***

***

Ads

Senin, 27 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 068

Bukan main kagetnya Hwa-i Sin-kai mendengar disebutnya nama itu. Terbelalak dia memandang ke arah tubuh yang rebah terlentang tak bergerak dari Tio Sun itu, dan karena terkejut ini, hampir saja lambungnya kena dicengkeram oleh tangan yang halus dari wanita itu. Dia cepat meloncat ke belakang sambil mengelebatkan tongkatnya, dan dengan jantung tegang dia berkata,

“Ah, tidak...!”

Dan melihat semua pengawal mulai menerjangnya, dia maklum bahwa kalau dia melawan, biarpun belum tentu dia kalah walaupun di situ terdapat wanita yang amat lihai itu, namun dia tentu akan dicap sebagai pemberontak yang berani melawan pasukan pengawal! Maka sambil mengeluh panjang kakek itu lalu meloncat keluar dari ruangan itu, seperti terbang saja melalui atas kepala para pengawal yang mengepungnya, lalu berloncatan ke atas genteng dan melarikan diri dari tempat itu.

Lee Siang memerintahkan orang-orangnya mengejar, namun sia-sia saja karena gerakan pengemis tua itu amat cepat, sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata. Dia lalu memeriksa Tio Sun yang ternyata telah tewas! Maka dia lalu menyuruh para pengawal mengantarkan mayat itu pulang ke rumah keluarga Tio, sedangkan dia sendiri mengikuti dari belakang dengan wajah muram.

Dapat dibayangkan betapa terkejut rasa hati Souw Kwi Eng ketika melihat sebuah kereta dikawal oleh sepasukan pengawal berhenti di depan rumahnya, apalagi ketika melihat tamunya siang tadi, yang oleh suaminya dikatakan adalah Panglima Kim-i-wi Lee Siang, tiba-tiba memasuki rumahnya dan menjura di depannya sampai dalam sekali, penuh dengan tanda duka.

“Tio-hujin...” Suara Lee Siang terhenti oleh isak tertahan. “Saya datang membawa berita duka... Tio-taihiap...”

“Ada apa? Apa yang terjadi? Mana suamiku?”

Tiba-tiba Souw Kwi Eng bertanya dan matanya yang agak kebiruan itu memandang terbelalak, mencari-cari.

“Dia... dia... telah mati terbunuh orang... jenazahnya kami bawa dalam kereta...”

Terdengar jerit mengerikan dan nyonya muda itu terhuyung, lalu berlari menuju ke kereta, seperti orang gila dia merenggut tirai kereta terbuka dan melihat jenazah suaminya menggeletak tak bergerak di dalam kereta. Souw Kwi Eng kembali menjerit, jerit yang melengking nyaring menyayat hati. Dia menubruk jenazah itu, memeluki suaminya dan menangis tersedu-sedu!

Para pelayan berlarian dengan bingung dan ada yang sudah ikut menangis. Dari dalam rumah keluar Tio Pek Lian berlari-lari karena anak ini mendengar jerit ibunya yang mengejutkan itu. Ketika dia melihat ibunya menangis di kereta yang berhenti di halaman rumah, dia berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dari belakang, menarik-narik bajunya dan bertanya dengan suara ketakutan.

“Ibu, ada apakah, ibu...? Kenapa ibu menangis?”






Dia masih belum dapat melihat jenazah ayahnya karena pintu kereta itu terhalang oleh tubuh ibunya.

Mendengar suara anaknya, Souw Kwi Eng tersentak dan tertahan tangisnya, lalu perlahan dia memutar tubuh memandang anaknya melalui genangan air mata, kemudian dia menubruk anaknya dan merangkulnya.

“Pek Lian, anakku... ah, ayahmu... ayahmu...!”

Dan kalau saja dia tidak merasa bahwa ada anaknya dalam pelukannya tentu nyonya muda ini sudah roboh pingsan. Semua sudah kelihatan gelap dan berputar, cepat-cepat dia memejamkan mata dan menahan napas, mengerahkan kekuatan batinnya sehingga semuanya menjadi terang kembali.

“Ibu, ada apakah...? Ayah mengapa...?” Lapat-lapat terdengar suara anaknya.

Souw Kwi Eng membuka mata.
“Ayahmu? Ah, ayahmu... telah meninggal dunia, anakku...”

Dia terisak, lalu membalik, memasuki kereta, dan pada saat itu Lee Siang dan para pengawal mendekati kereta dan hendak mengangkat jenazah itu. Akan tetapi Souw Kwi Eng melarangnya.

“Biarkan aku yang mengangkatnya sendiri!”

Tenang sekali wanita itu. Air matanya masih bercucuran, dia masih terisak-isak, akan tetapi dengan tenang dia lalu mengangkat tubuh suaminya yang masih hangat itu, dipondongnya, lalu dia melangkah perlahan-lahan ke dalam rumah, diikuti oleh Pek Lian yang memandang pucat dan matanya terbelalak. Anak ini belum mengerti benar, bagaimanakah kematian itu dan mengapa ayahnya mati.

Semua orang memandang dengan sinar mata diliputi keharuan dan kekaguman, jantung mereka seperti ditusuk-tusuk menyaksikan nyonya muda yang cantik itu memondong jenazah suaminya, melangkah satu-satu menuju ke dalam rumah dengan sikap penuh khidmat. Semua orang menundukkan muka ketika jenazah yang dipondongnya itu lewat di depan mereka.

Kwi Eng meletakkan jenazah itu di atas pembaringan di kamar suaminya dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, memeriksa suaminya. Tidak ada luka di tubuh suaminya, akan tetapi jelas bahwa suaminya telah tewas. Maka dia lalu memeluk dan menangis lagi, tangis mengguguk dan akhirnya nyonya muda ini tidak dapat menahan dirinya lalu terguling roboh pingsan di atas lantai.

Kwi Eng siuman mendengar tangis anaknya yang memanggil-manggilnya. Dia bangkit duduk dan ternyata dia telah diangkat oleh para pelayan di atas pembaringan. Dan ketika dia duduk, dia melihat jenazah suaminya rebah di atas pembaringan yang lain, maka kembali air matanya bercucuran.

“Ibu...!”

“Pek Lian...!” Dia merangkul anaknya dan mendekap kepala anaknya.

“Tio-hujin... kami sungguh menyesal sekali...”

Kwi Eng mengangkat mukanya memandang melalui air matanya. Lalu dia memondong puterinya, turun dari pembaringan dan memandang kepada Panglima Lee Siang yang berdiri dengan muka menunduk. Sampai beberapa lamanya Kwi Eng memandang panglima itu, air matanya turun perlahan ke atas sepasang pipinya yang pucat dan suasana dalam kamar itu hening, kecuali suara isak tertahan dari para pelayan yang semua menangis. Kemudian terdengar suara nyonya muda itu, suaranya menggetar dan parau, kadang-kadang tertahan isak.

“Sekarang katakanlah, siapa yang membunuh suamiku? Siapa...?”

Pertanyaan itu, terutama kata terakhir itu mengandung ancaman hebat, mengandung dendam dan kemarahan yang terasa oleh semua orang hingga semua yang mendengarnya merasa bulu tengkuk mereka maremang.

Dengan muka pucat Lee Siang yang masih menunduk itu menjawab,
“Yang membunuhnya adalah ketua dari Hwa-i Kai-pang.”

“Ketua Hwa-i Kai-pang?” Kwi Eng seolah-olah hendak menanamkan nama ini di dalam benaknya, kemudian dia bertanya lagi, perlahan. “Apa yang terjadi? Mengaoa suamiku sampai terbunuh olehnya?” Lalu dia teringat akan cerita suaminya, maka dia menambahkan, “Bukankah suamiku ke sana hanya untuk menjadi orang penengah?”

Lee Siang menarik napas panjang.
“Sesungguhnya begitulah. Akan tetapi, ketua Hwa-i Kai-pang itu mendesaknya, mereka bertanding, kami sudah berusaha membantu dengan pasukan pengawal, akan tetapi terlambat. Tio-taihiap... sudah roboh dan tewas, dan... sungguh menyesal sekali kami tidak mampu mencegahnya...”

“Dan ketua Hwa-i Kai-pang itu? Kemana dia...”

“Dia melarikan diri, kami tidak mampu melawannya, tidak mampu menangkapnya.”

Souw Kwi Eng menghampiri pembaringan suaminya, berlutut, dan menyentuh lengan suaminya.

“Tenanglah, aku bersumpah untuk membalas kematianmu!” Lalu dia merangkul dan menangis lagi.

Pek Lian juga menghampiri, dengan agak takut-takut memandang jenazah ayahnya, kemudian setelah memandang wajah ayahnya yang biasanya amat mencintanya itu, diapun menubruk ayahnya dan berteriak-teriak,

“Ayahhh... ayaaaah...” Dan menangislah anak itu bersamanya.

Setelah mengucapkan keprihatinannya, maafnya dan hiburannya yang sama mekali tidak ada artinya, Panglima Lee Siang lalu berpamit dan meninggalkan rumah itu bersama para pengawalnya, naik kereta yang tadi dipakai untuk mengangkut jenazah Tio Sun.

Semalam itu Souw Kwi Eng dan anaknya menangisi jenazah suaminya, dan para pelayan dan pegawai sibuk mengurus keperluan sembahyang, peti mati dan sebagainya. Juga ada yang cepat-cepat malam itu juga pergi ke kota Yen-tai untuk memberi kabar kepada Souw Kwi Beng, kakak kembar dari nyonya Tio.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Souw Kwi Beng sudah berangkat meninggalkan rumahnya dengan hati penuh kedukaan ketika dia mendengar berita kematian iparnya itu. Dia membalapkan kudanya dan lewat tengah hari tibalah dia di kota raja dan langsung menuju ke rumah adiknya.

Kakak beradik kembar ini berangkulan sambil menangis. Kwi Beng sedapat mungkin menghibur adiknya dan keduanya lalu berlutut di depan peti mati Tio Sun. Dia mendengarkan cerita adik kembarnya tentang kematian Tio Sun, sambil memangku keponakannya, Pek Lian yang sudah tidak menangis lagi.

Memang hanya anak-anak saja yang mempunyai watak yang wajar, tidak terus menerus dicengkeram oleh suka maupun duka. Suka dan duka bagi anak-anak hanya merupakan peristiwa selewat saja, tidak seperti kita orang-orang dewasa yang paling suka menyimpan suka dan duka di dalam batin sampai berlarut-larut. Pek Lian hanya mulai menangis lagi kalau melihat ibunya, begitu berduka, melihat ibunya menangis. Akan tetapi dia belum begitu merasa kehilangan atas kematian ayahnya, dan memang batin anak-anak lebih bebas daripada batin orang dewasa yang sudah terikat oleh berbagai hal dan benda sehingga kalau sewaktu-waktu ikatan itu dicabut lepas, mendatangkan luka parah di dalam batin.

“Aku akan membantumu, Eng-moi. Aku akan membantumu menghadapi jambel-jembel busuk yang kejam itu!” berkali-kali Kwi Beng menghibur adiknya di depan peti mati adik iparnya.

**** 068 ****

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: