***

***

Ads

Jumat, 31 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 179

“Ah, harap paduka tidak main-main, pangeran. Paduka adalah seorang pangeran yang harus kami hormati, sedangkan ilmu silat adalah ilmu pukulan yang tidak bermata, maka kalau sampai kesalahan tangan melukai paduka, tentu akan menimbulkan penyesalan hebat!”

Han Houw tertawa dan bertolak pinggang.
“Ha-ha-ha, locianpwe, jangan menganggap aku sebagai anak kecil yang takut terluka. Pula, apakah locianpwe mengira bahwa aku akan dapat mudah kau kalahkan begitu saja? Kalau aku menganggap bahwa kepandaianku belum cukup, apakah aku berani datang ke Siauw-lim-pai?”

Ucapan yang mulai tekebur ini mengejutkan semua orang dan kedua alis dari Thian Bi Hwesio berkerut. Dia salah menduga. Pemuda yang mengaku pangeran ini kiranya seorang pemuda yang tinggi hati dan yang agaknya terlalu mengandalkan kepandaian sendiri sehingga berani berlagak demikian sombongnya. Hendak mengajak mengadu kepandaian dengan dia! Bahkan dengan suhunya! Gila benar!

“Pangeran,” katanya dengan nada suara serius dan matanya yang lebar itu memandang tajam, “hendaknya pangeran tidak mencari perkara, dan pinceng minta paduka menghentikan main-main ini. Kami tidak bersedia melayani permintaan paduka untuk main-main dalam ilmu silat. Ilmu silat Siauw-lim-pai bukan dimaksudkan untuk alat memukul orang atau menyombongkan diri!”

Han Houw memandang hwesio itu dan tersenyum mengejek.
“Apakah dengan lain kata locianpwe hendak menyatakan bahwa locianpwe tidak berani menerima tantanganku untuk saling menguji kepandaian atau pibu?”

Tantangan itu sudah terang-terangan sekarang! Seorang hwesio muda, tidak lebih dari tiga puluh tahun usianya, yang bertelanjang baju, sudah meloncat ke depan. Dia ini merupakan murid pertama dari Thian Bi Hwesio dan wataknya keras jujur seperti gurunya. Matanya lebar bundar.

“Suhu, biarlah teecu mewakili suhu untuk bermain-main sebentar dengan pangeran! Kalau sampai kesalahan tangan, biarlah teecu yang menderita hukuman, bukan suhu!”

Murid ini agaknya maklum mengapa gurunya segan menyambut tantangan pemuda itu. Kalau gurunya menerima berarti membahayakan Siauw-lim-pai, karena kalau sampai suhunya melukai pangeran itu, bukankah fihak kerajaan akan marah dan sakit hati? Maka, gurunya meragu. Akan tetapi dia sendiri tidak sanggup menahan lebih lama lagi mendengar gurunya disebut takut menghadapi pangeran muda yang sombong itu.

“Baiklah, kau berhati-hatilah, jangan kesalahan pukul,” kata Thian Bi Hwesio sambil mengangguk, lalu melangkah pergi menuju ke bangku di samping sutenya.

Di situ mereka berdua berbisik-bisik dengan alis berkerut, merasa khawatir melihat seorang pangeran agaknya sengaja hendak mendatangkan keributan.

Hwesio bermata lebar itu kini menghadapi Han Houw sambil tersenyum menyeringai dan berkata,

“Pangeran, hambalah yang mewakili suhu Thian Bi Hwesio untuk menerima tantangan pibu paduka. Nah, paduka mulailah!”






Sambil berkata demikian, hwesio ini sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Kedua kakinya terpentang lebar, dengan kedua lutut ditekuk membentuk segi yang lurus, dengan tubuh tegak dan mata tajam memandang kepada musuh, kedua tangan ditekuk dengan jari-jari terbuka membentuk cakar di bawah dan atas pusar. Gagah sekali kuda-kuda ini dan memang hwesio itu telah membuka gerakan dengan kuda-kuda ilmu silat harimau. Akan tetapi Han Houw yang merasa kecewa dan juga diam-diam marah karena Thian Bi Hwesio memandang rendah kepadanya itu, hanya tersenyum.

“Hwesio, percuma saja kalau engkau yang maju. Dalam beberapa jurus saja engkau akan roboh!” Dia lalu menghampiri hwwsio itu dan dengan sembarangan tangannya bergerak menampar sambil berkata, “Nah, kauterimalah ini!”

Semua orang menahan napas menyaksikan kelancangan ini. Gerakan pemuda tampan itu sama sekali bukan gerakan silat, melainkan cara menyerang yang amat lemah dan bodoh. Dengan kepandaian macam itu pemuda bangsawan ini berani menantang Thian Bi Hwesio, bahkan tadinya mencari Thian Khi Hwesio!

Hwesio itu tentu saja bergerak cepat. Dia masih ingat bahwa pemuda ini seorang pangeran, maka dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai agar Siauw-lim-pai tidak sampai mendapat kesukaran, maka melihat tamparan itu, dia lalu mengelak cepat dan tiba-tiba tangan kirinya meluncur dari bawah, bukan lagi merupakan gerakan cakar harimau karena dia sudah merubahnya menjadi totokan dengan dua jari ke arah jalan darah di bawah lengan tangan Han Houw yang menampar. Dia ingin dalam segebrakan saja menotok lumpuh pangeran itu, dengan demikian mengalahkannya tanpa melukai.

“Tukkk!”

Totokan itu tepat mengenai jalan darah di dekat ketiak Han Houw, akan tetapi hwesio itu terkejut bukan main ketika kedua jarinya bertemu dengan kulit yang kerasnya seperti baja dan kini tahu-tahu tangan Han Houw sudah menampar lagi ke arah lehernya. Hwesio itu cepat menggunakan kedua lengannya untuk menangkis dari kanan kiri, dengan jalan menggunting!

Akan tetapi dengan sikap tidak perduli, Han Houw melanjutkan tamparannya dan kedua lengan lawan itu dengan keras menggunting lengannya dari kanan kiri. Anehnya, kedua lengan hwesio itu terpental dan tangan Han Houw masih terus saja meluncur ke depan karena tangkisan itu sama sekali tidak mempengaruhinya.

“Plakk!”

Tengkuk hwesio itu kena ditampar perlahan saja, dan hwesio itu mengeluh kemudian kaki Han Houw bergerak menendang dan tubuh hwesio yang sudah lemas itu terlempar ke arah Thian Bi Hwesio!

Hwesio tinggi besar ini cepat berdiri dan menerima tubuh muridnya. Cepat dia memeriksanya dan kagetlah dia melihat betapa muridnya itu telah pingsan tertepuk jalan darahnya secara lihai sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu ternyata seorang yang lihai dan hanya berpura-pura saja tolol. Diapun tahu bahwa muridnya, yang terhitung pandai, dikalahkan dalam dua gebrakan saja bukan oleh ilmu silat, melainkan oleh tenaga dalam yang berselisih jauh. Jelas bahwa melihat kehebatan tenaga sin-kang pemuda itu, muridnya sama sekali bukan tandingannya dan tahulah dia bahwa pemuda ini merupakan lawan tangguh.

“Sute, waspada...” bisiknya kepada Thian Bu Hwesio dan dia sendiri dengan sekali lompat sudah tiba di depan Han Houw.

“Ah, kiranya paduka adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat!” Thian Bi Hwesio berkata. “Maafkan pinceng yang tidak mengetahuinya. Tidak tahu dari perguruan manakah paduka dan apa sebabnya paduka mengajak adu kepandaian dengan kami orang-orang Siauw-lim-pai yang tidak pernah menggunakan kepandaian untuk menghina fihak lain?”

“Hemm, Thian Bi Hwesio! Aku tidak terikat oleh partai manapun dan akupun tidak mempunyai permusuhan dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi karena mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan gudang ahli-ahli silat, maka aku ingin sekali membuktikan. Alangkah akan kecewa hatiku kalau melihat bahwa ahli silat Siauw-lim-pai hanya seperti si lancang tadi! Maka aku ingin sekali mengadu ilmu dengan Thian Khi Hwesio atau setidaknya dengan orang terpandai di sini. Aku ingin melihat siapa di antara kita yang boleh disebut orang terpandai di dunia persilatan! Kalau locianpwe yang mewakili Thian Khi Hwesio tidak berani menghadapiku, akupun tidak akan memaksa, akan tetapi kalau tidak berani, Siauw-lim-pai harus menyatakan secara tertulis dan mengakui saya sebagai jagoan nomor satu di dunia!”

Dua orang hwesio tua itu sampai terbelalak mendengar ucapan yang bernada tinggi hati dan sombong luar biasa itu! Mana ada ahli silat di dunia ini yang berani mengaku sebagai jagoan nomor satu di dunia? Akibatnya akan hebat dan tentu seluruh kang-ouw akan bangkit menentangnya!

Di dunia persilatan berlaku istilah bahwa setinggi-tingginya puncak Gunung Thai-san, masih ada langit yang lebih tinggi lagi! Semenjak dahulu, belum pernah ada atau jarang sekali ada orang yang sedemikian sombongnya hendak mengangkat dirinya sendiri menjadi jagoan nomor satu di dunia, apalagi oleh seorang pemuda seperti ini!

Thian Bi Hwesio adalah seorang hwesio yang jujur dan kasar, maka mendengar ucapan bernada sombong itu wajahnya menjadi semakin hitam. Dengan mata melotot dia lalu berkata,

“Pangeran, tidak mungkin bagi kami untuk membuat pernyataan apapun, dan memang Siauw-lim-pai tidak pernah takut menghadapi apapun dan siapapun. Kami telah menolak ajakan pibu dari pangeran hanya untuk mencegah terjadinya hal-hal tidak baik menimpa paduka akan tetapi kalau paduka memaksa, kami sebagai wakil suhu tentu saja tidak akan takut.”

“Bagus, itu baru suara seorang gagah! Nah, Thian Bi Hwesio, marilah kita main-main beberapa jurus untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai!”

Han Houw berkata girang dan dia sudah memasang kuda-kuda. Melihat kepandaian murid hwesio ini tadi, dia agak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmunya yang pernah dipelajarinya dari subonya melalui sucinya.

Melihat bentuk kuda-kuda pemuda itu, Thian Bi Hwesio makin berhati-hati. Kuda-kuda itu aneh, dengan kaki kiri diluruskan ke depan dan kaki kanan ditekuk hampir berjongkok, dan kedua lengan bersilang di depan muka, yang satu terkepal yang satu lagi terbuka.

“Silakan, pangeran!” katanya sambil memasang kuda-kuda dan hwesio ini yang tidak berani memandang rendah sudah bergerak dan memainkan Ilmu Silat Lo-han-kun.

Dia tidak mau mempergunakan ilmu yang kasar, melainkan ilmu yang halus seperti Lo-han-kun akan tetapi mengerahkan tenaganya sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan mengerikan ketika dia mengerahkan kedua lengan yang besar berotot itu.

Han Houw girang sekali. Dia tahu bahwa hwesio ini cukup tangguh, dan makin tangguh lawan, makin gembiralah dia karena lawan itu ada harganya untuk dikalahkan. Karena dia sebagai tamu dan fihak tuan rumah sudah mempersilakan, tanpa sungkan lagi Han Houw lalu menggeser kakinya dengan ilmu langkah ajaib Pat-kwa-po, kemudian tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah perut lawan dari bawah!

“Hiaaattt...!”

“Wuuuuttt... ah!”

Hwesio itu berseru dan menggunakan lengan menangkis ke bawah dengan pengerahan tenaga karena dia hendak membuat pemuda itu kesakitan dengan mengadu lengan. Akan tetapi, biarpun dia tidak gentar untuk mengadu tenaga, Han Houw cepat menarik tangannya dan tubuhnya sudah berputar dengan langkah-langkah ajaib itu, kini dia bangkit berdiri dan tangan kirinya menampar.

“Wuuuuutttt...!”

“Ehhh...!”

Thian Bi Hwesio terkejut bukan main melihat tamparan ini. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak pengalamannya, dia mengenal tamparan yang mengandung hawa beracun. Dan memang Han Houw telah mengerahkan tenaga dan menampar dengan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang ampuh, ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li.

Hwesio tinggi besar itu mengebutkan ujung lengan bajunya menyambut tamparan ini dengan totokan ujung lengan baju ke arah pergelangan tangan Han Houw. Pemuda inipun cepat menarik tangannya dan menyerang lagi dengan tonjokan ke arah dada, dibarengi tamparan ke dua ke arah pelipis lawan. Gerakannya cepat bukan main dan langkah-langkah kakinya amat indah, juga amat cepat dan tidak terduga sebelumnya.

Namun, Thian Bi Hwesio dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu dengan jalan mengebutkan ujung lengan baju, bahkan balas menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman kuat yang memaksa Han Houw untuk melangkah mundur dan memutar.

KINI baru tahulah semua murid Siauw-lim-pai bahwa pemuda yang mengaku diri sebagai pangeran itu benar-benar lihai bukan main! Dan jelas bahwa Ilmu Silat Lo-han-kun yang dimainkan sedemikian baiknya oleh Thian Bi Hwesio itu sama sekali tidak dapat mendesaknya!

Pemuda itu mempergunakan langkah-langkah ajaib, langkah-langkah yang membentuk segi delapan dan yang selalu dapat membawa dirinya terhindar dari desakan Ilmu Silat Lo-han-kun, dan pemuda itupun membalas dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan dan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya sehingga untuk menyelamatkan diri dari semua itu, agaknya Thian Bi Hwesio harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya!

Seratus jurus telah lewat dan diam-diam Han Houw kagum sekali. Hwesio ini selain memlliki tenaga yang amat kuat, juga ilmu silatnya demikian bersih dan sempurna, demikian kokoh kuat sehingga dia tidak melihat adanya lubang sedikitpun untuk dapat memasukkan serangannya! Biarpun dia sendiri selalu dapat menghindarkan diri, namun sebaliknya diapun tidak mampu mendesak lawannya! Jelaslah baginya bahwa kalau dia hanya mengandalkan ilmu-ilmunya yang dia pelajari dari subonya saja, dia tidak akan mampu mengalahkan tokoh Siauw-lim-pai yang amat tangguh ini.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: