***

***

Ads

Selasa, 21 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 135

Sin Liong terkejut sekali ketika melihat betapa gadis yang terjatuh tadi, bersama beberapa orang pengemis mempergunakan kesempatan itu untuk menjambret beberapa buntalan barang belanjaan empat orang muda itu, bahkan gadis baju biru yang mukanya berlepotan lumpur dan yang tadi membawa keranjang dan terjatuh, dengan gerakan lihai bukan main, cepat seperti kilat menyambar telah berhasil menyambar kantung uang dari pinggang Beng Sin!

Sin Liong melihat betapa cepatnya gadis itu menyambar kantung, menggunakan sebatang pisau kecil yang amat tajam memotong tali kantong dari gantungannya dan dalam sekejap mata saja kantung itu telah lenyap ke balik bajunya! Sin Liong dapat melihat hal ini dengan jelas, dan dia sudah menggerakkan kaki hendak maju dan menangkap para pencopet itu.

Akan tetapi ketika gadis itu menoleh kepadanya dan memandangnya dengan sepasang mata yang bening dan bersinar-sinar, seolah-olah sepasang mata itu bicara kepadanya, mohon agar dia jangan mencampurinya, dan terutama sekali karena teringat bahwa mereka adalah para pengemis yang hidupnya kekurangan, ada sesuatu yang menahan Sin Liong dan membuat dia tidak jadi bergerak. Apalagi karena diapun tidak ingin memperkenaikan diri kepada empat orang muda itu. Maka dia hanya memandang dan menahan senyum ketika gadis itu pergi menyelinap di antara orang banyak dalam pasar bersama teman-temannya dan tak lama kemudian terdengar ribut-ribut ketika Beng Sin dan saudara-saudaranya merasa kehilangan.

“Keparat! Berani benar mengganggu kami?”

Beng Sin mencak-mencak dan mengepal tinju, akan tetapi dia hanya menjadi tontonan orang karena dia sendiri tidak tahu kepada siapa dia harus marah-marah. Akhirnya empat orang muda itu meninggalkan pasar dan kembali ke tempat tinggal mereka. Mereka tidak tahu bahwa sejak tadi Sin Liong membayangi mereka sampai mereka tiba di sebuah dusun yang terletak tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja.

Setelah mengetahui di mana tempat tinggal mereka, yaitu di sebuah rumah besar di dusun itu, Sin Liong lalu mencari keterangan di dusun itu, dan mendengar bahwa Kui-wangwe (hartawan Kui) telah beberapa tahun tinggal di tempat itu, memiliki banyak sawah dan menjadi tuan tanah paling kaya di dusun itu!

Setelah merasa puas karena dapat menemukan tempat tinggal keluarga Kui itu, Sin Liong lalu cepat kembali ke rumah makan dan siang hari itu juga dia sudah dapat membantu lagi pekerjaan di rumah makan, sehingga majikannya merasa senang.

Beberapa hari kemudian, ketika pada suatu sore Sin Liong sedang mencuci mangkok piring di bagian belakang restoran itu, dan membuangi sisa makanan ke dalam keranjang sampah, terdengar seruan orang dari luar pintu belakang.

“Heh, bung A-sin, kenapa kau buangi sisa makanan itu? Berikan kepada kami...!”

Mendengar suara ini, Sin Liong menengok dan dia melihat tiga orang pengemis muda berlarian mendatangi sambil membawa kaleng mereka yang biasanya mereka pergunakan untuk menampung sisa-sisa makanan yang masih baik. Akan tetapi sekali ini, tidak seperti biasanya, Sin Liong dengan gerakan marah lalu membuang sisa-sisa makanan ke dalam keranjang sampah sehingga tiga orang pengemis muda itu tertegun dan memandang heran.

“Bung A-sin, kenapa kau buang?”

Mereka terkejut karena biasanya, A-sin ini merupakan seorang di antara pelayan yang bersikap paling ramah dan baik kepada mereka.






Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang mereka dengah sikap marah,
“Perlu apa kalian mencari sisa makanan? Bukankah sekarang kalian mampu membeli masakan-masakan yang mahal?”

Tiga orang pengemis muda itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka bertanya,
“Eh, saudara A-sin, apa maksudmu dengan kata-kata itu? Kami tidak mengerti.”

“Hemm, perlukah kalian berpura-pura lagi? Atau apakah kalian begitu royal membuang hasil kalian seperti pasir sehingga dalam waktu empat hari saja harus mengemis lagi?”

Tiga orang itu mengerutkan alis.
“Saudara A-sin, apa maksudmu?”

Kini Sin Liong menjadi makin marah dan membentak.
“Sudahlah! Kau kira tidak ada yang tahu ketika kalian melakukan pencopetan-pencopetan di pasar? Tak tahu malu!”

Tiga orang itu saling pandang dan wajah mereka berubah, kelihatan ketakutan dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sin Liong juga diam saja, di dalam hatinya merasa menyesal sekali. Biasanya dia merasa kasihan kepada pengemis-pengemis muda itu, merasa senasib dengan mereka. Akan tetapi melihat mereka menjadi pencopet-pencopet di pasar, perasaan kasihan di hatinya kini berubah menjadi sebal dan tak senang. Keadaan lahir tidak selalu mencerminkan batin, pikirnya. Pengemis-pengemis muda yang menimbulkan rasa iba itu ternyata hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak patut dikasihani!

Malam hari itu setelah restoran tutup, Sin Liong rebah di dalam kamarnya dan melamun. Sudah lama juga dia bekerja di restoran itu, sudah hampir setengah tahun! Selama itu, tidak pernah dia lalai utnuk melatih ilmu-ilmunya dan dia kini merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi orang yang selama ini dicari-carinya, yaitu Kim Hong Liu-nio!

Selama ini dia sudah menyelidiki dan mendengar-dengar berita di antara para tamu restoran dan dia tahu bahwa Kim Hong Liu-nio, sebagai utusan atau wakil dari Raja Sabutai, merupakan orang penting juga di kota raja bahkan kabarnya merupakan orang kepercayaan dalam istana. Jelaslah bahwa dia akan dapat mencari wanita pembunuh ibunya itu di kota raja ini, dan agaknya di dalam istana. Kalau perlu dia akan mencari ke dalam istana!

Tiba-tiba Sin Liong bangkit duduk. Pendengarannya yang amat tajam dan terlatih itu menangkap gerakan kaki manusia di atas genteng rumah! Gerakan kaki yang ringan terlatih, akan tetapi tidak cukup ringan baginya sehingga masih menimbulkan suara yang terdengar olehnya.

Sekali tiup, lilin di atas mejanya padam dan dengan hati-hati sekali Sin Liong lalu keluar dari dalam kamarnya melalui jendela. Setelah menyelinap dengan gerakan cepat akhirnya Sin Liong meloncat naik ke atas genteng dan mengintai gerak-gerik bayangan orang yang berada di atas genteng.

Ketika sinar bulan menerangi wajah bayangan yang bertubuh langsing itu, dia terkejut. Kiranya bayangan itu adalah gadis berbaju biru, pemimpin para tukang copet di pasar! Atau lebih tepat lagi, gadis yang memimpin para pengemis muda menjadi pencopet! Mau apa dia berkeliaran di sini? Apakah selain mencopet, gadis ini juga biasa melakukan pekerjaan sebagai maling? Akan tetapi, gadis itu tidak kelihatan membawa senjata tajam dan dia kagum juga menyaksikan gerakan yang tetap dan ringan itu, tanda bahwa gadis itu telah mempelajari ilmu silat yang lumayan tingginya. Dia melihat gadis remaja itu ragu-ragu dan tiba-tiba gadis itu mendekam.

Sin Liong juga menoleh karena pada saat itu terdengar suara orang bernyanyi dengan suara serak, lalu nampak seorang laki-laki gendut berjalan sempoyongan di belakang rumah makan yang sudah tertutup itu. Sin Liong mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah A-tong, pembantu tukang masak yang perutnya gendut. Selain ahli masak dan gembul makan sehingga perutnya gendut, A-tong terkenal sebagai seorang laki-laki yang suka berpacaran dan minum sampai mabuk, pikir Sin Liong yang merasa geli melihat gadis itu terkejut mendengar nyanyian serak itu.

Akan tetapi Sin Liong menjadi terkejut ketika melihat gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri, kemudian melayang turun dengan gerakan seperti seekor burung kenari saja ringannya. Sin Liong cepat membayanginya dan siap untuk menolong si gendut karena agaknya gadis itu hendak menyerang si gendut!

Namun, dengan waspada Sin Liong melihat bahwa serangan gadis itu hanya untuk menotok saja, bukan untuk mencelakai, maka diapun diam saja, hanya mengamati dari balik pohon, dia turun tangan kalau gadis aneh itu berniat jahat.

“Uhhh...!”

A-tong tertotok pundaknya dari belakang dan roboh dengan lemas, akan tetapi sebelum roboh, gadis itu sudah mencengkeram pundaknya dan menghardik dengan suara dibesar-besarkan, seperti suara laki-laki akan tetapi kedengarannya lucu sekali.

“Hemmm... aku adalah setan penunggu kebun ini...!” hardiknya dengan suara menggeram, Sin Liong yang mendengarkan ini, menjadi geli.

Apa maunya dara itu bermain-main seperti itu? Apakah gadis itu miring otaknya? Dan dia makin geli melihat tubuh gendut yang lemas dan tidak dapat menengok ke belakang itu menggigil ketakutan.

“Ampun... ampunkan saya... Pek-kong...!”

A-tong mengeluh, dalam keadaan setengah mabuk dia percaya bahwa dia telah dicengkeram oleh setan!

“Hemm... aku dapat ampunkan kau akan tetapi beri tahu di mana kamarnya si A-sin pelayan itu?”

Diam-diam Sin Liong makin geli akan tetapi juga terkejut dan heran. Kiranya gadis itu mencari dia!

“Ehh... A-sin... A-sin... kamarnya di ujung kanan itu... harap ampun...”

“Plak!”

Gadis itu mengetuk tengkuk A-tong yang mengeluh dan terguling roboh. Sin Liong makin geli karena dia tahu bahwa tamparan itu tidak melukai, akan tetapi saking takutnya A-tong sudah jatuh pingsan. Cepat dia meloncat dan di lain saat dia sudah memasuki kamarnya melalui jendela, kemudian dia melepas sepatunya dan rebah di atas pembaringan, terdengar suara dengkurnya tanda bahwa dia sudah tidur pulas!

Dengan menahan geli hatinya, Sin Liong mendengar betapa jendela kamarnya yang tadinya dipalangnya dari dalam itu perlahan-lahan digerayangi dan dibuka orang! Kagum juga dia karena agaknya tidak makan waktu terlalu lama bagi gadis itu untuk dapat membuka daun jendelanya. Agaknya gadis inipun ahli dalam ilmu membuka-buka daun pintu dan jendela rumah orang dari luar!

Hening sejenak setelah daun jendela terbuka, kemudian sesosok bayangan yang gesit meloncat masuk. Kakinya hanya menimbulkan sedikit suara saja ketika menyentuh tanah, seperti lompatan seekor kucing!

Gadis ini mau apa setelah menemukan kamarnya, pikir Sin Liong. Mau membunuhnya? Agaknya tidak, karena selain gadis itu tidak kelihatan jahat seperti terbukti ketika memaksa A-tong mengaku, juga tidak membawa senjata. Lalu mau apa? Jantung dalam dada Sin Liong berdebar dan tiba-tiba dia memejamkan matanya ketika melihat sinar api.

Gadis itu menyalakan lilin di atas meja! Dan tiba-tiba, dengan gerakan cepat juga, gadis itu sudah meloncat ke dekat pembaringannya dan dengan tangannya siap untuk menotoknya seperti yang dilakukannya tadi kepada A-tong! Akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidur.

“Heh, A-sin bangun kau!” terdengar gadis itu membentak halus dan jari-jari tangan yang kecil halus itu mencengkeram pundak Sin Liong dan mengguncangnya!

Sin Liong pura-pura kaget, akan tetapi tiba-tiba dia kelihatan ketakutan ketika pundaknya dicengkeram makin kuat.

“Diam jangan bergerak atau bersuara! Kalau berteriak, kubunuh kau!” bentak gadis itu.

“Eh... ehhh... kabarnya Giam-lo-ong itu pria, akan tetapi... kenapa ada Giam-lo-ong wanita...?”

Sin Liong pura-pura gugup dan terheran-heran, terbelalak memandang wajah yang kini tidak lagi berlepotan lumpur dan kelihatan manis nampak remang-remang di bawah sinar lilin yang lemah.

“Kau ngaco-belo apa? Siapa Giam-lo-ong?” Gadis itu juga menjadi heran dan membentak lirih.

“Kau bukan Giam-lo-ong? Mengapa mau mencabut nyawaku?” Sin Liong bersikap ketolol-tololan.

“Huh, ceriwis kau! Cerewet kau! Awas, kau lihat baik-baik ini!”

Setelah berkata demikian, gadis itu menengok ke kanan kiri dalam kamar. Melihat sebuah sapu dengan gagang kayu sebesar lengan orang, dia lalu mengambil dan dengan sekali tekuk menggunakan kedua tangannya, gagang sapu itupun patah dan dilemparkannya ke atas lantai. Sin Liong terbelalak dan bersikap ketololan.

“Eh, eh... apa dosanya sapu itu? Kenapa kau patahkan gagangnya? Wah, celaka, kau bikin aku susah, harus membuatkan gagang baru...!”

Gadis itu kelihatan gemas. Dia mendemonstrasikan kekuatannya untuk membikin takut pemuda tolol ini, si pemuda bukannya takut akan kekuatannya, malah mengomel karena gagang sapunya patah!

“Goblok! Kau bernama A-sin?”

“Benar, dan kau siapa, kenapa masuk kamarku? Apa kau babu baru disini?”

“Cerewet! Aku datang untuk memperingatkanmu, mengerti? Dan kau harus taat kepadaku, kalau tidak, lehermu akan kupatahkan seperti gagang sapu tadi!”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: