***

***

Ads

Jumat, 31 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 175

Biarpun keduanya memainkan senjata-senjata andalan mereka dan mengeroyok kakek cebol itu, namun si kakek cebol sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan tertawa-tawa sambil mengelak ke sana-sini, kadang-kadang berloncatan seperti kera menari-nari, kadang-kadang menggelinding dan bergulingan ke sana-sini, kemudian meloncat dan membalas dengan tangkisan atau tamparan-tamparan yang membuat dua orang lawan itu repot karena setiap tangkisan tentu membuat senjata mereka terpental dan setiap tamparan harus mereka elakkan karena tidak mungkin ditangkis tanpa membahayakan diri mereka!

Setelah lewat lima puluh jurus yang penuh dengan main-main di fihak Ouwyang Bu Sek, tiba-tiba kakek itu meloncat jauh ke belakang sambil berkata,

“Nah, cukuplah bagi kalian sehingga kalian akan mati sebagai orang-orang gagah yang mempertahankan diri! Bersiaplah untuk mampus!”

Tiba-tiba tubuh pendek kecil itu lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat bukan main. Dua orang ketua itu cepat menyambut bayangan ini dengan senjata mereka.

“Plakkk! Wuuuttt... cring-cringgg!”

Tahu-tahu toya besi itu sudah dirampas, demikian pula sepasang siang-kiam itu! Dengan lagak seperti anak kecil main-main, Ouwyang Bu Sek saling mengadukan kedua pedang itu. Terdengar suara nyaring dan sepasang pedang itu patah menjadi empat potong dan dilemparkan ke arah kaki Gu Kok Ban. Sedangkan toya besi itu dia belit-belitkan ke lengan kirinya sampai melingkar-lingkar seperti ular, kemudian dilemparkannya pula di atas tanah, depan kaki Tong Siok. Kakek cebol itu lalu menyeringai, memandang mereka berdua yang berdiri dengan muka pucat.

“Heh-heh, kalian masih belum mau memberi tahu dimana adanya orang-orang Cin-ling-pai itu?” tanya Si Cebol yang amat lihai ini.

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian terdengar Gu Kok Ban berkata dengan tarikan napas panjang.

“Kami sudah kalah, mau bunuh lakukanlah!”

“Kami lebih baik mati daripada mengkhianati mereka!” sambung Tong Siok.

Biarpun mereka sudah merasa kalah, namun keduanya masih memasang kuda-kuda dan siap untuk membela diri sampai napas terakhir.

“Hemm, tolol kalian! Kalau tidak mengingat kegagahan kalian, apakah sekarang ini kalian belum menjadi bangkai? Kalian masih berkeras, terpaksa aku orang tua minta kalian yang muda-muda mendahului aku untuk mati!”

Ouwyang Bu Sek sudah mengepal kedua tinjunya dan alisnya berkerut, sikapnya mengancam.

“Tidak ada pilihan lain bagi kami!” kata Gu Kok Ban dengan sikap gagah.

“Keparat, kalau begitu mampuslah!”






Kembali tubuh kakek itu menerjang dengan cepat bukan main. Gu Kok Ban dan Tong Siok sudah siap-siap untuk membela diri mati-matian, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tubuh kakek cebol itu terhenti di tengah-tengah, bahkan terpental kembali ke belakang karena dorongan tangan Han Houw yang sudah menghadang.

“Suheng, jangan bunuh mereka!” teriak pemuda ini sambil berdiri di antara mereka, bertolak pinggang menghadapi kakek cebol itu.

Sejenak Ouwyang Bu Sek memandang terbelalak kepada sutenya itu. Sutenya itu telah berani menentangnya, bahkan tadi mendorongnya sehingga dia terjengkang ke belakang! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Pangeran itu yang telah diterimanya sebagai sute, yang telah dibimbingnya dengan susah payah untuk dapat menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Bu Beng Hud-couw, kini berani mencampuri urusannya!

“Sute! Biarpun engkau seorang pangeran, engkau tidak boleh mencampuri urusan pribadiku!” bentaknya dengan penuh rasa penasaran melihat sikap sutenya yang berdiri tegak dan tenang penuh keangkuhan itu.

“Bukan urusan pribadimu lagi, suheng!” jawab Han Houw dengan tenang dan tegas, sikapnya penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong, mengeluarkan sinar aneh yang bahkan Ouwyang Bu Sek sendiri menjadi terkejut melihatnya. “Aku adalah seorang pangeran, maka tidak mungkin aku membiarkan saja rakyatku dibunuh oleh siapapun, termasuk engkau!”

“Eh, sute...!” Ouwyang Bu Sek hampir tidak percaya sutenya akan berani menentangnya, kemudian dia melanjutkan, “Ingatlah, justeru karena engkau pangeran maka engkau harus tahu bahwa musuh-musuhku, orang-orang Cin-ling-pai itu, adalah musuh-musuhmu juga, musuh negara, pemberontak-pemberontak buronan!”

“Diam! Tentang pendirianku dalam menilai seseorang, tidak perlu dengan nasihatmu!”

“Sute! Bagaimana engkau berani blcara seperti itu terhadap aku? Aku suhengmu, juga aku pembimbingmu...”

“Engkau seorang kakek tua bangka, dan aku pangeranmu, engkau harus taat kepadaku!” bentak Han Houw.

Kini marahlah Ouwyang Bu Sek. Selamanya belum pernah dia dihina orang seperti itu, apalagi yang menghinanya itu adalah sutenya, bahkan seperti juga muridnya sendiri!

“Keparat, engkau murid murtad! Hayo kembalikan semua ilmu yang telah kau pelajari dariku! Aku harus membuntungi kedua tanganmu agar engkau tak dapat mempergunakan ilmu-ilmu itu!” bentak Ouwyang Bu Sek dan seperti seekor katak melompat, dia telah menyerang Han Houw.

Hebat bukan main serangan Ouwyang Bu Sek ini! Dari kedua tangannya yang dipentang itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat dan angin pukulan berputar menggerakkan daun-daun pohon, bahkan banyak daun pohon yang rontok, sedangkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terpaksa harus mundur karena mereka merasakan sambaran angin yang dingin dan seperti dapat mengiris kulit mereka!

Angin yang berputar ini mengelilingi Han Houw seolah-olah menutup semua jalan keluar pemuda ini yang dipaksa harus menghadapi serangan langsung dari kakek yang sakti itu.

Han Houw terkejut bukan main. Dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri setelah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab itu dan menyaksikan kedahsyatan serangan kakek itu, dia merasa ngeri juga. Cepat dia mempergunakan gin-kangnya untuk mengelak ke kiri, akan tetapi “pagar” hawa pukulan itu menahannya dan terpaksa dia lalu menggerakkan kedua tangannyap mendorong ke depan menyambut kedua tangan kakek itu yang sudah bergerak menghantam ke depan.

“Dess...!”

Pertemuan dua tenaga dahsyat ini membuat tubuh Ouwyang Bu Sek terpelanting dan tubuh Han Houw terlempar dan terjengkang ke belakang sampai beberapa kaki jauhnya!

Dada pemuda itu terasa sesak, akan tetapi dia dapat cepat melompat bangun lagi, dengan kepala agak pening dia menghadapi kakek yang juga terbelalak karena tidak menyangka bahwa pemuda itu selain mampu menahan serangannya, bahkan telah membuatnya terpelanting, tanda bahwa pemuda ltu telah memperoleh tenaga dahsyat dan tidak kalah kuat olehnya!

Tahulah dia bahwa pemuda ini sudah berhasil pula, seperti Sin Liong, mewarisi ilmu sakti dari Bu Beng Hud-couw. Dia merasa menyesal bukan main. Menyesal mengapa dia mempercaya pemuda bangsawan ini yang baru saja selesai belajar sudah berani menentangnya!

Kemarahan membuat wajah kakek itu menjadi merah sekali seperti udang direbus, dan sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mengerikan, wajahnya menjadi berubah menyeramkan. Biasanya kakek ini tertawa-tawa dengan lucu jenaka, menganggap segala peristiwa seperti lelucon saja, akan tetapi sekali ini dia benar-benar marah dan sinar matanya mengandung ancaman maut bagi Han Houw.

“Sekarang aku akan membunuhmu!” bentaknya dan suaranya yang agak parau saking marahnya itu mengandung getaran yang membuat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang menggigil.

Dua orang ketua yang gagah perkasa ini masih berdiri disitu seperti patung, tidak kuasa untuk bergerak karena merasa tegang dan khawatir terhadap pangeran itu, juga mereka merasa terheran-heran bagaimana pangeran ini tiba-tiba menjadi sute kakek sakti itu, dan kini bahkan berani menentang suhengnya. Mereka merasa bahwa sepatutnya mereka membantu pangeran itu untuk mengeroyok Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena pertentangan itu adalah urusan antara suheng dan sute, berarti urusan dalam kekeluargaan perguruan mereka, tentu saja mereka tidak berani lancang mencampuri, apalagi mereka tahu sekarang bahwa kakek itu luar biasa lihainya dan bahwa kalau tadi dikehendaki, dalam beberapa jurus saja mereka tentu sudah roboh dan tewas, maka bantuan merekapun tidak akan banyak gunanya.

Oleh karena itu, mereka kini hanya berdiri memandang saja dengan hati penuh ketegangan. Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka melihat kakek cebol itu telah mengangkat sebongkah batu gunung yang besar sekali, kemudian dengan gerakan dahsyat kakek itu sudah menerjang maju dan menimpakan batu sebesar gajah itu ke arah kepala sang pangeran yang masih berdiri dengan sikap tenang. Mereka terbelalak da membayangkan betapa tubuh pangeran itu akan remuk-remuk, karena selain batu itu besar dan amat berat, juga ditambah lagi dengan tenaga kakek itu yang amat kuat.

“Blarrrrr...!”

Debu mengepul tebal sehingga menutupi pandangan mata. Setelah debu lenyap, nampak oleh kedua orang ketua itu bahwa batu besar itu hancur berantakan, akan tetapi sang pangeran masih berdiri tenang seperti tadi! Ternyata hantaman batu besar itu telah disambut dengan pukulan kedua tangannya yang menghancurkan batu! Hampir saja kedua orang itu bersorak saking gembira dan kagumnya. Mereka tahu bahwa pangeran ini memang seorang pemuda yang lihai, akan tetapi sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa pemuda itu ternyata adalah sute dari Ouwyang Bu Sek dan memiliki kehebatan seperti itu!

Kini Ouwyang Bu Sek menjadi semakin marah. Banyak batu-batu dilontarkan, ditendang ke arah sutenya, namun dengan sikap tenang Han Houw memapaki semua serangan batu-batu besar itu dengan tendangan atau hantaman kedua tangannya sehingga batu-batu itu ada yang pecah berantakan ada pula yang terlempar kembali ke arah penyerangnya.

Kemudian dengan lengking parau yang menggetarkan, Ouwyang Bu Sek menerjang ke depan, mulai menyerang dengan pukulan-pukulan kedua tangannya yang pendek namun yang mendatangkan desir angin bercuitan mengerikan.

Han Houw juga bergerak dan pemuda ini mainkan ilmu sliat yang aneh, dengan langkah-langkah panjang dan kedua kaki ringan sekali karena dia hanya menggunakan ujung-ujung jarinya untuk melangkah, dengan tumit terangkat, seperti seorang penari. Gerakan-gerakannya aneh, namun selalu dapat membawa tubuhnya terhindar dari pukulan-pukulan kakek itu, bahkan diapun lalu membalas dengan pukulan-pukulan yang berupa tamparan-tamparan dengan lengan dilengkungkan.

“Buk! Bukk!”

Dua kali kedua tangan pemuda itu tepat mengenai sasaran, pukulan pertama mengenai lambung dan pukulan kedua mengenai dada, akan tetapi kakek itu agaknya sama sekali tidak merasakan pukulan itu! Padahal, Han Houw telah mengerahkan tenaganya memukul tadi. Tentu saja Han Houw terkejut bukan main dan barulah dia tahu bahwa suhengnya itu memiliki ilmu kekebalan yang amat luar biasa dan dapat diandalkan.

Ouwyang Bu Sek malah tertawa mengerikan ketika menerima pukulan-pukulan itu dan dia menubruk ke depan. Han Houw yang agak terperanjat melihat pukulannya tidak terasa oleh lawan, menjadi gugup sehingga kurang cepat bergerak, maka pundaknya kena disambar.

Hanya keserempet saja, namun akibatnya membuat dia terpelanting dan pundaknya terasa nyeri bukan main, sampai menyusup ke tulang-tulang rasa nyeri itu! Namun, dia sudah dapat meloncat memperbaiki kedudukannya sehingga desakan kakek itu dapat dipatahkannya.

Han Houw mainkan ilmu silat yang dilatihnya dari kitab pertama, ilmu silat aneh yang dimainkan dengan kedua kaki berdiri di atas jari-jari kaki dengan tumit terangkat, dan karena kitab-kitab itu tidak mempunyai nama, maka Han Houw memilih sendiri dan menamakan ilmu silat ini Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga), karena dia menganggap dirinya lebih lihai daripada naga!

Dialah Pendekar Lembah Naga, dan teringat akan Sin Liong yang namanya berarti Naga Sakti, maka diapun memilih nama itu untuk ilmu silatnya yang baru, tentu saja dengan maksud agar ilmu ini dapat mengalahkan Sin Liong! Dari kitab ke dua dia memperoleh ilmu bersamadhi dan melatih pernapasan untuk mengumpulkan tenaga sakti, dan dari kitab ke tiga dia mendapatkan ilmu yang aneh, yang dimainkan dengan kepala di bawah, dan dia memberi nama Hok-te Sin-kun (Ilmu Silat Membalikkan Bumi) kepada ilmu ini.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: