***

***

Ads

Senin, 06 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 099

Akan tetapi sebelum kakek ini menyerang lagi, Sin Liong sudah membuat gerakan meloncat ke atas dan berdiri dengan sikap seperti seekor monyet!

“Aha, kebetulan sekali, engkau menyuruh aku menjadi monyet? Baiklah, dan mari kita lihat apakah macan ompong mampu mengalahkan monyet!”

Lalu pemuda itu mengeluarkan suara aneh, suara monyet tulen. Dan cara dia berdiri dengan kedua pundak diangkat, mukanya dengan mulut agak meringis, kedua tangannya, memang mirip, bahkan persis monyet. Dan hal ini tentu saja lebih tidak aneh lagi karena Sin Liong sudah tahu benar bagaimana gerak-gerik seekor monyet. Bahkan dahulu, sebelum dia bertemu dengan ibu kandungnya, dia adalah seekor monyet cilik.

Melihat lagak ini, kembali suasana di bawah panggung riuh rendah karena lagak Sin Liong benar-benar lucu dan menarik hati. Juga timbul rasa kagum bukan main di dalam hati mereka. Jelas bahwa pemuda ini agaknya sama sekali tidak becus (mampu) bersilat, akan tetapi sudah berani melawan seorang tokoh besar seperti Kiu-bwee-thouw. Bukan hanya berani melawan, bahkan memperolok-oloknya sehebat itu.

Kembali Kiu-bwee-houw menggereng dan menyerang. Tangan kanannya yang dikepal sebesar kepala Sin Liong itu menyambar, meluncur ke depan seperti peluru meriam, mengarah kepala Sin Liong. Bagi pandangan Sin Liong yang nampak hanya bulatan besar mengerikan itu meluncur ke arah kedua matanya. Namun dia tidak menjadi gugup dan bergerak lincah sekali, gerakannya tidak lagi gerakan kuda-kuda ilmu silat melainkan gerakan monyet mengelak, dan pukulan itupun hanya mengenai angin saja.

“Aihh... macan ompong main tubruk dan cakar, tidak ada gunanya! Gigimu telah ompong semua, cakar kukumu telah tumpul!”

Sin Liong mengejek dan raksasa itu makin marah. Diserangnya Sin Liong secara bertubi-tubi, namun semua gerakan serangan itu sia-sia belaka karena “manusia monyet” itu dengan amat mudahnya berloncatan ke sana-sini, mengelak ke sana-sini.

Sorak-sorai penonton menyambut pertandingan itu, pertandingan yang amat menarik di mana kakek raksasa itu sama sekali tidak pernah dapat menangkap atau memukul anak kecil yang kini bergerak-gerak persis monyet, mengeluarkan suara seperti monyet tulen pula.

Dapat dimengerti bahwa andaikata Sin Liong belum memiliki demikian banyak ilmu, pertama-tama ilmu silat tinggi yang diturunkan atau diwariskan oleh Cia Keng Hong kepadanya, kemudian gemblengan-gemblengan yang diberikan oleh kakek Ouwyang Bu Sek, dan kalau dia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya meniru monyet, sudah pasti dalam satu dua jurus saja dia akan celaka! Adalah karena pemuda ini telah mewarisi ilmu silat tinggi, maka dia dapat mempermainkan lawannya yang dalam tingkat ilmu silat masih jauh sekali di bawah tingkat anak luar biasa ini.

Tingkah yang lucu dan gerakan yang amat luar biasa gesitnya dari Sin Liong membuat pertandingan itu nampak ramai dan juga lucu. Ada kalanya ujung jari-jari tangan kakek itu hampir menyentuh tubuh Sin Liong, namun pemuda itu sudah dapat menghindarkannya dengan cepat dan dengan gerakan aneh.

Tak terasa lagi lima puluh jurus telah lewat dan biarpun Sin Liong belum pernah balas menyerang, hanya pertama kali tadi dia menggigit robek celana lawan, namun kakek raksasa itupun belum pernah mampu menyentuh ujung baju pemuda yang perkasa yang lihai ini.

Tiba-tiba ada angin menyambar ke depan. Angin ini kuat sekali dan memaksa Sin Liong yang mengenal pukulan ampuh cepat berjungkir balik, membuat poksai (salto) di udara sampai lima kali lalu turun dan memandang. Kiranya di tepi panggung telah berdiri Kim Lok Cinjin, kakek muka putih yang matanya kini makin beringas nampaknya.






“Bocah kurang ajar, engkau telah menipu kami! Engkau pasti bukan orang Cin-ling-pai, melainkan dari golongan lain. Melihat gerakan-gerakanmu yang liar, engkau sama sekali bukan murid Cin-ling-pai. Mengapa engkau berani membela Cin-ling-pai?” bentak Kim Lok Cinjin, sedangkan Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi nampak menghapus peluh dari muka dan lehernya, menggunakan ujung bajunya. Dia merasa lelah sekali.

“Sudah kukatakan tadi bahwa aku pernah mempelajari ilmu yang tiada bandingnya di dunia ini, ilmu dari Cin-ling-pai, akan tetapi aku bukan tokoh bukan murid. Aku hanya membela tokoh muda Cin-ling-pai tadi... eh, mana dia?”

Sin Liong mencari-cari dengan pandang mata namun ternyata tempat duduk Kwee Siang Lee telah kosong! Kemudian ada seorang tamu menerangkan bahwa tidak lama setelah pertarungan di atas panggung dimulai, pemuda tampan dari Cin-ling-pai itu telah pergi secara diam-diam.

Sin Liong menarik napas panjang, napas yang melegakan dadanya. Dia memang mengkhawatirkan keselamatan pemuda lancang itu dan setelah kini pemuda itu pergi, hatinya gembira dan enak. Dia tersenyum kepada Kim Lok Cinjin, lalu berkata,

“Aku memang tidak menggunakan jurus-jurus agung dan ampuh dari Cin-ling-pai tadi, dan sekarang, melihat betapa saudara Kwee Siang Lee tokoh Cin-ling-pai telah pergi tanpa pamit, agaknya enggan turun tangan menghadapi lawan-lawan yang terlampau rendah tingkat kepandaiannya, maka akupun tidak lagi membelanya dan karena Cin-ling-pai tidak mempunyai wakil disini, maka akupun tidak lagi membela Cin-ling-pai atau membela siapapun juga. Dan hendaknya kalian ketahui bahwa kalau aku tadi tidak menggunakan jurus Cin-ling-pai adalah karena sekali aku mengeluarkan jurus dari Cin-ling-pai dalam satu jurus saja macan ompong itu tentu roboh.”

Terdengar seruan kaget dari semua penonton. Bahkan para tokoh besar yang duduk di panggung kehormatan mengerutkan kening. Anak ini boleh jadi lihai dan menyembunyikan kepandaian hebat, akan tetapi terlalu sembrono dan terlalu sombonglah kalau berani mengatakan bahwa dengan satu jurus dari Cin-ling-pai, orang macam Kiu-bwee-houw akan dapat dirobohkan!

“Bocah bermulut besar! Kalau dengan satu jurus dari Cin-ling-pai engkau mampu merobohkan murid pertamaku, Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi itu, biarlah pinto memberi hormat kepadamu!” teriak Kim Lok Cinjin marah dan kakek ini lalu mundur dan duduk kembali ke atas kursi kehormatan.

“Hemm, kakek lucu, beranikah engkau menyambut satu jurus seranganku menggunakan ilmu Cin-ling-pai?”

Tiba-tiba Sin Liong menantang kepada Kiu-bwee-houw. Tentu saja semua orang tertawa lagi, akan tetapi suara ketawa mereka terkendalikan oleh perasaan sangsi dan khawatir karena siapapun orangnya tidak akan percaya bahwa bocah yang kelihatan tidak pandai limu silat, yang agaknya hanya memiliki kecepatan gerakan seperti monyet, dan tidak mempunyai tenaga besar, buktinya tadi tidak pernah menyerang dan tidak pernah menangkis, akan dapat merobohkan kakek raksasa itu dalam satu jurus saja! Jurus apa gerangan yang demikian hebat?

“Anak iblis! Suhu telah berjanji kalau aku roboh dalam satu jurus olehmu, beliau akan memberi hormat kepadamu. Akan tetapi bagaimana kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus?” Kiu-bwee-houw bertanya.

“Kalau tidak bisapun tidak mengapa, dan aku yang akan memberi hormat kepada gurumu dan kepadamu. Boleh saja, kan?”

“Seenak perutmu sendiri! Kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus, engkau harus menjilati sepatu guruku sampai bersih, kemudian melanjutkan pertempuran ini sampai seorang di antara kita roboh.”

Hebat bukan main syarat itu, penghinaan yang sangat besar. Namun dengan sikap enak saja Sin Liong mengangguk.

“Boleh, itu sudah adil sekali! Sekarang aku ingin engkau memilih, satu jurus dari ilmu yang manakah dari Cin-ling-pai yang harus kugunakan untuk merobohkan engkau? Ilmu-ilmu Cin-ling-pai amat banyak, ampuh dan luar biasa. Pilih saja yang mana. Mau San-in-kun-hoat, Siang-bhok Kiam-sut yang bisa dimainkan dengan pedang tangan, atau Thai-kek-sin-kun? Masih ada lagi ilmu-ilmu simpanan dari pendekar sakti Cia Keng Hong, di antaranya Sin-kun-hok-houw (Pukulan Sakti Menaklukkan Harimau) atau Ta-houw-ciang (Tangan Pemukul Harimau) dan masih banyak lagi pukulan-pukulan yang sengaja diciptakan untuk mengalahkan segala macam harimau, termasuk harimau tua yang ompong.”

Jelaslah bahwa ilmu-ilmu yang terakhir itu adalah isapan jempol saja dari Sin Liong, sengaja menggunakah nama harimau untuk mengejek lawan. Akan tetapi, disebutnya banyak ilmu itu, diam-diam Kiu-bwee-houw menjadi terkejut. Jangan-jangan anak ini memang benar ahli silat kelas satu! Dia merasa jerih juga mendengar nama ilmu-ilmu yang mengancam harimau itu. Maka dia memilih nama ilmu yang kedengarannya tidak begitu seram, yaitu Ilmu Silat San-in-kun-hoat (Silat Awan Gunung).

“Aku mendengar di antara semua ilmu silat dari Cin-ling-pai, yang paling hebat adalah ilmu Thi-khi-i-beng dan San-in-kun-hoat. Nah, kau pergunakan dua ilmu itu dan merobohkan aku dalam satu jurus!”

Kakek ini tersenyum lebar mengejek. Dia sudah mendengar bahwa di dunia ini, yang menguasai ilmu Thi-khi-i-beng (Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa) hanya dua orang, yaitu mendiang Cia Keng Hong dan Yap Kun Liong. Bahkan kabarnya, putera dari pendekar Cia Keng Hong itu sendiri tidak diberi pelajaran Thi-khi-i-beng, apalagi bocah ingusan ini! Kakek ini merasa cerdik menyebut nama ilmu itu, dan dia tidak gentar menghadapi Ilmu San-in-kun-hoat, ilmu yang namanya saja lemah lembut itu, apalagi kalau hanya dipergunakan satu jurus saja.

Akan tetapi Sin Liong menjadi girang sekali. Ilmu San-in-kun-hoat adalah ilmu yang amat halus dan hebat, apalagi setelah dia digembleng oleh Ouwyang Bu Sek, ilmu silat ini telah dilatihnya secara luar biasa. Dan tentang Thi-khi-i-beng, tidak ada orang lain tahu kecuali kakeknya, bahwa dia telah menguasai sepenuhnya ilmu itu, bahkan tidak kalah kuat dibandingkan dengan kakeknya sendiri!

“Bagus, kau bersiaplah. Dalam satu jurus aku akan membanting tubuhmu yang gemuk itu ke atas papan panggung!” bentaknya.

Kakek raksasa itu menyeringai, lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya pada kaki dan tangannya, siap untuk menangkis atau mengelak dari jurus serangan yang akan dipergunakan oleh Sin Liong. Dia merasa yakin bahwa dia mampu mengelak, dan kalau gerakannya kurang cepat, dia boleh mengandalkan kedua tangannya untuk menangkis dan pengerahan tenaga sekuatnya itu tentu akan membuat bocah ini terpental. Demikianlah pikiran dan dia merasa yakin sekali akan kemenangannya.

“Cu-wi yang terhormat, harap suka menjadi saksi. Aku akan mempergunakan satu jurus saja dari ilmu silat sakti San-in-kun-hoat, yaitu jurus Pek-in-tui-san (Awan Putih Mendorong Gunung). Dengan tangan kiri aku akan menyerang ke arah kepalanya, kemudian disusul dengan cengkeraman tangan kananku untuk mengangkat tubuhnya dan membantingnya ke atas lantai, aku menjadi awan putih dan dia menjadi gunungnya. Nah, harap suka melihat baik-baik!”

Tentu saja ucapan ini mengandung kesombongan besar sekali. Semua orang terkejut. Bagaimana bocah ini berani bersikap sedemikian sombong dan sembrono? Belum diberitahukan saja tentang jurus itu, agaknya tidak mungkin dia akan berhasil merobohkan Kiu-bwee-houw, apalagi setelah jurus itu dia perkenalkan, tentu mudah bagi lawan untuk menghadapinya. Benar-benar seorang bocah tolol yang besar mulut.

Kiu-bwee-houw juga merasa geli.
“Ha-ha-ha! Keluarkanlah jurus kentut busukmu!” Dia mengejek.

“Sambutlah gerakan pertama jurus mautku!”

Sin Liong mengerahkan tenaga sin-kang tangan kirinya sudah melayang ke arah kepala atau kedua mata lawan. Karena pukulannya ini dilakukan dengan pengerahan sin-kang yang amat kuat, pula dilakukan cepat sekali, maka terkejutlah Kiu-bwee-houw dan dia tidak berani main-main lagi. Cepat dia menggerakkan tangan kanan dari sebelah luar dan ditangkapnya pergelangan tangan Sin Liong dengan jari-jari tangannya yang panjang dan kuat. Sekali tangkap, lengan anak itu sama sekali tidak mampu bergerak lagi dan Kiu-bwee-houw sudah mulai tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha... hauhhh...!”

Suara ketawa berubah menjadi kekagetan setengah mati ketika dia merasa, betapa hawa sin-kang yang dipergunakan tangan kanannya untuk menangkap pergelangan tangan kiri pemuda remaja itu kini melekat pada pergelangan tangan itu dan hawa sin-kangnya membanjir keluar, disedot oleh pergelangan tangan lawan!

“Thi... Thi-khi-i-beng...!”

Keluhnya tergagap, namun sudah terlanjur. Makin dia mengerahkan sin-kang untuk melepaskan tangannya, makin hebat pula tenaga sin-kangnya membanjir keluar, demikian cepat dan kuatnya hawa murni itu keluar dari tubuhnya disedot oleh lawan sehingga sebentar saja mukanya menjadi pucat dan tubuhnya terasa lemas kehilangan tenaga.

“Kini gerakan ke dua dari jurus mautku!” teriak pula Sin Liong dan dengan tangan kanan dia mencengkeram ke arah ikat pinggang lawan, lalu diangkatnya tubuh raksasa itu dan sambil melepaskan daya sedot Thi-khi-i-beng, dibantingnya tubuh itu ke atas papan panggung.

“Brukkk!”

Papan panggung jebol dan tubuh kakek raksasa itu amblas ke dalamnya sampai sepinggang! Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah diduga oleh semua orang sehingga bantingan itu disusul oleh keheningan yang menegangkan. Semua orang seperti menahan napas menyaksikan peristiwa yang amat aneh ini dan tidak ada seorangpun yang tidak meragukan apa yang mereka lihat.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: