***

***

Ads

Rabu, 08 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 107

“Harap paduka lekas lepaskan anak panah itu selagi dia tidak mampu bergerak, pangeran. Kalau dia dapat bergerak, sulitlah bagi kita untuk menundukkannya. Dia telah mewarisi Thi-khi-i-beng dan ilmu-ilmu lain yang dahsyat, bahkan hamba percaya bahwa dia tentu telah mewarisi kitab-kitab pusaka dari Himalaya yang hamba yakin sekarang tentu telah dicuri oleh Ouwyang Bu Sek.”

“HEMM, tak pertu tergesa-gesa, Hek-liong-ong. Munculmu mengejutkan hatiku. Jelaskan, kitab-kitab apa yang kau maksudkan itu dan mengapa engkau berkeras hendak membunuh dia?”

“Dalam pertemuan kita yang singkat, hamba belum sempat menceritakan paduka tentang Ouwyang Bu Sek. Tokoh itu penuh rahasia dan selalu menentang hamba bertiga dan biarpun tahun ini dia tidak muncul, akan tetapi ada pemuda ini yang menjadi wakilnya dan mengaku sebagai sutenya. Kitab-kitab pusaka yang dicuri oleh Ouwyang Bu Sek itu kabarnya adalah kitab-kitab pusaka yang amat hebat, ciptaan dari Bu Beng Hud-couw dan mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi.”

“Hemm..., Bu Beng Hud-couw?”

Pangeran itu bertanya dan matanya menyambar ke arah wajah Sin Liong, akan tetapi anak panah itu masih terus menodong ke arah dada pemuda remaja itu.

“Benar, pangeran. Pemuda ini lihai sekali, maka sebaiknya dia dibunuh dulu, baru kita mencari Ouwyang Bu Sek untuk dilenyapkan, karena kalau tidak, mereka itu kelak hanya akan menimbulkan kepusingan belaka bagi paduka dan pemerintah. Dan kitab-kitab itu tentu berada di tangan Ouwyang Bu Sek, paduka tentu akan senang sekali kalau dapat memperoleh kitab-kitab itu. Biarkan hamba membunuhnya sekarang juga, hamba khawatir kalau-kalau totokan hamba masih tidak dapat menguasainya terlalu lama...”

Han Houw tersenyum dan kini sinar matahari pagi menerobos celah-celah daun pohon, menimpa muka pangeran itu sehingga Sin Liong dapat memandangnya dengan jelas. Pangeran itu menatap wajah Sin Liong dan sambil tersenyum dia berkata kepada Sin Liong yang memandangnya dengan mata penuh kebencian dan kemarahan.

“Sin Liong, bagaimana pendapatmu dengan ini? Nyawamu berada di dalam tanganku!”

Sin Liong mendengar semua kata-kata mereka berdua, akan tetapi pada saat itu seluruh perhatiannya lahir batin tercurah kepada jalan darahnya dan pernapasannya. Dari mendiang kakeknya, dia pernah menerima pelajaran tentang Thai-kek-sin-kun dan di dalam ilmu yang amat hebat ini terdapat bagian yang amat rahasia, yaitu penguasaan jalan darah melalui pernapasan. Karena sulitnya ilmu ini, maka diapun, seperti ilmu lain, hanya menghafalkannya di luar kepala saja dan belum mempunyai cukup waktu untuk melatihnya.

Kini, dalam keadaan tertotok jalan darahnya dan terancam nyawanya, teringatlah dia akan ilmu itu dan diam-diam dia telah mengerahkan seluruh perhatiannya, mengatur pernapasan dan perlahan-lahan hawa murni dari pernapasannya itu menyusup ke dalam jalan darah dan membantu jalan darah yang terhenti karena totokan untuk membebaskannya. Oleh karena itu, mendengar pertanyaan Han Houw, dia hanya mendengar sayup-sayup saja dan karena tidak memperhatikannya, maka diapun menjawab sambil lalu dan suaranya masih seperti kalau dia bicara dengan Han Houw kemarin, sebelum terjadi pengkhianatan ini.






“Houw-ko aku memang tahu bahwa engkau kejam dan curang. Aku adalah seorang gagah, tentu saja tidak takut mati, lebih baik mati dalam keadaan gagah daripada hidup menjadi manusia curang dan kejam seperti engkau.”

“Bocah setan, berani engkau bicara seperti itu terhadap pangeran? Kurang ajar, engkau layak mampus seratus kali!”

Tiba-tiba Hek-liong-ong meloncat ke depan dan mengangkat goloknya, membacok ke arah leher Sin Liong. Pada saat itu, Sin Liong sedang mengerahkan seluruh hawa murni yang terbawa oleh tarikan napasnya untuk membobol jalan darahnya yang terhenti, maka ketika dia melihat serangan ini, dia hanya membelalakkan mata dan menanti maut dengan mata terbuka.

Harapannya habis ketika dia melihat betapa pada saat itu juga, anak panah di busur yang dipegang oleh pangeran itu melesat dengan cepat sekali, mengeluarkan bunyi mendesis yang mengerikan.

“Crotttt...!”

Karena dilepas dari jarak dekat, anak panah itu menancap ke ulu hati dan menembus ke punggung!

Sepasang mata Hek-liong-ong terbelalak, melotot hampir keluar dari rongga mata, mulutnya mengeluarkan teriakan karena kaget, nyeri dan juga heran.

“Oughhhhh... pangeran... mengapa...?”

Tubuhnya terjengkang dan goloknya terlepas dari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah anak panah yang menembus dadanya sehingga anak panah itu patah, tubuhnya berkelojotan dan tak lama kemudian dia terkulai dan tewas karena anak panah itu telah menembus jantungnya.

Rasa kaget dan heran yang amat hebat seperti mendorong hawa murni dan menembus jalan darah yang terhenti,

“Plong...!” dan Sin Liong mampu bergerak lagi.

Dia bangkit duduk dan memandang pangeran itu sambil bertanya, melanjutkan pertanyaan sepotong yang keluar dari mulut Hek-liong-ong sebelum tewas tadi,

“Mengapa engkau lakukan itu? Mengapa kau membunuh dia?”

Kini pangeran itu memandang dengan mata terbelalak.
“Liong-te, kau... kau... dapat bergerak? Bukankah Hek-liong-ong tadi menotokmu?”

Sin Liong mengangguk.
“Baru saja aku berhasil membebaskan diri. Akan tetapi, Houw-ko, mengapa sikapmu begini aneh? Apa yang terjadi dan mengapa kau membunuh dia yang menjadi pembantumu?”

Pangeran itu menarik napas panjang, melangkah menghampiri mayat Hek-liong-ong dan menyentuh dengan kakinya.

“Menjemukan dia ini! Dan engkau mengatakan aku kejam dan curang. Memang aku kejam dan curang pada waktu-waktu tertentu, seperti ketika melihat engkau terancam bahaya maut. Dia ini lihai sekali dan tanpa mempergunakan kecurangan, belum tentu aku dapat membunuhnya sedemikian mudahnya.”

“Houw-ko, aku tahu bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku, dan aku tahu pula mengapa Hek-liong-ong membenciku dan hendak membunuhku. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau membunuhnya. Bukankah Lam-hai Sam-lo merupakan pembantu-pembantumu, pembantu pemerintah?”

“Dia layak mampus, Liong-te. Dosa-dosanya terlalu banyak terhadapku. Pertama, di waktu aku tidur, dia lancang menotokmu dan mengejutkan aku. Itu saja sudah cukup baginya untuk mati. Ke dua, dia hendak membunuhmu, padahal engkau adalah sababatku. Perbuatannya itu berarti tidak mengindahkan aku dan lancang, merupakan dosa tak berampun. Dan ke tiga, dia tidak boleh membunuhmu, karena selain engkau seorang sahabat baikku yang kusayang, juga adalah calon saudara seperguruanku.”

“Ehh...?” Sin Liong berseru heran.

“Lupakah kau bahwa aku ingin sekali menjadi murid dewa yang bermukim di Himalaya itu, Liong-te? Sudahlah, kematian orang ini tidak perlu diributkan lagi, dia mati sebagai seorang petugas yang menyeleweng dan kuanggap menentang atasan. Mari kita lanjutkan perjalanan.”

Mereka naik ke atas punggung kuda masing-masing.
“Houw-ko, aku berhutang nyawa kepadamu.”

“Ah, jangan berlebihan, Sin Liong. Engkau telah berhasil membebaskan totokan dan tanpa kubantupun, belum tentu Hek-liong-ong mampu membunuhmu.”

Sin Liong tidak membantah, merasa tidak perlu berbantah tentang itu karena dia tahu benar bahwa tanpa bantuan pangeran itu, dia tentu telah tewas oleh golok Hek-liong-ong yang menyerangnya pada saat dia belum berhasil membebaskan diri dari totokan.

Pangeran itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang hebat. Baginya seakan-akan membunuh Hek-liong-ong itu merupakan hal biasa saja dan diam-diam Sin Liong merasa makin menyesal mengapa pangeran yang telah menarik hatinya dan mulai disukanya ini memiliki watak yang demikian kejam dan dingin terhadap keadaan orang lain yang tidak disukanya.

Dan dia melihat betapa Han Houw amat suka berburu, sampai tiga hari lamanya dia terpaksa menemani pangeran itu berburu di dalam hutan yang memang dihuni oleh banyak sekali binatang liar itu. Namun dia sendiri tidak ikut mempergunakan anak panahnya. Sin Liong terlalu mencinta kehidupan di dalam hutan untuk merusaknya begitu saja. Dia berduka melihat betapa Han Houw menyebar maut di antara binatang-binatang yang sama sekali tidak berdosa, membunuhnya, merobohkannya dengan anak panah lalu meninggalkan bangkainya begitu saja!

Melihat Hek-liong-ong tewas dan mayatnya ditinggalkan begitu saja, dia tidak merasa terlalu menyesal karena memang orang itu hanya akan menyebar kejahatan dengan mengandalkan kepandaian. Akan tetapi melihat binatang-binatang hutan yang sama sekali tidak bersalah itu dibunuh begitu saja, benar-benar dia merasa betapa hatinya perih dan menyesal.

Memang demikianlah keadaan di dunia ini. Manusia, dengan akal budi dan pikirannya yang membuat manusia menganggap bahwa dia merupakan mahluk teragung, terpandai, dan terbaik di dunia ini, kadang-kadang melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa mengerikan, kekejaman-kekejaman yang tidak akan dilakukan oleh mahluk lainnya. Kekejaman yang telah merupakan semacam “kebudayaan” atau yang sering kali dinamakan “olah raga” sehingga telah menjadi suatu kebiasaan yang dianggap sopan dan baik, menjadi bukti akan keunggulan manusia di antara segala mahluk.

Manusia memburu dan mengejar mahluk-mahluk lain, binatang-binatang di dalam hutan, membunuh mereka, kadang-kadang membunuh untuk memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya lebih condong kepada kebutuhan selera daripada kebutuhan perut, akan tetapi lebih sering lagi membunuh binatang-binatang itu hanya untuk kesenangan belaka, setelah dibunuh binatang-binatang itu, bangkainya ditinggalkan begitu saja!

Manusia menikmati kesenangan dari membunuh! Dan membunuh semacam ini, karena kebudayaan, karena kebiasaan, sudah bukan dianggap membunuh lagi. Membunuh dianggap kesenian, kebudayaan, olah raga! Dan bukan manusia-manusia pedusunan atau pegunungan yang menganggap demikian, yang memiliki kebudayaan macam itu, sama sekali bukan.

Penghuni dusun atau gunung memang banyak yang memburu binatang, akan tetapi bukan untuk kesenangan membunuh, melainkan sebagai nafkah hidup. Yang menganggap pembunuhan sebagai kebudayaan justeru adalah manusia-manusia terpelajar, manusia-manusia kota yang mempropagandakan prikemanusiaan, yang bicara muluk-muluk tentang kerohanian, dan sebagainya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bagi mereka yang mau membuka mata melihat kenyataan dan mengenal keadaan diri sendiri lahir batin!

Selama tiga hari, Sin Liong melihat betapa pangeran yang tampan itu bergembira ria, mengejar harimau dan kijang, dan selama tiga hari itu, belasan ekor binatang telah menemui ajalnya, mati dan dibiarkan bangkainya membusuk dan dimakan binatang-binatang lain.

Memang ada di antara korban-korban itu yang dagingnya diambil dan dimakan oleh mereka berdua, akan tetapi hanya sedikit dan tidak ada artinya dibandingkan dengan banyaknya binatang yang tewas.

Pada suatu hari, tibalah dua orang muda itu di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang ramai di tepi Sungai Yang-ce di tapal batas sebelah utara dari Propinsi Kiang-si. Seperti biasa kalau mereka tiba di kota atau pedusunan, Han Houw lalu mengajak Sin Liong langsung menuju ke gedung kepala daerah di mana dia mengeluarkan kim-painya dan segera setelah orang mengenal kim-pai itu, Han Houw disembah-sembah dan disambut dengan segala kehormatan.

Tentu saja Sin Liong yang diperkenalkan oleh Han Houw sebagai adik angkatnya, juga menerima penyambutan yang amat ramah dan terhomat sehingga kadang-kadang pemuda remaja ini merasa canggung dan sungkan.

Pakaian-pakaian indah disediakan oleh Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang itu untuk Han Houw dan Sin Liong. Tentu saja untuk Han Houw disediakan pakaian yang pantas untuk dipakai seorang pangeran, sedangkan untuk Sin Liong disediakan pakaian yang biasanya hanya dipakai oleh kongcu-kongcu bangsawan atau hartawan!

Melihat sikap Sin Liong yang kikuk, Han Houw tertawa dan dengan setengah memaksa dia berkata,

“Liong-te, engkau adalah sahabatku yang baik, sudah sepatutnya engkau menerima penghormatan dari siapapun juga. Pakaianmu sudah kotor, hayo kaupakai pakaian baru ini. Kalau engkau memakai pakaian lama itu, aku sebagai sahabat baikmu tentu akan merasa ikut malu, apalagi engkau bukan hanya sahabat, melainkan adik angkatku!”

“Adik angkat? Apa maksudmu, Houw-ko?” tanya Sin Liong ketika mereka berada di dalam kamar mewah yang disediakan oleh Gu-taijin untuk mereka.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: