***

***

Ads

Senin, 13 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 031

“Engkau hebat, Sin Liong!” kata Kui Lin.

“Kembang itu indah sekali untuk hias¬an rambut!” kata Kui Lan.

“Mari kupasangkan di rambut kalian, seorang satu,” kata Sin Liong.

Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa girang dan Sin Liong lalu memasangkan setangkai bunga pada rambut kepala Kui Lan, kemudian setangkai pula di rambut kepala Kui Lin. Setelah kembang itu berada di atas kepala dua orang anak perempuan kembar ini, Sin Liong memandang mereka dengan kagum. Cantik sekali mereka itu, cantik dan amat baik kepadanya. Dan kembang-kembang itu membuat mereka nampak makin mungil.

“Kalian cantik sekali...” dia memuji.

“Ah, engkau yang hebat, Sin Liong. Tangkas sekali engkau memanjat pohon tadi, dan aku berani bertaruh bahwa kedua suheng kamipun tidak mungkin bisa memetik kembang ini seperti yang kau¬ lakukan tadi!” Kui Lan memuji.

“Dan sebagai hadiahnya, maka engkau boleh memasangkan kembang di rambut kami,” Kui Lin menambahkan.

Mereka tidak tahu bahwa di balik sebatang pohon, Kwan Siong Bu mengintai dan melihat serta mendengar semua itu dengan mata terbelalak, muka merah dan tangan terkepal. Dia merasa iri hati sekali. Tadi dia mendengar sorak dan jerit kedua orang anak perempuan itu, maka dia menghampiri dan mengintai dari balik pohon. Kini hatinya menjadi panas oleh iri. Akan tetapi apa yang dapat dibuat¬nya? Untuk memanjat pohon dan bermain-main di atas pohon seperti yang dilaku¬kan Sin Liong tadi, tentu saja dia tidak mampu. Huh, kau anak monyet, tentu saja pandai memanjat pohon, pikirnya marah.

“Sin Liong, tangkapkan kupu-kupu kuning itu untukku!” tiba-tiba Kui Lan berkata sambil menudingkan telunjuknya kepada seekor kupu-kupu berwarna kuning yang gerakannya gesit sekali.

“Ya, untukku seekor, Sin Liong. Tadi kami mencoba-coba menangkapnya selalu gagal,” kata pula Kui Lin.

Mendengar ini, tentu saja Sin Liong ingin sekali menyenangkan hati dua anak perempuan itu. Untuk sementara dia melupakan pekerjaannya menyapu dan dia berkata dengan wajah berseri,

“Baiklah, Lan-moi dan Lin-moi, kalian tunggu saja. Aku akan menangkap dua ekor kupu-kupu kuning untuk kalian!” Dan diapun sudah berlari mengejar kupu-kupu yang terbang menjauh itu.

Mendengar betapa Sin Liong bermain-main dengan dua orang sumoinya itu, dan menyebut pula moi-moi, hati Siong Bu menjadi makin panas. Huh, anak monyet, sombong kamu! Demikian pikirnya. Kalau selama setahun ini dia hanya menahan¬-nahan ketidak-senangan hatinya terhadap Sin Liong adalah karena dia takut kepada bibinya yang kini kelihatan melindungi Sin Liong. Kini melihat Sin Liong pergi mengejar kupu-kupu, Siong Bu cepat mencari akal untuk mengganggunya.






Iri hati selalu menimbulkan benci dan dendam. Benci dan dendam mendatangkan kecerdikan yang selalu didorong oleh kejahatan untuk mencelakakan orang lain dan menguntungkan diri sendiri. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kita waspada terhadap diri sendiri yang mudah dikuasai oleh iri hati. Iri hati timbul dari perbandingan. Kita suka membandingkan keadaan kita dengan orang lain, meng¬anggap orang lain lebih beruntung dari kita, lebih senang dan lebih enak dari¬pada kita, maka timbullah iba diri yang berkawan dengan iri hati.

Dua orang anak perempuan itu sedang tersenyum-senyum dan saling pandang. Melihat saudaranya demikian cantik me¬makai kembang di kepala, mereka tahu bahwa merekapun masing-masing seperti saudaranya itulah. Dan mereka merasa bangga dan girang.

“Wuutt... wuuttt...!” Dua buah benda menyambar.

“Pratt! Prattt!”

Kui Lan dan Kui Lin menjerit dan cepat memegang kepala. Bunga-bunga di kepala mereka tadi telah runtuh dan kepala mereka menjadi kotor terkena lumpur! Entah dari mana datangnya mereka tidak tahu, akan tetapi ada tanah berlumpur yang menyambar bunga mereka sehingga bunga itu runtuh dari atas kepala mereka dan rambut mereka menjadi kotor.

Kui Lan dan Kui Lin adalah dua orang anak manja. Melihat bunga itu jatuh rusak dan rambut mereka kotor, yang mereka ketahui dari melihat rambut saudara mereka keduanya lalu menangis.

Mendengar jerit itu yang disusul tangis, Sin Liong terkejut. Kupu-kupu kuning tadi memang lincah sekali, kelihatan terbang rendah akan tetapi be¬berapa kali ditubruknya selalu gagal dan luput. Ketika mendengar jerit kedua orang anak perempuan itu dia menoleh dan kagetlah hatinya melihat mereka menangis sambil memegangi kepala. Cepat dia berlari menghampiri. Napasnya sampai terengah-engah karena dia ter¬kejut dan berlari cepat sekali.

Ketika melihat betapa bunga itu rontok dari kepala mereka dan rambut mereka kotor terkena lumpur, Sin Liong mengerutkan alis dan memandang ke kanan kiri. Akan tetapi tidak nampak seorangpun di situ dan dia lalu membersihkan rambut kepala Kui Lan karena anak inilah yang lebih keras tangisnya, sambil menghibur.

“Sudahlah, biar nanti kucarikan lagi.”

Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk membersihkan rambut kedua orang anak perempuan itu.

“Heeei Sin Liong, kau berani kurang ajar terhadap dua orang sumoiku? Kau telah menggoda mereka dan mengotorkan rambut mereka, ya?”

Sin Liong terkejut dan menoleh. Dia melihat Siong Bu tiba-tiba muncul dan selagi dia hendak membantah, Siong Bu telah menerjang dan menyerangnya de¬ngan pukulan kearah dadanya. Sin Liong mundur-mundur, akan tetapi dia tidak mampu menghindarkan pukulan itu.

“Bukkk...!” dan dia terhuyung ke belakang.

“Heeeiii, aku aku tidak...”

“Pengecut! Beraninya hanya menggoda anak perempuan!”

Siong Bu menerjang lagi, kini mengirim tendangan ke arah perut Sin Liong. Gaya serangan Siong Bu kini sudah makin berisi, berbeda dengan setahun yang lalu. Sin Liong meloncat ke belakang mengelak, akan tetapi pemuda kecil yang tampan dan pemarah itu sudah mendesaknya dan mengirim pukulan bertubi-tubi.

Setahun yang lalu, biarpun Sin Liong belum pernah mempelajari ilmu silat, namun dia memiliki ketangkasannya karena hidup secara liar bersama para monyet. Kini, karena dia sudah mempelajari ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan Siong Bu yang marah tentu saja dia bergerak menurut ilmu silat yang selama ini dilatihnya di bawah bimbingan ibunya. Dan justeru hal inilah yang membuat dia menjadi bulan-bulanan serangan Siong Bu.

Siong Bu telah mempelajari ilmu silat sejak kecil, maka dibandingkan dengan Sin Liong yang baru belajar satu tahun itu, tentu saja Siong Bu jauh lebih menang, maka kalau Sin Liong menghadapinya dengan mengandalkan gerak silat, tentu saja dia kalah jauh dan elakan-elakannya menurut gaya silat yang belum matang itu tidak berhasil menghindarkan dia dari serangan-serangan Siong Bu.

Dengan kepandaian silatnya yang masih mentah, namun yang dipakainya dalam gerakan, Sin Liong bahkan mengurangi kecepatannya sendiri, kehilangan ketangkasannya yang didapat¬nya secara wajar dan otomatis itu. Andai¬kata dia tidak lagi terikat dengan gerak silat, kiranya dia akan dapat bergerak lebih cepat karena bebas, dan dia dapat mengandalkan nalurinya yang amat kuat untuk menghindarkan semua pukulan dan tendangan. Namun, dia menangkis dan mengelak dengan gerak silat yang masih mentah sehingga berkali-kali dia terkena hantaman dan tendangan Siong Bu. Beberapa kali dia terpelanting dan ter¬banting roboh!

“Heii, suheng! Sin Liong! Jangan berkelahi...!” Beng Sin datang berlari-lari ke tempat itu dan mencoba untuk melerai. Akan tetapi hampir saja dia terkena sambaran tendangan kaki Siong Bu. “Sudah... sudah... kenapa berkelahi?” Beng Sin berseru lagi akan tetapi kini dia hanya berdiri dengan khawatir.

Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Biarpun hidungnya sudah mengeluarkan darah dan mukanya benjol-benjol membiru, pakaiannya koyak-koyak dan tubuhnya babak belur, dia masih terus melawan dan sekali dua kali ada juga pukulannya yang mengenai tubuh Siong Bu. Akan tetapi, kembali dia terjengkang oleh tendangan kaki Siong Bu yang mengenai dadanya.

“Desss...!” Sin Liong terjengkang dan terbanting keras.

“Sudah... sudah, jangan berkelahi...!” Kui Lin berseru.

“Kwan-suheng, sudah jangan memukul dia lagi!” Kui Lan juga berteriak.

Akan tetapi Siong Bu bukan hanya marah, akan tetapi juga ingin memamer¬kan kepandaiannya di depan kedua orang sumoinya, untuk menonjolkan kelebihan¬nya dari Sin Liong agar harga dirinya naik dalam pandangan dua orang sumoi¬nya itu, juga untuk merendahkan Sin Liong di depan mereka.

“Hayo kau minta ampun, baru aku mau sudah!” bentak Siong Bu kepada Sin Liong yang sudah babak belur itu.

Akan tetapi, bagi anak ini, dia lebih baik di¬pukul mati daripada harus minta ampun kepada Siong Bu, minta ampun tanpa bersalah. Maka dia sudah merangkak bangun lagi dan dengan gerengan di dalam kerongkongannya, dia menubruk ke depan. Begitu terdengar gerengan ini, Sin Liong menyerang dengan ganas dan liar, tidak lagi menggunakan gerak silat. Dia sudah lupa akan silatnya, kini berubah menjadi seekor monyet marah, matanya mendelik dan mulutnya menyeringai, tubrukannya dahsyat sekali.

“Plak! Dukk!”

Tendangan dan pukulan Siong Bu memapaki tubuhnya, akan tetapi kini Sin Liong seperti tidak mengenal rasa sakit lagi dan masih dia menubruk dan mencengkeram. Rambut kepala Siong Bu dijambak dan ditarik sekuatnya sehingga anak itu menjerit dan berusaha melepaskan jambakan.

Namun, Sin Liong tetap mencengkeram rambut itu seperti seorang yang hanyut di sungai berpegang kepada ranting pohon penyelamat. Siong Bu kesakitan dan berteriak-teriak, kakinya menendang-nendang dan ketika lutut Sin Liong tertendang, dia terguling, akan tetapi karena jari-jari tangannya masih mencengkeram rambut Siong Bun anak inipun terbawa pula terguling bersamanya. Mereka kini bergulat dan bergulingan di atas tanah.

Tiba-tiba terdengar bentakan,
“Lepas...!”

Mendengar suara ibunya, Sin Liong terkejut sekali dan melepaskan cengkeramannya. Juga Siong Bu melepaskan cekikannya dan kedua orang anak itu bangkit berdiri. Pakaian mereka penuh debu dan mereka berdiri dengan muka tunduk karena takut. Akan tetapi Sin Liong segera mengangkat mukanya dan memandang kepada ibunya.

Si Kwi terkejut bukan main melihat muka anaknya itu benjol-benjol biru dan berdarah di bibir dan hidungnya. Jelas bahwa Sin Liong telah dihajar oleh Siong Bu karena pada muka anak ini tidak ada bekas pukulan Sin Liong. Si Kwi adalah seorang wanita yang keras hati dan dia tidak mudah dipengaruhi oleh perasaan. Biarpun hatinya marah melihat muka anaknya seperti itu, namun dia tidak menuruti hatinya dan ingin tahu apa yang terjadi sebelum dia menyalahkan.

“Sin Liong, mengapa kau berkelahi dengan Siong Bu?”

Sin Liong menentang pandang mata ibunya. Sepasang matanya tajam menusuk dan diam-diam Si Kwi bergidik. Mata anak ini serupa benar dengan mata Cia Bun How, akan tetapi kalau dalam pandang mata Cia Bun Houw selain ketajaman luar biasa juga terkandung kelembutan, sebaliknya ketajaman pandang mata anak ini bercampur dengan sinar liar dan ganas! Dan anak itu sama sekali tidak menjawab, sebaliknya kini malah menunduk.

Si Kwi tahu akan watak aneh dari anaknya ini, maka dia menoleh kepada Siong Bu dan bertanya,

“Siong Bu, hayo cepat katakan apa yang terjadi! Kenapa engkau memukuli Sin Liong?”

Siang Bu yang sejak tadi menunduk, kini mengangkat mukanya dan sambil menoleh ke arah Sin Liong dengan pandang mata marah, dia berkata,

“Dia menggoda Lan-sumoi dan Lin-sumoi, mengotori rambut mereka dan membuat mereka menangis, maka saya lalu menghajarnya, bibi.”

Si Kwi menoleh kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan muka tunduk.
“Sin Liong, benarkah engkau menggoda Lan Lan dan Lin Lin?” tanyanya dengan alis berkerut.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: