***

***

Ads

Jumat, 31 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 173

Semenjak kecil sampai tua, kita selalu diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanyalah obyek dari keinginan-keinginan kita, kalau masih muda tentu keinginannya ditujukan kepada benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, setelah tua dan bosan dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk keselamatan jiwa.

Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang, ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin dipenuhi keinginan ini, padahal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini berada di alam nyata maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-bayangan khayal kita sendiri belaka dan kita tidak akan pernah dapat bersua dengan kenyataan yang suci murni!

Seorang tua akan mengatakan,
“Aku tidak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak butuh apa-apa lagi!” kata-katanya demikian, akan tetapi sebenarnya pada dasarnya, keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan keinginan itu saja.

Kalau dulu yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan jasmani, sekarang yang dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan “yang lebih tinggi”. Hasilnyapun akan sama saja! Di waktu mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik, permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan keserakahan yang tak kunjung habis, sekarangpun dia akan bertemu dengan semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri!

Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada diri sendiri masing-masing, yaitu : Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam keinginan? Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau benda-benda yang tidak atau belum ada? Segala sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak melihat akan semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-gambaran dari keinginan kita!

Sama butanya dengan seorang penduduk pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan di pegunungan karena dia gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut karena dia gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan!

Sama butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak dapat menikmati kelezatan buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia membayangkan kelezatan buah apel!

Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan nyata tak nampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka, dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu dan hidup dalam saat ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan?

Semenjak “pengalamannya” yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw berlatih amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu “memanggil” datangnya sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa.






Karena ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu. Dan memang hebat sekali hasilnya! Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang amat aneh, namun dengan latihan-latihan siulian dan penghimpunan tenaga sakti yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada sebelum dia tekun belajar di dalam guha itu!

Berbedalah pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu ketika akhirnya dia mengambil keputusan untuk keluar dari tempat pertapaannya itu, dengan wajah yang agak pucat karena banyak berpuasa, akan tetapi dengan sepasang mata yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid kitab salinan dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari dengan matanya, karena dia ingin menemui suhengnya Ouwyang Bu Sek.

Namun sunyi sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Guha-guha yang banyak berjajar di tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau seperti sarang lebah besar, tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan mati. Han Houw menggunakan tangannya melindungi kedua matanya dari sinar matahari yang menyilaukan.

Setelah terlalu lama berada di dalam guha yang gelap, maka matanya tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat terang itu sehingga menjadi silau. Dengan mata setengah terpejam dia meneliti ke seluruh penjuru. Tidak nampak bayangan suhengnya. Han Houw merasa jengkel. Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia mengeluarkan jurus yang telah dilatihnya di dalam guha.

“Cuiiittt...!”

Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main, sampai dia sendiri terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu.

“Byarrrr...!”

Batu besar yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur terkena pukulannya yang ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang dengan mata terbelalak, namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan main girangnya. Dia lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini dilatihnya, dan akibatnya hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara bercuitan nyaring, akan tetapi juga angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-daun pohon yang jauh, dan beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar kerbau, tumbang dan pecah terkena hantaman kedua tangannya yang mempergunakan tenaga dahsyat itu. Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu.

“Desss...!”

Sebongkah batu sebesar kerbau bunting ditendangnya, dan batu besar itu terlempar sampai jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam jurang, sampai lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar suara keras sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara keras ini disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi marah oleh gangguan manusia itu.

Han Houw merasa girang dan bangga bukan main, dia lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam samadhi menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab dan tubuhnya melesat dengan cepatnya ke depan.

Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang tertinggi, kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu, dengan penuh kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke bawah. Dia merasa seolah-olah telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang berkuasa penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan berlutut di depan kakinya!

Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh dunia kang-ouw yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu!

Bangga bukan main rasa hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang beterbangan di atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang kepandaiannya jauh berada di bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan keunggulannya, dan dia akan menghadapi setiap orang yang dianggap terpandai di dunia ini! Tiba-tiba dia tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit, kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu.

“Ha-ha-ha-ha! Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkaupun tidak akan mampu menandingiku! Ha-ha-ha-ha!”

Suara ketawanya mengandung kekuatan khi-kang yang amat hebat sehingga bergema di bawah puncak. Mengerikan sekali pada saat itu wajah yang tampan ini, yang agak pucat dengan sepasang mata mencorong liar, seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah memakai topinya, topi bulu yang indah, dan bulu burung penghias topinya itu bergerak-gerak tertiup angin.

Tiba-tiba wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu cemberut dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab itu! Tiga buah kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung dalam tiga buah kitab itu. Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab aselinya. Ini berarti bahwa seluruh kepandaiannya berada di tangan suhengnya!

Kalau ada orang lain yang kelak mempelajari ilmu-ilmu dari kitab itu, berarti kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas kitab-kitab itu, dan menghancurkannya agar tidak ada orang lain yang akan dapat mengetahui rahasia dari ilmu-ilmunya. Teringat ini, dia lalu mengambil kitab-kitab terjemahan yang tadi dibawanya lari ke puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-kitab itu dicenkeramnya dengan kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga saja kitab-kitab itu robek-robek dan remuk!

Pecahan-pecahan kecil diterbangkan angin ketika Han Houw melemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-mana dan andaikata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat membacanya. Setelah mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang matanya dan merasa puas, Han Houw lalu melompat turun dari batu itu dan berlari seperti terbang cepatnya menuruni puncak tertinggi itu untuk kembali ke puncak dimana suhengnya tinggal.

“Suheng...!”

Han Houw berteriak dan suaranya melengking tinggi, penuh getaran, disambut oleh gema suara di empat penjuru.

“Suheng Ouwyang Bu Sek...!”

Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali.

Tak lama kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari jauh, namun suara itu terdengar dekat sekali,

“Aku datang, sute...!”

Han Houw merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu menanti sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tak lama kemudian, berbareng dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di depan Han Houw.

Ouwyang Bu Sek sejenak memandang sutenya, melihat wajah yang agak pucat itu diam-diam dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu dia sudah dapat melihat adanya tenaga mujijat di dalam diri sutenya ini. Maka sambil tersenyum menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di bagian atas mulutnya, dia bertanya,

“Bagaimana, sute? Engkau sudah berhasil...?”

Han Houw adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suhengnya ini bukan seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga tidak mungkin dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil. Maka dia menarik napas panjang dan berkata,

“Dengan petunjuk suhu yang mulia, aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa bagian yang masih memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam kitab aselinya karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Kuharap suheng suka memperlihatkan kitab aselinya sekali lagi kepadaku untuk dapat kuperiksa kembali agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng.”

Kakek itu terkekeh girang.
“Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja aku sudah melihat perubahan besar atas dirimu, sute. Akan tetapi kalau memang ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat, hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan...”

“Aku tidak mau membuatmu lelah, suheng. Biarlah aku yang mengamblinya sendiri, katakan saja dimana suheng menyimpan kitab-kitab itu.”

“Oho-ho, kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapapun tidak boleh, sute, dan pula terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut...”

Han Houw tidak mau membantah lagi dan dia menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu tidak nampak perubahan sesuatu.

Namun Han Houw terlalu memandang rendah kepada suhengnya itu. Sedikit kilatan sinar matanya sudah cukup bagi kakek itu untuk menaruh curiga kepada sutenya ini. Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa, melainkan menyeringai dan berlari terus, cepat sekali dengan langkah-langkah kecil dari dua buah kakinya yang kecil telanjang itu Han Houw mengikuti dari belakang dan dengan girang dia memperoleh kenyataan bahwa dia dapat mengikuti suhengnya itu dengan amat mudahnya, berloncatan dari batu ke batu, melewati jurang-jurang menuju ke sebuah guha yang berada di lereng.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: