***

***

Ads

Senin, 13 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 124

Dan dalam pergulatan ini terjadilah konflik-konflik di dalam batin yang mencetus keluar menjadi konflik antara manusia karena masing-masing hendak memperebutkan kesenangan bagi dirinya sendiri, dan kalau perlu menyingkirkan orang lain yang menjadi penghalang, dengan kekerasan tentu saja!

Oleh karena kenyataan itu, maka timbullah pernyataan yang harus kita ajukan kepada diri kita sendiri, yaitu: Dapatkah kita terbebas dari pikiran yang selalu mengenangkan yang enak-enak dan yang tidak enak-enak sehingga tidak timbul si aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan dan karenanya menimbulkan konflik dan kekerasan? Pertanyaan ini penting sekali bagi kehidupan kita dan sudah selayaknya kalau diajukan oleh setiap orang manusia hidup kepada dirinya sendiri! Kalau sudah begitu, barulah hidup ini mempunyai arti, bukan hanya menjadi ajang kesengsaraan dan penderitaan yang timbul dari konfilk dan permusuhan setiap hari.

Melihat keadaan Sun Eng yang mandi darah, Lie Seng menjadi gelisah sekali. Dia melarikan Sun Eng yang pingsan itu jauh meninggalkan Po-teng dan memasuki daerah pegunungan yang sunyi, karena khawatir kalau-kalau ada pasukan yang mengejarnya, padahal dia membutuhkan tempat sunyi untuk dapat menolong gadis yang penuh luka. itu.

Fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia menghentikan larinya dan dia berada di atas puncak bukit yang lengang, di padang rumput yang luas dengan pohon-pohon tua di sana-sini. Sinar matahari pagi menyinari wajah cantik manis yang pucat itu. Lie Seng cepat menurunkan tubuh itu ke atas tanah bertilamkan rumput hijau di bawah pohon besar, lalu memeriksa keadaan gadis itu. Tubuhnya penuh luka, di punggung, pundak dan paha.

Cepat Lie Seng menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan darah yang masih menetes-netes. Kemudian dia pergi mencari sumber air yang bening, mengambil air dengan daun dan mencuci luka-luka yang parah itu, terutama di paha dan punggung. Untuk ini terpaksa dia merobek celana di bagian paha dan baju di punggung.

Dia tidak lagi ingat bahwa matanya melihat kulit paha yang putih mulus dan kulit punggung yang halus, melainkan sibuk mencuci luka itu penuh perhatian. Untung bahwa luka-luka itu diakibatkan senjata yang tidak beracun, pikirnya. Dengan mencuci bagian-bagian terluka itu, tentu saja jari-jari tangannya menyentuh dan mengusap kulit halus mulus itu, namun hal ini sama sekali tidak disadari olehnya.

Memang demikianlah! Selama pikiran tidak mengenang dan membayangkan apa-apa, selama pikiran kosong tidak sibuk dengan ingatan-ingatan masa lalu, dengan bayangan-bayangan kenikmatan dan kesenangan, maka segala sesuatu adalah bersih dan wajar.

Biarpun kita melihat manusia dengan kelamin lain dalam keadaan telanjang bulat umpamanya, kalau pikiran ini tidak diisi dengan bayangan-bayangan kotor, maka keadaan telanjang dari manusia lain itu sama sekali tidak menimbulkan apa-apa, seperti kalau kiti melihat ketelanjangan seekor kucing saja.

Akan tetapi, begitu pikiran kita terisi oleh bayangan-bayangan yang muncul dari kenangan, bayangan-bayangan yang dianggap menyenangkan, mendatangkan nikmat, maka mulailah nafsu bangkit, baik itu merupakan nafsu berahi, nafsu amarah, dan segala macam nafsu lagi. Jelas bahwa nafsu-nafsu itu diciptakan oleh pikiran yang mengenangkan segala yang enak-enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan sebaliknya. Jadi pikiran yang mengingat-ingat inilah sumber segala konflik batin yang akhirnya pasti akan tercetus keluar dan menjadi konflik lahir antara manusia.

Sun Eng mengeluh lirih kemudian merintih. Barulah lega hati Lie Seng karena hal ini menandakan bahwa dia telah berhasil menyelamatkan dara itu. Setelah menaruh obat bubuk pada luka-luka itu dan membalutnya, dia lalu mengangkat tubuh bagian atas dari Sun Eng dengan memangkunya dan memberinya minum air jernih.






“Aaahhh...!”

Kembali Sun Eng mengeluh setelah minum beberapa teguk air dan dia membuka matanya. Melihat betapa dia dipangku oleh seorang pemuda tampan dan gagah, sepasang mata yang jeli itu terbelalak, akan tetapi dia segera teringat bahwa pemuda ini adalah pemuda perkasa yang telah membantunya menghadapi pengeroyokan pasukan ketika dia berusaha menyelamatkan suhu dan subonya. Sungguh aneh sekali. Mengapa pemuda ini memangkunya dan memandangnya demikian mesra?

“Apakah... apakah aku sudah mati?” dia bertanya dengan suara berbisik karena merasa tegang dan takut. Membayangkan bahwa dia sudah mati dalam usia semuda itu, hatinya merasa ngeri.

Sejak tadi, setelah berhasil mengobati dara itu sehingga siuman, Lie Seng mulai memperhatikan wajah gadis yang dipangkunya itu dan dia terpesona. Bagi dia, wajah itu sedemikian cantik jelitanya, sedemikian lembut dan mendatangkan perasaan iba dan suka. Rasanya belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis seperti ini, apalagi tadi dia melihat betapa gadis ini telah berusaha menyelamatkan keluarganya, dengan taruhan nyawa. Hal ini saja sudah membuat dia merasa herhutang budi, kagum dan suka. Dia seperti tenggelam ketika memandangi wajah dari gadis yang dirangkulnya itu, maka ketika melihat mata dan bibir yang manis itu mengajukan pertanyaan seperti itu, dia tersenyum. Hatinya girang karena dia yakin bahwa gadis itu akan selamat.

“Jangan khawatir nona. Engkau telah terhindar dari bahaya dan luka-lukamu tentu akan sembuh.”

“Luka-luka...?”

Sun Eng seperti baru teringat dan merasa terkejut. Tadi dia tidak merasa apa-apa, hanya lemas dan terasa demikian nikmat rebah di atas pangkuan pemuda itu yang merangkul pundak dan menyangga tubuhnya. Kini, diingatkan akan luka-luka, tiba-tiba dia tersentak dan ingin duduk, akan tetapi terasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, terutama sekali punggungnya.

“Aduhhhh... punggungku...” Dia menggeliat.

Lie Seng cepat membantunya duduk.
“Maaf, aku... aku lupa dan menyentuh punggungmu yang terluka. Sebaiknya engkau duduk di atas rumput ini. Nah, begitu lebih enak, bukan? Engkau menderita banyak luka, nona, terutama yang agak parah adalah luka-luka di paha, pundak dan punggung.”

Sun Eng meraba paha dan pundaknya, melihat betapa pakaiannya di bagian luka-luka itu robek dan lukanya telah diobati dan dibalut. Dia mengangkat muka memandang pemuda yang duduk di depannya itu dan tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali, jantungnya berdebar tegang.

“Kau... kau yang mengobati luka-lukaku...?” tanyanya dan sepasang matanya memandang penuh selidik.

Lie Seng mengangguk.
“Bisa berbahaya kalau tidak cepat dicuci dan diobati. Maafkan aku yang telah lancang...”

“Maafkan? Ahh, engkau telah menolongku, menyelamatkan nyawaku, mengobatiku dan masih minta maaf? Engkau tentu seorang sagah perkasa yang sakti maka engkau dapat menyelamatkan aku dari kepungan begitu banyak lawan tangguh. Taihiap, aku berhutang nyawa padamu. Siapakah engkau?”

“Aku she Lie, bernama Seng. Engkau tidak perlu bersikap sungkan karena menurut pengakuanmu, engkau adalah murid dari Paman Cia Bun Houw. Dia adalah pamanku, karena dia adik kandung ibuku yang juga ikut tertawan bersama paman dan bibi. Maka, kalau engkau murid mereka, berarti kita masih ada hubungan dan bukan orang lain.”

“Ahhh...!”

Sun Eng terbelalak dan wajahnya agak berubah, tidak lagi merah seperti tadi, melainkan agak kepucatan.

“Mengapa? Apakah luka-luka itu amat menyiksamu...?” Lie Scng mendekat dan pandang matanya penuh iba.

Melihat ini, Sun Eng menggeleng kepala menunduk dan memejamkan matanya, berusaha mengusir perasaan nyeri yang menikam hatinya. Teringat dia betapa suhu dan subonya amat membencinya, bahkan tidak sudi ketika dia berusaha menolong mereka.

Dan pemuda perkasa yang telah menyelamatkan nyawanya ini, adalah keponakan suhunya! Dan hubungan antara dia dan kedua gurunya telah putus, kelak pemuda ini tentu akan mendengar tentang dia, suhu dan subonya tentu akan bercerita banyak tentang dia! Hal ini mendatangkan rasa nyeri di jantungnya, serasa tertusuk pedang berkarat. Dan takkan ada harganya lagi dalam pandang mata pemuda ini. Pandang mata yang kini demikian penuh dengan kehalusan, iba dan mesra, tentu akan berubah menjadi jijik, marah dan benci.

Lie Seng memandang dengan alis berkerut, penuh dengan perasaan iba. Ingin dia menyentuhnya, ingin dia menghiburnya, ingin dia membantu penanggungan rasa nyeri dari gadis itu, akan tetapi kini dia tidak berani menyentuh, bahkan jantungnya berdebar aneh ketika dia teringat betapa tadi dia telah melihat dan menyentuh paha dan punggung dara itu!

“Nona... eh, siapakah namamu?”

“Aku she Sun, namaku Eng.”

“Namamu bagus sekali. Sungguh aku merasa heran mengapa aku tidak pernah mendengar namamu dari paman dan bibi, nona Sun Eng...”

“Lie-taihiap, kalau engkau keponakan dari suhu, mengapa masih bersikap sungkan dan menyebutku nona?”

“Engkaupun menyebutku taihiap (pendekar besar)...”

“Engkau memang seorang pendekar yang sakti dan hebat, mana bisa aku menyebut lain? Akan tetapi aku...”

“Engkau seorang gadis yang hebat, gagah perkasa dan berani, juga setia dan berbakti sehingga hampir saja engkau mengorbankan nyawa untuk paman dan bibi, juga untuk ibu kandungku, dan ayah tiriku yang ikut tertawan.”

“Ahhh... jadi engkau putera dari enci suhu, pendekar wanita Cia Giok Keng, dan pendekar sakti Yap Kun Liong itu ayah tirimu?”

Lie Seng mengangguk.

“Jadi engkau ini cucu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang terkenal itu?”

Kembali Lie Seng mengangguk.

“Ah, dan aku hanya... seorang gadis bodoh dan sesat... ah, dan aku tentu lebih tua darimu, taihiap. Usiaku sudah dua puluh lima tahun...”

Sun Eng seperti mengomel dan bicara pada diri sendiri, suaranya penuh penyesalan dan kekecewaan akan kenyataan-kenyataan yang pahit ini.

“Kita sebaya. Aku berusia dua puluh empat, hanya selisih setahun denganmu.”

“Nah, apa kataku? Aku lebih tua, sepatutnya menyebutku cici kepadaku.”

Melihat wajah yang cantik itu tidak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang tadinya membayangkan kedukaan dan kemuraman itu agak berseri, Lie Seng tersenyum, bangkit berdiri dan menjura.

“Baiklah, cici Sun Eng. Mulai sekarang aku menyebutmu cici yang baik, dan aku...”

“Engkau tetap Lie-taihiap bagiku! Engkau keturunan keluarga yang amat besar dan agung, sebaliknya aku...”

“Engkau seorang dara yang cantik jelita, cici. Jangan kau terlampau merendahkan dirimu. Aku masih terheran-heran mengapa paman Bun Houw dan bibi sama sekali tidak pernah bercerita tentang dirimu. Aku akan menegur mereka kalau sempat bertemu kelak.”

“AH, jangan...!”

Sun Eng berseru dan dengan nekat dia bangkit berdiri, biarpun dia harus menyeringai kesakitan. Dia mengangkat kedua tangan ke atas.

“Jangan tegur mereka... bahkan jangan sebut-sebut tentang diriku... ah, Lie-taihiap, engkau tidak tahu... aku sama sekali tidak berharga engkau tolong, bahkan tidak berharga untuk berhadapan dan bicara denganmu. Ah, sebaiknya engkau tinggalkan aku sekarang juga, taihiap...”

Dan wanita itu tak dapat menahan kedukaan hatinya lagi, menangis terisak-isak, teringat betapa bencinya suhu dan subonya kepadanya, betapa dia telah dianggap sebagai seorang wanita yang sudah rusak akhlaknya, dan betapa tidak mungkinnya dia berkenalan dengan seorang pemuda seperti Lie Seng ini, pemuda yang amat menarik hatinya, yang amat mengagumkan hatinya.

“Eh, cici Sun Eng... kenapa engkau? Apa artinya semua ucapanmu itu?” Lie Seng tentu saja terkejut bukan main dan memandang dengan penuh kekhawatiran.

“Tidak perlu engkau tahu... taihiap... hanya ketahuilah bahwa aku... aku tidak berharga... kau pergilah, tinggalkan aku seorang diri...”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: