***

***

Ads

Rabu, 01 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 072

Dengan sikapnya yang galak, pengemis bermuka hitam tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang itu telah berdiri di depan Mei Lan, dengan tongkatnya melintang di depan dadanya, matanya kemerahan dan mukanya makin hitam karena marah. Mei Lan sudah ingin menandinginya, akan tetapi Lie Seng melangkah maju dan berkata,

“Suci, biarlah aku menghadapinya.”

Mei Lan mengangguk dan melangkah mundur. Lie Seng lalu mendekati pengemis muka hitam itu dan dengan kedua tangan kosong pemuda ini berdiri seenaknya, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti orang hendak bertanding.

“Mulailah, lo-kai!”

Hek-bin Mo-kai yang sudah marah itu ingin sekali membersihkan mukanya dan menebus kekalahan-kekalahan yang pernah dideritanya, maka kini dia tanpa sungkan-sungkan lagi sudah menggerakkan tongkatnya dan menerjang dengan dahsyatnya, menghantamkan ujung tongkatnya itu ke arah kepala pemuda yang tenang itu. Gerakannya demikian dahsyat sehingga tongkat itu mengeluarkan suara dan angin menyambar ke arah Lie Seng sebelum tongkatnya tiba.

Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng kini sudah berdiri di pinggir sambil menonton dengan hati tegang. Mereka berdua melihat betapa tongkat itu menyambar dahsyat dan kelihatan pemuda itu masih enak-enak saja sampai tongkat sudah menyambar dekat sekali dengan kepalanya.

“Wuuuttt...!”

Sedikit saja Lie Seng miringkan kepalanya dan tongkat itu menyambar 1uput. Melihat ini, Hek-bin Mo-kai terkejut. Pemuda ini tenang bukan main dan gerakannya yang hanya sedikit sekali itu, namun cukup berhasil, membuktikan bahwa pemuda itu benar-benar seorang ahli silat tingkat tinggi.

Makin tinggi tingkat ilmu silat seseorang, makin tenanglah gerakannya karena dia tidak lagi mempergunakan kembangan-kembangan gerakan yang tidak ada gunanya, dan setiap gerakannya telah diperhitungkan dengan masak-masak sehingga setiap gerakan selalu mendatangkan hasil.

“Sambutlah ini!”

Hek-bin Mo-kai membentak dan kini tongkatnya diputar cepat sehingga lenyaplah bentuk tongkatnya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan bagaikan ombak samudra, sinar bergulung-gulung ini menyerbu ke arah Lie Seng.

Namun pemuda ini tidak menjadi bingung menghadapi serbuan yang hebat itu. Dia tidak terpengaruh oleh sinar yang bergulung-gulung itu, melainkan memandang tajam dan dia dapat melihat dimana tongkat bersembunyi di dalam serangan itu. Dia tidak memperdulikan bayangan tongkat yang banyak dan membentuk gulungan sinar, melainkan memandang ke arah tongkat yang dapat dia ikuti gerakannya, maka ketika tongkat itu menusuk ke arah lambungnya, dia menggeser kaki dan miringkan tubuh sehingga tongkat lewat di dekat lambungnya, kemudian secepat kilat menyambar, tangan kirinya yang dibuka membacok dari atas ke arah tongkat lawan itu.

“Krakkkk!”






Tongkat itu patah menjadi dua potong! Wajah hitam dari Hek-bin Mo-kai menjadi agak pucat, matanya terbelalak memandang tongkat di tangannya yang tinggal sepotong, sedangkan telapak tangannya berdarah! Tak pernah dia dapat membayangkan betapa tongkatnya yang dianggapnya sebagai senjata pusaka itu dapat dipatahkan lawan hanya dengan hantaman telapak tangan miring! Padahal, senjata tajampun tidak akan mampu mematahkannya.

Kekagetan dan keheranannya berubah menjadi kemarahan dan sambil mengeluarkan suara gerengan, dia menubruk lagi dengan tongkat sepotong. Tongkat yang menjadi pendek itu menghantam kepala, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar. Serangan maut!

“Plak! Desss... bruuukkk!”

Cepat sekali terjadinya hal itu. Serangan kakek muka hitam itu disambut dengan elakan dan tangkisan yang dilanjutkan dengan cengkeraman pada tengkuk kakek itu dan sekali dia membuat gerakan melemparkan, tubuh Hek-bin Mo-kai terlempar sampai jauh, tidak kurang dari sepuluh meter dan terbanting di atas tanah!

Semua orang memandang bengong, karena tidak mengira bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Hek-bin Mo-kai sedemikian mudahnya. Akan tetapi, Hek-bin Mo-kai yang terbanting itu tidak mengalami luka berat, hanya agak nanar saja dan pinggulnya terasa nyeri. Dia cepat meloncat berdiri dengan muka yang makin hitam, dan pada saat temannya, Tiat-ciang Sin-kai, juga tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang, menerjang maju dengan tongkatnya menyerang Lie Seng, dia sendiripun sudah lari menghampiri dan membantu temannya ini mengeroyok Lie Seng!

“Jembel-jembel busuk! Pengecut yang main keroyok!”

Kwi Beng memaki-maki melihat betapa Lie Seng yang bertangan kosong itu dikeroyok dua, dan dia sudah maju hendak membantu. Akan tetapi, Mei Lan mencegahnya.

“Biarkan saja, saudara Souw. Sute tidak akan kalah.”

Dan memang apa yang dikatakan oleh Mei Lan ini merupakan kenyataan. Lie Seng masih tetap tenang saja, berdiri tanpa bergerak, bahkan tidak memasang kuda-kuda karena dia berdiri tegak dengan kedua tangan tergantung di kanan kirinya, hanya matanya saja dengan tajam memandang kepada dua orang pengemis tua yang sudah datang menyerangnya dari kanan kiri itu.

Tiat-ciang Sin-kai maklum akan kelihaian pemuda yang dengan mudah mengalahkan temannya itu, maka kini dia menyerang dengan tongkatnya di tangan kanan, ditusukkan ke arah dada lawan sedangkan tangan kirinya yang ampuh dan keras seperti besi sehingga dia mendapat julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi), telah menyambar pula dengan pukulan dahsyat ke arah pelipis kanan lawan.

Dan pada saat itu pula, Hek-bin Mo-kai yang sudah menyambar sebatang tongkat dari seorang pengemis yang berada di dekatnya, telah menyerang pula sambil menggerakkan tongkatnya dengan jurus dari Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat. Tongkatnya membentuk lingkaran-lingkaran.

Seperti tadi, Lie Seng hanya bergerak sedikit saja dan serangan Tiat-ciang Sin-kai telah dapat dielakkan, sedangkan serangan si muka hitam itu dibiarkannya saja, hanya setelah dekat, sekali pemuda itu menggerakkan kakinya, dia telah meloncat dan tubuhnya lenyap dari depan kedua orang pengeroyoknya itu!

Dua orang kakek pengemis itu terkejut dan karena merasa betapa angin loncatan pemuda tadi menyambar ke arah belakang mereka, keduanya cepat membalikkan tubuh dan benar saja, pemuda itu telah berada di belakang mereka, berdiri tegak dan tenang.

Kembali mereka menyerbu dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi karena mereka sudah menjadi marah sekali. Akan tetapi sekali ini, Lie Seng tidak mengelak, melainkan dia malah maju memapaki! Dua pasang kaki dan tangannya bergerak secara aneh dan semua orang melihat betapa dua orang kakek pengemis itu terpelanting seperti disambar petir, roboh ke kanan kiri terdorong oleh hawa pukulan dan tendangan yang amat cepat itu!

Melihat ini, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, menjadi marah sekali.

“Bocah sombong, sambut ini!” bentaknya dan dia menyerang dengan tangan kirinya yang menampar keras.

Tamparan ini bukanlah tamparan biasa, melainkan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang sehingga mengeluarkan angin keras dan tenaga pukulannya amat ampuh. Melihat ini, Lie Seng tidak mengelak melainkan mengangkat tangan menangkis.

“Dukkk!”

Dua lengan bertemu dan Lo-thian Sin-kai mengeluarkan seruan kaget karena kuda-kuda kakinya tergempur, membuat dia hampir terpelanting kalau saja dia tidak cepat menggunakan tongkatnya ditekan di atas tanah sehingga dia dapat memulihkan keseimbangan tubuhnya.

Marahlah kakek ini, juga dua orang kakek tingkat tiga itu sudah bangkit kembali. Tanpa banyak cakap lagi, Lo-thian Sin-kai menggerakkan tongkatnya menyerang dengan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat, sedangkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai juga sudah maju.

Kini Lie Seng dikeroyok tiga! Akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja dan Mei Lan juga masih menonton sambil tersenyum. Gadis ini berpikir bahwa yang menjadi musuh-musuh dari dua orang saudara kembar she Souw ini adalah Hwa-i Sin-kai pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perkumpulan Hwa-i Kai-pang, akan tetapi ternyata kini pangcu itu diam saja dan membiarkan anak buahnya yang turun tangan. Oleh karena itu, dia mengerling ke arah ketua itu yang memandang dengan alis berkerut melihat betapa pembantu-pembantu utamanya jelas bukan tandingan pemuda perkasa itu.

“Seorang gagah selalu mempertanggung-jawabkan sendiri semua perbuatannya, akan tetapi sungguh aneh, seorang pangcu dari perkumpulan besar dan terkenal seperti Hwa-i Kai-pang ternyata berlindung kepada anak buahnya!”

Merahlah wajah ketua Hwa-i Kai-pang mendengar ucapan ini. Memang sejak tadi dia sudah hendak turun tangan sendiri, akan tetapi melihat para pembantunya sudah turun tangan untuk membelanya, dia mendiamkannya saja karena diapun ingin melihat sampai dimana kelihaian dua orang muda yang datang membantu dua orang saudara kembar yang nekat itu.

Terkejutlah dia tadi melihat gerakan-gerakan Lie Seng dan selagi dia melihat tiga orang pembantu utamanya mengeroyok pemuda itu, kini gadis cantik yang menjadi suci dari pemuda itu telah menyindirnya. Maka dia lalu melangkah maju.

“Nona, kalau kau hendak mewakili keluarga Tio, majulah. Siapa takut kepadamu?”

Mei Lan tersenyum.
“Bagus, sudah kutunggu-tunggu ini, pangcu. Nah, aku sudah siap menghadapi tongkat bututmu. Mulailah!”

“Sambutlah, gadis sombong!”

Kakek itu menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara mencicit nyaring keluar dari sinar tongkat yang menyambar gadis itu. Mei Lan terkejut juga dan cepat mengelak.

“Trakk!”

Batang pohon yang berada di belakang gadis itu patah terkena sambaran hawa pukulan tongkat itu!

Maklumlah Mei Lan bahwa ketua ini benar-benar seorang jagoan yang lihai, maka diapun dengan tenang lalu menghadapinya dengan waspada. Memang Hwa-i Sin-kai, ketua dari perkumpulan pengemis itu sudah marah sekali melihat para pembantunya kalah, maka begitu menyerang, dia telah mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan sin-kangnya sehingga sambaran tongkatnya mendatangkan angin pukulan yang amat ganas.

Akan tetapi, serangan pertama tadi dapat dihindarkan oleh gadis itu secara mudah saja, maka dia menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa, dia sudah menerjang lagi dengan dahsyat. Dan terjadilah pertandingan yang membuat Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng melongo penuh kekaguman.

Gadis cantik itu tiba-tiba saja lenyap tubuhnya dan berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti pandang mata, bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat kakek itu yang sudah menyerang dengan hebatnya, karena kakek itu mengeluarkan ilmunya Ta-houw-sin-ciang yang mengeluarkan hawa dingin, pukulan-pukulan tangan kiri yang amat ampuh, untuk membantu Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang sudah mencapai tingkat tinggi.

Namun, gadis itu seperti bertubuh kapas saja, begitu ringan dan setiap kali disambar tongkat, seolah-olah angin sambaran itu sudah mendorongnya sehingga selalu tongkat itu sendiri tidak dapat mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, setiap kali tangan yang kecil dan halus itu menangkis pukulan Ta-houw-sin-ciang yang dingin sekali, nampak uap putih keluar dari pertemuan kedua tangan mereka, dan kakek itu merasa betapa tangan kirinya menjadi panas seperti dibakar! Bukan itu saja, malah kakek itu selalu merasa lengannya tergetar hebat pada setiap pertemuan tangan.

Hwa-i Sin-kai sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya, sehingga dia boleh dibilang merupakan seorang datuk ilmu silat di dunia kang-ouw. Namanya dikenal luas oleh semua jago-jago silat, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) amat terkenal dan sukar dilawan, karena kalau dia mainkan ilmu tongkat ini, sama saja dengan lima batang tongkat yang dimainkan oleh lima orang.

Lebih lagi ilmu pukulannya yang disebut Ta-houw-sin-ciang itu, diberi nama demikian karena kabarnya dengan sekali pukul saja kakek ini dulu pernah menewaskan seekor harimau yang menjadi pecah kepalanya! Ta-houw-sin-ciang (Ilmu Tangan Sakti Pemukul Harimau) digerakkan dengan sin-kang yang mengandung hawa dingin menusuk tulang, maka lihainya bukan kepalang. Inilah sebabnya, karena merasa bahwa dia adalah seorang cabang atas, seorang datuk persilatan, Hwa-i Sin-kai merasa marah sekali dengan adanya gangguan dari Kim Hong Liu-nio yang berani memusuhi perkumpulannya, seolah-olah berani menentang dirinya.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: