***

***

Ads

Sabtu, 11 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 028

Sin Liong menundukkan mukanya.
“Aku tidak belajar, hanya melihat dan ingat gerakannya.”

“Dia benar, Bu-ko. Dia hanya me¬ngenal jurus yang pernah dilihatnya saja, akan tetapi gerakannya hebat. Dia bisa mainkan jurus Heng-pai-hud lebih baik daripada engkau, Bu-koko!”

Beng Sin berkata lagi dengan jujur, tidak tahu betapa kata-katanya itu membuat hati Siong Bu menjadi makin panas dan iri.

“Hemmm, golongan monyet mana bisa bermain silat?” dia mengejek.

“Ahh, jangan begitu, Bu-ko. Menurut penuturan paman, bukankah banyak ilmu silat diambil dari gerakan-gerakan binatang, seperti harimau, bangau, monyet dan lain-lain?” bantah Beng Sin. “Ingat jurus-jurus seperti Hek-wan-hian-ko (Lutung Hitam Memberi Buah), Sin-kauw-pai-bwe (Kera Sakti Menggerakkan Ekor) dan lain-lain.”

“Hemm, jurus-jurus itu ciptaan manusia. Mana ada anak monyet bisa bersilat?” kembali Siong Bu mengejek.

“Bu-koko, kenapa kau menghina Sin Liong? Dia tidak mempunyai kesalahan apa-apa,” tiba-tiba Lin Lin mencela Siong Bu.

“Benar, kau sengaja hendak memakinya anak monyet. Kau terlalu, Bu-ko, dan kau mengganggu kami yang sedang bergembira di sini!” Lan Lan juga membela Sin Liong.

Melihat dua orang anak perempuan itu membela Sin Liong, makin panaslah rasa hati Siong Bu. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang cerdik. Dia tidak mau mendesak lagi karena biarpun dia dapat memperolok Sin Liong, dia tidak mau kalau untuk itu dia menimbulkan rasa tidak suka di hati Lan Lan dan Lin Lin.

“Aku sebenarnya tidak menghina, hanya tidak percaya. Akan tetapi kalau Sin Liong mau berlatih silat bersamaku, baru aku percaya,” katanya sambil meng¬hampiri Sin Liong.

Beng Sin berseru girang.
“Bagus! Itu bagus sekali! Sin Liong, hayo layani Bu-¬ko berlatih. Dia baru akan percaya setelah melihat sendiri dan engkaupun akan memperoleh kemajuan kalau mau berlatih dengan dia.”

Sin Liong tentu saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan. Dia memang ingin sekali belajar silat, akan tetapi dia tidak berani belajar dari ayah angkatnya yang sudah melarangnya. Kini dia meragu dan memandang kepada Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang anak perempuan itupun mengangguk, dengan gembira. Mereka suka sekali belajar silat, dan melihat gerakan Sin Liong tadi, mereka mengira bahwa tentu Sin Liong sudah pandai pula, maka tiada buruknya untuk berlatih bersama Siong Bu.

Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Tadinya dia ingin meninggal¬kan mereka pergi, akan tetapi melihat Siong Bu berlagak menantang, hatinya menjadi panas. Dia menatap wajah Siong Bu dan berkata,

“Kwa-kongcu, kau mau mengajarku?”






Siong Bu menyeringai.
“Kata mereka engkau pandai. Kalau engkau lebih pandai, berarti engkaulah yang mengajariku. Mungkin engkau mempunyai jurus-jurus monyet lain yang belum kukenal.”

Ucapan ini tentu saja bermaksud meng¬ejek dan Beng Sin mengerti juga akan ejekan itu. Hati anak gendut ini berpihak kepada Sin Liong karena tidak jarang dia menjadi sasaran kenakalan dan ejekan-ejekan Siong Bu yang lebih tua beberapa bulan dari dia dan merasa lebih menang.

“Sin Liong, apakah kau takut? Aku tahu engkau kuat sekali, dan... hemmm, siapa tahu engkau benar-benar menyimpan jurus-jurus monyet sakti. Hayo, kau layani Bu-ko!” Dia mendesak.

“Benar, kau hadapi dia, Sin Liong!” kata Lan Lan.

“Aku ingin sekali melihatnya!” sam¬bung Lin Lin.

Sin Liong merasa tersudut, apalagi kini Siong Bu sudah menghampirinya dekat, lalu menggunakan jari tangan mendorong dada Sin Liong, dengan lagak angkuh berkata,

“Kalau takut, kau ber¬lutut saja minta ampun tiga kali!”

Marahlah Sin Liong.
“Kwa-kongcu, terhadap setanpun aku tidak takut, apalagi terhadap engkau!”

“Heh-heh, dia memakimu setan, Bu-ko!” kata Beng Sin tertawa keras. “Dia memaki engkau setan!”

Anak nakal ini sengaja mempergunakan kesempatan ini untuk memaki kepada Siong Bu yang sering memakinya tanpa dia berani mem¬balas.

Merahlah wajah Siong Bu.
“Anak monyet! Berani kau!”

Dan tangannya lalu memukul ke arah muka Sin Liong. Sin Liong terkejut, dan dengan gerakan otomatis dia memalingkan mukanya.

“Plakk!” Bukan hidungnya yang kena dijotos, melainkan pipinya. Sin Liong terhuyung ke belakang.

“Eh, kenapa kau memukulku?” tanyanya, matanya terbelalak heran.

“Itu namanya latihan silat, tolol! Habis apa lagi artinya silat kalau bukan saling pukul? Nah, kau jaga ini!” Kembali Siong Bu menyerangnya dengan pukulan yang ditujukan ke arah dada Sin Liong.

Kini Sin Liong sudah siap. Kalau tadi mukanya terkena pukulan adalah karena dia tidak menyangka bahwa “latihan” itu berarti saling pukul! Kini diapun lalu teringat akan gerakan Heng-pai-hud, yaitu dengan tangan miring melakukan tangkisan, maka dia cepat memasang kuda-kuda seperti yang sering dilatihnya, melangkah mundur sambil miringkan tangan ke depan dada, menangkis pukulan itu.

“Desss!”

Karena cara Sin Liong me¬masang kuda-kuda tidak tepat, biarpun gerakannya benar namun dia tidak tahu untuk apa kuda-kuda itu, maka penanam¬an tenaga di kakinya tidak benar dan dia terhuyung oleh pertemuan lengannya dengan lengan lawan, dan sebelum dia tahu harus berbuat apa, tiba-tiba kaki lawan sudah membabatnya dari samping, tepat mengenai belakang lututnya.

“Bresss...!” Tubuh Sin Liong terpelanting roboh.

“Hei, kenapa begitu mudah roboh?” Lan Lan berseru heran.

“Hayo, Sin Liong, jangan mengalah. Serampangan kaki itu mestinya dapat di-hindarkan dengan loncatan, dan kau boleh balas memukul!” Beng Sin berseru.

Sin Liong bangkit berdiri dan pada saat itu Siong Bu sudah menerjang lagi dengan pukulan bertubi-tubi. Sin Liong masih mencoba untuk bergerak dengan jurus-jurus yang pernah dilihat dan dilatihnya, akan tetapi tentu saja gerakan-gerakan itu biarpun amat baik akan tetapi tidak tepat, dipergunakan bukan pada saatnya maka mulailah dia menjadi bulan-bulanan pukulan tangan dan tendangan kaki Siong Bu. Empat kali mukanya menerima pukulan keras sehingga kedua pipinya menjadi biru dan mata kanannya membengkak!

“Bu-koko, jangan memukul sungguh-sungguh!” Lin Lin berseru marah.

“Sin Liong, kenapa kau tidak membalas? Kau boleh membalas! Latihan ini umpamakanlah kau sedang berkelahi! Kalau kau diserang harimau, masa diam saja?” Beng Sin berteriak-teriak gemas melihat Sin Liong dijadikan bulan-bulanan.

Mendengar ucapan “diserang harimau”, seketika bangkitlah kemarahan di hati Sin Liong. Seperti terbayang olehnya pengalamannya di waktu kecil ketika dia hampir mati oleh harimau dan diselamatkan oleh teman-temannya, yaitu para monyet. Kini dia tidak perduli akan latihan ilmu silat, tidak perduli akan jurus-jurus ilmu silat, akan tetapi menggunakan naluri dan tanggapan syarafnya terhadap ancaman dari luar.

Dengan cekatan dia meloncat ke sana-sini, seperti seekor monyet dan dia dapat menghindarkan semua pukulan lawan. Ketika tangan kiri Siong Bu meluncur lewat, dengan cepat sekali dia menangkap tangan itu, memilinnya ke belakang sampai Siong Bu berteriak kesakitan, dan hampir saja dia lupa. Hampir saja Sin Liong menggigit leher lawannya! Akan tetapi dia masih teringat dan segera menggunakan kedua tangannya, mencengkeram pakaian lawan dan mengangkat tubuh Siong Bu ke atas dengan kedua tangan kemudian melemparkannya ke depan.

“Brukkk...!” Debu mengepul ketika tubuh Siong Bu terbanting.

“Hebat...! Kau hebat, Sin Liong...!”

Beng Sin memuji dan bersorak, akan tetapi tiba-tiba Siong Bu yang sudah bangkit itu menerjang lagi dan sebuah tendangan mengenai perut Sin Liong, membuatnya terhuyung.

“Eh, kau curang, Bu-ko. Engkau sudah roboh dan latihan ini sudah berakhir,” kata Beng Sin.

Akan tetapi Siong Bu tidak perduli dan dia menerjang terus, menghujankan pukulan dan tendangan. Akan tetapi, Sin Liong yang tidak bisa silat itu memiliki tubuh yang jauh lebih kuat, mempunyai daya tahan yang kuat, kegesitan sewajarnya yang didapatkan karena pergaulannya dengan monyet-monyet. Dia dapat meng¬elak ke kanan kiri dan satu dua kali pukulan yang mengenai tubuhnya tidak dirasakannya. Betapapun juga, mukanya sudah terasa panas dan nyeri karena pukulan-pukulan yang tadi, dan kemarah¬annya memuncak ketika Siong Bu sambil menyerang memaki-makinya.

“Anak monyet bocah hina!” Dia mengeluarkan suara menggereng seperti binatang dan tiba-tiba dia maju menubruk.

“Bukk!”

Pukulan yang mengenai lehernya tidak dirasakannya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram pundak Siong Bu. Anak ini biarpun sudah mem¬pelajari ilmu silat, akan tetapi kepandaiannya masih belum matang, maka ketika merasa pundaknya dicengkeram dan sakit, diapun Ialu mencengkeram dan terjadilah pergulatan yang tidak memakai jurus ilmu silat lagi! Mereka saling jambak, saling cengkeram dan saling cekik!

Sin Liong yang tadinya tidak ingin berkelahi sungguh-sungguh, ketika di¬jambak rambutnya, merasa nyeri sekali, maka dia lalu membuka mulut dan meng¬gigit daun telinga Siong Bu! Begitu keras gigitannya sehingga ujung daun telinga Siong Bu robek dan anak ini berteriak-teriak kesakitan!

“Heii, berhenti kalian!” terdengar bentakan keras dan tiba-tiba dua buah tangan yang kuat telah menarik tubuh Siong Bu dan Sin Liong ke kanan kiri dan mendorong mereka terpisah.

Siong Bu terisak menangis sambil memegangi telinga kanannya yang berdarah sambil berlutut di depan pamannya, sedangkan Sin Liong berdiri dengan kepala tunduk, mukanya bengkak-bengkak dan biru-biru, akan tetapi sedikitpun tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita kesakitan atau menangis!

Kui Hok Boan berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak marah. Tangannya sudah meraih sebatang ranting kayu dan dia menoleh kepada Siong Bu.

“Kenapa telingamu?”

“Di... digigit... monyet cilik itu... aduhhhh...!”

Siong Bu mengeluh ketika pamannya memeriksa telinga itu. Ternyata hanya ujungnya yang robek bekas gigitan.

“Bocah liar! Berani kau berkelahi dengan kong-cu dan menggigit telinganya? Kalau tidak dihajar, engkau tentu akan menjadi monyet liar!” Kui Hok Boan lalu menghampiri Sin Liong yang masih berdiri. “Hayo berlutut kau!”

Sin Liong berlutut dan sasterawan yang marah itu lalu mengayun ranting itu yang meledak-ledak dan melecuti tubuh anak itu. Kulit leher dan punggung Sin Liong pecah-pecah dan darah mulai mengalir keluar ketika ranting itu menyambar-nyambar ganas. Akan tetapi, anak itu hanya menunduk dan memejamkan matanya, menahan rasa nyeri dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara mengeluh. Juga tidak nampak dia menangis.

“Prat-prat-prat-prat!”

Ranting itu menari-nari dan setelah melihat baju itu berdarah, baru Hok Boan menghentikan sabetannya. Dia terengah-engah dan kemarahannya makin memuncak melihat anak itu sama sekali tidak mengeluh atau menangis. Hal ini diterimanya sebagai tantangan!

“Kau bandel, ya? Kau berkulit tebal, ya? Ingin kuhajar sampai mampus?” teriak Hok Boan yang makin marah mengingat bahwa puteranya digigit daun telinganya sampai pecah dan melihat Sin Liong sama sekali tidak menangis atau mengeluh.

“Ayah... harap ampunkan dia, ayah...!”

Tiba-tiba terdengar suara Lin Lin meratap dan terdengar isak terkandung dalam suara itu. Anak ini tidak tega dan merasa kasihan melihat keadaan Sin Liong.

Hok Boan tidak jadi mencambuki lagi dan menoleh kepada Beng Sin. “Beng Sin, hayo katakan apa yang terjadi!” bentaknya.

Beng Sin berlutut dengan tubuh agak menggigil. “Mereka... mereka berkelahi... dan...” Dia melirik ke arah Siong Bu, melihat pandang mata kakaknya itu sehingga dia tidak berani untuk berterus terang. “Dan... paman lalu datang.” Dia menutup mulut dan menunduk.

“Sin Liong, engkau tak tahu diri! Berani engkau berkelahi dengan seorang dari mereka? Apakah kerjamu di sini hanya untuk menentang dan berkelahi? Hayo jawab!” Hok Boan membentak. Akan tetapi Sin Liong tetap menunduk, tidak mau menjawab.

“Kau sungguh bandel! Apa ingin dihajar lagi?”

“Ayah, Sin Liong tidak bersalah!” tiba-tiba Lan Lan berkata dengan suara lantang. Hok Boan memandang puterinya itu, dan Lan Lan melanjutkan kata-katanya. “Mula-mula kami bertiga disini melihat Sin Liong berlatih silat seorang diri, dia pandai mainkan jurus Heng-pai-hud...”

“Ehhh...?” Hok Boan terkejut bukan main.

“Dia menonton kami berlatih, ayah, lalu dia meniru-niru gerakan kami. Akan tetapi gerakannya baik sekali dan selagi kami bergembira, datang Bu-koko yang menantang Sin Liong.”

“Dan Bu-koko memaki Sin Liong monyet,” sambung Lin Lin.

“Bu-koko menantang untuk berlatih silat, mereka berkelahi sungguh-sungguh,” sambung pula Lan Lan. “Akan tetapi Sin Liong didesak maka dia melawan, kalau tidak Bu-koko mendesak dan memaksa, tentu dia tidak akan balas memukul dan menggigit.”

Kui Hok Boan mengerutkan alisnya. Soal perkelahian antara anak kecil tidak begitu aneh baginya, akan tetapi men¬dengar Sin Liong pandai bermain jurus Heng-pai-hud, benar-benar mengejutkan hatinya. Dan kenyataan yang mengejut¬kan hatinya adalah bahwa Siong Bu yang sudah dilatihnya selama lima tahun ternyata kini tidak mampu mengalahkan Sin Liong biarpun muka Sin Liong matang biru dan kalau dia tidak datang, bukan tidak mungkin Siong Bu akan kalah!

“Sin Liong, benarkah engkau telah menonton jurus-jurus itu dan menirunya?” bentaknya kepada Sin Liong.

“Benar, gi-hu.”

“Mulai sekarang, engkau tidak boleh lagi menonton dan meniru-niru. Mengerti?”

“Baik, gi-hu.”

“Mulai malam nanti, engkau harus menuliskan kalimat ‘Saya tidak boleh melawan terhadap Kwa-kongcu dan Tee-kongcu’ sampai seribu kali di atas kertas!”

“Ayah, Sin Liong tidak bersalah!” Lan Lan dan Lin Lin berkata hampir berbareng.

“Diam kalian! Hayo semua pulang! Dan kau menjaga sapi-sapi itu baik-baik!” kata Hok Boan dengan bengis.

Empat orang anak itu bangkit dan mengikuti Kui Hok Boan meninggalkan Sin Liong yang masih berlutut di situ. Setelah semua orang pergi, barulah Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap darah dan keringat dari lehernya, dan cepat-cepat menghapus dua titik air mata dengan kepalan tangannya.

Malam itu, ketika semua orang belum tidur, Sin Liong dengan tekun mulai menuliskan kalimat hukuman itu di atas kertas. Akan tetapi setelah semua orang tidur, dia pergi menemui monyet-monyet, jauh tinggi di atas pohon dan monyet betina tua itu menjilati luka-luka bekas cambukan di leher, lengan dan punggungnya. Akhirnya Sin Liong tertidur di atas pohon dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah kembali ke dalam kamarnya.

**** 028 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: