***

***

Ads

Sabtu, 11 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 029

Semenjak terjadi peristiwa itu, sikap Siong Bu makin angkuh dan menghina Sin Liong. Siong Bu masih merasa penasaran dan sakit hati karena daun telinganya digigit. Biarpun kini lukanya telah sembuh, namun ujung telinganya masih berbekas, dan ini mengingatkan dia betapa dia hampir kalah oleh “anak monyet” itu! Kekalahan inilah yang lebih menyakitkan daripada luka di daun telinganya.

Akan tetapi kini Sin Liong tidak pernah mau melayaninya biarpun dia sudah sering kali menghinanya dan memancing suatu perkelahian lagi. Karena sikap Sin Liong yang mengalah ini, maka hal itu me¬nimbulkan perasaan tidak senang di hati Beng Sin yang menganggap bahwa Sin Liong pengecut dan penakut. Juga Lan Lan dan Lin Lin merasa tidak senang. Rasa kagumnya terhadap Sin Liong yang berani melawan Siong Bu bahkan hampir menang, segera lenyap karena merekapun menganggap bahwa Sin Liong penakut.

Padahal, bukan demikian sesungguhnya. Ada sebabnya mengapa Sin Liong tidak lagi mau melayani penghinaan Siong Bu yang merasa sakit hati kepadanya itu. Bukan karena takut dihajar lagi oleh ayah angkatnya.

Pada keesokan harinya setelah perkelahian itu, dia dipanggil oleh Si Kwi. Dalam pertemuan empat mata ini, Si Kwi menerimanya dengan alis berkerut dan memandang wajahnya dengan penuh perhatian.

“Sin Liong, aku mendengar bahwa kau berkelahi dengan Siong Bu?” tanya nyo¬nya ini dengan suara halus.

Semalam dia diceritakan oleh suaminya betapa Sin Liong mencuri belajar silat dan berani berkelahi melawan Siong Bu dan dalam keliarannya menggigit telinga Siong Bu hampir putus!

Sin Liong menunduk dan mengangguk. Satu-satunya orang yang dipandang dan dihormati serta dicintanya di dalam rumah itu hanyalah ibu angkatnya ini. Dia tidak ingin membuat ibu angkatnya ikut berduka atau marah kepadanya.

“Dan engkau telah mencuri dan mem¬pelajari ilmu silat mereka?”

“Ibu... saya... saya hanya menonton dan meniru-niru saja.”

“Hemm, yang sudah lalu biarlah. Akan tetapi mulai sekarang jangan kau ikut mempelajari ilmu silat mereka, dan terutama sekali jangan engkau berkelahi dengan siapapun.”

Sin Liong menundukkan mukanya, wajahnya kelihatan berduka sekali, tetapi dia tidak menjawab. Melihat wajah itu, teringatlah Si Kwi kepada Cia Bun Houw dan dia menarik napas panjang. Dia sendiri merasa heran mengapa anak¬nya ini, yang sejak kecil tidak pernah belajar ilmu silat, dapat bersilat hanya dengan menonton saja, dan yang lebih mengejutkan lagi, dapat melawan dan menandingi Siong Bu yang sudah memiliki kepandaian lumayan dan paling kuat di antara empat orang anak yang dipimpin suaminya!

“Sin Liong, mengapa kau ingin sekali belajar silat?” Tiba-tiba dia bertanya, pertanyaan yang digerakkan karena ter¬ingat akan Cia Bun Bouw.

Tiba-tiba anak itu mengangkat muka¬nya dan Si Kwi merasa jantungnya ter¬getar ketika melihat sepasang mata yang mencorong dan tajam sekali itu!

“Ibu, katakan... siapa yang membuntungi tangan kiri ibu?”






Wajah Si Kwi seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak.
“Ahhhh...!”

“Saya ingin membalasnya, saya ingin memotong dan membuntungi kedua ta¬ngannya! Siapa dia, ibu?”

“Ohhh... Liong-ji...!”

Si Kwi merintih dan tak dapat menahan air matanya. Dia cepat menggunakan saputangan untuk menyusuti air mata yang mengalir turun di atas kedua pipinya itu.

Melihat ini, Sin Liong cepat berlutut di depan kaki ibu angkatnya.
“Ibu, ampunkan saya... sakit sekali hati saya melihat ada orang berbuat demikian keji terhadap ibu. Saya ingin belajar silat karena ingin membalasnya!”

Si Kwi menggunakan tangan kanannya mengelus rambut kepala anak itu. Sejenak tangannya membelai rambut itu dan jantungnya seperti diremas-remas. Anak ini adalah anaknya! Tidak salah lagi! Anak Cia Bun Houw!

“Jangan salah mengerti, anak yang baik. Tangan kiriku ini bukan dibuntungi oleh musuh, melainkan oleh mendiang guruku sendiri.”

“Ahh...!” Sin Liong memandang wajah ibu angkatnya dengan mata terbelalak. “Betapa kejamnya! Mengapa ibu?”

“Itulah kalau orang belajar silat, anakku. Guru-guru yang mengajar ilmu silat memang biasanya keras. lbumu ini telah melakukan kesalahan maka hukum¬annya adalah potong tangan kiri! Oleh karena itu, jangan kau belajar ilmu silat, tidak ada gunanya, anakku. Ayah angkat¬mu masih lunak ketika menghajarmu dengan cambukan. Maka, kalau engkau suka mendengarkan kata-kata ibumu, mulai sekarang, jangan engkau layani siapapun untuk berkelahi. Belajarlah dengan tekun, anakku, agar kelak engkau menjadi seorang manusia yang baik dan berguna.”

Sin Liong kecewa sekali, akan tetapi dia amat mencinta ibunya ini yang sejak dia kecil amat baik kepadanya, maka dia mengangguk. Lalu bangkit dan meninggal¬kan kamar ibunya. Sampai di pintu, dia menengok.

“Ibu, apakah sampai sekarang ibu belum juga mendengar siapa adanya ayah dan ibuku yang sesungguhnya?”

“Ahh...!”

Si Kwi merasa ditampar lalu dicekik lehernya. Dia hanya memandang dengan wajah pucat. Entah sudah berapa kali anak ini menanyakan hal itu, dan selalu dijawabnya bahwa dia tidak tahu, bahwa dia akan berusaha untuk menyelidikinya. Dan sekarang anak itu kembali menanyakan hal itu. Dia tidak mampu menjawab, hanya menggeleng kepalanya. Sin Liong menunduk, memutar tubuh dan melangkah pergi.

“Liong-ji...!”

Sin Liong berhenti dan ibunya telah berada dekatnya. Dengan sentuhan mesra Si Kwi membuka baju anaknya, melihat jalur-jalur merah di punggungnya. Dia berkata,

“Mari kuobati luka-lukamu akibat cambukan itu dan... heii, sudah kering semua...”

“Tidak perlu, ibu. Semalam luka-luka itu telah dijilati oleh monyet betina tua dan sudah sembuh.” Setelah berkata demikian, Sin Liong melangkah pergi, menghilang di dalam gelap.

Nah, itulah sebabnya mengapa Sin Liong tidak pernah mau melayani godaan dan ejekan Siong Bu. Dia selalu teringat akan pesan ibu angkatnya dan dia tidak ingin menyusahkan hati ibu angkatnya. Maka ditelannya semua hinaan dan godaan, dan dia sama sekali tidak pernah mau melayani.

Akan tetapi, sesungguhnya Sin Liong menderita batin yang sukar dapat dipertahankannya. Pada dasarnya dia memiliki watak keras dan tidak takut terhadap siapapun juga, maka ejekan, hinaan dan tantangan Siong Bu yang dilontarkan kepadanya dan tidak dijawabnya karena dia teringat akan ibu angkatnya, membuat hatinya sakit sekali.

Akhirnya dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi, apa pula ketika melihat betapa Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin mulai tidak suka kepadanya dan menganggap sebagai seorang anak yang pengecut dan penakut. Dia tahu bahwa tiga orang ini tadinya berfihak kepadanya dan tidak suka melihat dia dihina dan ditantang, mereka menghendaki agar dia melawan. Akan tetapi, bukan dia takut kepada Siong Bu, bukan pula takut akan hukuman dari ayah angkatnya, melainkan dia tidak ingin menyusahkan hati ibu angkatnya, tidak ingin melanggar pesan ibu angkatnya.

Akan tetapi kekerasan hatinya membuat dia makin tidak kuat bertahan, apalagi setelah dia merasa kesepian karena anak-anak yang lain mulai menjauhkan diri darinya. Maka pada suatu malam, diam-diam dia meninggalkan kamarnya, pergi menemui teman-temannya, yaitu para monyet besar dan bersama mereka dia memasuki hutan lebat dan tidak mau kembali lagi ke Istana Lembah Naga!

Pada keesokan harinya, semua orang di Istana Lembah Naga kehilangan. Si Kwi menjadi bingung sekali.

“Biarlah,” kata suaminya. “Sudah kuketahui bahwa dia terlalu banyak terpengaruh oleh monyet-monyet itu sehingga dia tidak betah lagi tinggal bercampur dengan manusia biasa. Kita sudah terlalu baik kepadanya, dan kalau kita lebih baik lagi, aku khawatir dia akan menjadi manja dan rusak. Ingat akan sifat-sifatnya yang liar.”

Akan tetapi tentu saja Kui Hok Boan tidak tahu bahwa hati seorang ibu kandung mana mungkin bisa menegakan anaknya begitu saja? Si Kwi juga tidak berani membuka rahasianya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat mengerahkan tenaga para anak buah suaminya yang banyak jumlahnya. Akan tetapi dia tahu akan kekerasan hati dan keanehan watak Sin Liong. Kalau hanya mengandalkan para anak buah itu untuk mencari dan membujuknya sudah pasti anak itu tidak akan sudi pulang! Maka dia lalu diam-diam mencari sendiri dan dia tahu kemana dia harus mencari.

Si Kwi membawa seperangkat pakaian dan memasuki hutan. Tepat dugaannya, lewat tengah hari dia tiba di tengah hutan dan dengan hati hancur dia melihat anaknya itu berloncatan dari dahan ke dahan di atas pohon-pohon yang amat besar dan tinggi bersama beberapa ekor monyet besar. Yang mengharukan hatinya adalah melihat anak laki-laki itu sama sekali telanjang bulat!

Agaknya Sin Liong telah membuang semua pakaiannya dan bertelanjang seperti teman-temannya. Dan dari tempat dia mengintai, Si Kwi melihat betapa wajah anak itu menjadi tampan berseri-seri, penuh keberuntungan dan kegembiraan, bebas dari kungkungan manusia dengan segala peraturannya, iri hatinya, kebenciannya dan permusuhannya!

Melihat wajah yang tampan gembira itu, hampir saja Si Kwi pergi lagi. Tidak tega dia mengganggu kebahagiaan anak itu! Akan tetapi dia lalu teringat bahwa anaknya itu adalah seorang manusia. Dia akan merasa berdosa, berdosa terhadap Sin Liong, terhadap diri sendiri dan terhadap Cia Bun Houw kalau dia membiarkan saja anaknya menjadi monyet!

“Liong-ji...!” Dia meratap, memanggil dan air matanya bercucuran.

“Grrrr... grrrr...!”

Monyet-monyet itu menggereng dan Sin Liong juga mengeluarkan suara gerengan seperti monyet. Akan tetapi ketika dia melihat ibu angkatnya di bawah pohon, dia terkejut sekali. Cepat dia meloncat ke dahan lain dan hendak melarikan diri.

“Sin Liong... kau... kau... tidak kasihankah kepada ibumu...? Sin Liong, anakku...!”

Mendengar seruan dan ratapan yang dikeluarkan dengan isak tangis ini, Sin Liong berhenti, termenung, kemudian dia berloncatan turun.

“Ibu...!”

Dia meloncat ke atas tanah lalu berlutut di depan kaki ibunya. Sudah dua hari dua malam dia tinggal bersama monyet-monyet itu, dan kini ibunya menyusulnya. Kalau saja ibunya tidak menangis dan keadaannya demikian menyedihkan, tentu dia tadi sudah melarikan diri.

“Liong-ji... mengapa kau meninggalkan ibumu? Apakah kau tidak suka lagi kepada ibumu, anakku?”

“Ibu...” Sin Liong merasa lehernya seperti dicekik. Dua hari dua malam tidak bicara, hanya mengeluarkan suara seperti monyet-monyet itu, membuat lidahnya kaku dan sukar baginya untuk bicara. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia berkata, “Aku tidak meninggalkan ibu, aku meninggalkan mereka itu!” Suaranya mengandung kemarahan.

“Akan tetapi, meninggalkan mereka berarti meninggalkan ibu, anakku. Mari¬lah kita kembali, kau tidak boleh meninggalkan aku.”

Sin Liong mengangkat mukanya, matanya mengeluarkan sinar berapi. Kemudian dia menggeleng kepalanya.

“Tidak, ibu! Tidak, aku tidak mau kembali kesana untuk menerima hinaan mereka!”

Si Kwi merangkul dan memeluk anak¬nya, mengelus kepala anaknya.
“Salahku, Liong-ji, salahku. Sekarang aku berjanji bahwa tidak akan ada orang yang berani mengganggumu lagi. Aku akan melarang mereka! Ya, aku akan melindungi anakku!”

“Akan tetapi... mereka pandai silat dan aku tidak boleh...”

“Aku akan melatihmu, Liong-ji. Aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu.”

“Benarkah?” Sin Liong girang sekali. “Menurut Lan-siocia dan Lin-siocia...”

“Mulai sekarang kau boleh menyebut mereka moi-moi, jangan menyebut siocia!”

“Ahhh...! Menurut mereka, kepandaian ibu tidak kalah oleh gi-hu...”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: