***

***

Ads

Kamis, 09 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 015

Sejenak Bhe Coan terheran-heran melihat sikap sasterawan muda itu. Demikian tenangnya! Sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan kini tersenyum! Kemarahannya memuncak karena kini terbayanglah olehnya betapa sasterawan muda ini sejak datangnya, sejak “sakit” itu tentu telah berjina dan bermain gila dengan isterinya! Pantas saja sejak pemuda ini menginap di rumahnya, isteri¬nya tidak pernah mau melayaninya! Kiranya di waktu siangnya, dari pagi sampai petang, selagi dia bekerja setengah mati mengerjakan pedang pesanan sasterawan ini, isterinya berjina di dalam kamar ini dengan tamunya itu. Dan dia sudah menganggap tamunya sebagai keluarga sendiri!

“Bedebah, engkau layak mampus!” bentaknya dan tiba-tiba Bhe Coan menubruk ke depan menusukkan pedang yang selama sepekan ini digemblengnya itu ke arah dada Hok Boan.

Akan tetapi, gerakan yang amat cepat dan kuat itu dihadapi oleh Hok Boan seolah-olah tidak pernah ada bahaya yang mengancam dirinya. Setelah ujung pedang meluncur dekat, tiba-tiba dia meloncat turun dari atas pembaringan seperti seekor burung terbang saja ringannya.

“Creppppp... aiiiihhhh...!”

“Ohh, tidak...!”

Bhe Coan berseru kaget, matanya terbelalak memandang kepada isterinya yang menjerit. Pedangnya yang tadi ditusukkan ke arah dada Hok Boan, kini amblas menusuk dada isterinya sendiri, tepat di ulu hati, diantara dua buah bukit dada membusung itu. Kemarahannya makin meluap terhadap Hok Boan. Dia mencabut pedangnya, darah muncrat dari dada Leng Ci dan nyonya muda ini terjengkangg terlentang di atas pembaringan, darahnya muncrat-muncrat menodai tilam kasur yang selama beberapa hari ini telah dinodai oleh perjinaannya dan kaki tangannya berkelojotan, matanya terbelalak seperti orang kaget dan takut.

“Keparat kau! Jahanam kau!”

Bhe Coan memaki-maki dan membalik, menghadapi Hok Boan yang sudah membereskan pakaiannya dengan sikap tenang saja.

“Sudahlah, Bhe-twako, engkau telah membunuh isterimu. Sudah saja dan serahkan pedang itu kepadaku. Aku akan pergi dari sini sekarang juga.”

Sikap tenang dan kata-kata Hok Boan membuat Bhe Coan makin memuncak kemarahannya. Dia masih belum menduga bahwa tamunya ini memiliki kepandaian silat yang jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri.

“Bangsat hina Kui Hok Boan! Aku telah menerimamu sebagai keluarga sendiri, aku telah bersusah payah membuatkan pedang pesananmu, akan tetapi engkau menggoda isteriku. Nah, pedang ini akan merobek-robek perutmu, dan aku akan mencincang hancur lebur tubuhmu yang kotor dan hina!”

Bhe Coan kini menerjang dan pedang itu menyambar-nyambar. Namun, dengan tenang Hok Boan mengelak ke kanan kiri, kemudian selimut yang tadi dibawanya ketika dia meloncat itu menyambar ke depan, menutupi kepala tuan rumah.

“Wuuuttt... prakkk!”






Tubuh Bhe Coan terpelanting dan pedang itu sudah dirampas oleh tangan Hok Boan. Sasterawan muda ini lalu meninggalkan kamar itu, tidak memperdulikan lagi tubuh Bhe Coan yang kepalanya tertutup selimut dan perlahan-lahan selimut itu menjadi merah oleh darah dari kepala pandai besi itu yang retak-retak oleh pukulan tangan Hok Boan yang ampuh.

Tanpa melihatpun sasterawan muda ini maklum bahwa tamparannya tadi telah merenggut nyawa orang! Dengan tenang, Hok Boan mengumpulkan pakaiannya dan tak lama kemudian sudah membalapkan kudanya keluar dari dusun itu.

Anak kecil pembantu Bhe Coan yang menanti kembalinya majikannya, kini menjadi tidak sabar karena dia harus menanyakan sesuatu mengenai tapal kaki kuda yang dibuatnya. Dia memasuki rumah dan mencari-cari Bhe Coan. Ketika dia menjenguk ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu, dia terbelalak, mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil.

Nyonya majikannya menggeletak terlentang dengan tubuh bagian atas telanjang sama sekali, mandi darah dan tak bergerak lagi dengan mata terbelalak menakutkan, sedangkan majikannya terbujur di atas lantai, kepalanya tertutup selimut dan selimut itu penuh darah pula.

Anak itu menjerit dan lari keluar, jatuh bangun dan sebentar saja, dusun Pek-hwa-cung menjadi gempar! Semua orang menduga bahwa Bhe Coan dan isterinya tentu terbunuh oleh tamunya seperti yang dituturkan oleh anak pem¬bantu pandai besi itu, akan tetapi karena sejak datang ke dusun itu Hok Boan tidak pernah keluar pintu dan selalu mengeram diri saja di kamarnya bersama Leng Ci, maka tidak ada orang yang pernah melihatnya atau mengenalnya.

Sesungguhnyag munculnya Kui Hok Boan di Pegunungan Khing-an-san bukanlah semata-mata karena dia ingin memesan pedang, melainkan ada hal lain yang lebih penting baginya. Dia telah mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa di utara, di kaki Pegunungan Khing-an-san, terdapat dua tempat yang amat terkenal dan amat menyeramkan.

Dua tempat itu adalah Padang Bangkai dan Lembah Naga. Menurut berita yang seperti dongeng itu, di kedua tempat ini tersimpan harta pusaka yang tak ternilai harganya. Bahkan kabarnya, di dalam sebuah istana kuno di Lembah Naga, terdapat barang-barang berharga pening¬galan Raja Sabutai. Berita inilah yang menarik hati Kui Hok Boan dan ketika dia tiba di dusun Pek-hwa-cung, dia ter¬ingat akan nama Bhe Coan ahli pembuat pedang, maka dia singgah di situ dan memesan pedang sebelum dia mencari dua tempat yang amat menarik hatinya itu.

Berita itu datang dari para perajurit yang pernah menyerbu Lembah Naga bersama para pendekar sakti (baca cerita Dewi Maut). Akan tetapi tidak ada orang kang-ouw yang berani mencoba untuk mengunjungi tempat-tempat itu. Pertama karena memang tempat itu berada amat jauh dari tembok besar, ke dua karena mereka tidak percaya akan berita itu dan ke tiga karena mereka tahu bahwa tempat-tempat itu amat berbahaya sehingga tidak sepadanlah menempuh bahaya yang amat besar itu untuk mencari sesuatu yang masih belum tentu kebenarannya.

Akan tetapi Kui Hok Boan adalah seorang petualang yang hidup malang-melintang seorang diri saja di dunia ini. Dan terutama sekali kesenangannya akan wanita membuat dia senang saja berada di manapun, karena di manapun dia mengharapkan untuk bertemu dengan wanita yang berkenan di hatinya. Dan ternyata benar, di Pek-hwa-cung dia bertemu dengan Leng Ci yang membuatnya cukup merasa senang dan puas.

Istana Lembah Naga sesungguhnya adalah bekas markas besar yang dijadikan tempat tinggal oleh Raja Sabutai pada belasan atau puluhan tahun yang lalu. Kemudian markas atau benteng itu oleh Raja Sabutai dirombak menjadi istana dan diberikan kepada dua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek iblis yang berjuluk Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

Lembah itu berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, tepat di tepi Sungai Loan-ho yang menikung disitu kemudian diikuti oleh tikungan-tikungan kecil. Dilihat dari atas, Bukit Khing-an-san, lembah itu kelihatan seperti seekor naga yang tubuhnya berliku-liku. Karena inilah maka lembah itu dinamakan orang Lembah Naga.

Karena lembah ini berada di luar Tembok Besar, di daerah Mongol yang berbahaya, penuh dengan pegunungan tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tidak bertepi, diselingi gurun-gurun pasir yang tandus, maka daerah ini merupakan daerah terasing karena jarang ada orang berani mengunjunginya, bahkan mendekatinya.

Jalan menuju ke Lembah Naga hanya ada satu, yaitu dari selatan, karena mendatanginya melalui arah lain tidaklah mungkin mengingat bahwa lembah itu terkurung oleh jurang-jurang yang luar biasa dalamnya. Dari selatan inipun bukanlah merupakan jalan yang mudah. Sama sekali tidak! Hanya jalan dari selatan ini saja kelihatannya mungkin dilalui manusia, sungguhpun dalam kenyataannya, jalan yang kelihatan mudah ini penuh dengan ancaman bahaya maut yang mengerikan.

Mengapa demikian? Karena jalan melalui selatan ini berarti melalui Padang Bangkai. Dari namanya yang menyeramkan itu saja sudah dapat diduga bahwa daerah itu amat berbahaya. Dan memang benarlah. Padang rumput yang luas itu demikian aneh keadaannya, sehingga banyak binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang juga manusia yang melakukan perjalanan lewat di tempat itu dan tersesat kemudian menjadi korban pula, bangkai-bangkai dan mayat berserakan di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai.

Memang berbahaya sekali daerah Padang Bangkai ini. Banyak sekali tempat-tempat yang kelihatan indah menyenangkan, kiranya menyembunyikan tangan maut yang amat kejam.

Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa saja, dengan rumput-rumputnya yang hijau segar seperti beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah ini, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, baik musim panas maupun di musim semi tetap hijau segar itu merupakan tempat maut yang mengerikan. Salah sangka membuat banyak manusia maupun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjeblos, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan yang tidak terukur besarnya.

Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang ter¬jebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegang kepada rumput-rumput dan biarpun mereka itu tetap dapat mempertahankan sehingga tubuh atas mereka berada di luar, tetap saja orang atau binatang itu mati dengan separuh tubuh masih di luar. Apa yang terjadi? Tubuh bawah yang terhisap lumpur itu sebentar saja akan habis dihisap darahnya dan digerogoti dagingnya oleh binatang-binatang kecil semacam lintah dan lain-lain binatang yang hidup di dalam lumpur itu!

Ada pula terdapat bagian yang rumputnya berwarna aneh, berwarna kebiruan dan ternyata bahwa rumput di bagian ini mengandung racun yang amat berbahaya. Sekali saja kaki atau bagian tubuh lain yang terluka terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas.

Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan ilalang setinggi orang dewasa dan yang dapat menyesatkan karena luasnya dan karena lorong di antara ilalang tinggi ini berliku-liku, bercabang-cabang dan bentuknya sama semua, yaitu lorong setapak yang di kanan kirinya diapit-apit oleh ilalang tinggi. Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini. Tentu saja tempat ini amat berbahaya, belum lagi diingat akan banyaknya binatang-binatang buas yang menghuni tempat ini, bersembunyi di dalam rumpun ilalang yang tinggi lebar itu.

Dan di tengah-tengah perjalanan antara tempat-tempat berbahaya itu dengan Lembah Naga, terdapat sebuah dusun kecil yang dikelilingi air sungai. Air yang mengelilingi dusun ini sengaja dibuat Raja Sabutai dahulu, karena tempat ini merupakan semacam pintu gerbang maut untuk menghalangi musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga.

Air yang mengelilingi dusun itu dialirkan dari Sungai Luan-ho sehingga siapapun juga yang hendak pergi ke Lembah Naga tentu akan terhalang dan harus lebih dulu menyeberangi sungai itu dengan jembatan yang terdapat di situ, jembatan satu-satunya yang menghubungkan orang ke dusun kecil itu, kemudian menyeberangi lagi melalui jembatan kecil di belakang dusun.

Jalan lain menuju ke Lembah Naga tidak ada lagi, karena kalau orang tidak mau melewati dusun itu, dia harus mengambil jalan melalui padang rumput hijau berlumpur di bawahnya yang berada di sebelah kiri dusun, atau melalui padang rumput beracun yang berada di sebelah kanan dusun.

Melanjutkan perjalanan dengan perahu¬pun tidak mungkin, karena selain tidak nampak sebuahpun perahu disitu, juga andaikata ada orang membuat perahu dan menggunakannya untuk mengelilingi dusun, sebelum tiba di tempat tujuan tentu perahunya sudah akan digulingkan oleh mereka yang menjadi penghuni dusun itu.

Beberapa tahun yang lalu, ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih tinggal di Istana Lembah Naga, Padang Bangkai menjadi tempat tinggal suami isteri golongan sesat yang terkenal dan berilmu tinggi, yaitu Ang-bin Siu-kwi dan isterinya Coa-tok Sian-li. Akan tetapi, kurang lebih tiga tahun yang lalu, ketika rombongan pendekar sakti menyerbu Lembah Naga, suami isteri ini bersama semua anak buah mereka telah terbasmi habis, dan seperti juga Lembah Naga, maka Padang Bangkai juga menjadi tempat kosong yang menyeramkan sekali.

Akan tetapi, semenjak kepala pe¬rampok Coa Lok yang berjuluk Sin-jio (Tumbak Sakti) dan anak buahnya men¬jadi penghuni Padang Bangkai, tempat itu mulai terawat lagi, akan tetapi kini menjadi makin menyeramkan karena selain keadaan yang berbahaya dari tem¬pat itu masih ditambah lagi ancaman bahaya yang datang dari para perampok itu sendiri.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, ada anak buah perampok yang berani mencoba untuk menyerbu Istana Lembah Naga dengan akibat yang mencelakakan mereka karena lima orang telah tewas di tangan Liong Si Kwi, penghuni dan juga majikan yang baru dari Istana Lembah Naga. Kemudian Sin-jio Coa Lok sendiri yang memimpin anak buahnya menyerbu, akan tetapi diapun ditundukkan oleh Liong Si Kwi sehingga dia takluk dan menganggap wanita itu sebagai seorang yang patut dihormati.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: