***

***

Ads

Sabtu, 04 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 003

Baru setelah anak itu berusia enam bulan dan sudah pandai berayun-ayun, sudah kuat tubuhnya induk kera ini membawanya turun. Anak itu belum dapat berjalan seperti manusia, akan tetapi sudah pandai merangkak dan berloncatan dari cabang ke cabang. Seorang anak laki-laki yang sehat dan berwajah tampan, rambutnya lebat dan hitam sekali, mukanya bundar dan matanya ber¬sinar tajam dan liar seperti mata monyet-monyet.

Pada suatu pagi, ketika anak yang baru berusia enam bulan itu mencokel-cokel batu di bawah pohon mencari ca¬cing, tiba-tiba terdengar suara mengaum. Anak itu mengangkat muka dan me¬mandang terbelalak ketakutan kepada seekor harimau yang tahu-tahu telah berada di depannya! Harimau itu besar sekali, sudah tua dan tubuhnya agak kurus seperti harimau kurang makan! Akan tetapi justeru hal ini membuat dia lebih buas daripada biasanya. Kelaparan membuat binatang menjadi buas dan galak!

“Aaauuughhhmmm!”

Harimau itu menggereng melangkah maju. Agaknya dia masih terheran-heran melihat mahluk yang tidak berbulu ini. Dia sudah terbiasa menubruk dan menjadikan mangsanya binatang-binatang yang lebih kecil dan lemah, akan tetapi hampir semua binatang itu berbulu, tidak seperti mahluk ini. Seperti segumpal daging yang lunak dan tinggal menelan saja! Air liur membusa keluar dari mulut harimau itu.

Pada saat itu, dengan kecepatan yang amat luar biasa bagi seorang anak berusia enam bulan, anak itu meloncat dan menggunakan kedua tangan dan kaki menangkap batang pohon. Akan tetapi lompatannya tidak begitu tinggi dan harimau itupun dengan cepatnya meloncat dan menerkam ke arah batang pohon itu sambil berdiri.

Cakar yang amat tajam meruncing dari kaki kirinya menancap dipundak kiri anak itu. Anak itu mengeluarkan pekik mengerikan dan terbanting lagi ke bawah. Pundaknya robek dan nampak darah mengalir keluar dari luka memanjang di pundaknya, dari pundak ke punggung.

Sebelum harimau itu menubruk lagi, tiba-tiba terdengar pekik dan gerengan dahsyat induk monyet itu sudah melayang turun, menyambar tubuh anak itu dengan lengan kanannya dan dengan taring nampak mengancam dia menghadapi harimau, tangan kirinya bergerak-gerak dan mengeluarkan pekik berkali¬-kali.

Monyet betina itu siap untuk melindungi anaknya dengan taruhan nyawanya. Padahal biasanya, melihat harimau ini dia tentu akan lari dan mengamankan diri di cabang tertinggi dari pohon-pohon besar. Akan tetapi, melihat anaknya terluka dan terancam, dia lupa rasa takut dan menghadapi harimau itu dengan memperlihatkan taring dan memberi tanda kepada kawan-kawannya!

Di antara binatang liar, rombongan monyet memang mempunyai naluri untuk bersetia kawan. Biarpun mereka semua takut dan ngeri menghadapi harimau yang sudah biasa makan seekor di antara kawan-kawan mereka yang lengah akan tetapi kini melihat induk monyet itu terancam, dan juga melihat anak manusia yang telah mereka terima sebagai satu di antara kawan-kawan mereka sendiri itu terluka, mereka berlompatan dan berdatangan ke bawah, menggereng dan menghadapi harimau itu dengan marah!

Harimau itu mengaum, akan tetapi monyet-monyet itu menggereng. Sang harimau kalah gertak agaknya, maka dia lalu menggereng dan menyambar ke kanan dimana terdapat seekor monyet jantan yang masih muda. Monyet ini memekik, akan tetapi sekali sambar saja sang harimau sudah menggigit tengkuknya dan binatang buas itu lalu melarikan diri sambil membawa korbannya yang telah digigit patah batang lehernya dan sudah tidak berkutik lagi itu.






Anak kecil itu menangis dan monyet betina itu lalu merawat luka anaknya dengan penuh kasih sayang, menjilati luka itu sampai bersih. Setiap hari dijilatinya luka di pundak anak pungutnya itu dan karena ini agaknya maka luka itu cepat sekali sembuh. Belum sebulan lamanya, luka itu sembuh sama sekali, hanya nampak bekas luka memanjang dari pundak ke punggung. Kini anak itu sudah bermain-main dan mencari makan lagi seperti biasa, berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon dengan cekatan sekali.

Kehidupan di dalam hutan memang penuh dengan bahaya. Oleh karena itu, binatang-binatang hutan, terutama golong¬an monyet yang lebih cerdik di antara binatang-binatang itu, memiliki naluri tajam sekali dan pertumbuhannya cepat. Sayang bahwa anak manusia itu sesuai dengan hukum alam, tidak sama per¬tumbuhannya dengan monyet, maka oleh para monyet lain dianggap sebagai monyet aneh yang lemah.

Monyet-monyet lain, dalam usia setahun telah menjadi monyet yang dapat berdiri sendiri, tidak lagi mengandalkan induknya. Akan tetapi anak yang tak berbulu itu tidak mungkin hidup tanpa pengawasan dan penjagaan induknya. Dan agaknya monyet betina itu maklum akan keadaan anaknya yang lemah ini. Dia tidak mau lagi didekati monyet jantan dan seluruh waktunya dipergunakan untuk mengasuh anak itu, diasuh dan diikutinya kemanapun anak itu pergi.

Setahun kemudian, anak itu sudah mulai dapat berdiri akan tetapi jalan¬nya membungkuk setengah merayap, meniru gerakan monyet hanya dia makin pandai memanjat pohon, pandai melonca¬t dari dahan ke dahan. Bagi seorang manusia, atau bagi ukuran manusia tentu saja gerakannya amat mentakjubkan, cepat bukan main.

Akan tetapi bagi ukuran monyet, tentu saja dia amat lamban dan lemah! Betapapun juga, agaknya karena dia jauh lebih cerdik daripada monyet, memiliki daya tangkap lebih tajam dengan pikirannya, maka anak itu dalam banyak hal mengalahkan monyet-monyet itu dan diapun tidak sebuas monyet-monyet itu sehingga dia disukai oleh semua monyet dari yang kecil sampai yang besar.

Pada suatu hari, ketika anak itu sedang bermain-main dengan monyet-monyet kecil setelah kenyang makan buah, tiba-tiba terdengar pekik seekor monyet kecil yang bermain agak jauh dari teman-temannya. Semua monyet cepat meloncat ke pohon dan mencari tempat sembunyi yang aman.

Akan tetapi anak itu sebaliknya malah cepat meng¬hampiri tempat temannya itu menjerit dan dia melihat bahwa seekor monyet kecil sedang berhadapan dengan seekor ular. Ular itu kecil saja, sebesar lengan anak-anak dan panjangnya hanya kurang lebih tiga kaki, kulitnya belang-belang dan lehernya berkembang lebar. Ular itu mengangkat kepalanya, mengeluarkan suara mendesis sehingga monyet kecil itu ketakutan, seperti lumpuh saking takut¬nya dan hanya dapat menjerit-jerit.

Anak manusia itu tiba-tiba meloncat sambil menyambar sebatang ranting, lalu dipukulnya kepala ular itu. Ular yang marah itu mengelak, lalu kepalanya meluncur dan tiba-tiba anak itu berteriak keras ketika betis kakinya tergigit oleh ular. Dia roboh dan berusaha menggigit leher ular. Mereka bergumul dan monyet kecil tadi segera lari dan naik ke atas pohon sambil memekik-mekik.

Terdengar gerengan keras dan monyet betina besar yang sudah cepat datang ke tempat itu, kini melayang turun, diikuti teman-temannya. Melihat anaknya ber¬gumul dengan ular yang menggigit betis anak itu, monyet betina marah sekali, Demikianpun teman-temannya. Mereka menubruk ular itu, menggigit leher dan seluruh tubuhnya, mencabik-cabiknya sehingga sebentar saja ular itu sudah putus-putus tubuhnya. Akan tetapi anak itu menggeletak dalam keadaan pingsan dan kaki yang tergigit ular itu membengkak dan berwarna biru!

Bagi monyet-monyet itu, mereka tidak akan mudah terpengaruh oleh racun ular. Mungkin dari perbedaan susunan dalam tubuh, entah bagaimana, akan tetapi bisa ular tidak mudah mencelakakan mereka sehingga gigitan seekor ular berbisa itu kiranya tidak akan membuat mereka tewas. Akan tetapi berbeda de¬ngan anak manusia itu. Anak itu pingsan dan kalau tidak memperoleh pengobatan yang tepat, tentu dia akan tewas dalam waktu sehari dua hari saja.

Monyet betina besar itu dengan nalurinya tahu bahwa anaknya terancam bahaya maut. Dia memondong tubuh anak itu seperti tubuh bangkai anaknya dahulu, dibawanya lari ke sana-sini dan berloncatan dari dahan ke dahan, menjauhi teman-temannya dan akhirnya dia tiba di dekat guha dimana dulu dia mengambil anak itu yang baru terlahir, setahun yang lalu.

Dengan suara menguik-nguik seperti orang menangis, monyet betina itu memasuki guha. Ada tiga ekor temannya mengikutinya dengan takut-takut. Monyet betina itu memandang ke kanan kiri akan tetapi guha itu kosong. Bahkan bangkai anak monyet ataupun rangkanya tidak nampak di situ.

Ke manakah perginya Liong Si Kwi? Seperti kita ketahui, setahun yang lalu, wanita ini roboh pingsan lagi ketika dia siuman di waktu paginya dan melihat bahwa yang menggeletak di antara paha¬nya adalah bangkai seekor anak monyet. Rasa kaget dan ngeri membuatnya ping¬san kembali.

Akan tetapi sekali ini, karena tubuhnya sudah mulai pulih ke¬kuatannya, dia tidak lama dalam keadaan tidak sadar itu. Setelah dia siuman kembali, dia lebih tenang dan pikirannya bekerja sambil dia duduk dan memandang ke arah bangkai monyet itu. Diambilnya bangkai itu dan diperiksanya. Benar-benar bangkai seekor monyet kecil. Jelas dia tidak melahirkan anak monyet! Tentu anaknya telah terlahir dan ada yang mengambil anaknya itu, menukarnya dengan seekor monyet kecil yang mati dengan kepala terluka.

Ini bukan anak monyet yang baru saja terlahir, pikirnya. Hatinya lega. Tidak, dia tidak melahirkan monyet! Tidak mungkin keturunan Cia Bun Houw berupa monyet! Akan tetapi timbul kekhawatiran lain di dalam hati¬nya. Siapakah yang menculik anaknya?

Jantungnya berdebar. Jangan-jangan ayah kandungnya yang datang mengambil¬nya? Mudah-mudahan begitu, pikirnya penuh harap. Akan tetapi kalau Bun Houw yang datang, mengapa pemuda itu membiarkan saja dia pingsan tanpa me¬nolongnya? Bukan demikian watak pen¬dekar sakti itu. Dan mengapa pula menukar anaknya dengan bangkai seekor monyet kecil? Inipun tidak masuk akal! Yang dapat melakukan hal sekeji dan seaneh itu pantasnya hanyalah seorang tokoh kaum sesat.

Akan tetapi siapa¬kah yang akan melakukan hat seperti itu kepada anaknya? Diantara tokoh sesat yang tadinya membantu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li di Istana Lembah Naga, semua telah tewas ketika terjadi pertempuran melawan para pen¬dekar sakti. Hanya Hek-hiat Mo-li se¬orang yang tidak tewas dan nenek iblis itu telah pergi bersama muridnya, yaitu Raja Sabutai. Nenek itukah yang melaku¬kannya? Dia bergidik kalau teringat ke¬pada nenek bermuka hitam yang mengeri¬kan itu. Akan tetapi mengapa nenek itu melakukan hal seperti ini, menculik seorang bayi yang baru terlahir.

Si Kwi bangkit berdiri, mengepal kedua tangannya dan memandang keluar guha.
“Hek-hiat Mo-li, agaknya engkaulah yang melakukan ini. Nenek jahanam, iblis laknat, sungguh engkau bukan manusia, melainkan iblis betina yang keji!”

Dia lalu menangis karena merasa tidak berdaya menghadapi nenek itu. Gurunya sendiri, Hek I Siankouw, takut terhadap nenek bermuka hitam itu. Apalagi dia. Andaikata benar nenek itu yang melakukan dan dia dapat mencarinya, apa yang dapat dia lakukan terhadap nenek itu? Kepandaian nenek itu jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sen¬diri. Dan dia teringat bahwa memang terdapat ilmu-ilmu sesat yang syaratnya untuk dikuasai adalah makan dan minum darah bayi yang baru terlahir. Dia bergidik dan menangis lagi.

“Bun Houw... Cia Bun Houw... hanya engkau seoranglah yang sanggup melawan nenek itu, hanya engkau seoranglah yang akan dapat menyelamatkan anak itu, anakmu, darah dagingmu... akan tetapi mana engkau sudi melakukannya...?” Si Kwi menangis sesenggukan.

Setelah reda tangisnya, dia lalu keluar dari dalam guha, membawa bangkai anak monyet itu. Entah bagaimana, melihat bangkai anak monyet itu, dia merasa kasihan. Seolah-olah dia teringat bahwa anaknya sendiripun berada di dalam bahaya, dan mungkin saja mati seperti anak monyet ini. Membayangkan betapa anak yang dikandungnya itu mati tanpa ada yang menolong, timbul rasa iba di hatinya terhadap anak monyet itu dan biarpun tubuhnya masih lemah, dia memaksa diri mengubur bangkai itu baik¬-baik.

Semenjak melahirkan dan anaknya hilang, Si Kwi hidup makin tidak peduli lagi. Pakaiannya jarang diganti, tubuhnya kurus, mukanya pucat, rambutnya awut-awutan dan dia lebih sering tidur di dalam kamamya di Istana Lembah Naga, bermalas-malasan dan hanya kalau rasa lapar di dalam perutnya sudah terlalu hebat saja dia terpaksa keluar mencari bahan makanan. Hidupnya terasa kosong dan hampa dan dia seperti mayat hidup saja.

Kecewa menimbulkan iba diri, dan iba diri menimbulkan duka. Duka makin mendalam karena dorongan ingatan dan sengsaralah manusia yang sudah menjadi korban dari duka. Hidup terasa kosong dan sengsara, lenyaplah segala keindahan dan kegembiraan, hati selalu tersiksa dan pikiran selalu melamun dan melayang jauh.

Padahal, sebelum terjadi peristiwa dengan Bun Houw di Lembah Naga, se¬belum dia bertemu dengan pemuda yang amat dikaguminya itu, Liong Si Kwi adalah seorang dara cantik manis angkuh, yang mengandalkan kepandaian dan me¬rasa tidak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya!

Sebetulnya Liong Si Kwi bukanlah keturunan orang jahat, tidak pula men¬jadi murid orang jahat. Mendiang ayah¬nya adalah seorang piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) yang terkenal gagah dan jujur. Akan tetapi ayahnya tewas di tangan penjahat, dan ibunya meninggal karena duka setelah ayahnya meninggal. Dia dirawat dan dididik oleh Hek I Siankouw. Gurunya itu, Hek I Siankouw, sesungguhnya juga bukan se¬orang jahat. Sebaliknya malah, Hek I Siankouw adalah seorang pendeta wanita, seorang penganut Agama To dan selain memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, juga tokouw ini tidak pernah melakukan kejahatan, bahkan selalu menentang para penjahat yang mengganggu ketentraman.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: