***

***

Ads

Rabu, 08 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 110

Apalagi ketika dia tiba di Rawa Bangkai, di sebelah selatan Lembah Naga, teringatlah dia akan semua pengalamannya di waktu kecil karena daerah ini amat dikenalnya. Akan tetapi kini semenjak dari Rawa Bangkai, telah nampak penjaga-penjaga yaitu perajurit-perajurit dari pasukan Raja Sabutai, yang menjaga dengan tertib dan gagah, selain menjaga tapal batas itu, juga sekalian sebagai penghormatan kepada para tamu yang akan datang berkunjung berkenaan dengan adanya sayembara pemilihan guru silat.

Maka, tidak seperti biasanya, kini para penjaga itu berpakaian seragam baru yang gagah berkilauan, dengan tombak di tangan, dan bendera-bendera tanda kebesaran Raja Sabutai berkibar di mana-mana.

Ketika para penjaga itu melihat datangnya Ceng Han Houw yang mereka kenal sebagai Pangeran Oguthai, mereka menyambut dengan gembira sekali. Sambil memberi hormat mereka berseru,

“Hidup Pangeran Oguthai!”

Wajah para perajurit yang tadinya kaku dan gelap, seketika menjadi terang penuh seri dan senyum, bahkan beberapa orang lalu cepat menunggang kuda untuk mengabarkan kedatangan pangeran ini ke Lembah Naga. Oguthai atau Ceng Han Houw tersenyum dan melambai ke kanan kiri menerima sambutan dan penghormatan anak buah ayahnya, dan ketika ada beberapa orang perwira tinggi besar yang gagah menyambut, diam-diam Sin Liong merasa kagum akan keagungan kakak angkatnya itu.

Ketika para perwira tua muda itu mengerumuni Han Houw, memberi hormat dan menyambutnya dengan berbagai cara, bicara dengan ramainya dalam bahasa utara yang dimengerti pula oleh Sin Liong karena anak ini sejak lahir berada di daerah ini, tiba-tiba Han Houw berkata lantang.

“Heiii... para perwira..., kalian beri hormat kepada Liong Sin Liong ini! Dia ini adalah adik angkatku!”

Semua perwira mengangkat alis dan membelalakkan mata, terkejut mendengar ini dan mereka tergesa-gesa memberi hormat kepada Sin Liong sambil mohon maaf karena mereka tidak tahu bahwa Liong-kongcu ini adalah adik angkat dari Pangeran Oguthai!

Dihormati secara berlebihan itu, Sin Liong juga merasa kikuk sekali dan membalas penghormatan mereka, dilihat oleh Han Houw yang tertawa bergelak melihat kekikukan Sin Liong.

Ketika melihat banyaknya orang kang-ouw berbagai suku bangsa berbondong datang ke tempat itu, Sin Liong lalu menarik tangan Han Houw, diajak ke pinggir agar pembicaraan mereka tidak terdengar orang lain, kemudian dia berkata,

“Harap kau maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat ikut bersamamu ke Lembah Naga.”

Han Houw memandang heran.
“Eh, kenapa begitu, Liong-te? Jauh-jauh kau sudah ikut bersamaku ke sini, dan setelah hampir memasuki Lembah Naga, engkau tidak mau melanjutkan? Kenapa sih?”

Sukar bagi Sin Liong untuk bicara terus terang. Tentu saja selama ini dia tidak pernah dapat melupakan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio telah membunuh ibu kandungnya, Kim Hong Liu-nio pernah menyiksanya dan nyaris membunuhnya, kemudian Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li telah menyebabkan kematian kong-kongnya, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, kakeknya yang amat dihormat dan disayangnya itu.






Sekarang, biarpun dia telah menjadi adik angkat Han Houw, biarpun kakak angkatnya itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan sute dari Kim Hong Liu-nio, bagaimana mungkin dia dapat bertemu dengan dua orang musuh besarnya itu tanpa menyerang mereka? Dan dia sudah mengambil keputusan untuk tidak menyerang dua orang itu di depan Han Houw melainkan mencari kesempatan bertemu dengan mereka di luar tahu Han Houw agar dia boleh membuat perhitungan tanpa menyinggung perasaan kakak angkatnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus bicara terus terang kepada Han Houw.

“Maaf, Houw-ko, akan tetapi aku tidak suka ramai-ramai, aku tidak suka dikenal sebagai adik angkatmu lalu dihormati secara berlebihan. Selain itu, aku tidak suka akan segala peraturan dan peradatan, aku akan merasa canggung dan kikuk kalau berhadapan dengan ayahmu, seorang raja. Maka biarlah aku ikut bersama para penonton, dan aku... aku ingin sekali pergi mengunjungi hutan-hutan dan penghuni hutan, bekas teman-temanku. Aku ingin bebas dan sendirian di daerah ini, Houw-ko.”

Han Houw mengangguk-angguk. Dia maklum akan perasaan adiknya itu. Dia sudah mendengar bahwa ketika masih bayi, anak ini diasuh oleh monyet-monyet hutan, maka kalau kini dia merasa rindu akan hutan dan isinya, dia dapat memakluminya. Pula, kalau ayahnya mendengar bahwa dia mengambil seorang anak biasa sebagai adik angkat, tentu akan timbul banyak pertanyaan dan hatinya akan kecewa dan tidak enak kalau ayahnya tidak menyetujui pengangkatan saudara itu.

“Baiklah, Liong-te. Akan tetapi jangan lupa untuk menemui aku, karena setelah selesai menyaksikan pemilihan, akupun harus kembali ke selatan, ke kota raja menghadap kakanda kaisar, melaporkan perjalananku ke selatan. Dan kita akan melakukan perjalanan bersama lagi ke selatan, menyeberang tembok besar.”

Girang sekali hati Sin Liong mendengar jawaban ini. Kakak angkatnya ini memang bijaksana sekali!

“Terima kasih, Houw-ko. Nah, aku pergi dulu.”

“Eh, kenapa engkau tidak membawa kudamu? Bawalah, agar engkau tidak terlalu capai.”

Sin Liong tersenyum dan makin beratlah hatinya untuk menyinggung hati kakak angkatnya ini yang sering sudah memperlihatkan rasa sayang kepadanya. Dia mengangguk, lalu meloncat naik ke atas punggung kuda dan melarikan kudanya, setelah dua kali menoleh ke arah Han Houw yang memandangnya sambil tersenyum.

Sin Liong membalapkan kudanya memasuki hutan. Dia mengambil jalan simpangan, jalan melalui hutan-hutan dan padang-padang rumput yang sudah dikenalnya benar, menuju ke suatu tempat di daerah Lembah Naga, yaitu di tanah kuburan yang biasanya dipakai untuk memakamkan seorang di antara para pembantu ayah angkatnya kalau ada yang meninggal dunia. Dia hendak mencari kuburan ibu kandungnya! Dan karena ibu kandungnya tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, maka tentu saja dia tidak dapat berterus terang kepada Han Houw. Pula, dia khawatir kalau sampai bertemu dengan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li, dia tidak akan kuat menekan kemarahan hatinya.

Tidak sukar baginya untuk menemukan makam ibunya, karena di antara beberapa buah makam yang tidak banyak jumlahnya itu dia melihat makam di mana terdapat batu nisannya yang bertuliskan huruf-hurut ukiran yang cukup indah karena ditulis oleh Kui Hok Boan yang pandai menulis. Di situ terukir nama Liong Si Kwi atau nyonya Kui Hok Boan!

Sin Liong yang sudah mengikat kudanya pada sebatang pohon, kini berdiri di depan makam itu, makam yang terlantar dan tidak terpelihara karena siapa yang akan memeliharanya setelah keluarga Kui diharuskan pergi dari Lembah Naga?

Makam itu penuh dengan rumput tebal dan tanaman liar. Sampai lama Sin Liong berdiri termenung, memandangi rumput-rumput tebal itu dan terbayanglah walah ibu kandungnya yang selalu bersikap lembut kepadanya. Dia tidak merasa berduka, tidak merasa terharu, hanya merasa marah sekali, marah dan dendam kepada Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!

Akan tetapi dia juga merasa tidak enak sekali kepada Ceng Han Houw yang begitu baik kepadanya, bahkan yang pernah menyelamatkan dia dan mengorbankan nyawa anak buahnya sendiri, yaitu Hek-liong-ong untuk menyelamatkannya. Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li hutang nyawa ibu kandungnya dan kakeknya kepadanya, akan tetapi diapun hutang budi kepada Han Houw dan tidak semestinya kalau dia menyakitkan hati Han Houw. Oleh karena itu, dia harus bersabar, dia harus menanti kesempatan dapat bertemu berdua atau bertiga saja dengan dua orang musuh besarnya itu, di luar tahu Han Houw!

“Ibu...!”

Dia berbisik dan Sin Liong lalu mempergunakan kedua tangannya untuk membersihkan tempat itu, mencabuti rumput-rumput dan tanaman liar yang tumbuh di atas makam sampai makam itu kelihatan bersih.

Setelah membersihkan makam ibunya dan berlutut di depan makam, Sin Liong lalu bangkit dan meninggalkan makam, meloncat ke atas punggung kudanya dan memasuki hutan di mana dahulu dijadikan tempat bermain bersama para monyet besar.

Begitu memasuki hutan, Sin Liong merasa gembira sekali. Ingin dia melepaskan pakaiannya dan berloncatan dari pohon ke pohon seperti dahulu! Dan dia merasa malu sendiri duduk di atas punggung kuda besar yang sudah berkeringat itu. Dia meloncat turun, menurunkan pelana dan buntalan pakaian, melepaskan kendali dan membiarkan kuda itu bebas, lalu menepuk pinggul kuda itu.

“Nah, kau boleh bebas bermain-main di sini!” katanya.

Kuda itu lari congklang dan lenyap di sebuah tikungan, di antara pohon-pohon. Sin Liong tertawa, lalu dia meloncat ke atas sebuah pohon besar, menaruh pelana, kendali dan buntalan di atas pohon, di antara cabang-cabang yang tinggi, kemudian dia berloncatan dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon, mencari-cari teman-temannya!

Akan tetapi Sin Liong merasa kecewa. Ketika dia bertemu dengan segerombolan monyet, mereka itu memekik dan memperlihatkan taring, bahkan mereka lalu melarikan diri ketika didekatinya. Mereka tidak mengenalnya lagi! Ah, tentu saja, pikirnya. Ketika dia masih bermain-main dengan mereka, dia adalah seorang anak kecil dan kini dia sudah menjadi hamper dewasa, sesudah terlalu sering mendapat gangguan dari orang-orang dewasa, dari pemburu-pemburu, maka tentu saja mereka menganggap setiap orang manusia dewasa adalah musuh mereka.

Betapapun juga, Sin Liong merasa senang sekali berada di dalam hutan-hutan yang amat dikenalnya itu. Dia merasa seolah-olah menemukan dunianya kembali dan dia merasa enggan untuk meninggalkannya lagi. Oleh karena itu, seakan-akan dia telah lupa akan waktu, pemuda itu telah berkeliaran di dalam hutan-hutan itu selama tiga hari tiga malam!

Dia tentu masih akan terus berkeliaran di situ, entah untuk berapa lamanya, makan buah-buahan dan memanggang daging binatang-binatang hutan, tidur di puncak pohon-pohon besar, kalau saja pada pagi hari ke empat itu setelah matahari naik tinggi dia tidak mendengar suara hiruk-pikuk dari jauh di sebelah utara ketika dia sedang duduk di antara daun-daun di atas pohon.

Sin Liong terkejut dan segera dia memperhatikan suara itu. Maka tahulah dia bahwa itu adalah suara banyak orang yang bersorak-sorak gembira, seolah-olah sedang menonton sesuatu yang menyenangkan sekali. Teringatlah dia akan sayembara pemilihan guru silat yang diadakan oleh raja di situ, ayah dari Ceng Han Houw! Baru dia teringat bahwa telah tiga hari tiga malam dia berada di dalam hutan-hutan itu, dan bahwa kedatangannya di daerah itu adalah terbawa oleh pangeran itu.

Sin Liong meloncat turun dari atas pohon, membereskan pakaian dan rambutnya, kemudian dia berjalan cepat keluar dari hutan menuju ke arah suara yang terdengar dari jauh itu. Tak lama kemudian tibalah dia di Lembah Naga dan dari jauh saja sudah nampak olehnya sebuah panggung besar dan kokoh kuat dibangun di depan Istana Lembah Naga dan di atas panggung itu nampak dua orang sedang bertanding dengan hebat dan serunya.

Di depan istana itu nampak banyak kursi dan di situ duduk seorang laki-laki tinggi besar berpakaian indah dan mewah, mukanya penuh cambang bauk, muka yang gagah perkasa dan melihat Han Houw duduk di dekatnya bersama seorang wanita cantik jelita berusia kurang lebih empat puluh tahun, maka Sin Liong dapat menduga bahwa tentulah laki-laki gagah yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu tentulah ayah Han Houw, raja di daerah itu yang bernama Sabutai.

Di sekeliling raja ini duduk banyak sekali orang, tidak kurang dari tiga puluh orang banyaknya, dan di luar panggung terdapat banyak penonton yang terdiri dari berbagai suku bangsa, akan tetapi banyak terdapat orang-orang Han yang aneh-aneh, ada yang berpakaian seperti hwesio yang kepalanya gundul, seperti saikong, seperti tosu dan seperti pertapa, akan tetapi banyak pula yang pakaiannya jembel seperti pengemis, seperti ahli-ahli, dan guru-guru silat dan lain-lain.

Mereka inilah yang bersorak-sorak, karena mereka ini adalah yang orang-orang kang-ouw yang paling suka menonton orang mengadu kepandaian silat, sedangkan pada saat itu, dua orang yang bertanding di atas panggung memiliki kepandaian tinggi yang seimbang sehingga pertandingan itu amat seru dan menegangkan.

Kini Sin Liong sudah tiba di bawah panggung, menyelinap di antara para penonton yang berjubelan itu, menjaga agar jangan terlalu dekat dengan tempat duduk raja dan Han Houw agar jangan sampai pangeran itu melihatnya.

Kini dia mulai memperhatikan dua orang yang masih bertanding di atas panggung itu. Seorang pendeta Lama bertubuh tinggi besar seperti raksasa sedang bertanding melawan seorang laki-laki setengah umur yang pakaiannya seperti seorang tosu.

Pendeta Lama itu, seperti biasa para pendeta Lama dari Tibet, berkepala gundul dan memakai jubah lebar berwarna kuning. Ilmu silatnya bersifat keras dan mengandalkan tenaga yang kuat, gerakan kedua tangannya yang memukul demikian dahsyat sehingga mengeluarkan angin yang bersiutan, dan gerakan tubuhnya juga gesit dan bertenaga kuat sehingga jubah kuning itu berkibar-kibar seperti layar perahu mendapat angin.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: