***

***

Ads

Selasa, 24 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 167

Ketika Bun Houw siuman dari pingsannya, dia melihat In Hong telah duduk di tepi pembaringan dengan muka penuh kekhawatiran. Pemuda ini lalu teringat akan semua pengalamannya yang hanya setengah disadarinya itu, seperti sebuah mimpi yang hampir terlupa. Akan tetapi teringat bahwa dia telah bermain cinta dengan seorang gadis, dia cepat bangkit berdiri dengan gerakan kuat.

“Ah, kau mengasolah dulu, Houw-ko... kau agaknya terserang sakit, wajahmu pucat sekali dan tubuhmu lemah.”

In Hong memegang pundaknya dan dengan halus menyuruh pemuda itu berbaring kembali.

Akan tetapi Bun Houw tidak mau rebah dan terus duduk di tepi pembaringan itu, matanya dipejamkan dan alisnya berkerut.

“Hong-moi... apa yang terjadi...? Bagaimana aku bisa berada di sini lagi?”

Dia membuka mata dan memandang ke sudut kamar tahanan itu. Ternyata di situ terdapat bekas galian yang telah ditutup kembali. Jantungnya berdebar penuh penyesalan. Tadinya dia mengharapkan bahwa apa yang diingatnya itu hanya mimpi belaka, akan tetapi begitu melihat bekas lubang yang berada di sudut kamar tahanan dan yang telah ditutup kembali itu, tahulah dia bahwa semua pengalaman itu bukan sekedar mimpi! Melainkan kenyataan! Dan dia telah bermain cinta dengan seorang gadis, kalau dia tidak salah, Liong Si Kwi! Dia telah berjina!

“Ohhh...!”

“Kenapa, Houw-ko?”

In Hong memegang lengan pemuda itu ketika melihat pemuda itu menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya, seolah-olah hendak mengusir sesuatu dari depan matanya.

Tanpa melepaskan kedua tangan dari depan mukanya, Bun Houw berkata lagi,
“Hong-moi... demi Tuhan... kau ceritakanlah padaku, apa yang telah terjadi semalam?”

“Houw-ko, aku sendiripun tidak mengerti. Bahkan aku yang hendak bertanya kepadamu. Engkau tahu, setelah kita tersiksa semalam, aku lalu... tertidur atau pingsan dan aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi, ketika aku siuman, aku melihat engkau telah rebah di lantai dan...”

Wajah gadis itu menjadi merah sekali dan lehernya seperti tercekik, dan dia tidak dapat melanjutkan ceritanya.

Bun Houw menurunkan kedua tangannya dan menoleh. Melihat wajah itu menjadi merah dan bibir gadis itu tersenyum menahan rasa malu, dia cepat mendesak,

“Dan bagaimana, Hong-moi? Ceritakanlah... ceritakanlah...!”






“Kau... kau dalam keadaan... ahhh... telanjang, Houw-ko. Dan pakaianmu bertumpuk di dekatmu. Tentu saja aku terkejut sekali dan melihat bahwa aku tidak apa-apa, hatiku lega. Maka selama engkau masih pingsan aku lalu mengenakan pakaian pada tubuhmu, memindahkanmu ke atas pembaringan dan aku menjagamu sampai kau sadar...”

“Dan lubang itu...” Bun Houw bertanya, menoleh ke arah bekas lubang di sudut kamar.

“Entahlah, sudah begitu ketika aku siuman. Houw-ko, apakah yang terjadi sebetulnya ketika aku sedang pingsan atau pulas?”

Kembali In Hong memegang lengan pemuda itu dan tiba-tiba Bun Houw mengelak dan mundur menjauhi.

“Aku tidak tahu... tidak tahu, Hong-moi... aku... aku terbius dan seperti orang gila...”

Bun Houw kembali menggunakan kedua tangan menutupi mukanya. Akan tetapi tetap saja terbayang pengalaman remang-remang yang tak mungkin dapat dia lupakan selamanya itu, di dalam sebuah kamar asing, di atas pembaringan, bersama Liong Si Kwi! Dia menduga-duga apa yang terjadi dengan gadis itu! Dan mengapa pula Si Kwi membuat terowongan dari kamarnya ke kamar tahanan? Tentu untuk menolongnya keluar! Dan dia sedang dalam keadaan terbius dan di bawah pengaruh obat atau racun perangsang yang amat hebat. Tentu dia dan Si Kwi telah... ah, ingin dia mengusir semua bayangan dan kenangan itu. Dia merasa malu, malu dan menyesal sekali!

“Aku malu... aku malu...!” Tak terasa lagi bibirnya berbisik.

“Houw-koko, sudahlah. Memang amat memalukan kalau mengenangkan kembali peristiwa semalam yang hanya samar-samar teringat olehku. Akan tetapi perbuatan kita itu terjadi karena di luar kesadaran kita, bukan? Kita berdua telah minum arak beracun! Karena itu, biarlah kita lupakan semua itu. Pula, bukankah tidak terjadi sesuatu di antara kita? Kita patut bersyukur bahwa kita tidak sampai terseret... ah, dan semua ini berkat kekuatan batinmu, koko.”

“Tidak...! Tidak...! Engkaulah yang kuat dan hebat, Hong-moi. Dan aku... aku berterima kasih kepadamu, dan aku minta maaf...”

“Sudahlah. Yang penting sekarang, kita harus mencari akal bagaimana dapat keluar dari tempat tahanan ini. Kalau kita menggabungkan tenaga dan berusaha untuk membongkar pintu ini...”

“Hemm, sudah kupertimbangkan hal itu, Hong-moi, ketika engkau menolongku dahulu, mencarikan obat untukku, engkau bertemu dengan keponakanku, Lie Seng, putera enciku yang dibawa oleh seorang Pendeta Lama. Dan engkau pernah dapat mainkan Thian-te Sin-ciang, engkau belajar dari suhu Kok Beng Lama. Hong-moi, engkau sumoiku.”

“Bukan. Suhumu sudah kuberikan janji bahwa aku tidak mengangkatnya sebagai guru. Betapapun juga, mengingat bahwa mendiang ibuku adalah sumoi dari ayahmu, maka kitapun boleh saja terhitung kakak dan adik seperguruan.”

“Hong-moi coba kau tampar telapak tanganku ini dengan Thian-te Sin-ciang!”

“Apa maksudmu? Apa gunanya?”

“Aku hendak mengukur sampai di mana tingkat ilmu itu pada dirimu.”

Bun Houw lalu berdiri dan mengulur tangannya, dengan telapak tangan terlentang. Biarpun belum mengerti sepenuhnya apa yang dimaksudkan selanjutnya oleh pemuda itu, namun karena tahu bahwa pemuda itu hendak menguji kekuatannya, In Hong lalu mengerahkan tenaga dan menghantamkan telapak tangannya ke arah telapak tangan Bun Houw, tanpa ragu-ragu karena dia tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang jauh lebih lihai daripada tingkatnya.

“Tarrrr...!”

Terdengar bunyi seperti ledakan ketika dua telapak tangan itu bertemu. In Hong merasakan tangannya panas dan membalik sehingga dia terhuyung.

“Engkau hebat, Hong-moi. Baru mendapat petunjuk sebentar saja dari suhu, telah dapat menguasai Thian-te Sin-ciang hampir seperempat bagian”

“Baru seperempat bagian?” In Hong bertanya dengan mata terbelalak dan kecewa. “Kukira sudah hampir sempurna!”

Bun Houw tersenyum dan hatinya girang melihat kenyataan bahwa berbicara dengan In Hong, dia mulai melupakan peristiwa di dalam kamar bersama Si Kwi yang mendatangkan penyesalan amat besar di hatinya itu.

“Hong-moi, engkau belum tahu benar kehebatan dari Thian-te Sin-ciang. Hanya suhu seoranglah yang telah memiliki ilmu itu dan menguasai secara sempurna. Kalau suhu berada di sini, pintu ini bukan apa-apa. Engkau memiliki hampir seperempat bagian sudah hebat, Hong-moi.”

“Dan engkau sendiri, koko. Engkau sudah begitu hebat!”

“Ah, mana bisa aku menandingi suhu? Paling-paling aku baru menguasai setengahnya atau lebih sedikit. Karena itu, biarpun kita menggabungkan tenaga, tidak akan mungkin dapat menjebol pintu ini. Akan tetapi ada kemungkinan kecil kalau engkau dapat memperkuat tenagamu di sini, dengan latihan-latiban khusus.”

“Pikiran itu baik sekali, Houw-ko.”

Bun Houw lalu menyuruh gadis itu duduk bersila di depannya, di atas pembaringan. Mereka berdua duduk bersila dengan kaki melintang di atas kedua paha, punggung mereka lurus dan kedua lengan mereka dilonjorkan sehingga kedua telapak tangan mereka saling bertemu, dengan jari-jari tangan lurus ke atas.

“Sekarang kendurkan seluruh urat syarafmu, Hong-moi, sedikitpun jangan melakukan perlawanan dan kau ikuti saja dorongan hawa dariku, kemudian terus ikuti sampai kau dapat melakukan latihan ini sendiri.”

Bun Houw lalu memberi tahu tentang teori-teorinya melatih diri untuk memperkuat tenaga sin-kang Thian-te Sin-ciang.

“Mula-mula gerakkan hawa melalui sepanjang Ci-kiong-hiat, lalu naik ke Koan-goan-hiat, turun lagi ke Tiong-teng-hiat dan akhirnya berhenti dan dipusatkan di Thian-te-hiat-to,” demikian Bun Houw mulai memberi petunjuk sambil mengerahkan sin-kangnya melalui telapak tangan gadis itu.

In Hong merasakan hawa yang hangat mengalir ke dalam tubuhnya melalui telapak tangannya. Perasaan ini mendatangkan kenikmatan dan rasa nyaman menyelimuti seluruh tubuhnya itu, apalagi ketika dia teringat bahwa hawa itu datang dari Bun Houw, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terguncang! Hal ini terasa oleh Bun Houw dan pemuda ini menjadi terkejut karena ada hawa melawan dari In Hong, bukan melawan melainkan “menyambut”, akan tetapi hal itu sama saja karena dapat menghalangi penembusan jalan-jalan darah itu dengan hawa murninya.

“Harap kau jangan membiarkan pikiran berkeliaran, Hong-moi. Pikiran harus kosong dan seluruh perasaan berpusat kepada perjalanan hawa sakti...”

“Maaf, Houw-ko... aku tidak sengaja,”

In Hong menjawab dan kedua pipinya merah sekali karena merasa jengah. Melihat sepasang pipi yang begitu kemerahan dan halus menyegarkan, cepat-cepat Bun Houw memejamkan matanya agar jangan melihat sepasang pipi yang demikian dekatnya!

Demikianlah, dua orang muda itu mulai dengan latihan mereka dan mereka hampir tidak perduli akan hidangan yang disuguhkan melalui lubang kecil. Hanya kalau mereka sudah merasa lelah dan lapar saja mereka berhenti, makan dan mengaso.

Setelah menerima petunjuk dari Bun Houw dan sudah hafal benar akan cara berlatih untuk memperkuat tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, dua hari kemudian In Hong sudah mulai berlatih sendiri, dan Bun Houw juga mempergunakan kesempatan itu untuk berlatih, karena diapun perlu memperkuat tenaganya agar kelak dapat digabung dengan tenaga In Hong untuk mencoba membobolkan pintu baja itu.

**** 167 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: