***

***

Ads

Sabtu, 11 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 111

Gerakan kakinya mempunyai gaya yang gagah, seperti kaki rajawali yang sedang bertanding, berlompatan dan kadang-kadang kaki itu melakukan tendangan-tendangan dahsyat, langkahnya lebar-lebar dan sering kali pendeta Lama itu berdiri di atas ujung jari-jari kakinya sehingga tubuhya yang sudah jangkung itu menjadi makin tinggi. Diam-diam Sin Liong mengagumi gaya ilmu silat Pendeta Lama itu, karena memang gagah sekali dan sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar.

Akan tetapi lawannya, tosu yang tubuhnya sedang itu, juga amat lihai. Dia memiliki gaya yang berlawanan dengan pendeta Lama itu. Melihat betapa lawannya banyak menyerang dari atas, mengandalkan jangkungnya dan lengannya yang panjang, tosu itu banyak main di bawah, seperti seekor ular yang menghadapi serangan rajawali. Kedua kakinya melangkah gesit dan cepat bukan main, tubuhnya menyelinap ke sana sini menghindarkan semua serangan lawan, dan dia membalas serangan-serangan itu dari bawah dengan sama kuatnya, sungguhpun gerakannya lebih halus dan pukulan-pukulannya kelihatan tidak bertenaga, namun Sin Liong maklum bahwa tosu itu adalah seorang ahli lwee-keh yang memiliki pukulan mengandung tenaga dalam yang berbahaya.

Karena sifat ilmu silat kedua orang itu amat berlawanan, maka pertandingan itu kelihatan seru dan menarik sekali. Yang amat menambah ketegangan adalah sikap sebagian penonton, yaitu sekelompok tosu dan sekelompok hwesio atau pendeta Lama yang agaknya saling bertentangan, menjagoi teman masing-masing yang sedang bertanding itu.

Bahkan antara para tosu dan para pendeta berkepala gundul itu sudah saling pandang dengan mendelik dan saling mengamangkan tinju dengan sikap menantang! Tentu saja sikap dua rombongan hwesio dan tosu yang bertentangan ini menambah tegang suasana dan tahulah Sin Liong bahwa memang terdapat persaingan atau permusuhan antara para hwesio atau para pendeta Lama itu dan para tosu.

Sin Liong tidak tahu bahwa memang terjadi persaingan hebat antara dua golongan ini. Pada waktu itu, Raja Sabutai merupakan kekuatan yang mulai menonjol di utara, bahkan raja ini pernah berhasil menyerang ke selatan, memiliki tentara yang cukup kuat dan pengaruhnya makin besar di daerah utara itu. Oleh karena itu maka dua golongan ini mulai mengincar daerah ini untuk menjadi ladang penyebaran pelajaran agama masing-masing.

Memang amat mengherankan sekali bagi orang yang mau melihat kenyataan, akan tetapi tak dapat disangkal bahwa hal ini seperti ini, yaitu persaingan antara agama, masih saja terjadi di mana-mana, di mana para penyebar agama saling berebutan daerah untuk menyebar pelajaran agama masing-masing. Padahal inti pelajaran dari semua agama itu sendiri adalah sejalan, yaitu menjauhkan kekerasan, menjauhkan permusuhan, menghilangkan kebencian dan memupuk cinta kasih antara manusia!

Memang pada akhirnya, bukan agamanya yang menentukan, melainkan manusianya! Seperti juga segala sesuatu di dunia ini, baik benda-benda yang nampak maupun yang tidak nampak, seperti ilmu agama, ilmu pengetahuan, ilmu silat maupun ilmu surat, semua hanya merupakan alat bagi manusia dan baik buruknya semua itu tergantung kepada si manusia sendiri!

Tak mungkin memupuk cinta kasih melalui kebencian, memupuk perdamaian melalui peperangan, memupuk kebaikan melalui kejahatan. Di dalam cara terkandung tujuan dan bukanlah tujuan menghalalkan segala cara. Cara yang jahat dan buruk tentu menghasilkan akhir yang jahat dan buruk pula, seperti juga pohon yang buruk takkan mungkin menghasilkan buah yang baik.

Akan tetapi sayang sekali, kita, atau rombongan tosu, dan Lama yang berada di sekitar panggung liu-tai itu, hanya mementingkan buahnya, hanya mementingkan akhir tujuan, sama sekali lupa akan pohonnya, lupa akan caranya, lupa akan tindakan mereka pada saat itu.






Pada waktu itu, memang banyak terdapat golongan-golongan agama yang sedang sibuk meluaskan pengaruh masing-masing. Tentu saja golongan-golongan ini terdiri orang-orang yang hanya mengaku beragama, akan tetapi sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang ingin mengejar kesenangan melalui agama. Orang yang benar-benar beragama tak mungkin mengejar sesuatu, tak mungkin mencari kesenangan untuk diri sendiri apalagi kalau dalam mengejar kesenangan itu harus mencelakakan orang lain.

Oleh karena persaingan itu, maka ketika Raja Sabutai mengadakan sayembara memilih guru untuk puteranya, golongan-golongan agama yang ingin meluaskan pengaruhnya ini melihat terbukanya kesempatan baik untuk menanamkan pengaruh mereka ke daerah ini, maka mereka lalu datang dan mengajukan jagoan masing-masing untuk memperebutkan kedudukan itu.

Tentu saja sebagai orang-orang beragama, mereka itu tidak lagi mementingkan kedudukan atau harta, melainkan ingin memperlebar atau memperluas pengaruh untuk mengembangkan agama masing-masing melalui kedudukan sebagai guru dari putera Raja Sabutai. Dan bertemunya seorang pendeta Agama To dan pendeta Agama Buddha Lama di panggung lui-tai itu merupakan pertemuan antara dua golongan musuh lama yang selama ratusan tahun memang sudah saling mengejek dan saling menyalahkan ajaran masing-masing.

Tentu saja masih banyak golongan agama lain yang saling bersaing pada masa itu, akan tetapi yang merupakan musuh bebuyutan adalah Agama To-kauw dan Hud-kauw.

Sin Liong yang sejak kecil sudah menerima gemblengan orang-orang sakti dan memiliki dasar ilmu-ilmu silat tinggi, segera melihat bahwa pertandingan antara kedua orang itu bukan hanya adu ilmu belaka, melainkan pertandingan yang dikuasai nafsu ingin menang, kalau perlu dengan membunuh lawan, karena dia melihat betapa kedua fihak mengeluarkan serangan-serangan maut dengan pengerahan tenaga yang tidak dibatasi lagi.

Maka dia merasa tak senang dan tidak tertarik lagi, karena yang ditontonnya itu bukanlah pibu untuk mengadu kepandaian, melainkan orang berkelahi dengan hati dipenuhi dendam dan kemarahan! Oleh karena itu, tidak seperti semua orang lain, yang mencurahkan perhatian ke atas panggung, dengan hati tegang dan gembira seperti biasanya orang-orang kango-uw yang suka sekali akan adu silat bahkan makin keras dan seru makin baik bagi mereka, Sin Liong mulai mengalihkan perhatiannya dan pandang matanya menyapu ke kanan kiri di antara para penonton yang terdiri dari bermacam-macam orang itu.

Tiba-tiba perhatian Sin Liong tertarik akan sikap seorang laki-laki yang dianggapnya aneh. Semua orang mencurahkan perhatian mereka ke atas panggung, kecuali sebagian para tosu dan hwesio yang saling ejek dan saling ancam, akan tetapi dia melihat seorang laki-laki yang sikapnya amat mencurigakan.

Laki-laki ini memakai baju hitam, pakaiannya seperti seorang ahli silat, ringkas dan sepasang matanya mengerling ke kanan kiri dengan tajam, seperti mata orang yang mempunyai niat buruk dan takut ketahuan orang. Laki-laki itu berusia kurang lebih enam puluh tahun, jenggot dan kumisnya pendek dan kaku, tubuhnya tegap dan dia berdiri agak membungkuk di antara penonton, kemudian dengan gerakan gesit dia menyelinap pergi.

Sin Liong cepat memperhatikan orang itu karena dia melihat betapa orang itu mengeluarkan sebatang anak panah. Ujung anak panah itu mengeluarkan sinar kehijauan tanda bahwa anak panah itu ujungnya mengandung racun!

Bagi seorang kang-ouw, membawa senjata bukanlah hal yang aneh, dan andaikata sikap orang ini tidak mencuri hati Sin Liong, pemuda inipun tentu akan menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi orang itu mengusik kecurigaan hatinya, maka diam-diam dia lalu membayangi orang itu dengan pandang matanya, bahkan kakinya mulai bergerak pula menyelinap di antara penonton ketika dia melihat orang itu makin mendekati panggung di mana duduk Han Houw dan keluarga raja.

Jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat laki-laki itu menggerakkan tangan dan sinar hijau menyambar ke depan ke arah Ceng Han Houw!

“Houw-ko, awas...!”

Sin Liong cepat berseru nyaring sekali, mengatasi kegaduhan suara pertandingan di atas panggung dan para penonton. Teriakannya itu menyadarkan Han Houw yang cepat bangkit berdiri, kemudian dengan tangkasnya pemuda bangsawan itu menggerakkan tangannya sambil miringkan tubuh, berhasil menangkap anak panah yang menyambar ke arahnya tadi.

Sin Liong meloncat ke atas melemparkan orang yang tadi dia tangkap dan dia pegang tengkuknya tanpa orang itu mampu meloloskan diri atau melawan. Orang itu terbanting ke atas panggung di depan Han Houw.

“Dia inilah yang tadi melepas anak panah. Awas, anak panah itu beracun, Houw-ko!” kata Sin Liong.

Karena adanya keributan ini, otomatis dua orang yang sedang bertanding itu berhenti dan meloncat ke belakang, dan kini semua orang mengarahkan pandang mata mereka ke panggung tempat raja dan keluarga serta pembantu-pembantunya duduk.

“Ha-ha, Liong-te, benarkah begitu? Kalau begitu biar dia yang makan racunnya sendiri!”

Han Houw menggerakkan tangannya dan anak panah itu meluncur secepat kilat, menancap ke pundak kanan orang berbaju hitam itu.

“Aughhh...!”

Orang itu memekik kesakitan dan tubuhnya berkelojotan, karena racun itu adalah racun Jeng-hwa-tok (Racun Kembang Hijau) yang amat ampuh dan kalau saja dia belum mempergunakan obat penawar, tentu dia tewas seketika. Betapapun juga, racun itu masih mendatangkan rasa nyeri yang hebat.

“Hayo katakan, siapa engkau dan mengapa engkau menyerangku secara menggelap?” Han Houw membentak.

“Huh, melihat anak panah beracun hijau siapa lagi orang ini kalau bukan anggauta Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)?” kata Raja Sabutai sambil mengelus jenggotnya, girang melihat bahwa puteranya telah demikian lihainya sehingga mampu menangkap anak panah yang dilepaskan untuk menyerangnya.

“Jeng-hwa-pang...?”

Semua orang kang-ouw terkejut mendengar ini dan mereka memandang penuh perhatian.

Melihat bahwa Raja Sabutai yang terkenal lihai itu telah mengenalnya, maka orang berbaju hitam itu mengangguk dan berkata, sikapnya masih keras dan tidak mengandung rasa hormat atau takut,

“Benar, aku adalah anggauta Jeng-hwa-pang dan kedatanganku tidak ada urusannya dengan pemilihan guru silat, tidak ada hubungannya pula dengan kerajaan di sini. Aku datang untuk membalas dendam kepada wanita iblis Kim Hong Liu-nio, akan tetapi karena aku tidak melihatnya disini, maka aku tujukan panahku kepada dia yang menjadi sute dari wanita iblis itu!” Laki-laki itu sambil menahan rasa nyeri menuding ke arah Ceng Han Houw.

“Ah, kiranya masih ada lagi orang Jeng-hwa-pang yang masih hidup selain ketuanya? Eh, orang yang bosan hidup. Mana dia Tok-ong Cak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang? Kenapa dia tidak datang sendiri memperlihatkan kebodohannya, akan tetapi mengutus orang tidak ada gunanya macam engkau?” Ceng Han Houw berseru sambil tersenyum mengejek.

“Aku sudah gagal oleh bocah setan itu!” Laki-laki berbaju hitam itu melotot ke arah Sin Liong yang masih berdiri di pinggir. “Mau bunuh boleh bunuh, siapa takut mampus? Suheng Gak Song Kam pada suatu hari tentu akan membunuh engkau dan sucimu, kau tunggu saja!”

“Heh-heh-heh, anjing dari mana ini menggonggong terus-menerus?”

Tiba-tiba muncul seorang nenek yang amat mengerikan. Entah dari mana munculnya nenek ini dan semua orang memandang kepada nenek yang sudah berdiri di atas panggung itu sambil terkekeh mentertawakan orang Jeng-hwa-pang itu sambil menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang sekali dan agaknya melengkung.

Nenek ini sudah tua sekali, tentu ada seratus tahun usianya, punggungnya sudah bongkok dan tubuhnya kurus sekali seperti cecak kering. Kedua tangannya seperti cakar burung dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut. Wajahnya yang amat tua itu penuh kerut-merut, mulutnya seperti tidak ada bibirnya, hanya merupakan garis melintang yang penuh keriput. Matanya juga hampir tidak nampak karena amat dalam dan gelap sehingga orang tidak tahu apakah di rongga yang dalam itu ada biji matanya ataukah tidak.

Kalau orang bertemu dengan nenek ini di tempat sunyi apalagi di waktu malam, dia tentu akan lari lintang-pukang karena serem dan menganggapnya siluman atau iblis. Akan tetapi di antara para tokoh kang-ouw ada yang mengenal nenek itu, dan tentu saja Sin Liong juga mengenalnya karena itulah seorang di antara dua musuh besarnya. Nenek itu adalah Hek-hiat Mo-li!

“Subo baru datang? Silakan duduk!” Raja Sabutai segera berkata ketika melihat nenek itu.

Akan tetapi nenek itu tidak menjawab, bahkan berkata lagi sambil terkekeh geli,
“Heh-heh, anjing, mengapa tidak menggongong lagi? Apakah racun Jeng-hwa-tok itu kurang manjur? Nah, kau coba rasakan racunku ini!”

Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kuku jari tangan kirinya telah menggores muka orang itu tanpa dapat dielakkannya, sedangkan tongkat butut itu tahu-tahu telah pindah ke tangan kanan.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: