***

***

Ads

Senin, 13 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 125

Melihat dara itu menangis mengguguk dan berdiri dengan kedua tangan menyembunyikan mukanya, pundaknya terguncang-guncang dalam tangisnya, Lie Seng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melangkah maju dan menyentuh kedua lengan dara itu.

“Enci Eng... jangan begitu... mengapa engkau merendahkan diri seperti ini...? Aku tidak akan mau meninggalkan engkau seorang diri dalam keadaan terluka seperti ini.”

“Kalau begitu... biarlah aku... aku yang pergi, taihiap.”

Dara itu lalu membalikkan tububnya dan mencoba untuk meloncat pergi. Akan tetapi dia mengaduh dan terguling roboh, bangkit lagi, merangkak, bangun dan mencoba untuk lari lagi, akan tetapi terhuyung-huyung dan dia tentu akan roboh lagi kalau tidak cepat dipegang oleh Lie Seng yang merangkulnya.

“Enci Eng, jangan engkau bersikap seperti itu. Mengapa engkau sengaja hendak menghancurkan hatiku? Apakah salahku maka engkau hendak pergi begitu saja?”

Gadis itu menangis makin mengguguk dan membiarkan dirinya didekap oleh pemuda itu. Setelah dia dapat menguasai keharuan hatinya, dengan lembut dia melepaskan rangkulan itu, merighapus air matanya, memandang kepada pemuda itu dan berkata,

“Ah, engkau tidak tahu, taihiap. Aku tidak berharga untukmu, bahkan untuk berkenalan atau bercakap-cakap denganmu sekalipun...”

“Siapa bilang demikian? Akan kuhancurkan mulutnya kalau ada yang berani mengatakan demikian kepadamu!” Lie Seng mengepal tinju, penasaran. “Aku kasihan kepadamu, enci Eng, aku.... suka padamu, engkau seorang gadis yang baik, yang gagah, berbudi, siapa bilang tidak berharga menjadi sahabatku? Dan mengapa?”

“Engkau tidak tahu, taihiap... ah, lebih baik kita berpisah seperti ini, sekarang sebelum engkaupun membenciku. Aku... aku takkan dapat tahan lagi. Semua orang boleh membenciku, akan tetapi kalau engkau... ikut pula membenciku, aku lebih baik mati saja. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, sebelum engkau membenciku pula.”

“Tidak! Aku tidak mau meninggalkanmu, enci Eng. Apapun yang terjadi denganmu, aku tidak mungkin akan membencimu. Aku... aku cinta padamu. Dengarkah engkau? Aku cinta padamu begitu aku bertemu denganmu, enci Eng!”

Pemuda itu berkata penuh semangat karena dia tidak lagi meragukan perasaan hatinya terhadap gadis ini.

Ucapan pemuda itu demikian mengejutkan hati Sun Eng sehingga dia terlonjak kaget dan meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan. Akan tetapi Lie Seng tidak mau melepaskannya sehingga akhirnya Sun Eng mengguguk lagi, menangis dan membiarkan kepalanya didekap pada dada pemuda yang amat dikaguminya itu. Dia memejamkan mata ketika merasa betapa pemuda itu menciumi rambutnya, kemudian dahinya dan tiba-tiba dia meronta.

“Tidak... tidak pantas itu...!”

Dia meronta sekuatnya dan Lie Seng melepaskan pelukannya. Wajah pemuda itu menjadi merah sekali.






“Maaf... kau maafkanlah aku, enci Eng. Aku telah lupa diri dan berlaku tidak sopan padamu, maafkan aku.”

“Bukan itu maksudku, taihiap. Bukan engkau yang berbuat tidak pantas, melainkan tidak pantaslah bagiku untuk menerima cintamu, untuk kau perlakukan sebaik ini. Aku tidak pantas kau cinta, aku... aku...”

“Jangan berkata demikian, enci Eng. Aku jatuh cinta padamu, mengapa tidak pantas? Engkau seorang gadis yang cantik dan gagah, dan... ahh!” Pemuda itu nampak terkejut. “Apakah... aku hendak maksudkan bahwa engkau telah... bersuami?”

Tentu saja ingatan ini membuat dia terkejut dan wajahnya menjadi pucat seketika. Gadis itu bersikap demikian sungkan, jangan-jangan dia itu bukan seorang gadis yang masih bebas, melainkan seorang wanita yang sudah bersuami! Celaka kalau begitu! Berarti dia telah melakukan hal yang benar-benar tidak patut!

Akan tetapi hatinya menjadi lega seketika melihat dara itu menggeleng kepalanya.
“Tidak, taihiap. Aku tidak menikah, akan tetapi... malah lebih baik tidak kau dengarkan. Aku tidak akan dapat tahan kalau melihat engkau membenciku, taihiap. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, berarti aku masih akan kuat mempertahankan hidup dengan bayanganmu sebagai kenangan indah. Aku akan selalu ingat bahwa betapapun juga adanya diriku yang hina ini, di dunia masih ada orang yang mencintaku... selamat tinggal, taihiap...”

“Sun Eng...!” Lie Seng meloncat dan menubruk, dan kembali dia telah merangkul gadis itu. “Enci Eng, engkau menyiksa diri sendiri. Ceritakanlah kepadaku semuanya, dan jangan takut!”

“Tidak... tidak mungkin... engkau akan membenciku...!”

“Enci Eng, kau anggap aku ini orang apakah? Aku cinta padamu karena engkau, karena keadaanmu, dan aku tidak akan terpengaruh oleh cerita yang bagaimanapun tentang dirimu! Demi Tuhan, ceritakanlah, dan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk menyembuhkanmu dari cengkeraman siksaan batin yang kau derita ini.”

Beberapa lama Sun Eng memejamkan mata dalam pelukan Lie Seng, kemudian dia menarik napas panjang dan melepaskan diri dari pelukan itu.

“Baiklah, memang agaknya engkau benar. Aku tidak boleh lari dari kenyataan hidup, taihiap. Biarlah ceritaku ini merupakan keputusan terakhir dalam hidupku, tergantung dari anggapanmu terhadap ceritaku ini. Aku siap untuk menghadapi yang terburuk, siap menghadapi kiamat dan maut karena hanya itulah bagiku kalau engkaupun membenciku. Nah, kau dengarkan baik-baik, taihiap.”

Dara itu dengan tubuh lemas menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan Lie Seng juga duduk di depannya. Jantung pemuda ini berdebar tegang dan pandang matanya makin mesra dan lembut karena dia merasa amat kasihan kepada dara ini yang dia duga tentu mempunyai latar belakang kehidupan yang amat pahit.

Sun Eng menarik napas panjang berulang kali, agaknya untuk mencari kekuatan dari hawa udara sejuk yang disedotnya. Dia mengambil keputusan untuk menceritakan segala-galanya tentang dirinya, tanpa menyembunyikan apa-apa karena dia tidak ingin kelak pemuda yang mengagumkan hatinya ini akan menemukan sesuatu yang belum diceritakannya. Pendeknya dia ingin berdiri telanjang di depan pemuda yang luar biasa ini, tanpa mempunyai rahasia sedikitpun juga. Tinggal terserah kepada pemuda itu, apakah cintanya masih akan utuh, ataukah berbalik menjadi benci setelah mendengar ceritanya. Kalau pemuda itu berbalik membencinya, dia tidak akan menyalahkan Lie Seng, sungguhpun dia tahu bahwa dia tidak akan kuat hidup menghadapi pukulan batin ini.

“Lie-taihiap, mendiang ayahku adalah seorang yang bernama Sun Bian Ek, berjuluk Kiam-mo dan dia dulu sebagai seorang perampok besar, kemudian sampai dia meninggal dunia dia hidup sebagai pemilik sebuah rumah perjudian di kota Kiang-shi.”

Dara itu berhenti sebentar untuk meneliti wajah pemuda itu setelah terus terang menceritakan keadaan mendiang ayahnya yang tidak dapat dibanggakan itu. Akan tetapi wajah yang tampan dan gagah itu tidak berubah, hanya mengandung kesungguhan dan penuh pengertian, dan di balik kesungguhan itu Sun Eng masih dapat melihat cahaya gemilang dari kasih sayang dan kemesraan yang ditujukan kepadanya, membuat dia merasa betapa kedua pipinya menjadi panas dan jantungnya berdegup kencang.

“Mendiang ayahku bersahabat dengan pamanmu, yaitu suhu Cia Bun Houw ketika beliau masih muda dan sedang menyelidiki musuh-musuh keluarganya. Ayah membantunya mencari jejak musuh-musuh itu, dan ketika suhu menyerbu bersama ayah, maka ayahku itu gugur, tewas oleh musuh-musuh suhu.”

“Hemm, ayahmu ternyata merupakan seorang sahabat sejati dan setia,”

Lie Seng memuji dengan setulusnya hati. Pujian ini tidak mendatangkan rasa girang di hati Sun Eng akan tetapi bahkan memberatkan perasaannya karena dia harus menceritakan keadaaan dirinya sendiri yang sama sekali tidak boleh dibuat bangga!

“Sebelum meninggal dunia dalam pangkuan suhu, ayah pesan kepada suhu agar kelak suhu suka merawat dan mendidik aku yang masih kecil ketika ditinggal ayah, baru berusia sepuluh tahun. Suhu memenuhi permintaan itu, dan ketika suhu pergi merantau bersama subo, suhu mengambilku dan semenjak itu aku ikut bersama suhu dan subo, dirawat dan dididik oleh mereka berdua dengan penuh kasih sayang seperti anak mereka sendiri.”

Kembali dara itu berhenti dan menarik napas panjang, wajahnya yang cantik itu agak pucat dan kelihatan berduka sekali.

Lie Seng mengargguk-angguk.
“Sudah sepatutnya itu karena engkau adalah seorang anak dan murid yang amat baik dan berbakti.”

“Jauh daripada itu, Lie-taihiap. Beberapa tahun yang lalu, ketika aku berusia kurang lebih delapan belas tahun... suhu dan subo mengusirku dan tidak mau lagi mau mengaku sebagai murid...”

Ucapan ini benar-benar amat mengejutkan hati Lie Seng. Dia menjadi pucat dan memandang dengan mata terbelalak.

“Apa...? Mengapa begitu? Apa yang terjadi...?”

Sun Eng menundukkan mukanya yang pucat. Jantungnya berdebar penuh rasa tegang dan takut. Ya, dia amat takut. Beranikah dia mengakui kesemuanya itu? Beranikah dia menelanjangi dirinya sendiri di depan pemuda yang telah menarik hatinya ini, memperlihatkan segala kebusukannya? Beranikah dia menempuh bahaya dibenci oleh pria hebat ini? Tidak ada jalan lain, dia harus berani menempuhnya, dengan taruhan nyawa! Akan tetapi tetap saja dia tidak kuasa untuk mengangkat muka, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu dan dengan suara lirih dia melanjutkan ceritanya.

“Aku... aku telah jatuh cinta kepada suhu!”

“Ahhh...!”

Lie Seng melongo, pandang matanya yang terbelalak itu menyelidiki wajah yang menunduk.

“Ya, aku telah seperti gila. Aku kasihan melihat betapa suhu tidak hidup sebagai suami isteri dengan subo, tidurnya terpisah dan mereka berdua itu menderita tekanan batin yang hebat. Aku lalu... merayu suhuku sendiri! Ah, mau aku rasanya mati kalau mengingat itu semua. Kau dengar baik-baik, taihiap. Pada suatu malam aku memasuki kamar suhu dimana suhu yang gagah perkasa dan budiman itu tentu saja menolakku! Masih baik bagiku bahwa beliau tidak memukul mampus saja kepada muridnya yang murtad dan tidak tahu malu ini!”

Hening sekali setelah Sun Eng menghentikan ceritanya. Dara itu masih menunduk, tidak berani mengangkat muka, bahkan tidak berani bergerak, seluruh perhatiannya ditujukan ke arah pemuda itu, menduga bahwa pemuda itu akan marah, akan memakinya dan dia sudah siap menerima hal yang seburuk-buruknya.

Dan Lie Seng duduk termenung, apa yang diceritakan oleh dara itu membayang di depan matanya seperti lukisan. Dia melihat penyelewengan dara itu, akan tetapi dia tidak merasa marah, tidak pula merasa cemburu, tidak merasa benci.

Bagi orang yang sadar akan dirinya sendiri, orang yang mengenal dirinya sendiri, akan melihat bahwa dirinya sendiri juga kotor, juga lemah, seperti orang-orang lain sehingga dia tidak mungkin bisa mencela orang lain yang melakukan penyelewengan akibat kelemahannya. Kehidupan manusia tidak mungkin dapat tetap selalu, melainkan berubah setiap saat.

Orang yang melakukan penyelewengan dalam kehidupannya sama halnya dengan orang yang sedang dihinggapi suatu penyakit. Hanya saja, bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Dan orang yang sakit itu tidak selamanya sakit, tentu bisa sembuh. Sebaliknya, orang yang sedang waras belum tentu selamanya sehat, tentu bisa sakit sewaktu-waktu.

Oleh karena itu, orang yang sadar tidak akan mengejek atau mencela orang yang sedang menderita sakit batinnya dan melakukan perbuatan yang menyeleweng, sebaliknya malah akan merasa kasihan. Sudah sepatutnyalah kalau kita mengulurkan tangan kepada yang sedang sakit, agar dia sembuh kembali. Mengejek atau mencela orang yang sedang sakit batinnya sama saja dengan mendorong orang yang sedang terjeblos dalam lumpur!

Setiap orangpun tentu akan melihat pada dirinya sendiri bahwa diapun pernah melakukan dosa, melakukan penyelewengan, atau pernah menderita sakit batin seperti itu. Oleh karena itu, orang yang mencela atau mengejek orang lain yang sedang sesat, sedang sakit batinnya, adalah orang yang tak tahu diri, dan orang seperti ini akan selalu merasa dirinya bersih walaupun pada suatu waktu dia bergelimang lumpur. Sebaliknya, orang yang setiap saat mau waspada membuka mata, memperhatikan dirinya sendiri lahir batin, akan terbuka mata hatinya dan akan dapat melihat lebih mendalam akan segala peristiwa dalam kehidupan ini.

Lie Seng membuyarkan awan yang menyelubungi dirinya dan membuatnya termenung. Terlalu hebat berita yang didengarnya dari mulut dara yang menarik hatinya dan yang dicintanya itu.

“Taihiap...” Terdengar suara Sun Eng yang kini sudah memandang kepadanya dengan sinar mata penuh iba. Dia melihat pemuda itu bengong dengan wajah pucat, dan dia tahu atau menduga bahwa pemuda itu tentu hancur hatinya, tentu kecewa sekali mendengar akan kebusukannya, maka dia merasa amat kasihan. “Taihiap, sudah kukatakan bahwa aku tidak berharga...”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: