***

***

Ads

Selasa, 24 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 166

“Aku harus cepat melapor kepada subo!” pikirnya dan dara itu cepat meloncat, bukan ke jendela melainkan ke pintu yang didorongnya terbuka dan cepat dia melarikan diri ke kamar subonya.

Dia terpaksa meninggalkan Bun Houw, karena dia maklum bahwa melarikan diri sendiri saja belum tentu dia selamat, apalagi kalau harus membawa tubuh Bun Houw. Lebih baik dia cepat pergi ke subonya dan minta tolong subonya. Siapa tahu kalau dia sudah memberi tahu subonya akan semua hal dengan terus terang, subonya suka menolong Bun Houw dan suka mengakuinya sebagai mantu!

“Subo...! Subo... tolonglah teecu, subo...!” katanya sambil mengetuk pintu itu dengan kuat.

Daun pintu terpentang lebar dan Hek I Siankouw telah berdiri di ambang pintu sambil memegang pedang hitamnya. Alisnya berkerut ketika dia melihat muridnya berdiri di situ dengan muka pucat sekali dan dengan siang-kiam di kedua tangan.

“Si Kwi, apakah yang terjadi?” tanyanya dan dia membiarkan muridnya memasuki kamamya.

Dia menjenguk keluar dan karena tidak melihat siapapun juga di luar, tokouw itu lalu menutupkan kembali pintu kamarnya.

Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menangis! Gurunya adalah satu-satunya orang yang selama ini dianggap sahabat, guru, juga orang tua! Sekarang, dalam keadaan seperti ini, terancam bahaya hebat, bukan hanya untuk dia, terutama untuk Bun Houw, tidak ada orang lain kecuali gurunya ini yang dapat diharapkan untuk menolongnya dan menolong Bun Houw.

“Subo... sebelumnya harap subo mengampunkan dosa teecu...”

“Si Kwi, jangan seperti anak kecil. Katakan apa yang telah terjadi!” gurunya membentak.

“Subo, teecu telah jatuh cinta... semenjak teecu diselamatkan oleh Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai... ketika teecu akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi, teecu telah jatuh cinta kepada putera ketua Cin-ling-pai itu...”

Gurunya mengerutkan alisnya.
”Memang kalau begitu mengapa engkau menangis?”

Gadis itu mengangkat muka, memandang wajah subonya dengan penuh harapan.
“Jadi... subo... setuju...?”

“Dia seorang pemuda yang tinggi ilmunya, putera ketua Cin-ling-pai, kalau memang dia cinta padamu, kenapa aku tidak setuju? Sayangnya, dia berada di fihak lawan.”

“Ah, terima kasih, subo...!” Si Kwi berseru girang dan memberi hormat. “Sesungguhnya... teecu... teecu telah menjadi isterinya...”

Tiba-tiba saja wajah tokouw itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar marah.

“Apa? Jadi kalau begitu benar laporan Ang-bin Ciu-kwi?” bentak gurunya.






“Ah, tidak...! Tidak, subo...! Bukankah subo sendiri sudah tahu, juga Hek-hiat Mo-li locianpwe, bahwa teecu... teecu masih perawan? Akan tetapi malam tadi...”

“Malam tadi mengapa? Hayo katakan!”

“Malam tadi, lewat tengah malam... teecu... teecu telah menjadi isterinya.”

“Eh, Apa maksudmu? Pemuda itu berada di dalam kamar tahanan bersama In Hong, dan mereka...” Dia teringat akan minuman yang diberi racun perangsang oleh Coa-tok Sian-li, maka timbul kecurigaannya. “Si Kwi!” Dia membentak, “Ceritakan, apa yang terjadi!”

Dengan suara terputus-putus Si Kwi lalu menceritakan betapa dia telah membuat jalan terowongan dari kamarnya ke dalam kamar tahanan, dan berhasil menolong Bun Houw keluar dari kamar tahanan memasuki kamarnya sendiri.

“Akan tetapi, subo... ketika tiba di kamar teecu... dia... dia seperti mabok atau terbius... dan dia... dia merayu... ah, teecu cinta padanya, subo, teecu tidak mampu menolongnya dan... dan teecu menyerahkan diri kepada Cia Bun Houw... kemudian pagi tadi, muncul di luar jendela kamar teecu, si keparat Ang-bin Ciu-kwi, dia ternyata telah melihat peristiwa itu dan dia... dia menuntut agar teecu suka menyerahkan diri kepadanya. Teecu tidak sudi dan teecu lari ke sini... teecu menyerahkan nyawa teecu ke tangan subo...”

“Desss...!”

Tubuh Si Kwi terlempar oleh tendangan gurunya. Muka gurunya sebentar pucat sebentar merah dan hati tokouw ini terasa panas dingin karena terjadi perang di dalam perasaan hatinya. Ada perasaan marah yang amat hebat mendengar penuturan muridnya itu yang telah menyerahkan diri begitu saja dengan amat mudahnya kepada seorang pria, dan biarpun pria itu adalah seorang pemuda yang harus dia akui pilihan, akan tetapi pemuda itu betapapun adalah seorang lawan, atau yang berada di fihak lawan.

Akan tetapi di lain fihak, hatinya juga terharu karena dia telah menganggap Si Kwi sebagai puterinya sendiri dan sesungguhnya ada pertalian batin yang kuat antara dia dan gadis itu. Sekarang dia tahu bahwa kalau tidak dia lindungi, nyawa dara itu berada dalam ancaman bahaya hebat!

“Murid murtad, engkau hanya akan mencelakakan gurumu saja!”

“Harap subo sudi mengampuni teecu!” kata pula Si Kwi. “Teecu bersedia untuk mati di tangan subo, untuk menebus kesalahan dan dosa besar teecu, akan tetapi, teecu mohon dengan sangat, mengingat akan hubungan antara kita sebagai guru dan murid, dan sebagai orang tua dan anak, teecu mohon sukalah subo menolong dan menyelamatkan Cia Bun Houw. Teecu sungguh cinta kepadanya, subo, teecu mencintanya, melebihi nyawa teecu sendiri!” Dan murid ini menangis lagi, menangis dengan penuh kesedihan.

Sepasang mata Hek I Siankouw menjadi basah ketika dia mendengar dan melihat keadaan muridnya itu. Teringatlah dia ketika dia dahulu bermain cinta dengan Hwa Hwa Cinjin dan diapun amat mencinta Hwa Hwa Cinjin. Adanya dia tidak menjadi isteri yang sah dari Hwa Hwa Cinjin adalah karena sebagai pendeta-pendeta, tentu saja mereka tidak dapat menikah. Namun rasa cinta di hatinya terhadap Hwa Hwa Cinjin amat mendalam sehingga mereka berdua itu seperti suami isteri saja! Mereka saling setia dan tidak pernah mencinta orang lain sampai keduanya menjadi kakek dan nenek.

“Akupun mencinta Hwa Hwa Cinjin melebihi nyawaku sendiri...”

“Ahhh, subo, ampunkan teecu... teecu telah mengecewakan hati subo...” Kembali Si Kwi meratap dengan suara pilu. “Teecu rela mati di depan kaki subo, akan tetapi kalau subo sudi menyelamatkan Cia Bun Houw, biarlah roh teecu akan selalu membantu subo...”

“Bocah yang bodoh! Mana mungkin menyelamatkan nyawa pemuda itu? Apa kau kira kita dapat menghadapi Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko? Tentang pemuda itu, tak perlu kita ributkan, yang penting, lekaslah kau pergi dari sini. Sekarang juga!”

“Akan tetapi... subo...”

“Tutup mulut! Tidak ada tapi lagi. Pergilah kau dari sini dan selamanya jangan kau memperlihatkan muka kepadaku!”

“Subo...!”

“Aku tidak mempunyai murid macammu! Pergiiiii...!” Hek I Siankouw membentak dan mengusir.

Si Kwi terisak, akan tetapi terpaksa dia bangkit dan pergi dari kamar itu, diikuti oleh Hek I Siankouw yang kini basah kedua matanya.

Tokouw ini sengaja mengusir muridnya karena dia tidak ingin muridnya terlibat dalam kesukaran. Dan dia sengaja membayangi muridnya itu agar dapat keluar dari Lembah Naga dengan selamat.

Di tengah jalan, murid dan guru yang membayanginya itu bertemu dengan Hek-hiat Mo-li, Pek-hiat Mo-ko, Ang-bin Ciu-kwi, dan Coa-tok Sian-li. Dari wajah kedua orang kakek dan nenek Lembah Naga itu mengertilah Hek I Siankouw bahwa keduanya tentu telah tahu akan perbuatan Si Kwi. Akan tetapi Si Kwi sendiri berdiri dengan tenang dan air mata masih membanjiri pipinya.

“Mo-ko dan Mo-li, karena perbuatan muridku yang mencemarkan namaku, terpaksa aku mengusirnya pergi dari sini!” Hek I Siankouw memecahkan kesunyian yang mencekam hatinya itu.

“Hemm... agaknya banyak terjadi hal-hal hebat di sini semalam.” Kata Hek-hiat Mo-li. “Dan kejadian-kejadian itu adalah gara-gara muridmu yang baik ini!” Ucapan lanjutan itu bernada keras.

“Kalau aku boleh berterus terang, Mo-li, bukan hanya gara-gara muridku, melainkan gara-gara aku juga, dan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!”

“Eh-eh, Hek I Siankouw, kenapa kau begitu pengecut membawa-bawa nama kami dalam persoalan ini? Sudah jelas bahwa muridmu hendak meloloskan dua orang tawanan itu, untung masih terlihat oleh kami, karena muridmu tidak dapat menahan nafsunya! Kalau tidak, bukankah tawanan-tawanan itu sudah lolos semua oleh muridmu ini?” kata Coa-tok Sian-li.

“Coa-tok Sian-li, aku hanya bicara apa adanya dan sama sekali bukan hendak membela muridku secara membuta. Memang muridku bersalah, akan tetapi kita bertigapun bersalah, bukan? Setelah akibat dari perbuatan kita seperti ini, mengapa kita tidak berani berterus terang saja kepada Mo-ko dan Mo-li?”

“Hemm... apakah sebetulnya yang telah terjadi dan apa yang kalian bicarakan ini, Siankouw?” Pek-hiat Mo-ko membentak marah.

“Terus terang saja, Mo-ko. Kami bertiga, yaitu aku, Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah main-main dengan dua orang tawanan itu. Karena aku ingin melihat gadis keparat itu tercemar, dan karena Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya ingin pula menonton hal-hal yang mereka berdua sukai, maka kami bertiga telah bersepakat untuk mencampuri racun perangsang, yaitu Arak Malam Pengantin buatan Coa-tok Sian-li ke dalam hidangan yang disuguhkan kepada dua orang tawanan itu.”

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengerutkan alis mereka, akan tetapi tidak kelihatan marah.

“Hemm, lalu?” tanya Hek-hiat Mo-li.

“Sementara itu, muridku yang murtad ini jatuh cinta kepada Bun Houw. Sama sekali dia tidak berniat untuk membebaskan tawanan, melainkan dia membuat terowongan dari kamarnya ke tempat tahanan, mengajak Cia Bun Houw yang sedang mabok oleh racun Arak Malam Pengantin itu ke kamarnya dan menyerahkan dirinya kepada pemuda itu. Hal ini diketahui oleh Ang-bin Ciu-kwi yang menyangka muridku hendak melarikan tawanan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Buktinya tawanan itu ditinggalkan pingsan di kamarnya dan muridku lalu melapor kepadaku. Dia sama sekali tidak hendak melarikan tawanan, karena kalau benar demikian, tentu dia telah mengajaknya pergi dari sini.”

Hek I Siankouw berhenti sebentar untuk melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi. Dia sengaja tidak menceritakan tentang ancaman Ang-bin Ciu-kwi yang hendak menuntut agar Si Kwi menyerahkan dirinya kepada Setan Arak itu dan hal ini dilakukan sebagai “pukulan simpanan” kalau-kalau Ang-bin Ciu-kwi tidak mau bekerja sama melindungi muridnya!

Ang-bin Ciu-kwi bukan seorang bodoh. Dia melihat bahwa yang dikemukakan oleh Hek I Siankouw memang cukup kuat dan beralasan, dan memang harus diakuinya bahwa dia mendapatkan Si Kwi dan Bun Houw sama sekali bukan dalam keadaan hendak melarikan diri. Sama sekali bukan, bahkan mereka itu bermain cinta sampai pagi! Dan diapun tahu bahwa Hek I Siankouw sengaja tidak menceritakan niatnya memaksa Si Kwi untuk menyerahkan diri dan dia maklum apa kehendak tokouw berpakaian hitam itu.

“Keterangan yang diberikan Siankouw itu memang benar, ji-wi locianpwe,” katanya mendahului isterinya karena dia khawatir kalau-kalau isterinya tidak mengerti akan uluran tangan Hek I Siankouw. “Memang kami tadinya hanya ingin main-main karena Arak Malam Pengantin itu tidak menyakitkan dan tidak membunuh, malah dapat dikata menyehatkan, heh-heh... dan kalau tadi kami melapor kepada ji-wi locianpwe adalah karena kami kurang mengerti akan niat nona Liong Si Kwi. Kiranya dia hanya ingin begituan dengan pemuda itu.”

“Memang harus kuakui bahwa muridku telah bersalah dan karena cintanya dia menjadi murtad terhadap gurunya yang dianggap orang tuanya. Oleh karena itu, sebagai hukumannya aku mengusirnya dan tidak mengakuinya lagi sebagai murid. Harap saja kalian berdua tidak mencampuri urusan antara guru dan murid ini, karena jelas bahwa tawanan tidak dilarikan. Dan harap kallan orang-orang tua cukup bijaksana terhadap orang muda yang gila cinta!”

Setelah dua orang kakek dan nenek itu mendengar keterangan Hek I Siankouw dan Ang-bin Ciu-kwi, kemarahan mereka mereda, akan tetapi Hek I Siankouw maklum bahwa tidaklah begitu mudah untuk memuaskan hati dua orang kakek nenek itu, maka dia masih tetap waspada. Biarpun dia marah sekali kepada muridnya atas perbuatan muridnya itu, namun rasa kasih sayang dalam hatinya membuat dia masih selalu ingin melindungi dan agar muridnya itu menerima hukuman yang seringan mungkin atas kesalahan yang dilakukannya.

Benar saja dugaannya, Hek-hiat Mo-li terdengar berkata nyaring,
“Mendengar semua keteranganmu, Siankouw, kami boleh memandang mukamu untuk mengampunkan muridmu, akan tetapi tidak ada budi yang tidak terbalas. Oleh karena itu, sebelum kami membebaskan muridmu, dia harus meninggalkan sesuatu sebagai tanda bahwa dosanya sudah terhukum dan lunas, ditambahi janji bahwa engkau akan terus membantu kami sampai selesai.”

Hek I Slankouw mengerutkan alisnya, lalu tiba-tiba dia berkata,
“Si Kwi, kau sudah merasa berdosa terhadap aku?”

“Teecu menyerahkan jiwa raga teecu ke tangan subo.”

“Ke sinilah!”

Gadis itu menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri berlutut.

“Singgg...crattt!”

Nampak sinar hitam berkelebat dan pedang hitamnya menyambar ke depan. Si Kwi menjerit dan tangan kanannya memegangi lengan kirinya yang telah terbabat pedang dan buntung sebatas pergelangan tangannya! Dia masih berlutut dan mukanya pucat sekali memandang tangan kirinya yang sudah buntung itu.

Dengan tenang Hek I Siankauw mengambil tangan muridnya itu, lalu menghampiri Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sambil menyodorkan tangan berdarah itu.

“Mo-ko dan Mo-li, harap kalian puas dengan tangan yang ditinggalkan muridku ini, dan aku berjanji akan membantu kalian sampai selesai.”

“Ha-ha-ha, engkau sungguh mencinta muridmu. Sebenarnya, harus kedua tangannya dibuntungi, akan tetapi karena kau bertindak sendiri dengan suka rela, biarlah inipun cukup,” kata Hek-hiat Mo-li sambil menerima tangan yang berkulit halus itu.

Hek I Siankouw menghampiri muridnya, menotok jalan darah di siku dan pundaknya, menggunakan obat bubuk ditaruh di lengan yang buntung, lalu membalutnya dengan saputangannya. Setelah selesai, diapun berkata dengan suara gemetar,

“Nah, pergilah! Mau tunggu apa lagi?”

Si Kwi maklum bahwa nyawanya telah ditolong oleh subonya dan sebagai penggantinya, subonya membuntungi tangan kirinya dan yang lebih berat lagi, subonya berjanji akan membantu kakek dan nenek iblis itu sampai selesai, berarti subonya telah mempertaruhkan nyawa demi untuk menyelamatkannya. Maka sambil menangis dia berlutut dan mencium kaki subonya sambil berkata,

“Subo, terima kasih... sampai mati teecu tidak akan melupakan budi subo...”

“Pergilah! Pergilah...!”

Hek I Siankouw menjerit dan membalikkan tubuh, memalingkan muka tidak mau memandang muridnya dan dengan cepat tangannya menghapus dua butir air matanya.

Si Kwi bangkit lalu pergi dari situ dengan cepat. Air matanya bercucuran di sepanjang kedua pipinya.

**** 166 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: