***

***

Ads

Sabtu, 04 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 009

Di kaki Pegunungan Khing-an-san se¬belah selatan itu terdapat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Dusun itu selama beberapa tahun ini mengalami kemajuan setelah penghuninya mengusaha¬kan rempah-rempah dan daun atau akar obat yang banyak tumbuh di sekitar kaki gunung itu.

Setelah mendapat kenyataan bahwa kota-kota besar amat membutuh¬kan barang-barang itu, maka penghuni dusun Pek-hwa-cung lalu beramai-ramai menanam dan memelihara tanaman-tanaman berharga itu.

Tempat yang ramai dan makmur se¬lalu menarik perhatian orang, Pek-hwa-cung juga demikian. Mendengar betapa dusun itu ramai dan mencari penghasilan di daerah itu mudah sekali dibandingkan dengan daerah lain, maka banyaklah penduduk-penduduk baru berdatangan dari lain daerah, sehingga dusun itu makin menjadi besar dan ramai.

Akan tetapi, Bhe Coan bukanlah penghuni baru di dusun itu. Dia terhitung penghuni lama karena ayahnya yang telah meninggal merupakan seorang di antara para pembangun atau penemu tempat itu dan dia sejak kecil tinggal di Pek-hwa-cung.

Seperti mendiang ayahnya, Bhe Coan juga merupakan seorang pandai besi yang ahli dan pandai. Boleh dibilang segala keperluan penduduk Pek-hwa-cung yang berupa besi adalah buatan orang she Bhe inilah.

Akan tetapi, kalau hanya membuat alat-alat besi saja keahlian Bhe Coang agaknya namanya tidak akan ter¬kenal dan dia tentu hanya menjadi seorang pandai besi biasa saja yang banyak terdapat di dunia ini. Tidak, Bhe Coan bukanlah pandai besi biasa dan dia memiliki suatu keahlian lain dalam menggembleng dan membentuk baja, keahlian yang tidak dimiliki oleh ayahnya dan yang dia pelajari dari seorang sakti yang kebetulan pada suatu waktu lewat di Pek-hwa-cung dan mengajarkan kepandaian itu kepada Bhe Coan. Kepandaian itu adalah keahlian membuat senjata, khususnya senjata pedang.

Pedang buatan Bhe Coan mempunyai bentuk yang indah dan yang lebih penting lagi, memiliki berat yang seimbang antara gagang dan mata pedang sehingga enak sekali dipakai. Selain itu, juga pandai besi ini memilih bahan pedang yang amat baik. Ilmu ini merupakan kepandaian istimewa yang tidak mudah ditiru orang, dan membuat namanya menjadi terkenal di dunia kang-ouw, sungguhpun Bhe Coan bukan seorang ahli silat yang pandai, melainkan seorang pandai besi yang bertubuh kuat, berwatak keras dan jujur, dan mengenal ilmu silat, biarpun dia pernah mempelajarinya, namun tidak secara mendalam.

Ketenaran¬nya di dunia kang-ouw bukan karena ilmu silatnya melainkan karena kepandaiannya membuat pedang itulah. Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mengunjunginya dan minta dibuat¬kan pedang. Mereka itu, berani membayar berapapun juga sehingga Bhe Coan tidak kekurangan penghasilan dan di dalam dusun Pek-hwa-cong dia terkenal sebagai seorang yang cukup mampu karena penghasilannya membuat pedang-pedang itu. Bahkan dia mengenal banyak tokoh kang-ouw yang semua baik dari golongan hitam maupun putih, datang minta dibuat-kan pedang olehnya.

Akan tetapi, kalau pandai besi ini dapat dikatakan berhasil dalam pekerjaannya, sebaliknya dalam kehidupan rumah tangganya dia tertimpa nasib buruk. Kurang lebih dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia ketika melahirkan anaknya yang pertama.

Pandai besi ini menikah ketika dia berusia tiga puluh lima tahun, menikah dengan seorang gadis Pek-hwa-cung juga, seorang gadis petani biasa yang sederhana. Selama tiga tahun menikah, barulah isterinya mengandung. Akan tetapi, dua tahun yang lalu, ketika melahirkan seorang bayi perempuan, isterinya itu meninggal dunia!






Bhe Coan yang amat mencinta isterinya, hampir gila oleh kedukaan. Kalau pada waktu itu tidak ada banyak orang, yaitu para tetangganya, mungkin saja akan dibanting dan dibunuhnya anak perempuan yang terlahir selamat itu karena dia menganggap anak itulah yang menyebabkan kematian isterinya tercinta!

Para tetangga mengingatkan dia dan akhirnya dia sadar, biarpun sukar baginya untuk mengatasi kesedihannya ditinggal mati oleh isterinya yang tercinta itu. Dia hidup menduda dan memanggil seorang inang pengasuh untuk merawat anaknya yang diberi nama Bhe Bi Cu.

Seperti kita ketahui, dusun Pek-hwa-cung yang makin makmur itu menarik banyak penghuni baru dan beberapa bulan semenjak kematian isteri Bhe Coan, di dusun Pek-hwa-cung itu datanglah se¬orang janda muda yang cantik manis dan bersikap genit.

Janda muda ini telah tiga tahun ditinggal mati suaminya, tanpa anak dan usianya baru tiga puluh tahun. Wajahnya memang manis dan sikapnya menarik. Dia tinggal bersama ibunya yang sudah tua di dusun Pek-hwa-cung. Sebagai penghuni baru dan karena janda ini pandai menyulam dan menjahit, maka dia segera dapat bekerja dan memperoleh penghasilan yang cukup lumayan di dusun yang mulai maju itu dari hasil menjahit pakaian.

Banyak pria di Pek-hwa-cung terpikat oleh kecantikan janda muda itu dan di antara mereka yang terpikat, termasuk pula Bhe Coan! Dan karena keadaan pandai besi ini cukup mampu, juga dia merupakan seorang duda yang baru se¬tahun ditinggal mati isterinya maka menanglah Bhe Coan dalam persaingan itu dan pada suatu hari, secara resmi dia memboyong janda itu menjadi isterinya!

Dan ternyata bahwa janda itu amat pandai merayu hati pria sehingga ter¬obatlah kedukaan Bhe Coan ditinggal mati isterinya dan dia jatuh bertekuk lutut di depan kaki isterinya dalam waktu beberapa bulan saja!

Karena dia tergila-gila, maka dia menurut saja ketika isterinya minta kepadanya agar Bhe Bi Cu, anak perempuannya yang baru berusia setahun itu, disingkirkan dari dalam rumah.

“Suamiku, kalau engkau menghendaki agar hubungan cinta kasih antara kita lancar dan bersih dari gangguan, sebaiknya kalau Bi Cu itu kau serahkan kepada orang lain agar dirawatnya, jangan dirawat di dalam rumah ini. Kalau dia masih disini, mana mungkin aku melupakan bahwa engkau bukanlah milikku sepenuhnya, melainkan masih ada ikatan dengan mendiang isterimu? Ingat, aku sendiri telah bebas dan terlepas sama sekali dari mendiang suamiku yang tidak meninggalkan apa-apa untuk diingat.”

Bhe Coan adalah seorang pandai besi yang kasar dan jujur, dan karena ini agaknya dia seperti seorang yang bodoh. Dia menganggap bahwa pendapat isterinya itu benar belaka dan akhirnya, setelah memilih-milih, dia lalu menyerahkan Bhe Bi Cu kepada seorang piauwsu (pengawal barang berharga) yang dikenalnya dengan baik. Piauwsu ini adalah seorang kepala piauwsu yang terkenal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning dan dia terkenal sebagai pengawal barang-barang yang keluar masuk batas propinsi di utara, keluar atau masuk daerah propinsi itu.

Piauwsu itu bernama Na Ceng Han dan sudah lama mengenal Bhe Coan karena pandai besi inilah yang selalu dipesannya membuat pedang untuk dia sendiri dan para anak buahnya, bahkan Na-piauwsu itu pernah membawa bahan baja yang luar biasa, yang didapatnya di daerah suku liar di utara, kemudian baja murni yang mengeluarkan sinar ini dijadikan sebatang pedang oleh Bhe Coan yang kemudian menjadi pedang kesayangan Na-piauwsu.

Ketika pada suatu hari Na-piauwsu lewat di dusun Pek-hwa-cung dan mengunjungi Bhe Coan, maka pandai besi ini lalu memilihnya sebagai ayah angkat Bhe Bi Cu. Dan kebetulan sekali bahwa Na-piauwsu memang sudah lama menginginkan seorang anak perempuan. Dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki saja, anak tunggal yang kini telah berusia empat tahun. Maka ketika dia ditawari oleh sahabatnya itu untuk menjadi ayah angkat dan merawat Bi Cu, dia menjadi girang bukan main. Dia mengerti akan keadaan Bhe Coan yang menikah dengan janda cantik itu.

Na Ceng Han adalah seorang kang-ouw yang sudah banyak pengalaman, dan dia mempunyai pandangan yang bijaksana sekali. Andaikata sahabatnya itu belum menikah dengan janda itu, tentu dia dapat memberi nasehatnya. Akan tetapi, Bhe Coan telah menjadi suami isteri dengan wanita itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi dan maklum bahwa kehadiran anak perempuan itu hanya akan menjadi bahan percekcokan antara suami isteri itu yang akhirnya akan membuat Bhe Coan merasa tersiksa hidupnya. Selain ini, juga dia suka sekali melihat Bi Cu yang sehat dan mungil, maka dia menerimanya dan dibawanyalah anak perempuan berusia setahun lebih itu pulang ke Shen-yang.

Seperti juga semua orang Han yang meninggalkan kampung halaman dan merantau jauh di luar tembok besar, seperti keturunan Bhe Coan yang sudah dua keturunan tinggal di luar tembok besar, tentu saja Bhe Coan juga merasa rindu untuk kembali ke selatan dan sebelum isteri pertamanya meninggal, diapun sudah bercita-cita untuk memboyong keluarganya itu ke sebelah dalam tembok besar apabila dia sudah cukup mengumpulkan uang, karena kehidupan di selatan tidaklah mudah.

Akan tetapi, setelah dia menikah dengan janda manis itu, harapannya ini membuyar. Isteri barunya itu sama sekali tidak setuju untuk pergi ke selatan. Berbeda dengan Bhe Coan isterinya itu adalah seorang peranakan Mancu sehingga sudah meng¬anggap daerah Pegunungan Khing-an-san sebagai kampung halamannya bahkan daerah selatan di sebelah dalam tembok besar merupakan daerah asing baginya.

Betapapun juga, isterinya itu ber¬sikap manis kepadanya sehingga dia ter¬hibur juga dan biarpun isteri barunya itu belum juga kelihatan mengandung setelah satu tahun menjadi isterinya namun dia merasa cukup gembira, hidup rukun dengan isterinya yang cantik dan merasa dirinya cukup berbahagia.

Bahkan kini isterinya merupakan pendorong baginya untuk bekerja lebih giat, karena isterinya yang baru ini selalu ingin memajukan keadaan mereka, memperbaiki rumah, membeli perabot-perabot baru dan sebagai¬nya. Dorongan ini membuat Bhe Coan bersemangat sekali, bekerja dari pagi sampai sore tanpa mengenal lelah, dan malamnya menikmati pelayanan isterinya yang kelihatan amat mencintainya.

Pada suatu hari, selagi Bhe Coan sibuk di dalam dapur kerjanya, menempa besi untuk dibentuknya menjadi tapal kuda memenuhi pesanan para pemilik kuda di dusun itu, muncul seorang laki-laki di pekarangan rumahnya.

Pada waktu itu, isteri Bhe Coan kebetulan berada di luar, maka ketika melihat ada seorang pria memasuki pekarangan rumahnya, dia mengangkat muka memperhatikan dan hampir saja kain yang sedang disulamnya itu terlepas dari pegangannya, jantungnya berdebar dan kedua pipinya menjadi ke¬merahan, sepasang matanya memandang wajah yang tampan itu penuh kagum.

Yang datang itu adalah seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan berlenggang dengan lagak sopan santun namun gagah dan agung, lagak seorang sasterawan atau se¬orang kongcu golongan atas! Laki-laki itu memiliki wajah yang manis, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, mulutnya selalu tersenyum, senyum penuh pikatan, senyum seorang laki-laki yang bisa me¬nundukkan hati wanita, seorang laki-laki petualang asmara!

Pakaiannya indah dan rapi sekali, pakaian seorang kongcu yang terpelajar atau seorang putera hartawan, dari kain sutera yang halus dan baru, demikian pula sepatunya masih baru, biarpun waktu itu sepatu dan jubahnya tertutup debu, tanda bahwa dia melakukan perjalanan jauh. Tangan kirinya memegang kendali seekor kuda yang kelihatan juga kelelahan, kuda besar pilihan, kuda yang baik dan mahal pula.

Isteri dari Bhe Coan cepat sadar akan keadaannya dan menurut sepantasnya, dia harus cepat menyembunyikan diri, akan tetapi tadi dia terlongong kagum, maka dia terlambat dan kini pria itu telah berdiri di depannya, menjura penuh hormat dan dengan senyum di bibir dan lirikan mata penuh daya pikat seperti biasa dilakukannya kalau dia berhadapan dengan seorang wanita, apalagi kalau wanita itu muda lagi cantik seperti Leng Ci, isteri dari Bhe Coan itu.

“Nona, harap sudi memaafkan saya kalau saya berani lancang memasuki pekarangan rumah nona. Akan tetapi, saya seorang dari luar daerah ini, datang dari jauh dan tidak mengenal tempat ini. Kalau boleh saya bertanya, benarkah disini tempat tinggal saudara Bhe Coan, pandai besi ahli pembuat pedang yang terkenal itu?”

Suara pria muda itu halus, tutur sapanya sopan dan sikapnya ramah sehigga seketika itu juga hati Leng Ci, nyonya Bhe Coan itu terpikat dan dengan suara gemetar dia menjawab tanpa berani mengangkat muka, menunduk akan tetapi kadang-kadang sepasang matanya yang tajam mengerling dari bawah.

“Benar, kongcu, disini rumah Bhe Coan...”

Suaranya merdu dan lirih, agak gemetar dan tersendat karena jantungnya telah berdegup kencang.

“Ahh... sungguh beruntung sekali saya! Tadi saya mendengar bunyi dencing gemblengan besi di landasan, maka secara untung-untungan saya masuk ke sini. Kiranya benar! Ahh nona yang baik, bolehkah saya bertemu dengan dia? Apakah nona ini puterinya?”

Leng Ci tersenyum, senyum simpul yang manis dan tangannya segera menutupi mulut, matanya menyambar seperti gunting tajam lalu terdengar dia menahan kekehnya secara genit.

“Ih-hi-hik... saya bukan anaknya, melainkan isterinya... hi-hik.”

“Apa...?” Pemuda sasterawan itu membelalakkan matanya dengan lebar seolah-olah dia mendengar berita tentang sesuatu yang luar biasa dan amat mengherankan. “Nona... eh, nyonya tidak main-main?”

“Mengapa?”

Leng Ci bertanya, kini lebih berani dan tidak lagi menutupi mulutnya sehingga mulut yang tersenyum lebar itu memperlihatkan kilauan gigi yang berderet rapi.

“SUNGGUH MATI siapa dapat menduganya? Kouw-nio... eh, toanio sungguh kelihatan masih sangat muda... dan saya mendengar... eh, maaf, saudara Bhe Coan itu sudah berusia hampir empat puluh tahun dan toanio masih kelihatan amat muda... maaf...”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: