***

***

Ads

Sabtu, 11 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 026

Kehidupan adalah kita, kitalah pokoknya, kitalah, ujung pangkalnya, kitalah dasarnya, kitalah sebab akibatnya. Kita lebih suka mempelajari orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain dan mencari ke¬senangan untuk diri sendiri belaka se¬lama hidup. Maka tidaklah aneh kalau selama hidup kita diombang-ambingkan oleh gelombang kehidupan penuh suka-duka, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Maukah kita menyadari semua ini dan mulai meneliti diri sendiri. Bercermin sepanjang hari setiap saat? Bercermin lahir batin? Kapan dimulai? SEKARANG JUGA!

Sang waktu berlalu terus tanpa mem¬perdulikan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Matahari timbul tenggelam setiap hari tanpa memperdulikan segala yang terjadi, bebas tanpa ikatan, melalui jalan kehidupan dengan wajar. Itulah ABADI! Apapun yang terjadi atas dirinya, ada maupun tidak ada, begini maupun begitu, tidak mempengaruhinya. Tidak ada kemarin, tidak ada esok, yang ada hanya SEKARANG. Dan sekaranglah abadi!

Tanpa terasa karena tidak diingat-ingat, sepuluh tahun telah lewat semenjak hari pernikahan di Padang Bangkai antara Liong Si Kwi dan Kui Hok Boan itu. Sepuluh tahun telah lewat semenjak ter¬jadinya peristiwa menggegerkan di dalam pesta pernikahan itu.

Dan selama sepuluh tahun itu, Liong Si Kwi hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta dengan Kui Hok Boan. Hidup rukun dan damai, menikmati ke¬bahagiaan hidup suami isteri yang se¬belumnya belum pernah mereka rasakan. Dan selama sepuluh tahun itu, terjadi perubahan hebat di tempat itu.

Tempat yang dulu bernama Padang Bangkai dan merupakan tempat yang berbahaya dan menyeramkan, kini telah menjadi sebuah perkampungan besar. Sudah banyak dibuka toko dan pasar di tempat itu. Kui Hok Boan sendiri bersama isteri dan keluarganya telah pindah ke Istana Lembah Naga, dan kini Padang Bangkai hanya tinggal dongengnya saja. Kini telah menjadi dusun-dusun yang makmur karena tanah di daerah itu memang subur.

Kui Hok Boan dan isterinya telah mempunyai dua orang puteri. Dua orang anak perempuan kembar yang kini telah berusia sembilan tahun. Dua orang anak kembar itu diberi nama Lan dan Lin. Sukar sekali bagi orang lain untuk membedakan antara Kui Lan dan Kui Lin. Wajah mereka sama benar. Bahkan ayah bunda mereka sendiri kadang-kadang suka keliru memanggil dan hanya setelah melihat leher sebelah kiri dari seorang di antara mereka saja maka ayah bunda ini tahu mana yang Kui Lan dan mana yang Kui Lin.

Di leher kiri Kui Lan terdapat sebuah titik berwarna merah, tanda semenjak lahir. Selain tanda itu, tidak ada lagi tanda lahiriah yang dapat mem¬bedakan antara dua orang anak kembar itu. Segala-galanya sama dari ujung kaki sampai ke ujung rambut!

Akan tetapi kalau dua orang anak itu berbicara atau bergerak, terdapat perbedaan antara mereka. Sejak kecil, Kui Lan atau yang biasa dipanggil Lan Lan selalu cerewet dan nakal, sedangkan Lin Lin lebih pendiam. Lan Lan agak bandel dan pem¬berani, sebaliknya Lin Lin agak penakut dan cengeng. Akan tetapi kalau keduanya duduk diam dan Lan Lan tidak memperilhatkan tanda titik merah di leher kirinya biar ayah bundanya sendiripun tidak akan dapat mengenal dan membeda¬kan mereka.

Selain Lan Lan dan Lin Lin, di dalam Istana Lembah Naga yang menjadi tempat tinggal sasterawan Kui Hok Boan dan isterinya itu, terdapat pula dua orang anak laki-laki yang sebaya, berusia kurang lebih dua belas tahun. Mereka ini adalah keponakan-keponakan dari Kui Hok Boan, yang oleh sasterawan itu diambil dari selatan untuk menjadi teman dua orang anak kembarnya.

Yang seorang bersikap gagah dan berwajah tampan dan angkuh, bernama Kwan Siong Bu. Anak ini memang tampan dan biarpun usianya baru dua belas tahun, namun dalam segala hal dia meniru pamannya sehingga seperti juga pamannya, dia selalu berpakaian bersih dan rapi, rambutnya di¬sisir rapi pula, muka, leher dan tangan-nya tidak pernah kotor. Wajahnya tampan dan sikapnya halus meniru pamannya, sikap seorang kongcu hartawan, dan wajah yang tampan itu membayangkan keangkuhan, keangkuhan yang timbul dari kesadaran bahwa dia adalah keponakan penghuni Istana Lembah Naga yang disegani, kaya raya dan lihai ilmu silatnya.






Sedangkan anak ke dua sungguh jauh bedanya dengan Kwan Siong Bu. Anak ini juga keponakan dari Kui Hok Boan, akan tetapi biarpun wajahnya juga tidak buruk, bahkan boleh dibilang tampan, namun wajahnya bulat dengan sepasang pipi yang gendut, matanya lebar penuh kejujuran, mulutnya selalu menyeringai lucu, tersenyum bukan untuk melucu, akan tetapi memang wajahnya mempunyai garis-garis yang lucu. Tubuhnya juga kegemuk-gemukan sehingga cocok benar dengan wajahnya yang bulat dan bundar itu. Anak ini bernama Tee Beng Sin, seorang anak yang tidak bisa membohong dan terlalu jujur sehingga menyenangkan hati siapapun juga yang berhadapan dengan dia.

Sejak berusia lima tahun, Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin dibawa oleh paman mereka ke Istana Lembah Naga, menjadi teman bermain Lan Lan dan Lin Lin. Karena suaminya amat mencinta dua orang keponakan itu, dan karena dia sendiripun tidak mempunyai anak laki-laki dari suaminya, maka Si Kwi juga menyayang mereka.

Tentu saja Si Kwi sama sekali tidak pernah menduga bahwa kedua anak laki-laki itu sebetulnya sama sekali bukan keponakan dari Kui Hok Boan, melainkan anak-anak kandungnya sendiri! Seperti diketahui, Kui Hok Boan di waktu mudanya adalah seorang petualang asmara, seorang yang gila perempuan dan entah sudah berapa ratus orang wanita yang dirayunya dan dijatuhkannya, menjadi kekasihnya. Baik wanita itu sudah bersuami, janda maupun perawan, jarang ada yang dapat bertahan terhadap rayuan petualang asmara ini. Dan tidak dapat dihindarkan lagi, diantara wanita-wanita yang telah dijatuhkannya itu, ada pula yang mengandung dan melahirkan anak keturunannya!

Kwan Siok Bu adalah anak keturunannya sendiri dari seorang janda bernama Kwan Sian Li, dan Tee Beng Sin adalah anak keturunannya dari seorang gadis yatim piatu bernama Tee Cui Hwa yang kini telah menjadi seorang nikouw.

Tentu saja Kui Hok Boan tidak berani meng¬akui mereka sebagai putera-puteranya sendiri, maka dia memakai she dari ibu anak masing-masing ketika dia mengajak Siong Bu dan Beng Sin ke Lembah Naga. Dan bagaimanakah dengan keadaan Sin Liong? Anak dari Si Kwi yang semenjak lahirnya dipelihara oleh monyet betina? Kini Sin Liong sudah besar pula, sudah berusia kurang lebih dua belas tahun. Tubuhnya tegap dan kuat karena anak ini semenjak kecil sering kali ber¬gaul dengan monyet-monyet, berloncatan dari pohon ke pohon.

Ketika anak itu sudah berusia lima tahun, Kui Hok Boan mendesak kepada isterinya agar Sin Liong tidak lagi diperkenankan untuk hidup liar di hutan-hutan bersama para monyet.

“Anak itu bukan monyet, melainkan manusia,” kata sasterawan ini. “Dan dia adalah anak angkat kita, maka sudah sepatutnya dididik menjadi calon manusia yang baik. Setidaknya, dia harus diajar baca tulis agar kelak menjadi manusia yang berguna.”

Si Kwi yang masih merasa yakin bahwa anak itu adalah anak kandungnya, melihat betapa wajah anak itu mirip dengan pendekar sakti Cia Bun Houw, tidak membantah. Memang dia setuju dengan pendapat suaminya. Akan tetapi, melihat betapa suaminya amat mencintanya, amat baik terhadap dirinya dan dia menemukan kebahagiaan di samping suaminya dan dua orang anak kembarnya, Si Kwi sama sekali tidak berani membayangkan kepada suaminya bahwa Sin Liong adalah puteranya sendiri!

Maka, biarpun dalam hatinya dia kadang-kadang merasa kasihan, rindu dan prihatin melihat putera kandungnya ini, namun pada lahirnya dia tidak pernah memperlihatkan sesuatu yang melebihi sikap seorang ibu angkat!

Sin Liong amat taat kepada ibu angkatnya. Maka ketika Si Kwi melarang dia berkeliaran di hutan lagi, dia menurut biarpun merasa berduka. Hanya kalau semua orang sudah tidur saja, anak berusia lima enam tahun itu masih suka keluar dari kamarnya untuk menemani para monyet itu bergembira di bawah sinar bulan.

Dan diapun tidak pernah menolak ketika Kui Hok Boan memberi dia pekerjaan yaitu membersihkan rumah, menyapu halaman, dan menggembalakan sapi dan kuda. Bahkan dia sayang sekali kepada kuda dan sapi yang dipelihara oleh ayah angkatnya sehingga pekerjaan¬nya amat memuaskan.

Akan tetapi, karena sudah menjadi kebiasaan, dia tidak pernah dapat menjaga bersih pakai¬annya sehingga pakaiannya selalu kotor. Akhirnya, demi untuk menanamkan kerajinan kepada anak itu, Kui Hok Boan menyuruh isterinya mengajar anak itu menjahit dan menambal sendiri pakaian¬nya yang mudah robek karena dia tidak pernah menjaganya.

Demikianlah, setelah berusia dua belas tahun, Sin Liong be¬kerja di istana itu sebagai seorang jongos atau pelayan, berpakaian cukup bersih akan tetapi ada tambal-tambalannya, dan mempelajari membaca dan menulis huruf di bawah pimpinan Kui Hok Boan sendiri, bersama-sama dengan Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu dan Beng Sin.

Biarpun di waktu sama-sama mempelajari ilmu bun (sastera) ini dia duduk di sudut terpisah, namun ternyata bahwa Sin Liong amat cerdas dan dapat lebih cepat menghafal dibandingkan dengan empat orang anak yang lain itu. Juga dia telah memiliki bakat menulis baik, coretan-coretan tangannya ketika menulis huruf amat kuat dan mengandung keindahan dan gaya tersendiri yang mengagumkan. Dia pandai pula menggambar dan suka membaca kitab-kitab kuno.

Anak ini berwatak sederhana, pendiam dan suka menyendiri. Wajahnya tampan dan matanya mem¬punyai sinar yang tajam. Dia lebih ba¬nyak mendengarkan daripada bicara, dan memiliki kekerasan hati yang amat luar biasa. Anak ini tidak pernah menangis! Atau setidaknya, tidak pernah kelihatan menangis oleh orang lain. Agaknya, dia mempunyai pantangan menangis di depan orang lain!

Dalam segala hal kecuali pakaian dan pelajaran ilmu silat, Kui Hok Boan tidak membedakan sikapnya terhadap Sin Liong dengan sikapnya terhadap dua orang “keponakannya” itu. Dia selalu bersikap baik dan manis terhadap anak angkatnya ini. Hal ini kadang-kadang membuat Si Kwi merasa tidak puas.

Dia mengerti bahwa dalam hal pakaian, memang Sin Liong yang sembarangan itu patut memelihara pakaiannya sendiri, dan memang tidak mengapalah memakai pakaian sederhana karena seingatnya, ayah kandung anak ini, pendekar sakti Cia Bun Houw juga seorang pria berjiwa sederhana. Akan tetapi dia tidak setuju kalau Sin Liong tidak diberi latihan ilmu silat. Anak pendekar sakti Cia Bun Houw dan tidak belajar ilmu silat!

Akan tetapi, suaminya membantah,
“Isteriku, kita harus mencegah Sin Liong kelak menjadi seorang manusia yang mudah menyeleweng ke dalam kejahatan. Ingatlah, anak itu sejak kecil dipelihara monyet dan sampai sekarangpun dia masih memiliki watak aneh, penuh rahasia dan pendiam sekali, kadang-kadang seperti masih mengandung watak atau sifat liar. Bayangkan saja, anak sebesar itu sejak kecil belum pernah menangis! Aku khawatir sekali, kalau dia diberi pelajaran ilmu silat dan sudah menguasai ilmu itu, kelak akan muncul sifat liarnya dan dia tentu sukar untuk dikendalikan lagi. Lebih baik jejali dia dengan pelajaran bun dan kebudayaan, karena pelajaran ini tentu akan dapat menahan keliarannya. Dan aku melihat dia amat tekun dan berbakat mempelajari sastera. Kalau kelak dia sudah pandai dan menempuh ujian di kota raja sampai berhasil, alangkah baiknya.”

Seperti biasa, Si Kwi tidak berani membantah lagi. Dia amat tunduk kepada suaminya yang telah mengembalikan kebahagiaan dalam kehidupannya itu. Dia tidak pernah dapat melupakan kebaikan suaminya, tiada habisnya dia berterima kasih kepada suaminya yang telah menuntunnya kembali ke dalam kehidupan yang berbahagia, setelah dia hampir kehilangan harapan untuk memperoleh kebahagiaan di dalam istana kuno yang sunyi itu. Apalagi, dia tahu bahwa suaminya amat baik hati dan menyayangi Sin Liong.

Dan memang sesungguhnyalah. Sama sekali tidak ada rasa benci dalam hati Kui Hok Boan terhadap anak itu. Dia menganggap anak itu sebagai anak angkat isterinya, dan diapun merasa kasihan kepada anak yang aneh sekali riwayatnya ini, anak yang tidak mengenal siapa ayah bundanya, anak yang ditemukan isterinya dalam rawatan monyet-monyet.

Dia malah sudah mencoba untuk menyelidiki asal usul anak ini dengan bertanya-tanya kepada para penduduk dusun, namun tidak pernah dapat menemukan jejak orang tua anak itu. Maka dia juga tidak keberatan memberikan she Kui kepada anak yang tidak mempunyai nama keturunan itu. Hanya dia menekankan agar diketahui oleh Sin Liong bahwa she Kui hanyalah she “pinjaman” saja.

“Sin Liong, engkau tahu bahwa biarpun engkau memakai nama Kui Sin Liong, namun shemu itu bukanlah shemu yang sesungguhnya. Oleh karena itu, belajarlah yang tekun agar kelak engkau dapat memperoleh kedudukan yang tinggi dan engkau mendapat kesempatan untuk menyelidiki siapa orang tuamu yang sesungguhnya, atau kalau engkau memperoleh kedudukan, engkau tentu akan dihadiahi she oleh kaisar.”

Memang pada waktu itu terdapat kebiasaan aneh bahwa orang yang berjasa dan membuat pahala, dihadiahi she yang terhormat oleh kaisar! Sejak kecil sudah tertanam dalam hati Sin Liong bahwa dia bukanlah anak dari ayah dan ibu angkatnya. Dia tahu diri dan tidak banyak minta. Hanya satu hal yang membuat hati Sin Liong kadang-kadang merasa tidak senang, yaitu bahwa dia tidak pernah diajar ilmu silat! Hanya satu kali saja dia pernah mengajukan permintaan dan pertanyaan ini kepada Hok Boan.

“Gihu (ayah angkat), kenapa saya tidak diberi pelajaran ilmu silat seperti yang gihu ajarkan kepada kedua siocia dan kedua kongcu?”

Sin Liong menyebut siocia (nona) kepada Lan Lan dan Lin Lin, sedangkan kepada dua orang “keponakan” dari Kui Hok Boan itu dia menyebut kongcu (tuan muda). Hal ini adalah atas perintah dari Hok Boan dan ditaati oleh Sin Liong, juga tidak dibantah oleh Si Kwi. Hok Boan, betapapun juga menganggap bahwa Sin Liong bukanlah darah dagingnya, juga bukan keluarga dari isterinya. Sin Liong adalah seorang anak berdarah lain, maka sudah semestinya menyebut nona dan tuan muda kepada anak-anak kandungnya!

“Sin Liong, ilmu silat tidaklah tepat untuk kau pelajari. Bakatmu lebih baik dalam ilmu bun saja, maka kau tekunlah menghafal kitab dan memperdalam pelajaranmu dalam kesusasteraan agar kelak engkau dapat menjadi seorang sasterawan yang berkedudukan tinggi.”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: