***

***

Ads

Sabtu, 11 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 120

“Perbandinganmu tidak tepat, Sun Eng!” Bun Houw menahan kemarahannya. “Kalau engkau memilih pemuda yang tepat, kami tentu tidak akan mencampuri dan akan setuju saja. Akan tetapi, pilihanmu keliru. Yang kau pilih adalah pemuda yang berwatak busuk, seorang pemuda pemogoran, mata keranjang dan...”

“Suhu, selera orang memang tidak sama. Suhu mencinta subo dan tentu menganggap subo wanita yang paling baik di dunia ini, akan tetapi bagaimana pandangan ayah suhu yang tidak menyetujui subo menjadi isteri suhu? Tentu berbeda antara selera suhu dan ayah suhu, seperti juga selera antara aku dan suhu juga berbeda. Bagiku, Aw-kongcu adalah pria yang paling baik di dunia.”

Mendengar ini, sambil meringis menahan takut dan kaget, pemuda itu menggandeng tangan Sun Eng yang tersenyum kepadanya.

“Hemm, pilihanmu yang kau lakukan dengan mata buta itupun bukan soal yang terlalu berat, akan tetapi engkau telah menyerahkan kehormatan diri di luar pernikahan sah, apakah hal itu patut dilakukan seorang gadis yang mengenal susila?” tanya In Hong dengan sepasang mata bersinar-sinar.

“Subo, kalau aku menyerahkan kehormatan diriku kepada orang yang kucinta, itu tandanya aku cinta padanya! Auw-kongcu menghendaki bukti dari cintaku, dan bukti yang paling utama adalah penyerahan diri dan kehormatan. Maka aku menyerahkan, karena memang aku cinta padanya. Kami saling mencinta, maka apalagi halangannya bagi kami untuk bermain cinta?”

“Bodoh! Orang macam dia mana bisa dipercaya? Engkau akan disia-siakan setelah engkau dinodainya, akan dibuang setelah habis manis dan tinggal sepahnya. Butakah engkau tidak melihat bahaya itu?” bentak In Hong.

“Memang pendirian subo demikian, maka sampai kinipun subo tidak rela menyerahkan diri kepada suhu. Itu tandanya subo kurang mencinta suhu. Akan tetapi aku mencinta dan percaya kepada Auw-koko..., koko, bukankah engkau tidak akan pernah menyia-nyiakan diriku, bukan?”

Auw-kongcu merangkul.
“Tentu saja tidak, sayang, aku bersumpah...”

SUNGGUH kasihan sekali Sun Eng. Dara remaja yang telah dibutakan oleh nafsunya sendiri itu dengan mudah tunduk dan menyerah, percaya akan bujukan manis seorang pria. Dia tidak tahu bahwa pria macam Auw-kongcu ini hanya mengutamakan pemuasan birahi belaka. Bagi pria macam ini, seperti kebanyakan pria di dunia ini, cinta adalah hubungan kelamin, cinta adalah pemuasan nafsu berahi! Jadi cinta bagi mereka ini, bukti cinta adalah penyerahan diri seorang gadis kepadanya! Kalau tidak mau menyerahkan diri, berarti tidak cinta!

Betapa banyaknya gadis-gadis yang menyerahkan diri sebelum resmi menjadi isteri, sehingga mengandung dan membawa akibat-akibat yang amat menyedihkan. Tentu saja ada pula pria yang bertanggung jawab, namun hal ini tidak banyak dan lebih banyak yang melarikan atau menjauhkan diri karena memang cintanya hanya terletak dalam pemuasaan nafstu berahi belaka.

Dan gadis-gadis yang dungu itu tidak mau membuka mata melihat kenyataan bahwa dalam hubungan di luar nikah ini, yang terancam adalah si wanita. Terancam keadaan jasmani dan keadaan rohaninya, terancam lahir batinnya. Tentu saja hal ini ada hubungannya dengan kebudayaan masyarakat setempat.

Karena itu, betapa pentingnya untuk mempelajari dengan sesungguhnya apa yang oleh kita dinamakan cinta itu! Cinta yang hanya mengejar pemuasan nafsu berahi belaka, adakah itu yang dinamakan cinta? Dan yang amat menyedihkan, betapapun kita selubungi dengan berbagai istilah muluk, namun pada dasarnya banyak di antara kita, juga para wanita, yang mempunyai anggapan bahwa hubungan kelamin adalah tanda cinta! Itu saja!






Ini bukanlah berarti bahwa kita menentang hubungan kelamin, bukan berarti kita menganggap bahwa cinta menolak hubungan kelamin. Sama sekali bukan, dan kita TIDAK BERPENDAPAT APA-APA, hanya mengajak kita semua untuk menyelami, untuk menyelidiki secara mendalam akan apa yang dinamakan cinta oleh kita semua itu.

Cinta kasih tidak bersifat merusak, baik merusak badan maupun batin. Maka setelah melakukan hubungan badan lalu meninggalkannya dan merusak batinnya, jelas bahwa di situ sama sekali tidak terkandung cinta kasih, dan sepenuhnya hanya terisi oleh nafsu berahi belaka. Mengapa orang-orang muda buta terhadap hal yang gamblang ini?

Demikian pula dengan halnya Sun Eng. Dia percaya sepenuhnya akan bujuk rayu Auw-kongcu, didorong oleh rangsangan dan dorongan nafsu birahinya sendiri, menyerahkan dirinya karena Auw-kongcu menuntut penyerahan diri sebagai bukti cintanya.

Bun Houw dan In Hopg merasa sedih bukan main, sedih dan marah.
“Sun Eng, kelak engkau akan menyesal! Bedebah ini menipumu, biar kubunuh dia!”

“Jangan subo bergerak! Kalau subo hendak membunuhnya, bunuhlah dulu aku! Dan kalau subo membunuh kami berdua, itu hanya berarti bahwa subo merasa iri hati terhadap kami!” kata Sun Eng.

Sampai puyeng rasa kepala In Hong mendengar kalimat terakhir itu. Dia membelalakkan mata, wajahnya berubah beringas dan Bun Houw melihat sinar maut di dalan pandang mata kekasihnya. Cepat dia merangkulnya dan dengan marah dia berkata,

“Sun Eng, mulai saat ini, detik ini, engkau bukan murid kami lagi dan kami bukan guru-gurumu lagi! Biarlah kelak akan kupertanggung-jawabkan hal ini dengan roh ayahmu yang dahulu menitipkan engkau padaku. Mulai saat ini segala perbuatanmu adalah menjadi tanggung jawabmu sendiri. Marilah, Hong-moi!” kata Bun Houw dan dia setengah memaksa kekasihnya meninggalkan hutan itu.

Setelah tiba di luar hutan, tak tertahankan lagi In Hong menangis tersedu-sedu! Bun Houw merangkulnya dan In Hong menumpahkan semua rasa duka, penasaran dan marah itu melalui air matanya yang membasahi baju di dada Bun Houw. Bun Houw merangkul dan mengelus rambut kepala kekasihnya menguras semua perasaannya. Setelah tangis itu reda, In Hong mengangkat mukanya yang kini menjadi pucat dan basah air mata, memandang wajah Bun Houw.

“Houw-ko, aku tahu betapa sedih dan kecewa hatimu... ah, Houw-koko yang malang, betapa buruk nasib kita...”

Bun Houw menunduk dan dalam keadaan berduka membutuhkan hiburan itu mereka menemukan hiburan dalam diri masing-masing, dan tanpa mereka sengaja, kedua mulut itu bertemu dalam ciuman yang amat mendalam, penuh kemesraan, penuh permohonan untuk dihibur, untuk dilindungi, dan juga penuh kerinduan yang ditahan-tahan.

Malam itu bulan purnama, dan karena memang keduanya sudah bertahun-tahun menanggung rindu dendam yang amat mendalam, yang mereka jaga dengan segala kekuatan batin mereka, kini setelah mereka berpelukan dan berciuman di dalam cahaya bulan, dan mungkin pula karena peristiwa tadi, melihat murid mereka dan kekasihnya saling menumpahkan rasa cinta mereka melalui hubungan badan, maka pelukan mereka menjadi makin ketat dan ciuman mereka makin hangat.

Akhirnya In Hong terengah-engah melepaskan ciuman dan pelukannya, lalu terisak melarikan diri pulang ke rumah, diikuti oleh Bun Houw yang juga agak terengah napasnya dan panas dingin seluruh tubuhnya.

Mereka tiba di dalam rumah, di ruangan dalam. Pintu dua buah kamar masing-masing masih terbuka. Mereka saling pandang, lalu seperti ada daya tarik luar biasa, keduanya saling tubruk, saling rangkul dan saling berciuman lagi.

Akhirnya, Bun Houw memondong kekasihnya itu melangkah menuju ke pintu kamarnya. Akan tetapi ketika tiba di depan pintunya, tiba-tiba In Hong meronta, melepaskan diri dan melangkah mundur. Mereka saling berpandangan dan dari pandang mata mereka itu terpancar suara hati yang lebih jelas daripada suara melalui kata-kata. Bun Houw menatap wajah yang cantik itu, melihat sinar mata kekasihnya yang harap-harap cemas dan bingung. Dia sadar lalu menunduk dan pada saat itu keduanya sudah mengeluarkan kata-kata yang sama dalam saat yang sama pula.

“Maafkan aku...”

“Maafkan aku...”

Keduanya saling pandang lagi, merasa lega setelah saling minta maaf, kemudian Bun Houw memegang kedua pundak kekasihnya, memandang dengan tatapan penuh kasih sayang, lalu berbisik,

“Sudah terlalu lama kita menanggung derita... bagaimana kalau kita... eh, menengok ayah di Cin-ling-san...?”

Tentu saja dengan ucapan ini Bun Houw membayangkan harapannya bahwa ayahnya kini sudah tidak marah lagi dan akan merestui perjodohan mereka setelah lewat sepuluh tahun lebih. Juga dia sudah merasa rindu kepada ibunya.

Akan tetapi In Hong mengerutkan alisnya.
“Koko, selama ini, biarpun kita menanggung rindu dan tertekan derita batin, namun kita telah kuat bertahan. Kalau... kalau seandainya kita ke Cin-ling-san hanya untuk mendengar ayahmu masih menentang kita, kehancuran hati yang lebih hebat tentu akan kita derita dan belum tentu kita kuat bertahan seperti sekarang. Mengapa tidak menanti saatnya yang baik dan kita menyerahkan diri saja kepada kehendak Tuhan?”

Bun Houw maklum betapa berat rasa hati kekasihnya itu untuk menghadap ayah bundanya setelah ditolak sebagai mantu! Dia hanya mengangguk, menarik napas, mencium dahi In Hong, kemudian membalikkan tubuh dan memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu kamarnya, diikuti oleh pandang mata In Hong.

Wanita ini melinangkan air mata dan hatinya merasa kasihan sekali. Betapa besar keinginan hatinya untuk menghibur hati Bun Houw, untuk melayaninya, untuk menyenangkannya, untuk menyerahkan dirinya! Tiba-tiba dia teringat kepada Sun Eng dan dengan cepat diapun memasuki kamarnya, merasa ngeri akan bayangan pikirannya sendiri karena kini dia dapat merasakan apa yang diperbuat oleh Sun Eng di dalam hutan, tadi! Namun, dia mengerti benar bahwa hal itu adalah tidak benar, oleh karena itu, sampai bagaimanapun dia tidak akan melakukan apa yang diperbuat oleh Sun Eng!

Beberapa bulan semenjak peristiwa di dalam hutan itu yang mengakibatkan Sun Eng tidak pernah kembali lagi ke rumah kedua orang gurunya, meninggalkan semua barang dan pakaiannya karena kekasihnya yang kaya raya itu membelikan pakaian baru sebanyaknya untuknya. Bun Houw dan In Hong mendengar berita mengejutkan. Mereka mendengar bahwa Auw-kongcu kedapatan tewas di dalam hutan dimana dia dahulu mengadakan pertemuan dengan Sun Eng dan menurut berita itu, pemuda Auw ini tewas dalam keadaan mengerikan karena leher dan mukanya berlubang-lubang, berwarna kehijauan dan berbau wangi.

Tentu saja suami isteri ini terkejut bukan main karena luka-luka di leher dan muka seperti itu hanya dapat diakibatkan oleh senjata rahasia Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi), yaitu senjata rahasia dari In Hong yang sudah diajarkan pula kepada Sun Eng!

Mereka dapat menduga bahwa tentu Sun Eng yang telah membunuh Auw-kongcu itu. Mereka menyelidiki dan tahulah mereka bahwa memang Sun Eng yang membunuh pemuda itu karena mereka mendengar keterangan bahwa Auw-kongcu tidak mau mengawini gadis itu.

Bun Houw dan In Hong hanya dapat merasa berduka dan kasihan kepada murid mereka itu, akan tetapi di samping perasaan duka dan kasihan, terdapat perasaan marah yang besar terhadap murid yang dengan perbuatannya berarti juga menodakan nama mereka yang menjadi gurunya. Biarpun mereka berdua sudah tidak mengakuinya sebagai murid, namun baru penggunaan Siang-tok-swa ini saja sudah merupakan bukti langsung bahwa gadis itu adalah murid mereka.

Apalagi ketika mereka mendengar berita bahwa kini setelah terlepas dari Auw-kongcu, Sun Eng bergaul dengan segala macam pemuda bangsawan mata keranjang yang kaya raya dan hidup berfoya-foya, terkenal sebagai seorang gadis yang mempunyai banyak pacar, hati sepasang pendekar ini menjadi semakin marah. Mereka memutuskan untuk tidak memusingkan lagi soal Sun Eng dan mencoba untuk melupakan bekas murid itu dengan tak pernah membicarakannya satu sama lain dan juga mengambil keputusan untuk tidak menceritakan tentang diri gadis itu kepada siapapun juga.

Demikianlah, ketika Sun Eng tiba-tiba muncul di waktu sepasang pendekar ini bersama sepasang pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berada dalam penjara, dan gadis itu hendak menolong mereka, tentu saja Bun Houw dan In Hong menjadi marah dan mengusir bekas murid itu. Dan peristiwa itu tentu saja memaksa mereka berdua untuk menceritakan tentang diri bekas murid itu kepada Yap Kun Liong dan isterinya.

“Tidak disangka perempuan hina itu muncul di sini, sungguh hanya untuk membikin kami berdua malu dan penasaran!” kata In Hong dengan gemas, menutup penuturan Bun Houw yang kini telah menjadi suaminya.

Yap Kun Liong mendengarkan penuturan itu dan mengerutkan alisnya, berulang kali menarik napas panjang.

“Ah, anak itu patut dikasihani...”

“Tapi, Liong-ko, dia tak berahlak, tak tahu malu, merusak nama kami!” In Hong berkata marah.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: