***

***

Ads

Kamis, 23 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 143

Karena memang mengharapkan perlindungan dalam rumah keluarga itu, Sin Liong lalu dengan singkat namun jelas menuturkan keadaannya tanpa menyebut-nyebut tentang hubungannya dengan pemberontak Cia Bun Houw, bahkan dia tidak menyinggung tentang kepandaiannya.

Akan tetapi karena dia tahu bahwa Kui Hok Boan telah mengenal Kim Hong Liu-nio, bahkan menjadi musuh besarnya karena Kim Hong Liu-nio adalah pembunuh ibu kandungnya, juga ibu kandung Lan Lan dan Lin Lin, dia tidak menyembunyikan tentang wanita iblis itu.

“Ketika saya sedang bekerja di rumah makan itu, tiba-tiba muncul iblis betina musuh besar kita itu, paman, dan dia berteriak menuduh saya sebagai pemberontak. Saya melarikan diri dan dikejar-kejar oleh pasukan. Untung ada nona Bhe Bi Cu ini yang menolong saya dan menyembunyikan saya sehingga pasukan itu tidak menemukan saya, kemudian saya mengajaknya untuk melarikan diri ke sini dengan harapan paman akan suka menolong kami dan memberi perlindungan disini sampai keadaan menjadi aman.”

Diam-diam Kui Hok Boan terkejut dan gentar bukan main mendengar penuturan Sin Liong itu. Mendengar bahwa wanita iblis itu muncul di kota raja dan melakukan pengejaran terhadap Sin Liong saja sudah mendatangkan rasa ngeri di dalam hatinya, apalagi mendengar bahwa Sin Liong kini dianggap pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dia merasa gentar, takut kalau-kalau wanita itu akan terus mengejar dan sampai ke situ, apalagi kalau sampai pasukan pemerintah tahu bahwa Sin Liong tinggal di rumahnya, tentu dia akan dituduh sebagai orang yang melindungi pemberontak dan akan menerima hukuman berat! Akan tetapi, pada wajahnya tidak kelihatan tanda sesuatu.

“Ayah, kita harus melindungi Liong-koko!” tiba-tiba Lan Lan berkata.

“Benar, ayah. Liong-ko dan enci Bi Cu biar tinggal dan bersembunyi dulu disini!” sambung Lin Lin.

Kui Hok Boan memandang kedua orang puterinya itu dan dia makin merasa tidak enak untuk menolak permintaan Sin Liong tadi. Dia sendiri memang tidak mempunyai perasaan apapun terhadap Sin Liong karena memang anak ini bukan apa-apanya, hanya anak tiri, akan tetapi bagi Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong merupakan saudara seibu dan sekandung, biarpun berlainan ayah.

“Hemm, tentu saja aku tidak keberatan dan suka melindungimu, Sin Liong, hanya kita harus pikirkan baik-baik akan bahayanya kalau sampai wanita iblis itu mengejar kesini.”

“Kita akan lawan bersama!” teriak Lan Lan. “Apalagi disini ada enci Bi Cu. Ayah, enci Bi Cu ini lihai sekali, tadi kami salah sangka menyerang Liong-koko, akan tetapi hanya dengan sebatang ranting saja enci Bi Cu dapat menangkis pedang kami!”

Bi Cu tersenyum dan dia tidak pernah bosan memandang dua orang dara kembar itu yang dianggapnya amat manis dan juga demikian serupa bentuk wajah dan gerak-geriknya sehingga biarpun dia tadi sudah diperkenalkan, dia tetap saja tidak mampu membedakan dan tidak dapat mengenal lagi yang mana Lan Lan dan yang mana Lin Lin.

Akan tetapi, tentu saja bagi Sin Liong tidak sukar untuk membedakan kedua adiknya itu karena dia tahu bahwa Lan Lan mempunyai titik kecil merah di leher kirinya, dan yang sikapnya terbuka, lincah dan gembira adalah Lan Lan, sedangkan Lin Lin lebih pendiam.

Mendengar ucapan Lan Lan itu, Kui Hok Boan makin tertarik kepada Bi Cu dan dia memandang penuh perhatian. Kini sinar kekaguman terpancar dari sepasang matanya tanpa disembunyikan lagi sehingga Bi Cu merasa makin kikuk.






“Ah, kiranya nona memiliki kepandaian silat yang tinggi? Kalau boleh saya bertanya, siapakah guru nona?”

Laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun itu tersenyum seramahnya kepada dara remaja yang cantik manis itu.

Bi Cu hanya memandang sejenak lalu menunduk kembali, mengerutkan alisnya karena dia meragu untuk mengaku. Akan tetapi Sin Liong maklum akan kekerasan hati ayah tirinya, dan ketidak terusterangan Bi Cu akan menimbulkan curiga. Maka dia lalu cepat menerangkan,

“Paman Kui, Bi Cu adalah murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai.”

“Ahhh...!”

Kui Hok Boan benar-benar terkejut bukan main mendengar disebutnya nama ini. Siapa orangnya yang tidak mengenal nama ketua Hwa-i Kai-pang yang tersohor di kota raja dan sekelilingnya itu? Apalagi setelah perkumpulan itu dianggap pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah!

“Hwa-i Kai-pangcu...? Bukankah... bukankah perkumpulan itu...” Dia tidak melanjutkan dan menatap wajah dara itu dengan tajam.

Bi Cu yang merasa bahwa dia tidak perlu merahasiakannya lagi setelah Sin Liong menceritakan siapa gurunya, dan pula terhadap keluarga ayah tiri Sin Liong memang tidak perlu merahasiakan hal itu karena bukankah dia dan Sin Liong hendak berlindung disini? Maka dia mengangguk.

“Benar, paman. Guruku adalah mendiang ketua perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang dituduh pemberontak pula. Akan tetapi semua itu adalah fitnah, Hwa-i Kai-pang yang telah dimusuhi dan kini terpaksa dibubarkan itu tidak pernah memberontak, dan akupun sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hwa-i Kai-pang, bahkan bukan menjadi anggautanya biarpun aku menjadi murid mendiang suhu yang menjadi ketua perkumpulan itu.”

Selama Bi Cu bicara yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hok Boan, orang ini telah dapat menekan hatinya yang terkejut tadi dan kini dia tersenyum dan memandang kagum.

“Ah, kiranya nona adalah murid seorang sakti! Tentu ilmu kepandaian nona amat tinggi. Mengingat akan bahaya yang mengancam kalian berdua, biarlah untuk sementara waktu kalian boleh bersembunyi disini, akan tetapi kuharap kalian tidak memperlihatkan diri keluar karena kalian sendiri tahu bahwa kalau pasukan pemerintah menemukan kalian disini, berarti keluarga kami akan binasa.”

“Baiklah, paman dan banyak terima kasih kami haturkan atas kebaikan paman menolong kami. Kamipun hanya akan bersembunyi sampai keadaan mereda sehingga kami dapat melanjutkan perjalanan kami menuju ke utara.”

“Apa? Engkau hendak ke sana...? Ke Lembah Naga...?” Hok Boan bertanya kaget.

Sin Liong menggeleng kepala.
“Bukan ke Lembah Naga, paman, melainkan ke dusun Pek-hwa-cung di kaki Pegunungan Khing-an-san...”

Sin Liong berhenti dan memandang wajah ayah tirinya karena dia melihat perubahan pada wajah itu, yang menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa ayah tirinya itu terkejut dan heran mendengar disebutnya nama dusun itu.

“Pek-hwa-cung...?” Khi Hok Boan mengulang nama dusun itu dan matanya memandang jauh.

“Benar, paman, dan Bi Cu ingin bertanya sesuatu kepada paman, mengingat bahwa paman sudah banyak menjelajah di sekitar daerah utara.”

Ucapan ini memberi kesempatan kepada Kui Hok Boan untuk menenangkan jantungnya yang berdebar karena kaget mendengar nama dusun yang mendatangkan kembali kenang-kenangan hebat yang pernah dialaminya di dusun itu. Dia tersenyum kembali dengan sikap tenang, menoleh ke arah Bi Cu dan memandang gadis itu dengan sikap ramah, lalu bertanya, suaranya biasa lagi.

“Nona, apakah yang hendak kau tanyakan kepadaku? Memang banyak juga aku mengenal tempat-tempat disana, dan dusun Pek-hwa-cun tidak asing bagiku.”

Berdebar jantung dalam dada Bi Cu, penuh ketegangan dan harapan. Siapa tahu dia akan berhasil memperoleh keterangan tentang ayahnya dari orang ini.

“Paman Kui, sebelumnya terima kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin mengetahui apakah paman mengenal seorang laki-laki yang bernama Bhe Coan dan pernah tinggal di dusun Pek-hwa-cung sana?”

Kembali Kui Hok Boan mengalami guncangan batin hebat, namun kini dia sudah siap menghadapi segala sesuatu, maka wajahnya tidak memperlihatkan perubahan sungguhpun dia hampir terlonjak saking kagetnya.

Diam-diam Sin Liong yang sejak tadi mengawasi ayah tirinya itu, merasakan kekagetan ayah tirinya yang ditekan-tekan itu, namun dia diam saja.

“Bhe Coan...?”

Kui Hok Boan pura-pura mengingat-ingat dan mengerutkan alisnya sambil menekan perasaannya yang terlontar melalui pengulangan nama yang amat dikenalnya itu sehingga suaranya tadi terdengar agak sumbang dan gemetar.

“Ya, Bhe Coan, seorang pandai besi, seorang ahli pembuat pedang!”

Bi Cu yang sedang dilanda ketegangan dan harapan itu tidak mendengar getaran suara itu dan melengkapi keterangannya cepat-cepat sambil memandang wajah Hok Boan penuh perhatian dan pengharapan.

“Ah, Bhe Coan...? Bhe Coan si pandai besi, ahli pembuat pedang? Tentu saja aku mengenal mendiang Bhe Coan! Dia telah meninggal dunia...”

Wajah Bi Cu girang sekali.
“Memang dia telah meninggal dunia, paman Kui. Aku tahu bahwa ayahku telah meninggal dunia dan karena itulah maka aku bertanya kepada paman...”

“Ayahmu...? Ah, sungguh tak terduga! Jadi engkau ini anaknya...?”

Hampir saja Kui Hok Boan kelepasan bicara karena memang dia dahulu pernah mendengar dari Bhe Coan bahwa ahli pembuat pedang itu mempunyai seorang anak perempuan yang dititipkan kepada seorang sahabat baiknya ketika dia menikah dengan janda yang bernama Leng Ci. Menurut penuturan mendiang Bhe Coan, sahabatnya itu adalah seorang piauwsu she Na yang tinggal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Na-piauwsu semenjak menerima Bi Cu sebagai anak angkat atau muridnya, telah pindah ke kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia tidak tahu pula malapetaka yang menimpa keluarga Na itu.

“Benar, paman Kui. Aku adalah anak tunggal dari mendiang ayahku itu, dan yang hendak kutanyakan kepada paman adalah tentang kematian ayahku. Paman mengenalnya, tentu paman mendengar pula bagaimana ayah meninggal dunia.”

Sepasang mata yang jernih itu memandang dengan penuh perhatian dan juga penuh harapan kepada Kui Hok Boan yang tentu saja amat terguncang batinnya. Segera terbayang semua peristiwa yang dialaminya di dalam rumah Bhe Coan, belasan tahun yang lalu itu.

Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Kui Hok Boan yang ketika itu masih merupakan seorang pria berusia tiga puluh tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sasterawan dan gerak-geriknya halus, datang bertamu ke rumah pandai besi atau ahli pembuat pedang yang terkenal itu untuk memesan sebatang pedang. Karena pandainya bersikap manis, Bhe Coan yang jujur tertarik dan mempersilakan Kui Hok Boan untuk bermalam dan tinggal di rumahnya selagi dia membuatkan pedang yang dipesannya.

Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan yang terkenal mata keranjang itu tak dapat melewatkan seorang wanita cantik seperti isteri Bhe Coan begitu saja. Dirayunya isteri Bhe Coan, bekas janda Leng Ci yang cantik genit itu dan mereka lalu mengadakan hubungan perjinaan di dalam rumah Bhe Coan sendiri!

Akhirnya, setelah pedang selesai, Bhe Coan menangkap basah dua orang yang sedang berjina di dalam kamarnya itu. Kemarahan yang meluap-luap membuat Bhe Coan menusukkan pedang yang baru selesai dibuatnya itu ke arah Hok Boan. Hok Boan mengelak dan pedang itu menembus dada Leng Ci! Kemudian, terpaksa Hok Boan menggunakan kepandaiannya untuk membunuh Bhe Coan, dan tanpa diketahui siapapun dia meninggalkan dua jenazah itu dalam kamar dan melarikan diri!

“Bagaimana, paman Kui? Maukah paman menceritakan kepadaku tentang kematian ayahku itu?”

Bi Cu mengulangi pertanyaannya ketika dia melihat tuan rumah duduk termenung seperti tidak pernah mendengar pertanyaannya yang pertama tadi.

“Ohh? Tidak... aku tidak tahu, aku hanya mendengar bahwa dia meninggal dunia. Sudah lama aku tidak bertemu lagi dengan dia semenjak aku memesan pedang kepadanya, kau tunggu... pedang itu masih kusimpan sampai sekarang...”

Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu melalui pintu sebelah dalam. Melihat sikap tuan rumah yang seperti tergesa-gesa itu, diam-diam Sin Liong merasa heran sekali. Dia melihat seolah-olah ayah tirinya menjadi gugup dan bingung ketika ditanya tentang kematian ayah kandung Bi Cu!

Sementara itu, begitu menutupkan daun pintu yang menembus ke ruangan itu, Kui Hok Boan cepat berlari memasuki kamarnya dengan napas agak memburu. Celaka, pikirnya, siapa sangka bahwa dia akan bertemu muka dengan puteri Bhe Coan yang dibunuhnya itu! Dan lebih celaka lagi, dara itu justeru bertanya kepadanya tentang kematian ayahnya! Ini berbahaya! Kalau dia tidak cepat bertindak, dan rahasia itu sampai terbuka, berarti dara itu merupakan musuh besar yang tentu akan selalu berusaha untuk membalas kematian ayahnya.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: