***

***

Ads

Rabu, 01 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 078

“Menyelamatkan siapapun dari perbuatan keji bukanlah berarti mencampuri urusan orang lain, melainkan sudah menjadi tugas setiap orang manusia yang waras. Bahkan andaikata anak ini anak kandungmu sekalipun yang akan kau siksa, pasti aku akan turun tangan menyelamatkannya dan mencegah perbuatanmu yang keji itu.”

Tentu saja Kim Hong Liu-nio menjadi makin marah. Pertama karena kakek itu mengatakan anak itu anak kandungnya! Padahal dia adalah seorang perawan. Dan ke dua, dengan terang-terangan kakek itu menyatakan akan menentangnya!

“Tua bangka yang bosan hidup!” bentaknya marah, mulutnya tersenyum, tanda bahwa kemarahannya sudah mencapai puncaknya dan dia sudah siap untuk membunuh, dengan tenang dia lalu mengenakan sarung tangannya. “Apakah engkau belum mendengar siapa aku? Tentu engkau tidak mengenal Kim Hong Liu-nio maka engkau berani bersikap seperti ini.”

“Hemm, tentu saja aku tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang wanita yang sudah berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi akan tetapi gurumu adalah seorang jahat sehingga tidak mendidik batinmu. Ilmu tinggi yang terjatuh ke tangan seorang yang kejam, hanya akan mendatangkan bencana di dunia ini.”

“Keparat, terimalah ini!”

Kim Hong Liu-nio yang sudah marah itu tidak dapat bertahan lagi dan dia sudah mencelat ke depan dengan kecepatan kilat dan melakukan serangan pukulan dengan kedua tangannya. Pukulan maut yang datangnya cepat dan mengeluarkan suara angin bercuitan mengerikan. Karena menduga bahwa lawannya lihai, begitu menyerang Kim Hong Liu-nio telah mengerahkan sin-kangnya dan pukulan itu merupakan pukulan maut yang sukar dilawan!

Akan tetapi, kakek itu malah membalikkan tubuhnya dan dengan kedua tangannya dia membuka ikatan tangan yang membelenggu Sin Liong! Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menahan pukulannya dan alisnya berkerut. Demikian hebatkah kakek ini sehingga tidak memandang sebelah mata kepada serangannya? Ketika dia melihat bahwa kakek ini sudah membebaskan ikatan Sin Liong yang segera jatuh terduduk dengan lemas dan anak itu menggosok-gosok kedua pergelangan tangan dan terengah-engah, Kim Hong Liu-nio membentak keras dan sekarang dia benar-benar menyerang ke arah kakek itu dengan pukulan maut yang mengarah pelipis dan ulu hati kakek itu.

Diam-diam kakek itu tersenyum. Ternyata dugaannya tadi agak keliru. Wanita ini tidak memiliki watak curang, buktinya serangan pertama tadi ditundanya ketika dia sedang membuka ikatan anak itu. Akan tetapi dugaannya bahwa wanita ini memiliki ilmu tinggi adalah benar karena melihat serangan itu saja tahulah dia bahwa wanita ini benar-benar lihai sekali. Untuk mencoba kekuatan wanita itu, dia sengaja menggerakkan kedua tangannya menangkis. Dua kali dua pasang tangan bertemu.

“Dukk! Plak!”

Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Tubuhnya terdorong mundur oleh tangkisan-tangkisan itu! Di lain fihak, kakek itu makin kagum karena ternyata bahwa serangan wanita ini mampu membuat kedua lengannya tergetar!

Maklum bahwa dia kalah kuat dalam hal sin-kang oleh kakek aneh yang tak dikenalnya ini, Kim Hong Liu-nio menjadi penasaran dan marah. Dia mengeluarkan suara melengking panjang dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang dengan gerakan cepat bukan main yang membuat dia seperti lenyap berubah menjadi bayang-bayang yang luar biasa cepatnya. Kaki tangannya menyerang bertubi-tubi ke arah bagian tubuh berbahaya dari kakek itu, setiap serangan merupakan serangan maut!






Sementara itu, kakek yang ternyata amat luar biasa kepandaiannya itu, dengan alis putih berkerut memperhatikan gerakan lawan dan diam-diam diapun merasa terheran-heran karena dia tidak mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh wanita itu. Padahal, dia hampir mengenal semua dasar ilmu silat tinggi dari semua partai-partai besar! Akan tetapi, diapun harus mengimbangi kecepatan wanita itu dan selalu dapat menghindarkan diri atau menangkis.

Kembali Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Kakek petani ini ternyata hebat sekali! Bukan saja dapat menandingi sin-kangnya, bahkan tidak terdesak oleh gin-kangnya! Diam-diam dia lalu mencabut tiga batang hio dan dengan kuku jari tangannya menyentik batu api, muncratlah batu api membakar ujung tiga batang hio itu. Hio-hio ini sebenarnya dia sediakan untuk membunuh musuh-musuh gurunya, seperti yang telah dilakukannya kepada beberapa orang yang telah berhasil dibunuhnya. Akan tetapi menghadapi seorang lawan tangguh seperti kakek ini, dia akan mempergunakannya juga karena senjata hio itu merupakan senjata istimewa pula.

Kakek itu hanya memandang sambil mengelak ke sana-sini ketika wanita itu sambil menyerang mengeluarkan dan menyalakan tiga batang hio. Dia tidak tahu apa artinya dan tertarik sekali, menduga bahwa agaknya wanita ini adalah seorang ahli ilmu hitam yang hendak mempergunakan ilmu sihirnya. Dia tidak takut, melainkan tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana wanita itu hendak menggunakan sihir atas dirinya!

Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan kakek itu melihat sinar-sinar keemasan kecil menyambar ke arah tiga jalan darah di tubuhnya! Tahulah dia bahwa hio-hio menyala itu sama sekali bukan dipergunakan untuk main sulap atau sihir, melainkan untuk dipergunakan sebagai senjata rahasia yang menyerangnya!

Kakek itu mengeluarkan seruan panjang, tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat ke atas dan ketika dia melayang turun kembali, tiga batang hio menyala itu telah disambarnya dan berada di tangannya. Sekali dia melempar, tiga batang hio itu menancap di atas tanah dan asapnya bergulung-gulung kecil ke atas!

Kim Hong Liu-nio terkejut, juga makin penasaran dan marah. Tiba-tiba dia bergerak, didahului oleh sinar merah dan ternyata wanita ini telah menyerang lagi dengan menggunakan sabuk merahnya. Dengan gerakan seperti seekor ular hidup, ujung sabuk merah itu secara bertubi telah menotok ke arah tujuh jalan darah kematian di sebelah depan tubuh kakek itu!

“Hemm, keji...!” kakek itu mencela dan cepat dia menggunakan telapak kanan untuk menangkap ujung sabuk merah.

Akan tetapi, begitu melihat lawan hendak menangkap ujung sabuk, Kim Hong Liu-nio menggerakkan tangan dan kini ujung sabuk itu meluncur dan menotok ke arah telapak tangan itu secara langsung, untuk menotok jalan darah antara ibu jari dan telunjuk tangan kanan yang terbuka itu.

Akan tetapi, kakek itu agaknya tidak tahu akan serangan ini dan tetap saja membuka tangan hendak menangkap ujung sabuk itu, Kim Hong Liu-nio menjadi girang sekali dan menambah tenaganya ketika ujung sabuk bertemu dengan telapak tangan lawan.

“Plakk...!”

Ujung sabuk itu tepat mengenai telapak tangan dan melekat di situ. Tiba-tiba wajah cantik itu berubah pucat, matanya terbelalak lebar memandang kepada kakek itu ketika Kim Hong Liu-nio merasa betapa tenaga sin-kangnya memberobot keluar dari tangannya yang ujungnya menempel pada telapak tangan kakek itu.

“Thi-khi-i-beng...!” Dia berteriak kaget dan membuat gerakan tiba-tiba menarik sabuk merahnya.

“Pratttt...!” Sabuk merah itu terputus di tengah-tengah!

“Ahhh...!” Kakek itu berseru kagum sekali.

Kim Hong Liu-nio masih memandang terbelalak. Dia mengenal Thi-khi-i-beng seperti yang pernah diceritakan oleh subonya. Thi-khi-i-beng adalah ilmu yang aneh, sesuai dengan namanya yang berarti Curi Hawa Pindahkan Nyawa, ilmu itu dapat menyedot hawa sin-kang lawan sampai habis! Untung dia telah mempelajari ilmu untuk melepaskan diri dari sedotan Thi-khi-i-beng yang ampuh itu!

“Siapakah engkau...?” tanyanya, suaranya membayangkan awal kejerihan menghadapi kakek yang hebat itu.

Kakek itu melemparkan sabuk merah yang putus itu ke atas tanah lalu menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara lirih dan seperti orang membaca sajak,

“Namaku tidak lebih terkenal daripada sebatang pedang, akan tetapi pedangku adalah pedang kayu yang tidak keras, juga tidak berbau darah kering melainkan harum semerbak. Ah, sampai terpaksa aku menggunakan Thi-khi-i-beng, menandakan bahwa kepandaianmu hebat sekali, nona.”

Kim Hong Liu-nio makin terkejut dan hatinya makin gentar. Dalam kata-kata perkenalan dari kakek itu terkandung kata-kata pedang kayu dan harum. Pedang Kayu Harum, Siang-bhok-kiam! Dia cepat membuat gerakan membungkuk.

“Sudah kuduga...” bisiknya, “kiranya... maafkan saya...”

Dan tanpa bicara apa-apa lagi, Kim Hong Liu-nio membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dengan cepat seperti terbang.

“Nona, tunggu dulu...!” Kakek itu berseru, akan tetapi Kim Hong Liu-nio menjawab tanpa menoleh.

“Lain kali kita akan saling berjumpa kembali!”

Cia Keng Hong, atau ketua dari Cin-ling-pai, pendekar sakti yang amat terkenal dengan pedang kayu harumnya itu, memandang dan tidak mengejar. Dia merasa kagum sekali karena setelah puluhan tahun tidak bertemu lawan, baru sekarang dia bertemu tanding seorang wanita yang masih muda akan tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi sekali, bahkan dia tidak mengenal dasar ilmu silat yang dimainkan oleh wanita itu!

Para pembaca dari cerita Siang-bhok-kiam, lalu cerita Petualangan Asmara, dan Dewi Maut, tentu tidak asing lagi dengan pendekar sakti Cia Keng Hong ini. Dia adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal sekali di dunia kang-ouw, sebagai ketua dari Cin-ling-pai di Pegunungan Cin-ling-san, dimana dia hidup bersama isterinya yang tercinta seorang bekas pendekar wanita yang lihai pula.

Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Keng Hong telah meninggalkan keramaian dunia kang-ouw dan dia yang sudah tua hidup tentram di Pegunungan Cin-ling-san sampai cerita ini terjadi. Pada waktu sekarang, Cia Keng Hong, dalam usia yang sudah tujuh puluh tahun lebih, pendekar sakti ini merasa betapa hidupnya penuh dengan duka. Isterinya, satu-satunya manusia di dunia ini yang paling dicintanya, telah meninggal dunia dua tahun yang lalu, meninggal dunia dalam usia yang sudah cukup tinggi, kurang lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi sayangnya meninggal dalam keadaan duka pula karena kematiannya tidak ditunggui oleh puteranya yang terkasih, yaitu Cia Bun Houw.

Diam-diam di dalam hati pendekar sakti ini timbul penyesalan besar. Dia tidak dapat menyalahkan Bun Houw yang sampai sepuluh tahun lebih lamanya belum pernah pulang itu. Dia sendirilah yang menyebabkannya. Dia yang seolah-olah mengusir puteranya itu karena puteranya itu nekat hendak hidup sebagai suami isteri bersama Yap In Hong, adik dari pendekar Yap Kun Liong. Dia melarang dan tidak setuju, akan tetapi Bun Houw nekat sehingga puteranya itu lalu pergi bersama In Hong dan sampai kini tidak ada kabar ceritanya.

Hiburan satu-satunya bagi Cia Keng Hong setelah isterinya meninggal dunia adalah cucunya yang digemblengnya sejak kecil di Pegunungan Cin-ling-san itu. Cucu perempuan ini bukan lain Lie Ciaw Si, puteri dari Cia Giok Keng dan mendiang Lie Kong Tek. Dengan tekun pendekar sakti itu menurunkan kepandaiannya kepada cucunya ini, dan biarpun Ciauw Si tidak memiliki bakat yang terlalu menonjol, akan tetapi dara ini telah mewarisi banyak ilmu tinggi kakeknya sehingga dia menjadi seorang dara yang hebat juga dan jarang akan ada yang mampu menandinginya.

Betapapun juga, setelah neneknya meninggal, dara yang kini berusia dua puluh tahun itu sering kali melihat kakeknya termenung duka, bahkan sering kali kakeknya itu seperti seorang pikun turun gunung dan merantau di kaki Pegunungan Cin-ling-san, lupa makan lupa tidur dan baru pulang kalau sudah disusul dan dibujuknya.

Kemudian Ciauw Si mendengar penuturan ibunya yang masih tinggal di Sin-yang di rumah mendiang suaminya, tentang pamannya, adik ibunya, yaitu Cia Bun Houw dan bahwa kedukaan kakeknya itu disebabkan oleh kepergian Bun Houw yang sampai sekarang tidak pernah ada beritanya itu. Mendengar ini, Ciauw Si yang mencinta kakeknya itu merasa kasihan dan pada suatu pagi pergilah dia meninggalkan Cin-ling-san dengan meninggalkan surat untuk kakeknya, memberi tahu bahwa dia pergi untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw!

Akan tetapi, kejadian ini sama sekali tidak menggirangkan hati kakek pendekar itu. Sebaliknya malah. Dia merasa prihatin dan khawatir. Biarpun cucunya itu sudah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi cucunya adalah seorang wanita muda dan kurang pengalaman, padahal dia tahu betul betapa bahayanya merantau di dunia kang-ouw seorang diri bagi seorang wanita muda. Kekhawatiran ini membuat hatinya tidak tenang, maka kakek inipun lalu turun gunung untuk mencari cucunya!

Demikianlah keadaan singkat dari kakek pendekar Cia Keng Hong yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun itu. Dalam perantauannya mencari cucunya itulah secara kebetulan dia melihat Sin Liong yang sedang tersiksa oleh Kim Hong Liu-nio dan dia lalu turun tangan menolongnya.

Biasanya, kakek yang sedang merantau ini menyembunyikan diri dan kepandaiannya, dan kalau sekarang dia memperlihatkan kepandaiannya, adalah karena dia terpaksa sekali oleh kelihaian Kim Hong Liu-nio. Kakek itu merasa amat kagum menyaksikan sikap anak yang disiksa itu, dan diam-diam dia memperhatikan, bahkan ketika dia membebaskan belenggu itu jari-jari tangannya mengusap dan dia memperoleh kenyataan bahwa anak itu benar-benar memiliki tulang yang baik sekali.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: