***

***

Ads

Minggu, 15 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 124

Dengan mudah saja In Hong dan “perajurit pengawal” yang bukan lain orangnya adalah Kaisar Ceng Tung itu lalu mengawal Khamila keluar dari benteng melalui pintu darurat atau pintu rahasia yang berada di tempat tersembunyi di belakang benteng itu.

Para penjaga memberi hormat dan membukakan pintu kecil itu, kemudian setelah tiga orang itu menyelinap keluar, pintu itu lalu ditutup kembali dan tidak kelihatan ada pintu di dinding tebal itu, baik dilihat dari luar maupun dari dalam. Dan para penjaga menjaga lagi seperti biasa.

“Cepat kita lari ke hutan itu...!”

In Hong berbisik kepada kaisar dan sang ratu. Kaisar yang menyamar seperti perajurit itu menarik kereta joli yang diduduki oleh Ratu Khamila dan mereka menyelinap di antara pohon-pohon memasuki hutan yang gelap.

“Heiiii...! Tunggu...!”

Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang. In Hong cepat menoleh dan terkejutlah dia ketika melihat selosin orang perajurit dipimpin oleh kepala jaga tadi!

“Sri baginda, cepat ajak ratu bersembunyi di dalam semak-semak!”

In Hong berbisik dan Kaisar Ceng Tung lalu menarik tangan kekasihnya itu, dan segera mereka lenyap di balik semak-semak belukar di mana mereka saling rangkul dengan hati tegang namun dengan perasaan bahagia bahwa mereka berdua yang saling mencinta itu masih sempat mengalami bahaya bersama-sama! Kereta joli mereka gulingkan ke dalam jurang untuk menghilangkan jejak mereka.

“Hemm, kalian mau apa?”

In Hong membentak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang dan sikap marah menantang.

“Lihiap, kami mendapat laporan bahwa tawanan telah lenyap!” kata kepala jaga sambil memandang dengan penuh kecurigaan dan obor-obor yang dibawa oleh para perajurit diangkat tinggi-tinggi untuk meneliti keadaan di sekitar tempat itu.

“Tawanan siapa?”

In Hong berkata dengan nyaring dan disengaja agar kaisar yang sedang bersembunyi itu dapat mendengarnya dan berhati-hati.

“Kaisar itu! Dia telah lenyap.”

“Hemm, biarpun aku bertugas menjaganya di sana, akan tetapi engkau tahu bahwa aku tidak ada di sana ketika dia lolos. Kesalahan kalian semualah itu. Perlu apa mengejar aku?”






“Lihiap... eh, tadi aku kurang teliti. Lihiap mengawal sang ratu keluar benteng, bersama seorang perajurit pengawal... dan sekarang baru aku ingat bahwa tidak ada perajurit pengawal seperti itu di dalam benteng. Di manakah mereka? Di mana perajurit itu dan sang ratu?”

“Kurang ajar! Kau menuduh aku...?”

“Bukan menuduh. Akan tetapi demi keselamatan, kuharap lihiap suka memperlihatkan surat perintah sri baginda!”

“Ini perintah lisan, tanpa surat! Kalian tentu mata-mata musuh yang hendak mencegah aku menyelamatkan ratu!”

“Hemm, sikap lihiap sungguh mencurigakan! Di mana sang ratu? Dan di mana pula tawanan itu kau sembunyikan?”

Kepala jaga itu memberi isyarat sambil melangkah maju dan selosin perajurit itu lalu mengurung In Hong.

“Ratu menjadi tanggung jawabku! Kalian ini yang mencurigakan, tentu kalian adalah mata-mata musuh yang hendak mencelakakan ratu!” berkata demikian, In Hong yang tahu bahwa rahasianya mulai bocor, cepat mencabut pedangnya dan sekali berkelebat, pedangnya telah meluncur menjadi sinar yang menyilaukan mata, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam dan terdengarlah pekik susul-menyusul ketika dalam segebrakan saja empat orang perajurit telah roboh dan tewas!

Kepala penjaga itu menjadi marah dan cepat bersama sisa orangnya maju mengeroyok. Golok dan pedang menyambar-nyambar ke arah tubuh In Hong. Namun kini In Hong yang maklum bahwa kalau dia tidak bertindak cepat dan dikejar oleh pasukan besar, tentu kaisar akan celaka, bergerak seperti seekor harimau betina yang haus darah.

Pedang Hong-cu-kiam yang tipis bersinar emas itu mengaum seperti bunyi singa marah, sinarnya bergulung-gulung dan para pengeroyok itu berjatuhan. Pekik kesakitan susul-menyusul dan dalam waktu singkat saja semua pengeroyok yang berjumlah tiga belas orang itu roboh dan tewas!

In Hong cepat meloncat ke balik semak-semak belukar tadi sambil menginjak obor-obor yang masih bernyala.

“Ssstttt... sri baginda...! Ke sini...!” serunya perlahan ke arah semak-semak itu.

Mereka keluar dari balik semak-semak, dan melihat di dalam keremangan malam betapa kaisar tawanan itu merangkul leher Khamila sedangkan ratu itu merangkul pinggang kaisar. In Hong mengerutkan alisnya. Apa-apaan yang dilihatnya ini?

Timbul perasaan tidak senang di dalam hatinya. Khamila adalah seorang ratu, isteri dari Raja Sabutai yang gagah Perkasa. Biarpun ada baiknya kalau ratu ini bersimpati kepada kaisar yang dia tahu memang seorang yang berwatak agung dan gagah, namun tidaklah sepatutnya kalau mereka bersikap seperti sepasang kekasih yang begitu mesra!

“Kita pergi sekarang dengan cepat memasuki hutan,” katanya singkat dan dia mendahului mereka melangkah masuk ke dalam hutan itu, membawa sebatang obor yang diambilnya dari obor-obor yang tadi dibawa oleh para perajurit penjaga.

Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan semalam itu bagi sang ratu. Dia adalah seorang puteri yang halus, yang tidak pernah melakukan perjalanan jauh, dan kini dia terpaksa harus melakukan perjalanan di waktu malam gelap, melalui sebuah hutan lebat lagi! Dan dia sedang mengandung!

Akan tetapi, karena di situ terdapat Kaisar Ceng Tung, yang dengan penuh kasih sayang menuntunnya, menghiburnya dan merangkulnya, ratu ini dapat juga melanjutkan perjalanan dan baru pada keesokan harinya, setelah matahari mengusir kegelapan malam, In Hong mengajak mereka berhenti di dalam hutan.

“Aduh... seperti mau patah-patah rasanya kakiku...”

Khamila mengeluh dan dia duduk di atas rumput, kakinya dipijati oleh Kaisar Ceng Tung.

Melihat ini, In Hong membuang muka dan wajahnya menjadi merah sekali. Kurang ajar, pikirnya. Orang-orang bangsawan ini sungguh tak tahu malu! Kalau dia tidak ingat bahwa yang berada di depannya itu adalah Kaisar Kerajaan Beng dan ratu dari Raja Sabutai, tentu dia sudah menghajar mereka, atau setidaknya meninggalkan pergi tanpa memperdulikannya lagi! Untuk menutupi rasa marahnya dan muaknya, dia tanpa menoleh berkata,

“Kita terpaksa melakukan perjalanan hanya di waktu malam, kalau siang kita beristirahat di dalam tempat-tempat tersembunyi.” Suaranya dingin dan datar.

Hening sejenak dan tiba-tiba In Hong mendengar suara langkah kaki mendekatinya, akan tetapi dia tidak perduli dan dia tidak mau menoleh ke arah mereka. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Dia menoleh dan ternyata Khamila yang duduk di sebelahnya dan merangkulnya.

“Hong-lihiap... eh, sebaiknya engkau kupanggil enci saja karena aku sudah menganggapmu sebagai saudara sendiri. Enci Hong, kau... kau maafkanlah kami berdua...”

In Hong mengerutkan alisnya dan membuang muka.
“Urusan kalian tidak ada sangkut pautnya dengan aku!” katanya lirih dan dingin.

Khamila menarik napas panjang.
“Tentu engkau akan menganggap bahwa kami tidak sopan atau tidak mengenal kesusilaan. Akan tetapi ketahuilah, di antara beliau dan aku... kami sudah saling mencinta sejak lama...”

“Ehhh? Bagaimana...?” In Hong terkejut juga mendengar ini.

“Dan suamiku juga tahu akan hal itu, enci. Tidak perlu kubuka lebih lebar rahasia keluarga kami, akan tetapi ketahuilah bahwa aku cinta kepada kaisar, dan sebaliknya beliaupun cinta kepadaku. Dan hubungan kami bukanlah hubungan gelap, seperti kukatakan tadi, suamiku juga tahu dan... dan menyetujuinya. Hanya ini yang dapat kukatakan, enci Hong. Karena cintakulah maka aku mau berkorban seperti ini, untuk membebaskannya, kemudian...aku akan ikut denganmu kembali kepada suamiku.” Suaranya menjadi berduka sekali.

“Hemmm...”

In Hong tak dapat berkata apa-apa lagi karena dia merasa heran, kaget, dan juga terharu. Dia menoleh kepada kaisar yang masih duduk dan melihat In Hong memandangnya, kaisar mengangguk-angguk dan memandang kepada Khamila dengan sinar mata yang mesra, penuh cinta kasih.

“Hemmm... biarlah aku mencari bahan makanan...” kata In Hong dan dia lalu bangkit dan pergi meninggalkan orang-orang yang sudah saling peluk lagi itu.

Sampai dua hari dua malam, mereka melakukan perjalanan yang lambat sekali. Selama ini, In Hong melihat betapa mereka itu berkasih-kasihan dengan mesra sehingga dia menjadi malu sendiri dan selalu mienjauhkan diri, akan tetapi setelah jauh, dia duduk termenung dan terbayanglah wajah... Bun Houw!

Membayangkan dia dan Bun Houw berkasih-kasihan seperti halnya kaisar dan Khamila, membuat dara ini berulang kali menarik napas panjang dan berulang kali pula mencela dan memaki diri sendiri.

“Tidak tahu malu kau!” bentaknya dalam bisikan kepada diri sendiri setiap kali dia membayangkan dirinya dan Bun Houw bermesraan.

Pada hari ketiga, ketika mereka baru saja berhenti dari perjalanan semalam suntuk yang amat melelahkan, dan In Hong sedang membuat api unggun, dibantu oleh kaisar dan Khamila, yang mengumpulkan daun-daun kering, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari balik batang-batang pohon berlompatan keluarlah beberapa orang yang membuat In Hong terkejut sekali dan pendekar wanita ini melepaskan ranting yang dipegangnya.

Di depannya telah berdiri Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, empat orang sakti yang membantu pembesar Thaikam Wang Cin itu!

Akan tetapi In Hong sama sekali tidak menjadi gentar dan dia malah bersikap tenang memandang mereka seorang demi seorang dengan sinar matanya yang tajam dingin lalu terdengar dia berkata, suaranya datar dan penuh tantangan,

“Kalian orang-orang tua datang menyusul kami mau apa?”

“Heh-heh-heh, Yap In Hong, engkau masih bertanya kepada kami? Bukankah pertanyaan itu sebaiknya diajukan kepadamu? Mau apa engkau mengajak tawanan dan Ratu Khamila ke tempat seperti ini?”

Sebelum In Hong menjawab, tiba-tiba kaisar yang sudah bangkit berdiri sambil menggandeng tangan Khamila itu berkata dengan lantang,

“Kami lihat bahwa kalian adalah orang-orang Han yang menjadi kaki tangan si pengkhianat Wang Cin! Apakah sampai sekarang kalian tidak menyadari bahwa Wang Cin menyeret kalian orang-orang tua ke lembah penghinaan, hendak menjual negara kepada bangsa lain dan bahwa sekarang usaha Wang Cin sudah mengalami kegagalan dan di ambang kehancuran? Dengan suka rela kami ikut melarikan diri bersama nona Hong. Kalian mengejar ini mau apa? Hayo jawab!”

Kaisar yang muda itu memang memiliki wibawa yang hebat. Pandang matanya, sikapnya, kata-katanya semua mengandung wibawa besar sehingga sejenak empat orang tua itu tidak mampu menjawab. Bahkan Go-bi Sin-kouw yang biasa pandai bicara, kini menunduk dengan muka merah. Akan tetapi, segera nenek ini dapat menguasai dirinya lagi dan dengan suara yang kurang galak dia berkata,

“Kami mengejar untuk membawa kaisar dan ratu kembali ke benteng.”

Kaisar menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tua itu, gerakan yang juga mengandung wibawa kemudian katanya lantang,

“Dengarlah, hai para pengkhianat bangsa! Aku lebih percaya kepada seorang musuh seperti Raja Sabutai daripada kepada pengkhianat-pengkhianat seperti kalian! Kalau Sabutai yang datang menyusul, aku akan menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi aku tidak sudi menjadi tawanan kalian, dan lebih baik mati. Nona, beranikah engkau melawan mereka?”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: