***

***

Ads

Senin, 13 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 123

Melihat ini, Lie Seng terkejut sekali. Benar saja, di sebelah kiri ruangan penjara dimana ibunya dan yang lain-lain dikurung itu mulai berkobar api yang amat besar, tanda bahwa api itu bukan sembarangan kebakaran, melainkan kebakaran yang diatur dan diberi bahan bakar dan minyak.

“Ibu...! Ayah...! Paman dan bibi...! Lekas keluar, ruangan itu dibakar orang!”

Dia berteriak dan karena Lie Seng mengerahkan khi-kangnya, maka suaranya terdengar amat nyaring. Kini giliran Sun Eng yang kaget setengah mati mendengar bahwa pemuda ini masih keluarga dari empat orang pendekar yang ditawan, dan menyebut paman dan bibi kepada suhu dan subonya!

Sementara itu, di dalam ruangan penjara itu, Bun Houw dan In Hong sama sekali tidak memperdulikan teriakan-teriakan Sun Eng tadi. Bahkan ketika Yap Kun Liong menyatakan keheranan dan kecurigaannya, Bun Houw berkata,

“Harap Liong-ko jangan menghiraukan anak durhaka itu.”

Ketika di luar terdengar ribut-ribut, empat orang pendekar ini hanya mendengarkan dan karena memang mereka tidak ingin memberontak, maka mereka diam saja. Biarpun ada golongan yang hendak menolong mereka lolos, mereka tidak akan mau meloloskan diri karena sebagai orang-orang gagah mereka hendak memperlihatkan kepada kaisar bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak seperti yang difitnahkan orang kepada mereka.

Akan tetapi, ketika mereka berempat mendengar suara Lie Seng itu, mereka terkejut sekali.

“Celaka, kita benar-benar terjebak. Jadi penangkapan ini benar-benar hanya tipuan belaka dari musuh-musuh yang menghendaki kematian kita!” kata Yap Kun Liong. “Hayo kita loloskan diri dan bantu Lie Seng yang agaknya terkepung!”

Mereka lalu mengerahkan sin-kang dan karena keempatnya adalah pendekar-pendekar sakti yang memiliki kepandaian tinggi, begitu mereka mengerahkan sin-kang dan menggerakkan kedua tangan, belenggu-belenggu di tangan mereka itu patah-patah semua dan terdengar suara pletak-pletok.

Yap Kun Liong sedikit membantu isterinya karena di antara mereka berempat, hanya Cia Giok Keng yang tidak begitu kuat sin-kangnya. Setelah bebas dari belenggu, mereka berempat lalu menerjang pintu ruji baja itu dengan pengerahan tenaga. Karena pintu itu kuat bukan main, setelah empat kali menerjangnya, barulah pintu itu jebol.

“Awas senjata gelap!”

Kun Liong berteriak dan mereka berempat cepat mengelak dan menangkis anak panah yang datang berhamburan seperti hujan. Mereka meloncat keluar dan melihat serombongan orang yang dipimpin Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio.

Wanita cantik ini ternyata telah bergabung dengan subonya untuk membantu subonya membunuh empat orang musuh besar itu! Kini mengertilah empat orang pendekar itu mengapa mereka ditangkap. Kiranya semua itu adalah tipuan belaka dan di balik semua itu berdiri musuh besar mereka ini! Teringat mereka akan cerita dari mendiang Hwa-i Sin-kai dan mereka mengerti bahwa tentu fitnah ini dilaksanakan oleh Panglima Lee Siang yang tergila-gila kepada Kim Hong Liu-nio yang juga telah menjebak sampai tewasnya Tio Sun.

“Ah, kiranya engkau iblis betina yang mengatur semua ini!” In Hong berteriak marah ketika melihat musuh besarnya itu.






“Heh-heh-heh, senang sekali melihat kalian akan mampus semua di tanganku, heh-heh!”

Hek-hiat Mo-li tertawa dan Kim Hong Liu-nio cepat mengeluarkan aba-aba dalam bahasa Mongol. Tiga belas orang Mongol itu berbaris rapi dan menghadang sambil memasang kuda-kuda, tangan mereka memegang golok besar dan perisai. Sedangkan di belakang mereka masih berdiri puluhan orang perajurit yang dikerahkan oleh Panglima Lee untuk membantu kekasihnya.

Jelaslah bagi empat orang pendekar itu bahwa mereka tidak mungkin dapat lolos begitu saja dan jalan satu-satunya hanyalah membuka jalan berdarah. Di belakang mereka ruangan mulai terbakar, di depan mereka menjaga nenek iblis itu bersama muridnya dibantu begitu banyak perajurit.

Kembali Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba dan empat orang pendekar itu terpaksa harus bergerak cepat, mengelak dan menangkis karena kembali datang hujan anak panah.

Kun Liong selalu melindungi isterinya, sedangkan Bun Houw dan In Hong tidak khawatir karena dengan Thian-te Sin-ciang mereka memperoleh kekebalan sehingga kedua lengan mereka berani menangkis anak-anak panah itu.

Dan pada saat itu, Hek-hiat Mo-li, Kim Hong Liu-nio dan tiga belas orang Mongol itu sudah menerjang dengan hebatnya menyerang empat orang pendekar yang tidak bersenjata itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian dimana empat orang pendekar itu mengamuk untuk menyelamatkan diri mereka.

Sementara itu, setelah Kim Hong Liu-nio kini membantu gurunya untuk menghadapi empat orang musuh mereka yang amat lihai, pimpinan para perajurit penjaga yang mengeroyok Lie Seng dan Sun Eng diambil alih oleh panglima Lee Siang sendiri. Panglima ini berteriak marah,

“Kalian berani memberontak terhadap pasukan pemerintah? Hayo menyerah sebelum menerima hukuman berat!”

Akan tetapi Sun Eng yang juga marah sekali dan tidak memperdulikan luka-lukanya itu menerjangnya sambil berteriak,

“Engkau hanya menggunakan nama pemerintah untuk menipu dan mencelakakan orang!”

Pedang di tangan Sun Eng menusuk dengan cepat. Lee Siang menangkis dengan pedangnya, akan tetapi dengan putaran tangannya, begitu pedangnya tertangkis, wanita yang sudah luka-luka itu dapat meneruskan pedang yang tertangkis itu menjadi sabetan yang menyerempet pundak Lee Siang.

“Ahhh!”

Lee Siang berteriak kesakitan dan bersama empat orang pengawalnya dia menubruk ke depan.

Lie Seng hendak melindungi Sun Eng, akan tetapi dia sendiri dikepung oleh banyak perajurit sehingga dia terpaksa mengamuk menggunakan kaki tangannya, melempar-lemparkan dan merobohkan banyak orang yang mengepungnya seperti serombongan semut.

Sebetulnya, tingkat kepandaian Sun Eng masih jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaiannya Lee Siang dan beberapa orang pengawalnya. Akan tetapi gadis ini sudah luka-luka dan banyak mengeluarkan darah maka gerakannya menjadi lemah dan tenaganya juga sudah banyak berkurang. Setelah dia berhasil membunuh dua orang pengeroyok pula, akhirnya dia terdesak hebat sekali. Lie Seng juga terkepung ketat dan sibuk menghadapi para pengeroyoknya. Melihat ini, Sun Eng segera berseru,

“Taihiap, kau larilah cepat, biar aku mencegah mereka menghalagimu! Cepat sebelum terlambat!”

Sun Eng mengerahkan tenaga terakhir untuk membuka jalan mendekati Lie Seng, tanpa memperdulikan luka baru di pangkal lengan kiri yang mengucurkan banyak darah. Melihat keadaan gadis itu yang pakaiannya telah berlepotan darah, bahkan dari luka-lukanya mengucur banyak darah dan mukanya pucat sekali, Lie Seng terkejut, kagum dan juga terharu.

“Kau suruh aku lari? Dan kau sendiri?” tanyanya sambil menendang roboh seorang pengeroyok.

“Aku...? Biarlah, aku girang dapat membalas budimu dan budi suhu serta subo! Kau larilah... selamat jalan...!” Sun Eng berkata dan karena bicara ini maka dia kurang waspada.

“Nona, awas...!”

Lie Seng berteriak akan tetapi terlambat, tusukan pedang dari Lee Siang itu mengenai punggung Sun Eng. Gadis ini menggeliat miringkan tubuhnya, dan biarpun dengan jalan itu pedang lawan tidak menembus punggungnya, namun tetap saja punggungnya terluka parah dan dia roboh terguling.

“Keparat curang!”

Lie Seng berteriak marah dan menjadi beringas, cepat menubruk ke depan dan melancarkan pukulan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah Lee Siang. Panglima ini mencoba untuk mengelak, namun dia kalah cepat dan pukulan itu menyambar pelipisnya. Terdengar suara keras karena kepala panglima ini retak-retak dan tubuhnya roboh ke atas tanah, tewas seketika!

Lie Seng menyambar tubuh Sun Eng dan mengamuk, membuka jalan berdarah. Ketika dia melihat betapa empat orang pendekar dari dalam penjara sudah menerjang keluar, hatinya lega dan diapun lalu meloncat, merobohkan setiap orang penghalang, sambil memondong tubuh Sun Eng yang pingsan dan berlumuran darah itu, terus melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu. Dia merasa yakin bahwa orang-orang seperti ibunya, ayah tirinya, paman dan bibinya itu pasti akan dapat meloloskan diri dari kepungan musuh.

Dugaan Lie Seng memang tidak berlebihan. Tingkat ilmu kepandaian empat orang pendekar itu sudah tinggi sekali, terutama sekali Yap Kun Liong, Cia Bun Houw,dan Yap In Hong. Seorang demi seorang, ketiga belas orang Mongol yang diandalkan sebagai pembantu-pembantu Hek-hiat Mo-li sendiri bersama Kim Hong Liu-nio, terdesak mundur dan mundur terus, apalagi para pengawal penjaga, setiap kali empat orang pendekat itu bergerak, tentu ada yang terjungkal!

Hal ini sama sekali tidak pernah dapat disangka oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, yang sudah merasa yakin akan dapat membunuh empat orang itu. Dan suasana menjadi geger ketika ruangan itu terbakar hebat. Akan tetapi, empat orang itu telah keluar dari ruangan dan kini mengamuk di depan penjara.

Terdengar jerit mengerikan dari mulut Kim Hong Liu-nio ketika dia melihat kekasihnya telah menggeletak tewas dengan kepala pecah! Dia menubruk kekasihhya dan menangis, tidak memperdulikan lagi kepada empat orang musuhnya.

Mundurnya Kim Hong Liu-nio dari pertempuran ini membuat Hek-hiat Mo-li makin lemah dan akhirnya empat orang pendekar itu dapat meloloskan diri dari kepungan dan secepat kilat mereka lenyap dari tempat itu mempergunakan gin-kang dengan loncatan-loncatan jauh.

Hek-hiat Mo-li menyumpah-nyumpah dan malam itu juga nenek ini pergi meninggalkan kota itu, kembali ke utara dengan wajah muram, diikuti muridnya yang menangis sepanjang jalan!

“Sudah, apa perlunya menangis lagi? Engkau kini sudah bukan perawan lagi, dan dia sudah mampus. Di dunia ini masih banyak laki-laki, mengapa kau tangisi seorang laki-laki yang mampus?”

Hek-hiat Mo-li membentak. Bentakan ini membuat Kim Hong Liu-nio menangis makin sedih sehingga gurunya menjadi makin marah dan meninggalkannya. Kim Hong Liu-nio mengikuti gurunya dengan terisak-isak, bersumpah dalam hati untuk mencari jalan membunuh keluarga pendekar yang telah menewaskan kekasihnya itu!

Dendam, sakit hati, kemarahan dan kebencian meracuni kehidupan manusia. Dari mana timbulnya dendam yang melahirkan kebencian ini? Dendam-mendendam hanya merupakan rangkaian akibat dari tindakan-tindakan kekerasan, permusuhan dan kebencian itu pasti selalu timbul karena pementingan diri sendiri, karena merasa bahwa kesenangan dirinya terganggu oleh orang atau golongan lain.

Jadi jelaslah bahwa di mana ada pengagungan si aku, di sana pasti timbul tindakan kekerasan yang dianggap sebagai tindakan pembelaan si aku atau pengejaran cita-cita dan kesenangan untuk si aku. Mengejar kesenangan seperti yang dicita-citakan untuk diri sendiri tak dapat tidak menimbulkan tindakan kekerasan terhadap siapa saja yang dianggap merintangi tercapainya kesenangan yang dicita-citakan itu.

Dan semua cita-cita adalah bayangan kesenangan yang diharapkan akan diperoleh, baik kesenangan untuk diri sendiri atau untuk keluargaNya, kelompokNya, bangsaNya dan lain-lain yang kesemuanya hanya merupakan perluasan dan pembesaran daripada si aku juga.

Dan bagaimana terjadinya si aku, baik dalam keadaan tipis maupun tebal, dalam batin kita? Si aku tercipta oleh pikiran yang menimbulkan pengalaman dan ingatan tentang yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, yang enak dan tidak enak.

Pikiran mengenangkan pengalaman-pengalaman itu, membayangkan semua itu, sehingga timbullah keinginan untuk mengulang yang enak dan membuang yang tidak enak. Begitu pikiran bekerja mengenangkan itu semua, si akupun muncullah. Si aku sebagai pemikir, si aku sebagai yang ingin mengulang, si aku yang ingin menghindarkan yang tidak enak. Makin lama si aku ini makin menebal dan akhirnya manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri yang selalu ingin menikmati yang dianggapnya menyenangkan dan menjauhi yang dianggap tidak menyenangkan.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: