***

***

Ads

Selasa, 21 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 140

Bi Cu yang biasanya pendiam itu menjadi khawatir dan bingung. Dia tahu bahwa dia berhutang budi kepada keluarga Na, semenjak kecil dia telah hidup di dalam lingkungan keluarga itu, diperlakukan dengan baik sekali, seperti anggauta sendiri. Mendiang ayah dan ibu Tiong Pek amat baik kepadanya, bahkan dia harus mengakui pula bahwa Tiong Pek sendiri selalu bersikap manis dan baik kepadanya.

Agaknya, pengangkatan dirinya sebagai calon isteri Tiong Pek merupakan hal yang wajar, bahkan sudah semestinya, dan tentu akan disetujui oleh semua tokoh Ui-eng-piauwkiok dan mereka tentu menganggap bahwa nasibnya amat baik! Akan tetapi, dia sendiri merasa tidak suka! Bukan dia tidak suka kepada Tiong Pek yang amat baik kepadanya, akan tetapi dia sama sekali belum memikirkan soal pernikahan! Apalagi kalau dia teringat kepada ayah kandungnya yang kabarnya dibunuh orang tanpa dia mengetahui siapa pembunuhnya!

“Akan tetapi, suheng, hal itu belum resmi, jadi tidak semestinya kalau kau mengatakan bahwa kita telah bertunangan.”

Sikap dari Bi Cu ini mengecewakan hati Tiong Pek. Pemuda ini memang sejak masa kanak-kanak sudah merasa suka sekali kepada Bi Cu dan menjelang dewasa dia makin mencinta sumoinya ini. Melihat sikap Bi Cu, dia merasa kecewa dan juga khawatir, maka pada keesokan harinya dia lalu minta bantuan paman-pamannya.

“Seperti paman sekalian tentu mengetahui, mendiang ayah dan ibu sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan aku dengan Bi Cu, dan karena mereka berdua meninggal dunia tanpa sempat meninggalkan pesan, maka keinginan hati mereka itu bagiku merupakan pesan dan wasiat terakhir. Dan mengingat bahwa kami berdua sudah makin besar dan menjelang dewasa, maka aku minta kepada paman agar suka mengatur persembahyangan dan meresmikan pertunangan kami di depan arwah ayah ibu agar mereka dapat tenang di alam baka.”

Para tokoh Ui-eng-piauwkiok itu terdiri dari lima orang, dipimpin oleh pembantu utama mendiang Na-piauwsu yang bernama Louw Kiat Hui, seorang laki-laki tinggi besar, berwatak jujur dan bermata lebar. Louw Kiat Hui memang masih terhitung sute sendiri dari mendiang Na Ceng Han, yaitu ketika mereka berdua berguru kepada seorang guru silat kenamaan di selatan. Jadi orang she Louw ini masih terhitung susiok dari Tiong Pek. Mendengar ucapan keponakannya ini, Louw Kiat Hui mengangguk-angguk dengan girang.

“Memang kami semua sudah mengetahui akan hal itu, Tiong Pek. Dan kalau demikian permintaanmu, memang sebaiknya pertunangan itu diresmikan dan dilakukan sembahyang besar-besaran dan mengundang tamu-tamu sebagai saksi.”

“Terserah kepada Louw-susiok untuk mengaturnya,” jawab Tiong Pek dengan girang.

Louw Kiat Hui adalah seorang gagah yang jujur dan berpandangan luas.
“Perjodohan adalah pertalian hidup antara dua orang manusia,” katanya dengan wajah serius, “oleh karena itu, yang pertama kali tersangkut dan mempunyai kepentingan adalah dua orang yang akan mengikatkan diri dalam pertalian perjodohan itulah. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil langkah-langkah selanjutnya, sudah selayaknya kalau kita mendengar dulu pendapat yang bersangkutan, yaitu Bi Cu.”

Bi Cu segera dipanggil dan gadis kecil itu menghadap dengan hati menduga-duga, karena dia melihat lima orang penting dari Ui-eng-piauwkiok itu memandang kepadanya dengan wajah berseri dan bibir tersenyum, sedangkan Tiong Pek sudah lebih dulu berada di situ.

“Ada apakah Louw-susiok memanggilku?” tanyanya.






Bi Cu, seperti juga Tiong Pek, kini dipimpin oleh Louw Kiat Hui dalam pelajaran ilmu silat dan diapun menyebut susiok kepada tokoh yang kini menggantikan kedudukan mendiang Na-piauwsu memimpin perusahaan itu.

“Duduklah, Bi Cu. Kita akan mengajakmu bicara tentang perjodohanmu dengan Tiong Pek seperti telah berkali-kali dinyatakan oleh mendiang Na-suheng dan isterinya.”

Bi Cu mengerling kepada Tiong Pek dan dia dapat menduga bahwa hal ini tentu sengaja diatur oleh suhengnya itu dalam usahanya untuk meresmikan pertunangan mereka. Jantungnya berdebar keras dan mukanya menjadi merah, hatinya terasa panas dan timbul semacam perlawanan, alisnya berkerut.

“Apakah yang susiok maksudkan? Aku tidak mengerti,” jawabnya lirih sambil menunduk.

Lima orang pimpinan Ui-eng-piauwkiok itu tersenyum, dan saling pandang. Menggelikan dan juga mengharukan melihat seorang dara remaja menundukkan muka kemalu-maluan kalau diajak bicara tentang perjodohan!

“Begini, Bi Cu. Semenjak engkau dan Tiong Pek masih kecil, mendiang Na-suheng dan isterinya sudah sering kali menyatakan bahwa kalian berdua akan saling dijodohkan, akan tetapi sayang, sebelum niat itu dilaksanakan, mereka telah lebih dulu meninggalkan kita. Sekarang, karena kalian berdua sudah menjelang dewasa, kami merasa sudah menjadi kewajiban kami untuk melaksanakan cita-cita mereka berdua itu, dan agar arwah mereka tenang di alam baka, maka kami bermaksud untuk mengadakan sembahyang dan meresmikan pertunanganmu dengan Tiong Pek, disaksikan oleh sahabat-sahabat dan para undangan. Dan sebelum itu, kami sengaja memanggilmu untuk memberi tahu dan mendengar bagaimana pendapatmu tentang maksud kami itu, Bi Cu.”

Gadis kecil itu masih menundukkan mukanya dan semua orang memandang kepadanya, menduga bahwa seperti kebiasaan para gadis pada umumnya yang ditanya tentang pernikahan, dia tentu akan menjawab “terserah kepada susiok”, atau hanya mengangguk tanpa kata, atau juga lari memasuki kamarnya. Semua itu akan menjadi tanda bahwa Bi Cu sudah setuju!

Akan tetapi, terkejut dan heranlah semua orang disitu ketika mereka melihat Bi Cu menggeleng kepalanya, mengangkat mukanya yang merah dan menjawab dengan suara gemetar,

“Tidak, susiok, aku masih terlalu kecil untuk bicara tentang perjodohan. Aku belum memikirkan perjodohan dan tidak mau bicara tentang itu.” Dia menundukkan mukanya kembali.

Louw Kiat Hui saling berpandangan dengan teman-temannya, dan mengerling kepada Tiong Pek yang hanya duduk diam sambil menundukkan mukanya pula. Kemudian orang tinggi besar ini memandang kepada Bi Cu yang menunduk itu dan berkata, suaranya lantang dan mendesak.

“Bi Cu, mengapa engkau menolak? Apakah engkau tidak setuju dijodohkan dengan Tiong Pek? Apakah engkau hendak menentang pesan terakhir dari Na-suheng dan isterinya?”

Di dalam hatinya, Louw Kiat Hui merasa penasaran karena dia tahu benar betapa gadis ini telah menerima budi berlimpah-limpah dari keluarga Na, dan bahwa Tiong Pek adalah seorang pemuda cukup tampan, gagah dan berharta sehingga tidak pantaslah kalau gadis ini menolaknya.

Gadis yang baru berusia dua belas tahun itu mengangkat mukanya dan kini nampak mukanya agak pucat dan kedua matanya basah. Akan tetapi suaranya cukup tegas ketika terdengar dia berkata,

“Susiok sekalian agaknya hanya mengingat keluarga sefihak saja, mengingat akan pesan dari suhu, yaitu ayah dari suheng. Agaknya sama sekali susiok sekalian tidak pernah mengingat keluargaku, tidak mengingat orang tuaku sendiri sehingga aku diharuskan memutuskan sendiri tentang perjodohanku.”

Louw Kiat Hui terkejut. Kembali dia saling berpandangan dengan para temannya, kemudian dia berkata dengan suara lembut,

“Ah, Bi Cu, jangan engkau beranggapan seperti itu. Andaikata kami tahu bahwa engkau masih mempunyai orang tua, sudah tentu kami tidak akan berani lancang dan tentu kami akan minta pendapat orang tuamu. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa ibumu telah tiada, sedangkan ayahmu...”

“Ayah dibunuh orang, dan sampai sekarang aku belum tahu dimana kuburnya! Pantaskah aku sebagai anak tunggalnya kini memutuskan sendiri perjodohan tanpa memperdulikan keadaan ayah? Tidak, susiok, sebelum aku tahu siapa pembunuh ayah, dan sebelum aku dapat bersembahyang di depan makam ayah kandungku, aku tidak mungkin bisa memutuskan tentang ikatan jodoh ini.”

Setelah berkata demikian, sambil menangis Bi Cu bangkit berdiri kemudian lari memasuki kamarnya dimana dia membanting dirinya menelungkup dan menangis di atas pembaringan.

“Sudahlah, susiok. Dia memang benar. Kita kurang memperhatikan hal itu. Biarlah pertunangan resmi diundurkan dulu, betapapun juga kami toh sudah dapat dibilang bertunangan, biarpun belum resmi. Dan sebaiknya kalau susiok sekalian mencoba untuk menyelidiki tentang kematian ayah kandung sumoi di utara,” kata Tiong Pek yang merasa terharu juga melihat sikap Bi Cu yang dicintanya.

Akan tetapi, para piauwsu yang sibuk dengan pekerjaan itu, mana mempunyai kesempatan untuk menyelidiki tentang kematian ayah Bi Cu jauh di utara, di luar tembok besar? Memang sekali-kali pernah mereka ini mengawal barang atau orang sampai keluar tembok besar, akan tetapi tidak sejauh tempat yang pernah menjadi tempat tinggal Bhe Coan, ayah kandung dari Bhe Bi Cu itu. Dan kalau mendiang Na-piauwsu sendiri pernah menyelidiki kesana dan tidak berhasil mengetahui siapa pembunuh Bhe Coan, apa pula yang bisa mereka lakukan?

Setelah terjadi peristiwa itu, Bi Cu makin merasa gelisah dan tidak kerasan berada di rumah Tiong Pek. Dia merasa betapa dia telah berhutang budi kepada keluarga Na, betapa pemuda itu memang amat baik kepadanya. Inilah yang menyebabkan dia makin gelisah. Tiong Pek amat baik kepadanya dan dia tidak ingin menghancurkan hati pemuda itu, akan tetapi diapun tidak mungkin dapat membalas cinta Tiong Pek. Setiap hari Bi Cu termenung duka, apalagi setelah lewat berbulan-bulan, belum juga ada berita tentang hasil usaha Louw Kiat Hui dan para paman yang lain mencari atau menyelidiki tentang pembunuh ayahnya.

Sementara itu, sikap Tiong Pek makin hari makin mendesak dan makin mesra, pandang mata pemuda itu seperti hendak menembus hatinya dan senyum yang merayu itu mendatangkan rasa iba dalam hatinya. Akhirnya Bi Cu tidak kuat menahan lagi dan pada suatu malam, dengan bekal beberapa potong pakaian, larilah dia meninggalkan rumah Tiong Pek untuk pergi ke utara dan melakukan penyelidikan sendiri!

Pada keesokan harinya, Tiong Pek dan para tokoh Ui-eng-piauwkiok menjadi geger melihat kepergian Bi Cu yang tidak meninggalkan pesan apapun. Mereka menjadi bingung dan segera melakukan pengejaran ke utara karena mereka dapat menduga bahwa tentu gadis kecil itu nekat pergi ke utara untuk menyelidiki tentang pembunuh ayah kandungnya.

Dugaan semua tokoh Ui-eng-piauwkiok ternyata tepat. Setelah melakukan pengejaran selama sehari penuh, akhirnya pada malam harinya Louw Kiat Hui dan empat orang temannya, bersama Tiong Pek sendiri, telah dapat menyusul Bi Cu yang beristirahat di rumah seorang petani di dusun sebelah selatan kota raja. Mudah saja mencari jejak seorang gadis kecil yang melakukan perjalanan seorang diri pada waktu itu.

Bi Cu terkejut dan menangis ketika lima orang pamannya itu bersama Tiong Pek muncul.

“Mari kita pulang ke Kun-ting, Bi Cu,” kata Louw Kiat Hui dengan sikap halus tanpa banyak kata-kata teguran.

“Tidak, aku tidak mau...!” Bi Cu menangis. “Aku hendak pergi mencari pembunuh ayah. Tinggalkan aku sendiri!”

Tiong Pek menghampiri Bi Cu dan memegangi tangannya.
“Sumoi, mengapa engkau hendak meninggalkan aku? Apakah kesalahanku kepadamu?”

“Tidak, suheng, engkau tidak bersalah, kalian semua tidak bersalah. Akulah yang bersalah, akan tetapi... biarkan aku pergi, biarkan aku mencari sendiri pembunuh ayahku, jangan memaksa aku kembali ke Kun-ting.”

Louw Kiat Hui memandang gadis yang menangis terisak-isak itu.
“Bi Cu, engkau harus ikut kami kembali ke Kun-ting dan marilah di sana kita bicara.”

Mendengar ucapan Louw Kiat Hui agak mendesak karena orang tinggi besar ini memang sudah tidak sabar lagi melihat Bi Cu menangis dan memang diam-diam diapun merasa penasaran dan marah melihat gadis kecil itu nekat melarikan diri tanpa pamit, Bi Cu mengangkat mukanya memandang.

“Louw-susiok, mengapa susiok hendak memaksa aku kembali kesana? Aku tidak mau kembali! Apakah susiok demikian jahat...?”

Louw Kiat Hui memandang tajam kepada murid keponakan itu.
“Bi Cu!” Suaranya terdengar tegas dan menunjukkan kemarahan, “Omongan apa yang kau keluarkan ini? Kalau kami membiarkan engkau pergi, melakukan perjalanan berbahaya seorang diri, sehingga akhirnya engkau pasti celaka, maka barulah kami benar-benar jahat! Sebaliknya, kalau engkau memaksa hendak pergi minggat begitu saja meninggalkan rumah dimana engkau dibesarkan dan dirawat penuh kasih sayang, maka engkau adalah seorang anak yang tak mengenal budi dan jahat!”

Bi Cu adalah seorang anak yang wataknya pendiam dan keras. Mendengar ucapan itu dia lalu membantah,

“Dan kalau aku akan dipaksa menikah hanya untuk membalas budi, apa itu namanya, paman?”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: