***

***

Ads

Senin, 13 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 130

“Houw-ko, lepaskanlah gadis itu. Banyak wanita yang mau dengan suka rela melayanimu, mengapa engkau memaksa seorang gadis yang tidak mau?” berkali-kali Sin Liong berteriak dan membujuk.

Melihat ada orang mengejar dan agaknya hendak menolongnya, gadis itu berteriak minta tolong, akan tetapi Han Houw terus melarikannya sambil tertawa-tawa. Agaknya pangeran itu merasa gembira dengan permainan ini dan karena kudanya memang jauh lebih baik daripada kuda yang ditunggangi Sin Liong, maka adik angkatnya itu belum juga mampu menyusulnya.

Kejar-kejaran itu berlangsung sampai pagi! Tentu saja gadis dusun itu tersiksa bukan main harus menelungkup di atas pangkuan Han Houw dan terguncang-guncang. Dia sudah setengah pingsan dan tidak mampu berteriak lagi. Dan kini timbul kemarahan di dalam hati Han Houw. Tadinya dia menganggap adik angkatnya itu main-main saja, akan tetapi setelah melihat betapa Sin Liong mengejar terus, dia mulai merasa terganggu dan marah.

Setelah tiba di lapangan rumput yang terbuka, Han Houw memperlambat larinya kuda yang sudah megap-megap kelelahan itu.

“Houw-ko, berhentilah dulu, aku mau bicara...!”

Terdengar teriakan Sin Liong di belakangnya, Han Houw menoleh dan melihat adik angkatnya itu sudah mengejar dekat, dia mengerutkan alisnya dan tiba-tiba dia menghentikan kudanya, lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas rumput. Gadis itu mengeluh dan terguling di atas rumput, hanya merintih dan menangis karena seluruh tubuhnya terasa lelah dan sakit-sakit, tidak mampu bangkit.

Han Houw melompat turun dari kudanya. Melihat ini, Sin Liong juga meloncat turun dari atas punggung kudanya dan membiarkan kuda yang sudah kelelahan itu beristirahat. Dua orang kakak beradik angkat itu kini berdiri saling berhadapan, dua pasang mata saling menentang pandang dan saling menyelidik.

“Sin Liong, kalau engkau menghendaki gadis itu, nah, kau ambillah dia! Kau minta baik-baikpun tentu akan kuberikan, tidak perlu kau mengejar-ngejarku semalam suntuk!”

Sin Liong menarik napas panjang.
“Houw-ko, maafkanlah aku kalau aku mengganggu kesenanganmu. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku mengejar-ngejar sama sekali bukan bermaksud mendapatkan wanita itu, melainkan aku ingin mencegah agar Houw-ko tidak melakukan perbuatan jahat terhadap wanita itu.”

“Melakukan perbuatan jahat? Apa maksudmu?” Ceng Han Houw bertanya, suaranya kaku dan sinar matanya memancarkan kemarahan.

Sin Liong memandang tajam. Marahlah dia. Apakah Han Houw hendak mempermainkannya dan masih berpura-pura bertanya lagi padahal sudah jelas betapa pemuda itu melarikan dan hendak memaksa seorang gadis yang tidak mau menuruti kehendaknya?

“Houw-ko, jelas bahwa engkau melarikan gadis itu dan hendak memperkosanya, memaksanya, dan engkau masih bertanya apa maksudku?” dia berkata dengan suara bernada teguran.

Kini Han Houw memandang dengan sinar mata berapi dan mukanya yang tampan gagah itu menjadi merah sekali, matanya yang lebar itu terbelalak dan dia menggerakkan kedua tangannya bertolak pinggang.






“Cia Sin Liong! Kau berani menuduhku demikian? Kau kira aku ini laki-laki macam apa? Sungguh engkau menghinaku dan tak mungkin aku membiarkan saja penghinaan itu!”

Tiba-tiba tubuhnya menerjang ke depan dan pangeran ini sudah menyerang Sin Liong dengan hebatnya!

“Ehhh...!”

Sin Liong terkejut bukan main dan cepat dia mengelak lalu meloncat ke belakang. Akan tetapi, Han Houw yang sudah melanjutkan serangannya dengan tendangan berantai, tendangan Soan-hong-twi yang bertubi-tubi karena kedua kakinya bergerak seperti angin puyuh, bergantian menyambar dengan amat kuat dan cepatnya.

“Plak-plakk!” Sin Liong mengelak dan terpaksa menangkis karena mengelak terus akan berbahaya. Akan tetapi dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya karena dia tidak ingin berkelahi dengan kakak angkatnya ini. “Houw-ko, jangan...!”

“Sin Liong, apakah engkau akan menjadi pengecut? Sudah berani menghina tidak berani menanggung akibatnya?” bentak Han Houw dan dia terus menyerang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaiannya karena memang dia ingin “menguji” adik angkatnya ini.

Serangan demi serangan yang amat hebat dilancarkan oleh Han Houw, bahkan pemuda bangsawan ini juga mengerahkan sin-kangnya yang membuat tubuhnya kebal, maka Sin Liong terdesak hebat sekali. Ketika dia mengelak dan mengatur langkah untuk menghindarkan diri tanpa membalas, tetap saja pundaknya kena sambaran pukulan Han Houw.

“Desss...!”

Tubuh Sin Liong terguling. Pukulan tadi keras bukan main dan hanya karena ada tenaga Sin-ciang saja maka pundaknya terlindung dan tidak sampai terluka atau patah tulangnya. Namun Sin Liong menderita kenyerian yang membuat dia meringis. Han Houw gembira dapat merobohkan Sin Liong, maka dia lalu menubruknya dengan susulan pukulan yang amat keras.

Dalam keadaan bergulingan itu, Sin Liong melihat datangnya pukulan keras, maka diapun mengerahkan tenaganya dan menangkis dari bawah.

“Dukkk...!”

Tubuh Han Houw terpental sampai dua meter, akan tetapi dia dapat cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting jatuh. Diam-diam Han Houw kagum sekali dan juga penasaran. Pemuda ini semenjak kecil bukan saja digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi oleh sucinya dan juga oleh subonya, akan tetapi selain ilmu silat juga dia memiliki kepandaian seperti sucinya, yaitu waspada dan mengenal ilmu-ilmu silat orang lain, mudah menangkap dan mencatat ilmu-ilmu asing.

Maka ketika dia menyerang Sin Liong, dia sudah memasang mata untuk mencatat semua gerakan adik angkatnya itu. Seperti biasa, seperti yang diajarkan oleh sucinya pula, dia ingin “mencuri” ilmu silat lawan yang tinggi. Akan tetapi sekali ini dia kecele. Ketika dia menyerang sambil memperhatikan gerakan Sin Liong, adik angkatnya itu hanya mengelak atau menangkis saja, sama sekali tidak membalas menyerang sehingga dia tidak dapat mengenal perkembangan setiap gerakan. Apalagi, gerakan Sin Liong terlalu sederhana, seperti bukan gerakan silat lagi, melainkan gerak otomatis melindungi diri dari bahaya.

Memang demikianlah. Makin tinggi dan makin matang ilmu silat yang dimiliki seseorang, makin lenyap pula kembangan-kembangan yang tidak ada gunanya, yang hanya bertugas sebagai hiasan belaka. Sin Liong yang digembleng orang-orang sakti telah membuat ilmu-ilmu yang tinggi itu mendarah daging dan menjadi satu dengan syaraf tubuhnya sehingga setiap gerakannya, biar tidak sedang berkelahi sekalipun, telah mengandung unsur-unsur melindungi diri ini. Oleh karena itu, begitu dia diserang, dia sudah bergerak tanpa hafalan ilmu silat lagi, melainkan secara otomatis dan gerakannya tidak lagi dibatasi oleh gerak hafalan.

Setiap jurus yang dimainkannya hanya “keluar” intinya belaka, yang disesuaikan dan dimanfaatkan dengan datangnya setiap bahaya. Oleh karena itu, maka Han Houw yang memperhatikan dan hendak mempelajarinya, hanya melihat gerakan sederhana tanpa tahu ujung pangkalnya. Padahal, untuk menghindarkan diri dari semua serangan Han Houw yang amat berbahaya tadi, Sin Liong telah mempergunakan ilmu silat yang tinggi, di antaranya jurus-jurus dari San-in-kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, dan dia menggerakkan pula hawa sakti dari tubuhnya yang diwarisi dari Kok Beng Lama, yaitu Thian-te Sin-ciang.

Tidaklah aneh bahwa semua serangan Han Houw dapat dihindarkan oleh Sin Liong karena anak itu mempergunakan inti dari ilmu-ilmu yang amat tinggi itu. Akan tetapi Han Houw menjadi makin penasaran.

“Sin Liong, coba kau sambut serangan pedangku!” Dia sudah mencabut pedangnya dan menyerang.

“Houw-ko... mengapa kau... hendak membunuhku?” Sin Liong berseru kaget, akan tetapi pedang itu sudah meluncur ke arah lehernya.

Tentu saja Sin Liong tidak mau dibunuh begitu saja. Melihat pedang meluncur dengan cepat ke lehernya, dia mulai merasa marah. Bagaimanakah kakak angkatnya ini? Sudah gilakah? Karena serangan pedang itu tidak boleh dipandang ringan setelah dia mengenal kekuatan kakak angkatnya yang lihai, Sin Liong secara otomatis menggerakkan tangan kanan dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang yang membuat lengan dan tangannya menjadi kebal, menangkis ke arah pedang lalu mencengkeramnya.

“Plakk!”

Pedang itu kena dicengkeram dan tangan kirinya lalu menangkap pergelangan tangan Han Houw.

“Ihhhhh...!”

Han Houw berseru dan kaget bukan main karena merasa betapa tenaga sin-kangnya memberobot keluar dari lengannya yang terpegang adik angkatnya itu. Tahulah dia bahwa Sin Liong telah mempergunakan Thi-khi-i-beng yang mujijat, dan dia juga kagum melihat betapa adik angkatnya itu berani menyambut pedang dengan tangan kosong dan memiliki kekebalan yang tidak kalah ampuhnya dengan ilmu kekebalan yang dimilikinya sendiri.

Han Houw tidak mau menerima kalah begitu saja. Dalam kagetnya karena tenaga sin-kangnya tersedot keluar, tangan kirinya bergerak dan jari-jari tangan itu menusuk ke arah mata Sin Liong! Mata merupakan bagian tubuh yang tentu saja tidak mungkin dibikin kebal, maka serangan ini amat mengejutkan Sin Liong yang terpaksa melepaskan pedang dan lengan lawan, melangkah mundur sambil mengelak dengan miringkan kepalanya.

Akan tetapi Han Houw benar-benar hebat. Baru saja pedang dan tangannya terlepas, dia menyusuli tusukan jari tangan ke arah mata tadi dengan tusukan pedang ke arah pusar dan tangan kirinya mencengkeram dengan ganas sambil mengerahkan tangan sehingga dari telapak tangan kiri itu mengepul uap hitam. Itulah pukulan beracun semacam Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang mengeluarkan uap hitam. Bau uapnya itu saja sudah cukup untuk merobohkan atau membuat pening lawan, apalagi pukulannya sendiri!

Diserang seperti itu, Sin Liong kembali terkejut dan dia harus mengakui bahwa Han Houw merupakan lawan yang luar biasa lihainya dan kalau dia tidak segera mengeluarkan ilmu simpanannya, jangan-jangan dia akan celaka di tangan kakak angkatnya. Maka dia meloncat ke belakang dan ketika kakaknya mendesak, dia merendahkan tubuhnya, kedua tangannya bergerak aneh, mendorong ke depan.

“Eihhh... brukkkk!”

Tubuh Han Houw terbanting cukup keras sehingga dia menjadi pening! Dia hanya dapat bangkit duduk dan memejamkan mata sambil mengguncang-guncang kepalanya karena bumi seperti terputar di sekelilingnya.

“Houw-ko, maafkan aku...!” Sin Liong cepat menghampiri.

Han Houw mengangkat muka memandang dan menarik napas panjang. Dia tidak membantah ketika adik angkatnya mengulurkan tangan dan membantunya bangkit berdiri. Disimpannya pedangnya dan dia bertanya dengan pandang mata penuh kagum,

“Liong-te, bukankah pukulanmu yang terakhir tadi merupakan jurus dari ilmu silat yang diajarkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw?”

Sin Liong mengangguk.
“Dari kitabnya karena aku belum diajar secara langsung.” Sin Liong mengingatkan.

“Ah, bukan main! Baru belajar tidak langsung saja sudah begitu hebat. Apalagi kalau diajar oleh manusia sakti itu sendiri. Ah, aku harus menemuinya dan berguru kepadanya! Liong-te, engkau hebat sekali.”

“Maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi mengapakah engkau menyerangku seperti itu?” Sin Liong bertanya, nadanya menegur.

Han Houw memandangnya lalu tersenyum.
“Aku ingin mengujimu, adikku. Dan pula, mengapa engkau menghinaku dan menuduhku yang bukan-bukan? Kau menuduhku hendak memaksa dan memperkosa wanita!”

Sin Liong menengok dan melihat gadis itu sudah duduk dengan muka pucat, mata terbelalak dan kelihatan takut sekali. Sejak tadi dia tidak berani bergerak, hanya duduk dan melihat perkelahian itu.

“Akan tetapi... mengapa engkau melarikan gadis itu?”

Han Houw menoleh ke arah gadis itu dan tersenyum lebar.
“Kau kira aku ini orang apa? Aku adalah Pangeran Oguthai, lupakah engkau, adikku? Memperkosa wanita? Ah, apa perlunya? Semua wanita akan suka sekali melayaniku, mengapa harus memperkosa? Betapa hina dan rendahnya!”

“Tapi... tapi dia itu tidak mau dan berteriak-teriak...” Sin Liong berkata bingung.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: