***

***

Ads

Rabu, 15 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 046

Sementara itu, Sin Liong terus dibawa lari oleh ketua Jeng-hwa-pang memasuki hutan lebat. Anak ini berusaha meronta, namun cengkeraman tangan Gak Song Kam amat kuat. Seorang dewasa yang bertenaga besarpun takkan dapat berkutik kalau dicengkeram oleh orang she Gak ini, apalagi seorang anak kecil seperti Sin Liong.

Malam telah tiba ketika Gak Song Kam berhenti berlari. Dia menotok jalan darah di punggung Sin Liong, membuat anak itu lemas tak mampu bergerak, lalu melemparkan Sin Liong ke atas rumput sedangkan dia sendiri lalu menjatuhkan diri di atas rumput, lalu kakek bertubuh tinggi tegap yang kelihatan gagah perkasa itu menangis!

Menangis terisak-isak dan bercampur keluhan panjang pendek yang keluar dari kerongkongannya. Air matanya bercucuran, diusapnya dengan kedua tangan, seperti seorang anak kecil yang menangis karena kecewa hatinya. Semua ini dapat dilihat oleh Sin Liong yang roboh terlentang karena ada sinar bulan yang cukup terang menerobos di antara celah-celah daun pohon dan menyinari muka kakek yang sedang menangis itu.

Watak anak itu memang aneh sekali. Hatinya keras dan dia akan menentang segala ketidak-adilan dengan penuh keberanian dan dia tabah sekali menghadapi ancaman apapun juga. Akan tetapi di balik ini, dia memiliki watak yang mudah terharu, mudah menaruh iba kepada orang lain, maka begitu melihat kakek itu menangis demikian sedihnya, dia merasa terharu sekali dan kasihan, lupa bahwa kakek ini telah menangkapnya dan membuatnya tidak berdaya dengan totokan.

“Paman, mengapa engkau menangis demikian sedihnya?” tak tertahankan lagi dia bertanya, suaranya penuh keprihatinan.

Mendengar pertanyaan itu, Gak Song Kam menangis makin keras lagi, seolah-olah pertanyaan itu menggugah semua kenangan yang pahit dan dia merasa benar betapa dia kini hanya sendirian saja, kehabisan keluarga, kehabisan anak buah yang telah dibasmi musuh! Akan tetapi, semua ini mengingatkan dia akan kekejaman Kim Hong Liu-nio dan tiba-tiba tangisnya terhenti, dia terbelalak menoleh ke arah Sin Liong dan membentak,

“Bocah setan! Mereka telah membasmi semua anak buahku dan keluargaku. Baik, biarpun aku belum dapat membalas kepada iblis betina itu, setidaknya aku sudah dapat memuaskan dendamku kepadamu!”

Dia lalu meloncat, menyambar kedua kaki Sin Liong dan diseretnya tubuh anak itu ke bagian yang lebih dalam dari hutan itu. Tentu saja Sin Liong tersiksa sekali, tubuhnya lecet-lecet dan babak belur terkena duri-duri ketika dia diseret dan dia sama sekali tidak mampu bergerak karena tubuhnya masih tertotok. Akhirnya, kakek itu berhenti di sebuah lereng bukit dan di bawah pohon-pohon besar itu terdapat sebuah lubang yang dalamnya ada dua meter, seperti sebuah sumur.

“Ha-ha-ha, akan kulihat engkau mengalami siksaan yang paling mengerikan! Sekarang ini bagianmu untuk menebus dosa itu, kelak baru akan kuseret iblis betina ke tempat ini!” seperti orang gila Gak Song Kam tertawa bergelak dan karena ketika tertawa itu dia mengangkat muka, maka sinar bulan persis menimpa mukanya, membuat wajah itu kelihatan kelam dan seperti muka setan!

“Paman, apa yang akan kau lakukan kepadaku?”






Sin Liong bertanya karena dia merasa tidak bermusuhan dengan orang ini akan tetapi kenapa orang ini menyiksanya?

“Ha-ha-ha, kau ingin tahu? Ingin melihat? Nah, kau lihatlah!”

Dia menyambar tubuh Sin Liong dan menggantung tubuh itu dengan kaki di atas kepala di bawah, lalu dia menggantung tubuh itu di sumur. Dengan kepalanya tergantung itu, Sin Liong dapat melihat lubang sumur yang gelap menghitam, akan tetapi nampak olehnya beberapa ekor ular merah bergerak-gerak di dasar lubang sumur itu!

“Ha-ha-ha, sudah kau lihat? Itulah lima ekor ular merah yang kami kumpulkan disini, kami pelihara untuk diambil racunnya. Lima ekor ular yang paling ganas di dunia ini, dan aku akan melemparmu ke dalam lubang itu!”

Setelah berkata demikian, Gak Song Kam kembali melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah di dekat lubang sumur yang mengerikan itu. Melihat ular-ular itu, Sin Liong bergidik. Ngeri juga hatinya melihat ular-ular itu, dan teringatlah dia akan cerita ibunya bahwa di waktu kecilpun dia pernah digigit ular dan hampir mati. Teringat akan hal itu, dengan sendirinya dia teringat akan ibunya dan terbayanglah di depan matanya betapa ibunya, yang tadinya dianggap sebagai ibu angkatnya akan tetapi kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, telah tewas.

“Ibuuuu...!”

Sin Liong menjerit dan tiba-tiba saja anak ini menangis! Tangisnya sesenggukan karena semenjak saat ibunya terbunuh sampai saat ini, dia selalu berada di dalam ketegangan dan dia belum memperoleh kesempatan untuk meluapkan kesedihannya. Kini, teringat akan kematian ibunya, ibu kandungnya, tiba-tiba saja dia merasa begitu berduka sehingga dia menjerit dan menangis tersedu-sedu. Air matanya bercucuran tak dapat diusapnya karena kaki tangannya lumpuh tertotok.

“Ha-ha-ha-haaaa...!” Gak Song Kam girang bukan main. Terhibur juga hatinya yang berduka melihat “musuhnya” tersiksa seperti itu. Dia mengira bahwa Sin Liong menangis karena ketakutan, maka memanggil-manggil ibunya!

“Ibuu... ah, ibuuu... bu-hu-huuuh...!”

“Ha-ha-ha-haahhh...!”

Suara tangis dan tawa itu berselang-seling seperti berlumba, dan makin Sin Liong mengingat ibunya, makin hebatlah tangisnya dan makin keras pula suara ketawa Gak Song Kam yang merasa terhibur oleh kedukaan anak yang dianggapnya musuh besar atau setidaknya keluarga dari musuh besarnya ini.

“Ha-ha-ha, sekarang menangislah engkau, menangis terus sampai arwahmu akan menjadi setan yang menangis. Ha-ha-ha!”

Gak Song Kam menepuk punggung Sin Liong membebaskan totokannya sehingga anak itu dapat bergerak lagi. Kemudian sambil tertawa-tawa, ketua Jeng-hwa-pang itu lalu melemparkan tubuh Sin Liong ke dalam lubang sumur!

“Bukk!”

Tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah yang agak lembek dan Sin Liong terguling-guling sampai tubuhnya membentur dinding sumur. Anak ini terlentang, pakaiannya berlepotan tanah lumpur. Terdengar suara tertawa dan Sin Liong yang terlentang itu melihat kepala dan wajah yang menyeramkan dari Gak Song Kam di atas lubang sumur. Kakek itu menjenguk ke bawah sambil tertawa.

Tiba-tiba hidung Sin Liong mencium bau yang harum bercampur amis dan mendengar suara mendesis. Dia terkejut, teringat akan ular-ular merah tadi dan cepat dia meloncat bangun dan berdiri. Akan tetapi pada saat itu, dia merasa betisnya digigit dari bawah.

“Aduhh...!”

Dia berseru kaget dan merasa betapa betisnya nyeri dan ada rasa “cess” seperti terkena sesuatu yang amat dingin, akan tetapi rasa dingin yang menyusup sampai ke tulang sumsum dan mendatangkan kenyerian hebat. Saking nyerinya, seketika dia terjatuh dan meraba betis kirinya yang tergigit itu, tangannya mencengkeram seekor ular kecil, besarnya hanya seperti ibu jari kakinya dan panjangnya hanya beberapa jengkal. Akan tetapi tubuh ular yang membelit kakinya itu ketika dia mencengkeram, ternyata lemas dan ketika dia renggutkan terlepas dari kakinya, ternyata ular itu telah mati!

“Cesss...! Aduhhh!”

Kini tiba-tiba pahanya tergigit sesuatu dan rasa dingin menyusup tulang membuatnya menggigil. Seperti tadi, tangannya yang telah melempar bangkai ular merah itu menangkap ular yang menggigit paha kanannya, dan sungguh aneh! Kembali dia hanya menangkap ular merah yang telah mati lemas, sungguhpun bangkai ular itu masih hangat, tubuh ular itu masih berkelojotan sedikit.

Di bawah sinar bulan purnama yang hanya sedikit memasuki sumur kering itu, dia melihat ular kedua yang kulitnya belang-belang merah itu, akan tetapi kembali ada ular yang telah menggigit lengan kirinya. Sebelum dia menangkap ular ini, ada lagi yang menggigit pinggang dan ada yang menggigit pundaknya.

Rasa dingin yang amat hebat membuat Sin Liong terguling lagi dan mengaduh-aduh, kedua tangannya mencengkeram ke sana-sini dan seperti dua ekor ular yang pertama, juga tiga ekor ular merah itu telah mati begitu menggigit tubuhnya. Sin Liong merintih-rintih, rasa dingin membuat seluruh tubuhnya menggigil. Dia tidak lagi memperdulikan suara ketawa di atas, suara Gak Song Kam yang menikmati pemandangan remang-remang di bawah itu, dimana dia hanya melihat anak itu jatuh bangun dan mengaduh-aduh.

Dia mengira bahwa tentu anak itu sedang dikeroyok oleh lima ekor ular yang dipeliharanya di dalam lubang itu. Dan dia membuka mata lebar-lebar, ingin sekali melihat anak itu ditelan oleh ular hutan besar yang juga berada di dalam lubang, ular yang tidak beracun akan tetapi besarnya sepaha manusia dan tentu akan senang sekali melihat anak itu, atau mayatnya ditelan perlahan-lahan oleh ular besar ini.

Kalau saja Gak Song Kam dapat melihat dengan jelas, tentu dia akan terkejut setengah mati melihat betapa lima ekor ular merah itu telah mati seketika begitu menggigit tubuh Sin Liong! Hal ini terjadi karena kebetulan saja.

Seperti telah kita ketahui, di dalam tubuh Sin Liong mengeram racun Hui-tok-san, yaitu racun yang amat hebat, yang akan membunuh anak itu sedikit demi sedikit. Racun Hui-tok-san ini sifatnya panas dan jahat bukan main. Sebaliknya, racun ular merah yang sama jahat dan berbahaya, justeru mempunyai sifat yang sebaliknya. Racun ular merah jenis yang dipelihara oleh ketua Jeng-hwa-pang itu mempunyai sifat dingin dan sekali racun ini memasuki jalan darah manusia, dalam waktu sebentar saja manusia itu tentu akan mati.

Akan tetapi, darah Sin Liong sudah diracuni oleh Hui-tok-san, maka begitu ular-ular itu menggigit, mereka bertemu dengan lawan hebat, maka seketika ular-ular itu mati, tidak kuat menghadapi hawa panas yang menyerang dari dalam tubuh Sin Liong.

Kini Sin Liong yang tersiksa hebat sekali. Biarpun lima ekor ular meran itu telah mati, akan tetapi di dalam tubuhnya masih terjadi perang yang amat hebat dan menimbulkan penderitaan yang sukar dilukiskan. Seluruh tubuhnya sakit-sakit, sebentar seperti akan terbakar, kemudian berganti berubah dingin seperti membeku, seluruh kulit tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, dan dari dalam seperti ada ribuan ekor semut yang menggigitnya! Tanpa disadarinya, dia mengeluh dan jatuh bergulingan di atas dasar sumur yang berlumpur, tidak ingat dan tidak mendengar lagi akan suara ketawa dari atas sumur.

Memang agaknya belum waktunya bagi Sin Liong untuk tewas. Dua macam racun yang menguasai tubuhnya itu justeru memiliki sifat yang berlawanan, dan keduanya adalah racun-racun yang paling ganas di dunia ini. Kalau racun ular merah itu yang telah memasuki tubuhnya lebih banyak atau kurang sedikit saja, nyawanya tidak akan tertolong lagi!

Akan tetapi yang memasuki tubuhnya justeru tepat sekali, berimbang dengan racun Hui-tok-san, sehingga perimbangan yang tepat ini membuat dua macam racun itu saling serang dan akhirnya keduanya mati sendiri atau kehilangan dayanya, menjadi punah atau luntur sehingga tanpa disadari oleh anak itu kini Sin Liong terbebas dari ancaman maut.

Racun Hui-tok-san yang oleh Kim Hong Liu-nio dimasukkan ke dalam tubuhnya dan yang akan membunuhnya dalam waktu enam bulan, kini telah buyar dan punah, sebaliknya racun lima ekor ular merah itupun kehilangan dayanya karena punah oleh Hui-tok-san!

Akan tetapi, rasa nyeri akibat perang yang terjadi di dalam tubuhnya antara racun ular-ular merah dan Hui-tok-san, benar-benar amat menyiksa sehingga dalam keadaan setengah sadar Sin Liong bergulingan dan mengeluh. Dan pada saat itu, terdengar suara mendesis-desis dan seekor ular yang besar dan panjangnya ada tiga meter, meninggalkan akar besar di mana dia melingkar di dinding sumur itu dan bergerak turun menghampiri Sin Liong yang masih bergulingan!

Tubuh anak itu memang kuat sekali berkat bertahun-tahun digembleng oleh kehidupan liar bersama monyet-monyet di atas pohon. Maka, setelah dua macam racun itu mulai kehilangan kekuatan masing-masing karena saling memunahkan, dia mulai sadar dan telah bangkit berdiri dan terhuyung, lalu bersandar pada dinding sumur. Dia membuka matanya dan pada saat itu dia melihat dua cahaya kecil mencorong, yaitu mata dari seekor ular besar yang telah berada di depannya, kepalanya tergantung ke bawah, lidahnya menjilat-jilat keluar!

Sin Liong terkejut bukan main, terkejut, ngeri, juga marah karena tubuhnya tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat. Semua perasaan ini mendorong keluar nalurinya dan dia mengeluarkan pekik dahsyat, bukan pekik manusia lagi melainkan pekik seekor kera muda yang sedang marah. Kemudian, terdorong oleh keliaran ini, dia bukannya menjauhkan diri dari kepala ular besar itu, melainkan sebaliknya malah. Dia menubruk maju dan mencengkeram leher ular itu!

Ular itu mendesis dan membuka mulut akan tetapi dengan seluruh kekuatan Sin Liong mencekik leher ular. Ular itu lalu membelitkan tubuhnya, membelit-belit pinggang dan leher Sin Liong. Anak ini tentu saja tidak mampu bertahan dan dia terguling, tubuhnya terbelit-belit ular itu dan terasa betapa lehernya tercekik.

Karena marah, Sin Liong lalu menggereng, membuka mulutnya dan menggigit leher ular itu. Digerogotinya leher ular itu sekuat tenaga, penuh keganasan dan kemarahan dan dia segera merasa darah segar yang panas memasuki mulutnya. Akan tetapi dia tidak perduli dan menggigit terus, menggigit terus!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: