong!”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: